Page

Kamis, 22 November 2012

Mahkamah Agung Tolak Pengaduan Hakim Nakal


Pernyataan Pers:
“Mahkamah Agung Tolak Pengaduan Hakim Nakal”

Mahkamah Agung RI kembali menorehkan citra buruk sebagai institusi penegak hukum terutama di kalangan buruh Indonesia. Maka tidak heran buruh lebih memilih turun ke jalan, melakukan aksi demonstrasi daripada mengadukan nasib kepada instutusi negara. Mahkamah Agung diharapkan dapat menjadi alat untuk menegakkan keadilan bagi rakyat, namun yang terjadi adalah sebaliknya. Ketika buruh mengadu ke Mahkamah Agung justru di tolak oleh Mahkamah Agung.

Rabu, 14 November 2012 buruh Adidas Mizuno Specs mendatangi kantor Mahkamah Agung untuk melaporkan dugaan pelangggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang diduga dilakukan oleh seorang Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung dengan insial (BR). Hakim (BR) diduga menjadi dalang dalam melakukan kriminalisasi Omih, buruh pabrik sepatu Adidas Mizuno Specs, yang sempat mendekam di jeruji besi selama 6 (enam) hari karena dianggap mengirimkan sms teror dan melakukan tindakan PHK terhadap 1300 orang buruh. Bahkan terlibat aktif dalam proses penghalang-halangan pembentukan Serikat Buruh yang merupakan hak fundamental bagi buruh. Selain itu, Hakim (BR) diduga melakukan mediasi dalam pemberlakuan upah di pabrik Adidas Mizuno Specs.
 

Sebelum buruh mendatangi Mahkamah Agung, buruh Adidas Mizuno Specs melalui kuasa hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta telah mengirimkan surat resmi tertanggal 11 November 2012, yang berisi pengaduan sekaligus permohonan untuk melakukan pengaduan langsung dengan membawa bukti berikut saksi. Namun kepercayaan buruh terhadap institusi penegak hukum ini berbuah pahit, ketika menyambangi kantor Mahkamah Agung, pihak Mahkamah Agung justru menutup pagar dan menolak laporan buruh. Adapun rentetan peristiwa penolakannya adalah sebagai berikut:

  1. Sekitar pukul 12.50 buruh tiba di Mahkamah Agung, pihak buruh menyampaikan bahwa telah mengirimkan surat untuk pengaduan langsung sambil menunjukkan tanda terima surat dan ingin melakukan pengaduan langsung terkait dengan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Hakim (BR) yang berkantor di Mahkamah Agung.
  2. Selang waktu 10 menit, pihak Mahkamah Agung memberitahukan bahwa silakan pihak LBH Jakarta mengecek surat tersebut sendiri di Bagian Umum dan pihak LBH Jakarta menyatakan bahwa kehadiran buruh bukan untuk mengecek keberadaan surat tetapi untuk melakukan pengaduan langsung.
  3. Sekitar pukul 13.15 pihak Mahkamah Agung meminta pihak 1 (satu) orang dari LBH Jakarta untuk membicarakan struktur surat yang ditujukan ke Mahkamah Agung dan pihak LBH Jakarta sekali lagi menegaskan kehadiran buruh adalah untuk melakukan pengaduan langsung.
  4. Namun hingga pukul 14.20 tidak ada respon apapun dari Mahkamah Agung dan pihak buruh tetap menunggu di depan pagar yang terkunci rapat. Akhirnya pihak buruh menyatakan akan melaporkan peristiwa ini pada Ombudsman RI jika tidak di terima. Sekitar pukul 14.25 pihak Mahkamah Agung hanya memperbolehkan 2 (dua) orang untuk masuk, namun pihak buruh keberatan karena selaku saksi tidak bisa masuk dan hanya bermaksud untuk membuat peristiwa menjadi terang sehingga meminta 10 (sepuluh) orang untuk masuk, tetapi pihak Mahkamah Agung menyatakan “jika tidak mau ya tidak usah laporan”.
  5. Dari awal sampai dengan akhir yaitu selama 2 (dua) jam pihak kuasa hukum dan buruh hanya didepan pagar, sama sekali tidak diperbolehkan untuk masuk ke dalam.
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 (3) dan Pasal 43 UU Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung melakukan pengawasan internal terhadap tingkah laku hakim dan jika terdapat pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diperiksa oleh Mahkamah Agung  dan/atau Komisi Yudisial. Komisi Yudisial RI melakukan pengawasan secara eksternal sedangkan Mahkamah Agung melakukan pengawasan internal, seharusnya Mahkamah Agung lebih serius dalam menanggapi laporan ini apalagi Hakim (BR) berkantor pada Mahkamah Agung. Komisi Yudisial sebagai pengawasan eksternal justru lebih serius dalam menanggapi laporan, bahkan ketika laporan berjumlah 15 (lima belas) orang seluruhnya di terima dan  semua saksi yang dibawa diberikan kesempatan untuk berbicara.

Kami, LBH Jakarta dan SBGTS-GSBI mengecam sikap Mahkamah Agung dalam menanggapi laporan ini, yang semakin menurunkan kepercayaan buruh terhadap lembaga peradilan. Kami menilai Mahkamah Agung juga mengabaikan pemberian pelayanan publik yang baik dan benar. Oleh karena itu, sesudah penolakan dari Mahkamah Agung, pada hari itu juga pihak buruh segera melapor kepada Ombusman RI. Bersama dengan ini kami mengecam sikap Mahkamah Agung yang gagal menertibkan hakim nakal dan mendorong Ombusman RI untuk memeriksa pengaduan ini sesegera mungkin dalam rangka mewujudkan peradilan yang bersih, cepat dan menegakan keadilan.

Jakarta, 15 November 2012
 Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan SBGTS GSBI
 
CP: Sudiyanti LBH Jakarta (0817 730150), Rudi GSBI (0818 0897 4078)













Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.