Kurang lebih sebulan lalu atau tepatnya 17 Januari 2012 lalu Mahkamah Kostitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materil Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Dalam putusannya dengan No. 27/PUU-IX/2011, Mahkamah Konstitusi menilai pekerjaan yang memiliki obyek tetap tak bisa lagi dikerjakan lewat mekanisme kontrak atau outsourcing. Namun kebingungan dihadapi klas buruh Indonesia, pertanyaannya adalah bagaimana nasib buruh setelah putusan MK itu? Apakah tidak akan ada lagi buruh yang bekerja di kontrak melalui perusahaan penyedia tenaga kerja?
Begitu banyak praktek diskriminasi dari peraturan outsourching yang dikeluarkan sejak rejim pada pemerintahan Megawati pada tahun 2003 lalu hingga rejim SBY Boediono hari ini. Tetapi napasnya tetap sama buruh tidak diberikan jaminan atas upah, tidak ada jaminan sosial, tidak ada jaminan atas kepastian kerja dan tidak ada jaminan atas kebebasan berserikat bagi buruh. banyak perusahaan Indonesia dengan sangat terang-terangan menjalankan outsourcing dan sistem kerja kontrak meskipun kontrak dan outsourcing seharusnya diperuntukkan untuk sektor-sektor perusahaan tertentu. Namun faktanya perusahaan di Indonesia banyak memperkerjakan outsourcing khususnya outsourcing tenagakerja buruh, padahal dalam pekerjaan terus menerus itu tidak boleh dilakukan. Bahkan hingga saat ini tidak jarang masih ditemukan banyak perusahan dimana buruh hanya mendapatkan upah hanya Rp. 15.000,-/hari, lebih celakanya lagi banyak praktek diperusahaan yang tidak membolehkan buruhnya menikah atau jika boleh menikahpun ada syaratnya yaitu tidak diperkenankan hamil karena terikat kontrak dalam perusahaan outsourcing.
MK menegaskan bahwa outsourcing adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha. Tetapi pekerja yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi konstitusi. Agar para pekerja tidak dieksploitasi, Mahkamah menawarkan dua model outsourcing.
…..Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk “perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT)”. Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing. Melalui model yang pertama tersebut, hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing adalah konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan “perjanjian kerja waktu tidak tertentu” secara tertulis. Model yang kedua diterapkan, dalam hal hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melakukan pekerjaan outsourcingberdasarkan PKWT maka pekerja harus tetap mendapat perlindungan atas hak-haknya sebagai pekerja/buruh dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.
Meskipun dua model usulan Mahkamah diarahkan untuk melindungi pekerja, kalangan buruh merasa belum cukup. Tenaga outsourcing dalam pekerjaan yang sifatnya bukan borongan atau tidak selesai dalam sekali waktu tetap diperbolehkan. Inilah yang merisaukan kalangan buruh dan serikat buruh dan menilai putusan MK justeru makin mengukuhkan praktek outsourcing, dimana sebagian kalangan serikat buruh menyebutkan bahwa putusan ini makin melegalkan praktek outsourcing.
Setidaknya ada beberapa hal penting yang patut dikritisi dalam putusan Mahkamah Konstitusi dan turunannya tersebut:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi justeru semakin mengukuhkan keberadaan outsourcing dalam sistim ketenagakerjaan di Indonesia. Pekerja masih bekerja di perusahaan penyedia tenaga kerja bukan di perusahaan pengguna tenaga kerja;
2. Posisi tawar buruh diperusahaan outsourcing sangat lemah terutama dalam hal hak membentuk dan hak untuk bergabung dalam serikat buruh yang menjadi pilihan para buruh;
3. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak mengubah apapun sebab bentuk pengalihan tanggungjawab perlindungan buruh terletak perjanjinan antara perusahaan pemberi borongan dengan perusahaan penerima pemborongan sementara jaminan atas tanggungjawab perlindungan tengakerja buruh terletak pada pada perjanjian kerja dan atau perjanjian kerja bersama sementara perjanjinan antara perusahaan pemberi dan penerima outsourcing baik pemborongan pekerjaan ataupun tenagakerja buruh bukan suatu hal yang mudah diakses oleh buruh apalagi calaon buruh;
4. Putusan MK ini pada tahun 2004 MK telah memutuskan bahwa dalam putusan mahkamah konstitusi sebelumnya yaitu Putusan Perkara Nomor 012/PUU-I/2003 yang dimuat dalam berita negara Republik Indonesia No. 92 Tahun 2004 perkara ini justeru ditolak dengan alasan bahwa pasal 64-66 undang-undang No 13 Tahun 2003, mendapat perlindungan kerja dan syarat-syarat yang sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karenanya, terlepas dari jangka waktu tertentu yang mungkin menjadi syarat perjanjian kerja demikian dalam kesempatan yang tersedia, maka perlindungan hak-hak buruh sesuai dengan aturan hukum dalam UU Ketenagakerjaan, tidak terbukti bahwa hal itu menyebabkan sistem outsourcing merupakan modern slavery dalam proses produksi. maka patut diwaspadai dan juga perlu mendapat pengkritisan yang lebih dalam bahwa sesungguhnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut justeru menjadi bangian dalam rangka melakukan revisi merangkak atas undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara bertahap sesuai dengan keinginan rejim hari ini, dimana undang-undang ini makin mendapat tekanan dan sorotan serikat buruh untuk dicabut.
Disisi lain sistim pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan belum maksimal dimana saat ini serikat buruh memandang bahwa pemerintah tidak serius dalam melakukan pengawasan dan memberikan hukuman kepada perusahaan yang tidak mematuhi peraturan ketenagakerjaan.
Selanjutnya menjadi sangat merisaukan jika ternyata banyak serikat buruh yang justeru menganggap bahwa putusan Mahkamah Konstitusi adalah peluang baru bagi buruh Indonesia akan makin terbantahkan bahwa ternyata putusan Mahkamah Konstitusi ini tersebut tidak bisa diberlakukan surut atau membatalkan perjanjian yang sudah dan sedang berjalan sesuai system hukum di Indonesia maka putusan tersebut tidak serta merta dapat langsung diterapkan di pengusaha dalam posisi demikian. Dimana, jika ada perusahaan yang sedang melakukan dan melaksanakan perjanjian terkait penggunaan outsourcing dapat berjalan sampai berakhirnya perjanjian tersebut hal ini sebagaimana juga ditegaskan juga dalam surat edaran menteri tenagakerja dan transmigrasi pada poin 3 (tiga):
….Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 tanggal17 Januari 2012 tersebut, serta dengan mempertimbangkan keberadaan perjanjian kerja yang telah disepakati oleh kedua belah pihak sebelum diterbitkannya putusan Mahkamah Konstitusi ini, maka PKWT yang saat ini masih berlangsung pad a perusahaan pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu yang diperjanjikan. surat edaran menakertrans No.B.31/PHIJSK/I/2012. (ISM /SI Feb 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.