Page

Kamis, 27 September 2012

Akar Masalah Sistem Kerja Buruh Kontrak dan Outsourcing: Dan Bagaimana Buruh Indonesia Mengatasinya?


Pendasaran Obyektif
Memasuki abad ke-20, kapitalisme telah memasuki tahap tertinggi dan terakhir bernama imperialisme (kerajaan kapital monopoli dalam skala dunia). Dan ketika panah waktu bergerak ke abad ke-21, kita menjadi saksi hidup dari krisis demi krisis yang menimpa imperialisme yang kian kronis. Seiring perkembangan waktu, kapitalisme semakin tua dan tidak cocok dengan semangat pembaruan zaman lagi. Akar dari krisis ini terletak di dalam sistem kapitalisme itu sendiri; overproduksi barang-barang bertehnologi tinggi dan persenjataan militer, krisis energi karena kerakusan mereka sendiri, krisis keuangan (financial) karena praktek manipulasi mereka sendiri, anarkhi produksi serta perebutan pasar dunia bagi barang komoditas di kalangan kekuatan imperialisme sendiri juga.

Krisis umum imperialisme pada abad ke-21 ini telah semakin memperjelas watak mereka yang sesungguhnya; perampok yang rakus dan barbar, terorisme negara yang getol mengobarkan perang agresi, dan kehancuran sosial di seluruh dunia. Sistem kapitalisme telah melewati masa-masa keemasannya. Dunia kapitalis tidak akan mendapati lagi kemunculan negeri-negeri persemakmuran (welfare-state) sebagaimana terjadi pada era booming kemakmuran tahun 1980-an. Pemangkasan subsidi sosial, kesehatan, pendidikan, dsb, menjadi kenyataan pahit bagi rakyat di tengah kondisi penghidupan yang semakin dimiskinkan; baik di negeri-negeri maju belahan Utara maupun negeri-negeri bergantung di belahan Selatan.

Disebabkan oleh kedudukannya sebagai negeri-negeri yang bergantung pada imperialisme, krisis umum imperialisme memiliki dampak langsung terhadap negeri setengah-jajahan seperti Indonesia. Secara obyektif, kedudukan negeri-negeri jajahan/setengah-jajahan dan setengah feodal yang tersebar di berbagai belahan dunia merupakan basis sosial bagi imperialisme. Negeri-negeri tersebut diperintah oleh rezim-rezim komprador (kaki-tangan) yang melayani kepentingan imperialisme dengan mengeluarkan berbagai peraturan/perundang-undangan untuk mengeksploitasi kekayaan alam dan rakyat negerinya. Demikianlah kenyataannya, rezim-rezim komprador Republik Indonesia yang datang silih berganti; masih dengan setia diperbudak oleh Imperialisme dengan menerbitkan berbagai perundang-undangan betapa pun paket peraturan tersebut bertentangan dengan semangat UUD-1945 yang jelas-jelas memiliki watak anti-imperialisme (kolonialisme). Namun penjebolan atas UUD 1945 yang lahir dari perjuangan revolusi nasional anti kolonialisme tersebut telah benar-benar dilakukan oleh rezim-rezim komprador sejak zaman Suharto hingga SBY-Budiono.

Sistem Buruh Kontrak dan Outsorcing adalah Kebijakan Pro-imperialisme dan Anti-Buruh

Dengan motif hakiki untuk melayani kepentingan imperialisme dan kelas borjuasi komperador dalam negeri (domestik), pemerintah komprador Republik Indonesia yang diwakili oleh klik SBY-budiono berusaha melakukan revisi paket UU 13/2003. Undang-undang yang sudah menindas dan anti-buruh ini akan segera di revisi oleh rezim komperador pengabdi setia Imperialis . UUK 13/2003 yang selama ini telah menjadi alat legal bagi pengusaha dalam hal penggunaan buruh kontrak dan outsourcing akan segera di revisi, akan tetapi draf revisi tersebut justru memperkuat kedudukan dari penggunaan sistem kerja kontrak dan outsourcing di Indonesia. Meskipun selama ini rencana tersebut mendapat perlawanan hebat dari kelas buruh Indonesia di mana ratusan ribu buruh turun ke jalan untuk menolaknya. Namun perlawanan buruh tersebut belum mampu menggagalkan Rencana revisi UU 13/2003 dan hanya berhasil menunda pengesahahannya, akan tetapi di dalam prakteknya hampir di semua perusahaan telah menggunakan buruh kontrak dan outsourcing tanpa ada batas-batas ketentuan sama sekali sebagaimana di atur dalam undang-undang tersebut.

Bila kita membedah UU tersebut, khususnya pada bab IX pasal 58 dan 59, perihal sistem kerja kontrak dinyatakan secara tegas, bahwa buruh Kontrak -- dalam istilah UU 13/2003 disebut sebagai PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) hanya dapat dilaksanakan dengan ketentuan: pekerjaan yang sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu paling lama 3 tahun, pekerjaan musiman; atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk dan kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Intinya tidak boleh ada sistem kerja kontrak pada pekerjaan yang bersifat tetap. Namun kenyataan faktual di lapangan berjalan penuh manipulasi. Majikan dan kaki tangannya di pabrik yang penuh trik-trik culas, telah mempraktekkan berbagai manipulasi sekian lama.

Sementara pada pasal 64-66, mengatur tentang outsourcing atau jasa percaloan dalam perekrutan tenaga kerja untuk mengerjakan beberapa bagian produksi non utama yang bisa di-sub-kontrakkan. Outsourcing boleh dilakukan dengan persyaratan ketat yaitu, dilakukan terpisah dari kegiatan utama, berupa kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan dan tidak menghambat proses produksi secara langsung. Tetapi kenyataanya banyak sekali perusahaan yang mempekerjakan buruh dengan status outsourcing menempati bagian-bagian yang langsung dengan produksi. Sungguh kenyataan telah membuka mata kita bahwa begitu culas dan liciknya para majikan melakukan segala daya untuk kepentingan keserakahannya mendapat berbagai keuntungan. Praktek manipulasi penggunaan buruh outsorcing begitu mudah dilakukan oleh para majikan di pabrik tidak lain dan tidak bukan karena dukungan dari para pejabat pemerintah. Tidak ada satupun pihak disnaker mengambil sikap atas keculasan para majikan tersebut, bahkan justru mendukungnya, meraka selalu saja berdalih kepada buruh dengan mengatakan “dari pada tidak bekerja”, pernyataan yang sangat manipulatif dan tidak bertanggungjawab sama sekali, karena justru merekalah yang menjadi sumber dari menjamurnya praktek ini.

Apa kerugian dari sistem kerja kontrak dan outsourcing  yang dialami oleh buruh?

Pertama, tentang sistem kerja kontrak. Praktek ini merupakan suatu taktik bagi kaum majikan untuk mengeruk keuntungan lebih besar di atas penderitaan kaum buruh. Fenomena buruh kontrak yang semakin massif dalam sepuluh tahun terakhir ini, adalah langkah untuk melepaskan tanggung jawab perusahaan terhadap buruh. Membahas persoalan buruh kontrak akan lebih terang bila kita perbandingkan dengan status buruh tetap. Bagi buruh tetap, perusahaan mempunyai tanggung jawab untuk menjamin berbagai jaminan sosial seperti jamsostek, THR, bonus, pesangon jika ter-PHK dan, Uang pensiun, dsb. Sementara bagi buruh kontrak, ia hanya mendapatkan upah yang sesuai dengan UMP saja. Tidak lebih, bahkan mayoritas dari buruh kontrak dan outsourcing upahnya dibawah ketentuan UMK/UMP. Kita bisa membayangkan, bila upah buruh di wilayah DKI Jakarta pada tahun 2012 senilai Rp. 1.529.150,- maka hanya dengan upah itulah ia harus melanjutkan hidupnya baik bagi yang lajang atau yang sudah berkeluarga. Bila sakit ia tidak mendapat santunan kesehatan. Bila ia di-PHK, ia tidak mendapat pesangon betapapun ia sudah lebih dari 5 tahun bekerja di pabrik tersebut dan tentu saja mereka juga tidak akan pernah mendapatkan hak pensiun selama dia bekerja. Bila ia kritis terhadap kebijakan perusahaan yang merugikan kaum buruh,  ia diputus kontaknya atau dipaksa mengundurkan diri secara sepihak.

Dari pemaparan di atas, sungguh nyata derajat penghisapan dan penindasan yang dirasakan oleh buruh. Penghisapan ekonomi dalam bentuk jam kerja yang lebih panjang, kerja tanpa kepastian status, pemangkasan hak-hak dasar atas kesehatan, jaminan hari tua, kecelakaan dan kematian; seluruh syarat-syarat menuju sejahtera seperti membentur dinding tebal. Demikian juga seiring sejalan dengan penindasan atas hak-hak politik (demokratis) dalam hal berserikat sebagai alat perjuangan yang semakin dipangkas. Sudah menjadi ketakutan umum bagi buruh kontrak, bahwa ketika ia bergabung dengan Serikat Buruh sejati pada saat itu juga mengancam statusnya kerjanya. Dengan mempermainkan waktu kontrak sependek mungkin (sekitar 3 bulan, 6 bulan hingga setahun), maka status kepastian kerja sangat rentan di pihak buruh. Besar kemungkinan bagi buruh yang bergabung dengan Serikat Buruh sejati dan terlibat dalam perjuangan akan di-PHK, dimutasi, dipaksa mundur dan tidak diperpanjang lagi kontrak 3 bulan berikutnya. Dampak Berikutnya buruh kontrak yang tidak diperpanjang lagi masa kontraknya, maka akan menambah angka pengangguran. Bertambahnya angka pengangguran berarti menambah jumlah kemiskinan. Inilah hakekat penghancuran sosial dari sistem kapitalisme berupa buruh kontrak ini; bagaimana ia berlaku sebagai mesin kemiskinan yang setiap hari bekerja memproduksi kemiskinan secara massal. Di mana hak-hak buruh atas kesejahteraan sosial-ekonomi diberangus dan hak-hak politiknya dipangkas.

Dalam praktek buruh kontrak, apa yang dalam teks perundang-undang hanya diperbolehkan untuk jenis pekerjaan produksi tertentu (lihat pasal 58-59), namun dalam lapangan prakteknya pihak perusahaan sudah menginjak-injak undang-undang yang berlaku tersebut.  Sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan buruh, bahwa pekerjaan produksi utama kini sudah dikerjakan oleh buruh kontrak. Bahkan di banyak pabrik mayoritas buruhnya adalah buruh kontrak. Artinya, buruh kontrak telah menjadi fenomena massal yang mengerjakan bagian-bagian produksi utama yang semestinya dikerjakan oleh buruh tetap. Bila ada pemeriksaan dari Dinas Tenaga Kerja Pemerintah setempat, mereka disembunyikan atau dipaksa diam agar tidak ketahuan sebagai buruh yang berstatus kontrak. Dengan suap dan manipulasi, masalah buruh kontrak mereka sembunyikan di bawah karpet.

Dalam berbagai keadaan, sistem buruh kontrak juga menjadi alat pemecah belah di dalam kekuatan buruh. Meskipun sama-sama menjadi buruh, antara buruh tetap dan buruh kontrak muncul perasaan seolah-olah memiliki status yang ‘lebih’ dan yang ‘kurang’ di antara mereka. Banyak buruh tetap yang ‘merasa aman’ kemudian bersikap pasif dalam perjuangan karena tak mau kehilangan ‘status aman’-nya yang relatif tersebut. sedangkan di pihak buruh kontrak merasa cemburu dengan beban pekerjaan yang sama, namun tidak mendapatkan hak-hak sosial-ekonomi yang dijamin perusahaan. Politik pecah belah sistem kapitalisme tidak hanya dalam hal pembagian kerja (devision of labour) semata, namun sudah berkembang pembagian status seperti ‘buruh tetap’ dan ‘buruh kontrak’. Bila tidak kita sikapi dengan propaganda yang tepat, soal-soal konkrit semacam ini akan menjadi pemecah-belah yang akan semakin melemahkan kekuatan dan persatuan buruh.

Kedua, tentang masalah outsourcing. Hakekat outsourcing adalah menyerahkan beberapa bagian pekerjaan di luar  produksi utama kepada pihak di luar perusahaan. Bahasa lain dari outsourcing adalah sub-kontrak/order. Fenomena ini meluas di kalangan industri sektor jasa seperti perbankan dan niaga, namun kini juga telah berkembang di industri manufaktur hingga yang paling modern. Persoalan oursourcing lagi-lagi adalah bentuk penghisapan untuk menumpuk keuntungan lebih besar dan upaya dari perusahaan untuk lepas tanggung jawab atas perbaikan nasib buruh. Karena jika buruh bekerja dalam status outsorcing bisa dipastikan dia adalah buruh kontrak.

Gejala global ini tidak bisa lepas dari negeri induk imperialis seperti Amerika Serikat yang telah lama mempraktekkannya. Banyak perusahaan IT di AS yang berpindah ke India untuk mencari upah buruh yang lebih rendah. Beberapa komponen di luar yang inti seperti mesin mereka sub-kontrakkan. Demikian juga di Eropa dan Jepang, banyak perusahaan otomotif, elektronik, garmen, sepatu, dsb, yang membikin perakitan sebagian part-part-nya di negeri-negeri dunia ketiga dengan upah buruh yang murah untuk mendapatkan sebesar-besarnya keuntungan. 

Mari kita mengambil contoh praktek outsourcing ini agar lebih konkrit pemahaman kita. Sebuah perusahaan besar perbankan seperti HSBC ingin merekrut buruh kontrak untuk melayani jasa keamanan, cleaning service atau catering. HSBC segera melakukan sub-order ke perusahaan outsourcing sebagai penyedia tenaga kerja untuk mencari buruh yang dibutuhkan. Jadi buruh-buruh tersebut bekerja di HSBC dan untuk HSBC, namun terdaftar sebagai buruh perusahaan outsourcing dan bukan buruhnya HSBC.
Apa alasan perusahaan besar seperti HSBC memilih buruh kontrak dengan melakukan praktek outsourcing? Soal ini tidak bisa lepas dari strategi utama perusahaan-perusahaan besar sekali pun untuk menangguk untung lebih besar di zaman sekarang:

Pertama, dengan menerapkan outsourcing HSBC menghemat sejumlah pengeluaran untuk membayar THR, bonus tahunan, tunjangan kesehatan & asuransi kesehatan dan pesangon yang biasa diterima karyawan tetap. Lantas apakah Yayasan outsourcing harus membayar beban itu semua? Undang-undang 13/2003 tidak mengatur masalah tersebut. Artinya pihak Yayasan, dengan sistem pembayaran yang sama sekali tidak transparan dengan perusahaan yang memberikan order tersebut, memiliki 1000 alasan untuk lepas dari tanggung jawab tersebut. Pihak buruhlah yang paling dirugikan.

Kedua, strategi ini untuk menghindari tuntutan pekerja buruh kontrak kepada HSBC sebagai perusahaan berlaba besar. Bila terjadi konflik hubungan kerja, para buruh kontrak tidak bisa menuntut HSBC karena mereka tercatat sebagai buruh kontrak yang dipekerjakan oleh pihak Yayasan outsourcing. Mereka tidak tercatat sebagai buruh HSBC. Inilah bentuk pengalihan tanggung jawab oleh perusahaan dengan super profit sekalipun. Mereka semakin tidak adil, tidak punya malu dan tidak bisa menutupi motif kerakusannya sendiri.
Yayasan outsourcing dengan demikian berlaku sebagai parasit yang mencari keuntungan dari keringat buruh-buruh kontrak yang dibikin tidak jelas nasibnya. Isi otak dari perusahaan besar adalah untung dan untung. Demikian juga isi otak dari para pengelola Yayasan outsourcing hanya untuk mengejar untung. Di balik penimbunan untung besar tersebut, ada jutaan buruh yang hidupnya menjadi sapi perahan. Di tengah kondisi jumlah pengangguran yang besar seperti sekarang ini, mereka memiliki alasan untuk hidup sebagai parasit. Seorang buruh untuk bisa bekerja selama 6 bulan – 1 tahun harus merogoh kocek antara 1 juta hingga 3 juta rupiah. Sejumlah uang yang tidak sedikit bagi kocek kelas buruh yang hidupnya pas-pasan. adapula yayasan outsourcing yang masih melakukan pungutan setiap bulan dengan kisara Rp. 200.000 hingga Rp. 300.000 kepada si buruh setelah mereka bekerja, biasanya pungutan ini dilakukan selama  dia dipekerjakan, Inilah ironi yang pahit. Untuk dihisap pun kaum buruh harus membayar.

Fenomena ini juga terjadi di perusahaan PT. U di daerah Jakarta Barat, perusahaan yang memproduksi segala macam kaleng minuman dengan merk terkenal seperti Coca cola, Pocari, Bir Bintang, minuman cap kaki tiga,  dll, telah memperkerjakan buruhnya dengan status kontrak tidak kurang dari 800 buruh dari total buruh sekitar 2300 orang, mereka untuk dapat bekerja di perusahaan ini harus melaluli yayasan Outsourcing dengan membayar Rp. 1000.000,- s/d Rp. 1200.000,- untuk sekali kontrak dengan masa kontrak 6 bulan. Dan jika perusahaan memperpanjang kontrak kerja maka mereka harus membanyar dengan jumlah yang sama demikian seterusnya. Banyak pemilik Yayasan outsourcing ini dari elite-elite pemerintah local (DPRD, Kepala dinas dan jajarannya dll) yang bekerja sama dengan borjuis-borjuis asing dan domestik untuk menghisap kaum buruh Indonesia, Inilah hakekat kelas komprador dari para kapitalis birokrat di Republik ini. Tetapi tidak sedikit pula yayasan yang di miliki oleh para pimpinan dan mantan pimpinan serikat buruh. Krisis ekonomi memang terus mencekik kehidupan rakyat luas seperti yang menimpa buruh dan petani; namun hidup di atas penderitaan massal tersebut kelas komprador dan tuannya, yakni borjuis-borjuis besar di negeri imperialis yang bergelimang kemewahan.

Demikianlah pembedahan kita tentang sepotong kebijakan bernama sistem kerja buruh kontrak dan outsourcing serta dampaknya bagi kehidupan kelas buruh di Indonesia. Kita bisa membayangkan masih terdapat ratusan kebijakan yang kini diterapkan di berbagai sektor lainnya. Kita bisa membayangkan ratusan juta nasib rakyat yang menjadi korban dari sistem kapitalisme yang makin usang dan barbar ini. Berbagai kebijakan reaksioner ini juga menjadi trend di seluruh dunia, sebagaimana imperialisme yang mengangkangi planet bumi ini telah membawakan semua sebagai kabar buruk bagi kelas buruh di seluruh dunia.

Berikut beberapa praktek umum yang dilakukan oleh Majikan dalam menerapkan buruh kontrak.
1.      Banyak Majikan yang awalnya mempekerjakan buruh tanpa melalui perjanjian kerja, bahkan buruh hanya menggunakan KTP untuk melamar kerja tetapi setelah buruh bekerja 3 bulan atau lebih majikan memanggil si buruh untuk menandatangani perjanjian kerja dengan alasan di lakukan perpanjangan kontrak. Padahal dalam Pasal 57 ayat 1 Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Dan dalam pasal 2 Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu. Dengan kata lain menjadi buruh tetap.

2.      Praktek lain yang di lakukan oleh Majikan dalam mempekerjakan buruh kontrak, sebelumnya di berlakukan masa percobaan, sedangkan perjanjian kerja waktu tertentu tidak di bolehkan adanya masa percobaan selama 3 bulan, setelah itu majikan memanggil untuk membuat perjanjian kerja/kontrak. Sebagaimana dalam pasal 58 ayat 1 Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. Dan dalam ayat 2 Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum. Dengan kata lain tidak berlaku kontraknya.

3.      Selian dua praktek diatas tidak sedikit pengusaha yang melakukan perpanjangan kontrak hingga lebih satu kali bahkan tidak sedikit buruh yang menandatangani kontrak hingga puluhan kali yang kemudian si buruh tetap menjadi buruh kontrak meskipun masa kerja telah melebihi 3 tahun. Padahal dalam pasal  59 ayat 4 “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu   dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun”.
4.      Masalah lain yang sering di langgar oleh pengusaha adalah dalam melakukan perpanjangan kontrak kerap melebihi waktu berakhirnya masa kontrak sebelumnya. Sedangkan dalam ketentuan pasal 59 ayat 5  “Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan”.
5.      Praktek lain yang saat ini marak terjadi adalah, para majikan yang telah menggunakan buruh berstatus tetap, berupaya menerapkan trik-trik culas dengan alasan sepi order mereka meliburkan sementara buruhnya di beberapa bagian atau selurunya beberapa bulan, ketika meliburkan ada majikan yang membayar upah buruh yang di liburkan tetapi tidak sedikit dan bahkan mayoritas majikan tidak membayar buruhnya ketika meliburkan. Setelah beberapa bulan mereka meliburkan maka si majikan kemudian memanggil dan menyampaikan perusahaan tidak lagi sanggup untuk beroperasi, maka menawarkan buruh untuk di PHK dengan pesangon alakadarnya/tidak sesuai dengan ketentuan. Tetapi setelah berhasil melakukan PHK mereka kemudian menerima kembali buruh baru dengan status kontrak.
6.      Fenomena terbaru yang berkembang saat ini adalah semakin banyak pengusaha dengan kedok memberikan sarana pendidikan dan pelatihan mereka mendirikan Pusat Pelatihan dan merekrut tenaga kerja dengan tidak membayar upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, mereka dipekerjakan sebagaimana layaknya buruh biasa yang juga menghasilkan barang produksi. Banyak buruh yang salah dalam memandang karena seolah-olah perusahaan baik dengan memberikan sarana pendidikan dan pelatihan gratis, padahal jika kita pahami lebih dalam maka akan terkuaklah keculasan para pengusaha tersebut. Mereka sejatinya menghindari tenaga kerja buruh baru dengan status masa percobaan/training, sebab apabila buruh yang sudah mampu bekerja dengan baik di Pusat Pelatihan tersebut maka mereka akan melakukan rekruetmen dengan setatus ikatan dinas dengan masa kerja 3-5 tahun, padahal sejatinya mereka bekerja dengan setatus buruh kontrak dengan masa kerja yang sangat panjang dan menindas buruh mereka di kontrak sampai dengan 5 tahun, dan apabila belum selesai masa kontrak/ikatan dinas buruh ingin keluar dari perusahaan maka mereka diberikan denda sebanyak biaya pendidikan dan pelatihan perusahaan. Prkatek ini dapat kita temukan di PT UCC begitu juga praktek yang hampir sama dilakukan di PT. Jaba Garmindo. Jika kita memeriksa ketentuan perundang-undangan disitu dijelaskan didalam pasal 58: (1) “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja”. (2)    Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.

Bagaimana Kelas Buruh dan Rakyat Bersatu Melawan Sistem Buruh Kontrak dan Outsourcing?

Disebabkan zaman sekarang adalah zaman imperialisme, maka persoalan pokok kelas buruh dan rakyat adalah berjuang melawan setiap bentuk kebijakan yang dikeluarkan oleh rezim yang berkuasa di negeri ini yaitu rezim pengabdi setia imperialisme. Di zaman imperialisme sistem yang berkembang di Indonesia adalah sistem masyarakat setengah jajahan dan setengah feudal sehingga kelas buruh tidak bisa berdiri sendiri dan berjuang sendiri karena yang dihisap dan ditindas selain klas buruh adalah kaum tani yaitu klas mayoritas dan seluruh rakyat tertindas dan tertindas lainnya. Dan skala penghisapan dan penindasan imperialisme mencakup kelas buruh, rakyat dan bangsa di berbagai negeri jajahan dan setengah jajahan. Dalam pengertian inilah, penting bagi kita sebagai rakyat dari suatu bangsa yang masih terjajah (setengah jajahan dan setengah feudal) bernama Indonesia untuk mengobarkan watak perjuangan anti-imperialisme dan anti-feudalisme. Tanpa perjuangan anti-imperialisme dan anti-feodalisme yang gigih, kita tak lebih dari bangsa kuli yang akan terus diperbudak oleh Imperialis.

Demikian juga dalam mensikapi masalah sistem buruh kontrak dan outsourcing ini. Di tengah situasi pemiskinan yang semakin mencekik buruh dan massa rakyat luas ini, berbagai upaya propaganda yang menerangi kenyataan untuk meningkatkan kesadaran kaum buruh harus terus ditingkatkan dan diluaskan. Kemudian diorganisasikan dalam wadah serikat buruh sejati dan melakukan bentuk-bentuk perjuangan massa melalui organisasi massa buruh dan kerjasama dengan ormas rakyat lainnya harus lebih diperkuat persatuannya. Pengorganisasian massa, cara kerja massa yang memadukan konsolidasi organisasi dengan gerakan propaganda yang massif dan intensif harus kita tingkatkan kualitas dan kuantitasnya.

Agar dapat memecahkan pengorganisiran buruh kontrak dan outsourcing maka Metode maupun taktik-taktik kerja pengorganisasian yang tepat harus di rumuskan sesuai dengan kondisi obyektif tersebut. Sebab apabila tidak dapat memecahkan persoalan tersebut maka gerakan serikat buruh lambat tapi pasti akan mengalami kehancuran karena tidak dapat berkembang, masa depan buruh di Indonesia dapat di pasikan akan menjadi buruh kontrak seiring dengan usaha yang keras dilakukan oleh pemerintah agar dapat melegalkan praktek ini ke dalam Undang-undang Ketenagakerjaan, dan saat ini beberapa pimpinan serikat pekerja/buruh justru ingin memperkuat praktek sistem buruh kontrak dan sistem Outsorching dengan cara mendesakan kepada pemerintah agar mengeluarkan peraturan menteri, hal inilah yang mendasari kaum buruh harus terus waspada dan kritis dengan berbagai upaya yang dijalankan pemerintah dan berbagai kalangan yang seolah-olah pro buruh akan tetapi pandangan dan pendiriannya justru mendukung praktek sistem buruh kontrak dan outsourching di langgengkan di Indonesia.

Hidup Buruh Indonesia!
Hidup Persatuan Rakyat Indonesia!



2 komentar:

  1. Yaaaa teruskannn terussss bersatuuu sampai gaji kita 200000000 per bulan dan kita semua di phk habis gitu kita sekalian garong aja pabriknya. Hidup buruhhhh

    BalasHapus
  2. Pertahankan....buruh.......sampai kapan pun
    ...jngan terima harga diri di injak2 management.....kita berhak menyampaikan aspirasi untuk menuju yang lebih baik....

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.