Tangkap dan Adili Pelaku Tindak
Kekerasan Terhadap Konflik Agraria.
Kekerasan
ala premanisme yang brutal oleh PTPN II seolah-olah sudah tidak ada lagi
penegak hukum yg mampu menahan nafsu PTPN II untuk terus melakukan perampasan
tanah, penggusuran (okupasi) tanaman-tanaman serta pengrusakan rumah-rumah
masyarakat adat dan petani yg saat ini sedang menuntut keadilan atas Agraria di
Indonesia.
Tindakan
biadab itu terus-menerus dilakukan oleh PTPN II yang menggunakan aparat
keamanan perkebunan, oknum-oknum Polisi, Oknum TNI, dan preman dimana selama
beberapa bulan terakhir telah terjadi beberapa contoh kasus, diantaranya :
pengrusakan tanaman-tanaman dan perumahan masyarakat adat di Batu Gajah,
Sebenang kabupaten Langkat; Amplas, Sei Jernih, Sei Mencirim, Kuta Limbaru,
Helvetia, Dagang Kerawan, Marendal Kabupaten Deli Serdang, Padang
Halaban-Labuhan Batu Utara, Padang Lawas, Marbo Jaya-Labura, Batubara,
Masyarakat di Taman Nasional Gunung Lauser dan berbagai kasus di daerah
Sumatera Utara.
Kasus yang
paling mencuat terakhir ini bermula saat ratusan orang yang mengatasnamakan
karyawan PTPN II melakukan pembersihan lahan di Kampung Sialang Paku, Desa
Namorube Julu, Kecamatan Kutalimbaru, Deli Serdang dengan Orang-orang yang
merupakan suruhan dari pihak PTPN II, mereka membawa senjata tajam
seperti parang, clurit, Soda Api, balok dan Panah. Akibat dari kejadian
tersebut warga mengalami kerugian cukup besar, ekonominya hancur, kehilangan
mata pencaharian, dan keamanannya terancam. Akibat dari kekerasan yang
dilakukan oleh PTPN II dan perusahaan perkebunan swasta berdampak pada
hancurnya ekonomi rakyat.
Penyelesaian
konflik agraria khususnya konflik tanah masyarakat adat dan petani kerap
mengedepankan pola coorporate violence
(kekerasan perusahaan) berupa intimidasi, kriminalisasi, pengrusakan,
penggusuran, pembakaran dan penganiayaan. Polarisasi coorporate violence ini adalah raport merah yang melanggar asas
hukum dan HAM. Tindakan over lapping
PTPN II yang berperan sebagai eksekutor penegak hukum secara membabi buta, main
hakim sendiri adalah pelanggaran yang serius, karena secara hukum polarisasi
tersebut adalah preseden buruk dan pengalihan peran kepolisian dan aparat penegak
hukum lainnya dalam menjalankan fungsinya.
Selama ini
peranan pemerintah dalam penyelesaian konflik agraria dengan berbagai model
kebijakan yang dikeluarkan tidak ada penyelesaian secara tuntas. Semisal
pembentukan team-team kerja penyelesaian konflik agraria berulang kali dibuat,
tapi tidak ada kepastian penyelesaian, yang ada malah memperburuk keadaan
rakyat. Karena dalam proses penyelesaian sengketa agraria keterlibatan
masyarakat adat dan kaum tani dinafikan. Padahal sedikit banyak yang mengetahui
dan merasakan langsung persoalan adalah masyarakat adat dan kaum tani. Semisal
contoh di sumatera utara pembentukan Tim B plus tahun 2000 dan Tim Khusus SK
No.188.44/871/KPTS/2011 tertanggal 23 September 2011.
Dalam
perspektif HAM, tindakan yang dilakukan PTPN II dan pembiaran oleh pihak
kepolisian ini adalah pelanggaran HAM dan melanggar beberapa intrumen HAM di
antaranya DUHAM, Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat, Kovenan
Internasional Sipil dan Politik-ICCPR (Ratifikasi UU.No.12/2005), Kovenan
Internasional Ekonomi Sosial dan Budaya (Ratifikasi UU.No 11/2005), yang
menyatakan: “Bahwa pada prinsipnya adalah kewajiban Negara melindungi,
mengakui, dan menghormati ;setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan
keselamatan; tidak seorangpun dapat menerima perlakuan kejam dan tidak
manusiawi; setiap orang/masyarakat adat mendapat pengakuan dan perlindungan
hukum yang sama tanpa diskriminasi; bahwa anggota masyarakat berhak mendapat
jaminan ekonomi, social dan budaya.”
Maka dalam
siaran pers bersama ini kami mendesak:
1. Laksanakan Reforma Agraria Sejati
2. Hentikan Kriminalisasi, Intimidasi, dan Kekerasan
Terhadap Kaum Tani.
3. Jangan Jadikan Buruh Perkebunan Sebagai Kekuatan
Pemukul Perkebunan Terhadap Masyarakat Adat dan Kaum Tani.
4. Stop Pembangunan Properti diatas tanah milik
masyarakat adat dan kaum tani Serta Tangkap Mafia Tanah (Oknum Pejabat
Pemerintah) yang bekerjasama dengan pihak perkebunan memperjual belikan tanah
masyarakat adat dan Kaum tani.
5. Kapolda Untuk Bertindak Tegas Terhadap Semua Aparat
Kepolisian Yang Melakukan Pembekingan yang memuluskan dalam Tindak Kekerasan
PTPN II
6. Bubarkan PTPN II; Tangkap dan Adili Para Pejabat PTPN
II yang terlibat dalam proses perampasan dan penjualan tanah adat dan kaum
tani.
Demikian
penyataan sikap kami, dan kami menyerukan kepada seluruh masyarakat Sumatera
Utara untuk Peduli dan ambil bagian dalam perjuangan rakyat melawan perampasan
tanah di Sumatera Utara.
Medan, 27
Mei 2012
Tertanda
1. Harun Nuh (BPRPI) à 0812 6364 0040
2. Rabu Alam (FRB) à 0812 6544 0211
3. Ahmadsyah (GSBI) à 0852 6111 3229
Organisasi
Tergabung : BPRPI, FRB Sumut, KTM, Arih
Ersada Aron Bolon (AEAB), KPA Sumut, AMAN Sumut, Barisan Pemuda Adat, GSBI, SBPI,
GMNI, PPI, Front Mahasiswa Nasional (FMN), Kontras, IKOHI Sumut, LBH Medan,
BAKUMSU, L-Kesra, PPRM Sumut, SRMI, GRM Sumut, Pembebasan.
Sumber : http://fmnusu.blogspot.com/
mantap gan artikelnya terima kasih ya
BalasHapus