Pendasaran Obyektif
Memasuki abad ke-20, kapitalisme telah
memasuki tahap tertinggi dan terakhir bernama imperialisme (kerajaan
kapital monopoli dalam skala dunia). Dan ketika panah waktu bergerak ke
abad ke-21, kita menjadi saksi hidup dari krisis demi krisis yang menimpa
imperialisme yang kian kronis. Seiring perkembangan waktu, kapitalisme semakin
tua dan tidak cocok dengan semangat pembaruan zaman lagi. Akar dari krisis ini
terletak di dalam sistem kapitalisme itu sendiri; overproduksi barang-barang
bertehnologi tinggi dan persenjataan militer, krisis energi karena kerakusan
mereka sendiri, krisis keuangan (financial) karena praktek manipulasi mereka
sendiri, anarkhi produksi serta perebutan pasar dunia bagi barang komoditas di
kalangan kekuatan imperialisme sendiri juga.
Krisis umum imperialisme pada abad ke-21
ini telah semakin memperjelas watak mereka yang sesungguhnya; perampok yang
rakus dan barbar, terorisme negara yang getol mengobarkan perang agresi, dan
kehancuran sosial di seluruh dunia. Sistem kapitalisme telah melewati masa-masa
keemasannya. Dunia kapitalis tidak akan mendapati lagi kemunculan negeri-negeri
persemakmuran (welfare-state) sebagaimana terjadi pada era booming
kemakmuran tahun 1980-an. Pemangkasan subsidi sosial, kesehatan, pendidikan,
dsb, menjadi kenyataan pahit bagi rakyat di tengah kondisi penghidupan yang
semakin dimiskinkan; baik di negeri-negeri maju belahan Utara maupun
negeri-negeri bergantung di belahan Selatan.
Disebabkan oleh kedudukannya sebagai
negeri-negeri yang bergantung pada imperialisme, krisis umum imperialisme
memiliki dampak langsung terhadap negeri setengah-jajahan seperti Indonesia.
Secara obyektif, kedudukan negeri-negeri jajahan/setengah-jajahan dan setengah
feodal yang tersebar di berbagai belahan dunia merupakan basis sosial bagi
imperialisme. Negeri-negeri tersebut diperintah oleh rezim-rezim komprador
(kaki-tangan) yang melayani kepentingan imperialisme dengan mengeluarkan
berbagai peraturan/perundang-undangan untuk mengeksploitasi kekayaan alam dan
rakyat negerinya. Demikianlah kenyataannya, rezim-rezim komprador Republik
Indonesia yang datang silih berganti; masih dengan setia diperbudak oleh Imperialisme
dengan menerbitkan berbagai perundang-undangan betapa pun paket peraturan
tersebut bertentangan dengan semangat UUD-1945 yang jelas-jelas memiliki watak
anti-imperialisme (kolonialisme). Namun penjebolan atas UUD 1945 yang lahir
dari perjuangan revolusi nasional anti kolonialisme tersebut telah benar-benar
dilakukan oleh rezim-rezim komprador sejak zaman Suharto hingga SBY-Budiono.
Sistem Buruh Kontrak dan Outsorcing
adalah Kebijakan Pro-imperialisme dan Anti-Buruh
Dengan motif hakiki untuk melayani
kepentingan imperialisme dan kelas borjuasi komperador dalam negeri (domestik),
pemerintah komprador Republik Indonesia yang diwakili oleh klik SBY-budiono berusaha
melakukan revisi paket UU 13/2003. Undang-undang yang sudah menindas dan anti-buruh
ini akan segera di revisi oleh rezim komperador pengabdi setia Imperialis . UUK
13/2003 yang selama ini telah menjadi alat legal bagi pengusaha dalam hal
penggunaan buruh kontrak dan outsourcing akan segera di revisi, akan tetapi draf
revisi tersebut justru memperkuat kedudukan dari penggunaan sistem kerja
kontrak dan outsourcing di Indonesia. Meskipun selama ini rencana tersebut mendapat
perlawanan hebat dari kelas buruh Indonesia di mana ratusan ribu buruh turun ke
jalan untuk menolaknya. Namun perlawanan buruh tersebut belum mampu
menggagalkan Rencana revisi UU 13/2003 dan hanya berhasil menunda
pengesahahannya, akan tetapi di dalam prakteknya hampir di semua perusahaan
telah menggunakan buruh kontrak dan outsourcing tanpa ada batas-batas ketentuan
sama sekali sebagaimana di atur dalam undang-undang tersebut.
Bila kita membedah UU tersebut,
khususnya pada bab IX pasal 58 dan 59, perihal
sistem kerja kontrak dinyatakan secara tegas, bahwa buruh Kontrak -- dalam
istilah UU 13/2003 disebut sebagai PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) hanya
dapat dilaksanakan dengan ketentuan: pekerjaan yang sementara
sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu paling lama 3
tahun, pekerjaan musiman; atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk dan
kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Intinya tidak boleh ada sistem kerja kontrak pada pekerjaan yang bersifat
tetap. Namun kenyataan faktual di lapangan berjalan penuh manipulasi. Majikan
dan kaki tangannya di pabrik yang penuh trik-trik culas, telah mempraktekkan
berbagai manipulasi sekian lama.
Sementara
pada pasal 64-66, mengatur tentang outsourcing atau jasa percaloan dalam
perekrutan tenaga kerja untuk mengerjakan beberapa bagian produksi non utama
yang bisa di-sub-kontrakkan. Outsourcing boleh dilakukan dengan persyaratan
ketat yaitu, dilakukan terpisah dari kegiatan utama, berupa kegiatan
penunjang perusahaan secara keseluruhan dan tidak menghambat proses produksi
secara langsung. Tetapi kenyataanya banyak sekali perusahaan yang
mempekerjakan buruh dengan status outsourcing menempati bagian-bagian yang
langsung dengan produksi. Sungguh kenyataan telah membuka mata kita bahwa
begitu culas dan liciknya para majikan melakukan segala daya untuk kepentingan
keserakahannya mendapat berbagai keuntungan. Praktek manipulasi penggunaan
buruh outsorcing begitu mudah dilakukan oleh para majikan di pabrik tidak lain
dan tidak bukan karena dukungan dari para pejabat pemerintah. Tidak ada satupun
pihak disnaker mengambil sikap atas keculasan para majikan tersebut, bahkan
justru mendukungnya, meraka selalu saja berdalih kepada buruh dengan mengatakan
“dari pada tidak bekerja”, pernyataan yang sangat manipulatif dan tidak
bertanggungjawab sama sekali, karena justru merekalah yang menjadi sumber dari
menjamurnya praktek ini.
Apa
kerugian dari sistem kerja kontrak dan outsourcing yang dialami oleh buruh?
Pertama, tentang sistem kerja kontrak. Praktek ini merupakan
suatu taktik bagi kaum majikan untuk mengeruk keuntungan lebih besar di atas
penderitaan kaum buruh. Fenomena buruh kontrak yang semakin massif dalam sepuluh
tahun terakhir ini, adalah langkah untuk melepaskan tanggung jawab perusahaan
terhadap buruh. Membahas persoalan buruh kontrak akan lebih terang bila kita
perbandingkan dengan status buruh tetap. Bagi buruh tetap, perusahaan mempunyai
tanggung jawab untuk menjamin berbagai jaminan sosial seperti jamsostek, THR,
bonus, pesangon jika ter-PHK dan, Uang pensiun, dsb. Sementara bagi buruh
kontrak, ia hanya mendapatkan upah yang sesuai dengan UMP saja. Tidak lebih,
bahkan mayoritas dari buruh kontrak dan outsourcing upahnya dibawah ketentuan UMK/UMP.
Kita bisa membayangkan, bila upah buruh di wilayah DKI Jakarta pada tahun 2012
senilai Rp. 1.529.150,- maka hanya dengan
upah itulah ia harus melanjutkan hidupnya baik bagi yang lajang atau yang sudah
berkeluarga. Bila sakit ia tidak mendapat santunan kesehatan. Bila ia di-PHK,
ia tidak mendapat pesangon betapapun ia sudah lebih dari 5 tahun bekerja di
pabrik tersebut dan tentu saja mereka juga tidak akan pernah mendapatkan hak
pensiun selama dia bekerja. Bila ia kritis terhadap kebijakan perusahaan yang
merugikan kaum buruh, ia diputus
kontaknya atau dipaksa mengundurkan diri secara sepihak.
Dari
pemaparan di atas, sungguh nyata derajat penghisapan dan penindasan yang
dirasakan oleh buruh. Penghisapan ekonomi dalam bentuk jam kerja yang lebih
panjang, kerja tanpa kepastian status, pemangkasan hak-hak dasar atas
kesehatan, jaminan hari tua, kecelakaan dan kematian; seluruh syarat-syarat
menuju sejahtera seperti membentur dinding tebal. Demikian juga seiring sejalan
dengan penindasan atas hak-hak politik (demokratis) dalam hal berserikat
sebagai alat perjuangan yang semakin dipangkas. Sudah menjadi ketakutan umum
bagi buruh kontrak, bahwa ketika ia bergabung dengan Serikat Buruh sejati pada
saat itu juga mengancam statusnya kerjanya. Dengan mempermainkan waktu kontrak
sependek mungkin (sekitar 3 bulan, 6 bulan hingga setahun), maka status
kepastian kerja sangat rentan di pihak buruh. Besar kemungkinan bagi buruh yang
bergabung dengan Serikat Buruh sejati dan terlibat dalam perjuangan akan
di-PHK, dimutasi, dipaksa mundur dan tidak diperpanjang lagi kontrak 3 bulan
berikutnya. Dampak Berikutnya buruh kontrak yang tidak diperpanjang lagi masa
kontraknya, maka akan menambah angka pengangguran. Bertambahnya angka
pengangguran berarti menambah jumlah kemiskinan. Inilah hakekat penghancuran
sosial dari sistem kapitalisme berupa buruh kontrak ini; bagaimana ia berlaku
sebagai mesin kemiskinan yang setiap hari bekerja memproduksi kemiskinan secara
massal. Di mana hak-hak buruh atas kesejahteraan sosial-ekonomi diberangus dan
hak-hak politiknya dipangkas.
Dalam
praktek buruh kontrak, apa yang dalam teks perundang-undang hanya diperbolehkan
untuk jenis pekerjaan produksi tertentu (lihat pasal 58-59), namun dalam
lapangan prakteknya pihak perusahaan sudah menginjak-injak undang-undang yang
berlaku tersebut. Sudah menjadi
pengetahuan umum di kalangan buruh, bahwa pekerjaan produksi utama kini sudah
dikerjakan oleh buruh kontrak. Bahkan di banyak pabrik mayoritas buruhnya
adalah buruh kontrak. Artinya, buruh kontrak telah menjadi fenomena massal yang
mengerjakan bagian-bagian produksi utama yang semestinya dikerjakan oleh buruh
tetap. Bila ada pemeriksaan dari Dinas Tenaga Kerja Pemerintah setempat, mereka
disembunyikan atau dipaksa diam agar tidak ketahuan sebagai buruh yang
berstatus kontrak. Dengan suap dan manipulasi, masalah buruh kontrak mereka
sembunyikan di bawah karpet.
Dalam
berbagai keadaan, sistem buruh kontrak juga menjadi alat pemecah belah di dalam
kekuatan buruh. Meskipun sama-sama menjadi buruh, antara buruh tetap dan buruh
kontrak muncul perasaan seolah-olah memiliki status yang ‘lebih’ dan yang
‘kurang’ di antara mereka. Banyak buruh tetap yang ‘merasa aman’ kemudian
bersikap pasif dalam perjuangan karena tak mau kehilangan ‘status aman’-nya
yang relatif tersebut. sedangkan di pihak buruh kontrak merasa cemburu dengan
beban pekerjaan yang sama, namun tidak mendapatkan hak-hak sosial-ekonomi yang
dijamin perusahaan. Politik pecah belah sistem kapitalisme tidak hanya dalam
hal pembagian kerja (devision of labour) semata, namun sudah berkembang
pembagian status seperti ‘buruh tetap’ dan ‘buruh kontrak’. Bila tidak kita
sikapi dengan propaganda yang tepat, soal-soal konkrit semacam ini akan menjadi
pemecah-belah yang akan semakin melemahkan kekuatan dan persatuan buruh.
Kedua, tentang masalah outsourcing. Hakekat outsourcing adalah
menyerahkan beberapa bagian pekerjaan di luar
produksi utama kepada pihak di luar perusahaan. Bahasa lain dari
outsourcing adalah sub-kontrak/order. Fenomena ini meluas di kalangan industri
sektor jasa seperti perbankan dan niaga, namun kini juga telah berkembang di
industri manufaktur hingga yang paling modern. Persoalan oursourcing lagi-lagi
adalah bentuk penghisapan untuk menumpuk keuntungan lebih besar dan upaya dari
perusahaan untuk lepas tanggung jawab atas perbaikan nasib buruh. Karena jika
buruh bekerja dalam status outsorcing bisa dipastikan dia adalah buruh kontrak.
Gejala global ini tidak bisa lepas dari
negeri induk imperialis seperti Amerika Serikat yang telah lama mempraktekkannya.
Banyak perusahaan IT di AS yang berpindah ke India untuk mencari upah buruh
yang lebih rendah. Beberapa komponen di luar yang inti seperti mesin mereka
sub-kontrakkan. Demikian juga di Eropa dan Jepang, banyak perusahaan otomotif,
elektronik, garmen, sepatu, dsb, yang membikin perakitan sebagian part-part-nya
di negeri-negeri dunia ketiga dengan upah buruh yang murah untuk mendapatkan
sebesar-besarnya keuntungan.
Mari kita mengambil contoh praktek
outsourcing ini agar lebih konkrit pemahaman kita. Sebuah perusahaan besar
perbankan seperti HSBC ingin merekrut buruh kontrak untuk melayani jasa
keamanan, cleaning service atau catering. HSBC segera melakukan
sub-order ke perusahaan outsourcing sebagai penyedia tenaga kerja untuk mencari
buruh yang dibutuhkan. Jadi buruh-buruh tersebut bekerja di HSBC dan untuk
HSBC, namun terdaftar sebagai buruh perusahaan outsourcing dan bukan buruhnya
HSBC.
Apa alasan perusahaan besar seperti HSBC
memilih buruh kontrak dengan melakukan praktek outsourcing? Soal ini tidak bisa
lepas dari strategi utama perusahaan-perusahaan besar sekali pun untuk
menangguk untung lebih besar di zaman sekarang:
Pertama, dengan menerapkan outsourcing
HSBC menghemat sejumlah pengeluaran untuk membayar THR, bonus tahunan, tunjangan
kesehatan & asuransi kesehatan dan pesangon yang biasa diterima karyawan
tetap. Lantas apakah Yayasan outsourcing harus membayar beban itu semua?
Undang-undang 13/2003 tidak mengatur masalah tersebut. Artinya pihak Yayasan,
dengan sistem pembayaran yang sama sekali tidak transparan dengan perusahaan
yang memberikan order tersebut, memiliki 1000 alasan untuk lepas dari tanggung
jawab tersebut. Pihak buruhlah yang paling dirugikan.
Kedua, strategi ini untuk menghindari
tuntutan pekerja buruh kontrak kepada HSBC sebagai perusahaan berlaba besar.
Bila terjadi konflik hubungan kerja, para buruh kontrak tidak bisa menuntut
HSBC karena mereka tercatat sebagai buruh kontrak yang dipekerjakan oleh pihak
Yayasan outsourcing. Mereka tidak tercatat sebagai buruh HSBC. Inilah bentuk
pengalihan tanggung jawab oleh perusahaan dengan super profit sekalipun. Mereka
semakin tidak adil, tidak punya malu dan tidak bisa menutupi motif kerakusannya
sendiri.
Yayasan outsourcing dengan demikian
berlaku sebagai parasit yang mencari keuntungan dari keringat buruh-buruh
kontrak yang dibikin tidak jelas nasibnya. Isi otak dari perusahaan besar
adalah untung dan untung. Demikian juga isi otak dari para pengelola Yayasan
outsourcing hanya untuk mengejar untung. Di balik penimbunan untung besar
tersebut, ada jutaan buruh yang hidupnya menjadi sapi perahan. Di tengah
kondisi jumlah pengangguran yang besar seperti sekarang ini, mereka memiliki
alasan untuk hidup sebagai parasit. Seorang buruh untuk bisa bekerja selama 6
bulan – 1 tahun harus merogoh kocek antara 1 juta hingga 3 juta rupiah.
Sejumlah uang yang tidak sedikit bagi kocek kelas buruh yang hidupnya
pas-pasan. adapula yayasan outsourcing yang masih melakukan pungutan setiap
bulan dengan kisara Rp. 200.000 hingga Rp. 300.000 kepada si buruh setelah
mereka bekerja, biasanya pungutan ini dilakukan selama dia dipekerjakan, Inilah ironi yang pahit.
Untuk dihisap pun kaum buruh harus membayar.
Fenomena ini juga terjadi di perusahaan
PT. U di daerah Jakarta Barat, perusahaan yang memproduksi segala macam kaleng
minuman dengan merk terkenal seperti Coca cola, Pocari, Bir Bintang, minuman
cap kaki tiga, dll, telah memperkerjakan
buruhnya dengan status kontrak tidak kurang dari 800 buruh dari total buruh
sekitar 2300 orang, mereka untuk dapat bekerja di perusahaan ini harus melaluli
yayasan Outsourcing dengan membayar Rp. 1000.000,- s/d Rp. 1200.000,- untuk
sekali kontrak dengan masa kontrak 6 bulan. Dan jika perusahaan memperpanjang
kontrak kerja maka mereka harus membanyar dengan jumlah yang sama demikian seterusnya.
Banyak pemilik Yayasan outsourcing ini dari elite-elite pemerintah local (DPRD,
Kepala dinas dan jajarannya dll) yang bekerja sama dengan borjuis-borjuis asing
dan domestik untuk menghisap kaum buruh Indonesia, Inilah hakekat kelas
komprador dari para kapitalis birokrat di Republik ini. Tetapi tidak sedikit
pula yayasan yang di miliki oleh para pimpinan dan mantan pimpinan serikat
buruh. Krisis ekonomi memang terus mencekik kehidupan rakyat luas seperti yang
menimpa buruh dan petani; namun hidup di atas penderitaan massal tersebut kelas
komprador dan tuannya, yakni borjuis-borjuis besar di negeri imperialis yang
bergelimang kemewahan.
Demikianlah pembedahan kita tentang
sepotong kebijakan bernama sistem kerja buruh kontrak dan outsourcing serta dampaknya
bagi kehidupan kelas buruh di Indonesia. Kita bisa membayangkan masih terdapat
ratusan kebijakan yang kini diterapkan di berbagai sektor lainnya. Kita bisa
membayangkan ratusan juta nasib rakyat yang menjadi korban dari sistem
kapitalisme yang makin usang dan barbar ini. Berbagai kebijakan reaksioner ini
juga menjadi trend di seluruh dunia, sebagaimana imperialisme yang mengangkangi
planet bumi ini telah membawakan semua sebagai kabar buruk bagi kelas buruh di
seluruh dunia.
Berikut beberapa praktek umum yang
dilakukan oleh Majikan dalam menerapkan buruh kontrak.
1.
Banyak Majikan yang awalnya mempekerjakan buruh
tanpa melalui perjanjian kerja, bahkan buruh hanya menggunakan KTP untuk
melamar kerja tetapi setelah buruh bekerja 3 bulan atau lebih majikan memanggil
si buruh untuk menandatangani perjanjian kerja dengan alasan di lakukan
perpanjangan kontrak. Padahal dalam Pasal 57 ayat 1 Perjanjian kerja
untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa
Indonesia dan huruf latin. Dan dalam pasal 2 Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian
kerja untuk waktu tidak tertentu. Dengan kata lain menjadi buruh
tetap.
2.
Praktek lain yang di lakukan oleh Majikan dalam
mempekerjakan buruh kontrak, sebelumnya di berlakukan masa percobaan, sedangkan
perjanjian kerja waktu tertentu tidak di bolehkan adanya masa percobaan selama
3 bulan, setelah itu majikan memanggil untuk membuat perjanjian kerja/kontrak.
Sebagaimana dalam pasal 58 ayat 1 Perjanjian kerja untuk waktu
tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. Dan
dalam ayat 2 Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam
perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang
disyaratkan batal demi hukum. Dengan kata lain tidak berlaku
kontraknya.
3.
Selian dua praktek diatas tidak
sedikit pengusaha yang melakukan perpanjangan kontrak hingga lebih satu kali
bahkan tidak sedikit buruh yang menandatangani kontrak hingga puluhan kali yang
kemudian si buruh tetap menjadi buruh kontrak meskipun masa kerja telah
melebihi 3 tahun. Padahal dalam pasal 59
ayat 4 “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang didasarkan atas
jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua)
tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama
1 (satu) tahun”.
4.
Masalah lain yang sering di
langgar oleh pengusaha adalah dalam melakukan perpanjangan kontrak kerap
melebihi waktu berakhirnya masa kontrak sebelumnya. Sedangkan dalam ketentuan
pasal 59 ayat 5 “Pengusaha yang
bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7
(tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah
memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan”.
5.
Praktek lain yang saat ini marak
terjadi adalah, para majikan yang telah menggunakan buruh berstatus tetap,
berupaya menerapkan trik-trik culas dengan alasan sepi order mereka meliburkan
sementara buruhnya di beberapa bagian atau selurunya beberapa bulan, ketika
meliburkan ada majikan yang membayar upah buruh yang di liburkan tetapi tidak
sedikit dan bahkan mayoritas majikan tidak membayar buruhnya ketika meliburkan.
Setelah beberapa bulan mereka meliburkan maka si majikan kemudian memanggil dan
menyampaikan perusahaan tidak lagi sanggup untuk beroperasi, maka menawarkan
buruh untuk di PHK dengan pesangon alakadarnya/tidak sesuai dengan ketentuan.
Tetapi setelah berhasil melakukan PHK mereka kemudian menerima kembali buruh
baru dengan status kontrak.
6.
Fenomena terbaru yang berkembang
saat ini adalah semakin banyak pengusaha dengan kedok memberikan sarana
pendidikan dan pelatihan mereka mendirikan Pusat Pelatihan dan merekrut tenaga
kerja dengan tidak membayar upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, mereka
dipekerjakan sebagaimana layaknya buruh biasa yang juga menghasilkan barang
produksi. Banyak buruh yang salah dalam memandang karena seolah-olah perusahaan
baik dengan memberikan sarana pendidikan dan pelatihan gratis, padahal jika
kita pahami lebih dalam maka akan terkuaklah keculasan para pengusaha tersebut.
Mereka sejatinya menghindari tenaga kerja buruh baru dengan status masa
percobaan/training, sebab apabila buruh yang sudah mampu bekerja dengan baik di
Pusat Pelatihan tersebut maka mereka akan melakukan rekruetmen dengan setatus ikatan
dinas dengan masa kerja 3-5 tahun, padahal sejatinya mereka bekerja dengan
setatus buruh kontrak dengan masa kerja yang sangat panjang dan menindas buruh
mereka di kontrak sampai dengan 5 tahun, dan apabila belum selesai masa
kontrak/ikatan dinas buruh ingin keluar dari perusahaan maka mereka diberikan
denda sebanyak biaya pendidikan dan pelatihan perusahaan. Prkatek ini dapat
kita temukan di PT UCC begitu juga praktek yang hampir sama dilakukan di PT.
Jaba Garmindo. Jika kita memeriksa ketentuan perundang-undangan disitu dijelaskan
didalam pasal 58: (1) “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu
tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja”. (2)
Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.
Bagaimana Kelas Buruh dan Rakyat Bersatu
Melawan Sistem Buruh Kontrak dan Outsourcing?
Disebabkan zaman sekarang adalah zaman
imperialisme, maka persoalan pokok kelas buruh dan rakyat adalah berjuang
melawan setiap bentuk kebijakan yang dikeluarkan oleh rezim yang berkuasa di
negeri ini yaitu rezim pengabdi setia imperialisme. Di zaman imperialisme sistem
yang berkembang di Indonesia adalah sistem masyarakat setengah jajahan dan
setengah feudal sehingga kelas buruh tidak bisa berdiri sendiri dan berjuang
sendiri karena yang dihisap dan ditindas selain klas buruh adalah kaum tani
yaitu klas mayoritas dan seluruh rakyat tertindas dan tertindas lainnya. Dan
skala penghisapan dan penindasan imperialisme mencakup kelas buruh, rakyat dan
bangsa di berbagai negeri jajahan dan setengah jajahan. Dalam pengertian
inilah, penting bagi kita sebagai rakyat dari suatu bangsa yang masih terjajah
(setengah jajahan dan setengah feudal) bernama Indonesia untuk mengobarkan
watak perjuangan anti-imperialisme dan anti-feudalisme. Tanpa perjuangan
anti-imperialisme dan anti-feodalisme yang gigih, kita tak lebih dari bangsa
kuli yang akan terus diperbudak oleh Imperialis.
Demikian juga dalam mensikapi masalah
sistem buruh kontrak dan outsourcing ini. Di tengah situasi pemiskinan yang
semakin mencekik buruh dan massa rakyat luas ini, berbagai upaya propaganda
yang menerangi kenyataan untuk meningkatkan kesadaran kaum buruh harus terus
ditingkatkan dan diluaskan. Kemudian diorganisasikan dalam wadah serikat buruh
sejati dan melakukan bentuk-bentuk perjuangan massa melalui organisasi massa
buruh dan kerjasama dengan ormas rakyat lainnya harus lebih diperkuat
persatuannya. Pengorganisasian massa, cara kerja massa yang memadukan
konsolidasi organisasi dengan gerakan propaganda yang massif dan intensif harus
kita tingkatkan kualitas dan kuantitasnya.
Agar dapat memecahkan pengorganisiran buruh
kontrak dan outsourcing maka Metode maupun taktik-taktik kerja pengorganisasian
yang tepat harus di rumuskan sesuai dengan kondisi obyektif tersebut. Sebab
apabila tidak dapat memecahkan persoalan tersebut maka gerakan serikat buruh
lambat tapi pasti akan mengalami kehancuran karena tidak dapat berkembang, masa
depan buruh di Indonesia dapat di pasikan akan menjadi buruh kontrak seiring
dengan usaha yang keras dilakukan oleh pemerintah agar dapat melegalkan praktek
ini ke dalam Undang-undang Ketenagakerjaan, dan saat ini beberapa pimpinan serikat pekerja/buruh
justru ingin memperkuat praktek sistem buruh kontrak dan sistem Outsorching dengan
cara mendesakan kepada pemerintah agar mengeluarkan peraturan menteri, hal
inilah yang mendasari kaum buruh harus terus waspada dan kritis dengan berbagai
upaya yang dijalankan pemerintah dan berbagai kalangan yang seolah-olah pro buruh akan tetapi pandangan dan pendiriannya justru mendukung praktek sistem buruh kontrak dan
outsourching di langgengkan di Indonesia.
Hidup Buruh Indonesia!
Hidup Persatuan Rakyat Indonesia!
Yaaaa teruskannn terussss bersatuuu sampai gaji kita 200000000 per bulan dan kita semua di phk habis gitu kita sekalian garong aja pabriknya. Hidup buruhhhh
BalasHapusPertahankan....buruh.......sampai kapan pun
BalasHapus...jngan terima harga diri di injak2 management.....kita berhak menyampaikan aspirasi untuk menuju yang lebih baik....