Latar Belakang
Sejak dua bulan terakhir isu tentang kenaikan upah 2013 telah menjadi
salah satu perbincangan hangat dalam gerakan buruh. Sebagaimana diketahui, dari
23 provinsi yang telah menetapkan Upah 2013 angka kenaikannya cukup signifikan.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin bahkan berani mengklaim bahwa
kenaikan tahun ini rata-rata mencapai 40% atau yang tertinggi dalam sejarah
upah buruh di Indonesia. Meski demikian kaum buruh tidak boleh lengah atas
situasi obyektif yang demikian, karena kenaikan upah ini masih berpeluang untuk
mendapatkan hambatan dalam pelaksanaannya.
Ditengah situasi yang demikian, sudah seharusnya kaum buruh tetap
menjaga agar kenaikan upah yang telah diraih dapat dipertahankan dan dalam
implementasinya dijalankan sesuai dengan ketetapan. Kaum buruh harus pandai
menggunakan berbagai momentum yang ada untuk terus meneriakkan tuntutan pokok
atas upah ini. Jika berbicara momentum, bulan Desember adalah bulan yang penuh
dengan momentum yang dapat digunakan untuk melanjutkan kampanye soal upah.
Tanggal 9 Desember adalah Hari Anti Korupsi Sedunia, 10 Desember peringatan
Hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia dan tanggal 18 Desember diperingati
sebagai Hari Buruh Migran Internasional.
Hari Anti Korupsi sedunia yang selalu diperingati setiap tanggal 9
Desember memiliki sejarah yang panjang. Korupsi dalam perkembangannya telah
menjadi sebuah penyakit yang membawa dampak kerugian luar biasa bagi rakyat. Pada
31 Oktober 2003, Sidang Umum PBB mengadopsi Konvensi Melawan Korupsi dan
meminta Sekjend PBB menunjuk United
Nations Office on Drugs and Crimes (UNODC) sebagai secretariat untuk
melaksanakan konferensi yang akan dihadiri negara pihak. Sidang kemudian
menetapkan 9 Desember sebagai Hari Anti Korupsi Sedunia untuk meningkatkan
kepedulian atas isu korupsi dan membuat aturan bagaimana tindakan dan
pencegahannya. Konvensi ini secara resmi mulai diberlakukan pada 2005.
Secara khusus di Indonesia isu korupsi juga menjadi sebuah topik panas
dan menyita perhatian public. Bahkan sebagai upaya yang “serius” dalam rangka
melawan korupsi, pemerintah merasa kurang hanya dengan memiliki pengadilan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), namun dimasa pemerintahan SBY dibentuk pula
sebuah lembaga Komisi Nasional yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden
bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tidak hanya berwenang untuk
melakukan penyidikan dan penyelidikan, KPK juga diberikan wewenang yang lebih
untuk melakukan dan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang disangka
menjadi pelaku korupsi.
Akan tetapi
kenyataannya lembaga ini sama
sekali tidak menjadi alat
negara yang efektif dalam menanggulangi masalah korupsi di Indonesia, atau
malah sebaliknya lembaga ini tak lebih seperti banyak lembaga-lembaga lain yang
dibentuk hanya untuk mengkanalisasi aspirasi rakyat, sebagai sebuah topeng
demokrasi yang sengaja diciptakan untuk mengelabui kebusukan rejim yang penuh
dengan kebohongan.
Pun demikian, Hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia juga telah menjadi
deklarasi universal dalam jangka waktu yang panjang. Negara Indonesia, sebagai
bentuk pengakuannya dan penghargaannya terhadap nilai-nilai HAM juga telah
membentuk sebuah lembaga bernama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
yang harapannya dapat menjadi motor bagi penegakan HAM di Indonesia. Namun
keberadaan lembaga ini secara hukum sangat terbatas kewenangannya. Lembaga ini
dapat melakukan penyidikan dan penyelidikan, namun tidak dapat melakukan lebih
dari itu. Lembaga ini tidak dapat melakukan penangkapan bahkan penahanan
terhadap orang-orang yang diduga melakukan pelanggaran HAM bahkan pelanggaran
HAM berat sekalipun. Sehingga berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang pernah
terjadi di tanah air seperti tragedy ’65, Tanjung Priok, Talangsari, Reformasi
’98 dan banyak lainnya tidak pernah mendapat jalan terang penyelesaiannya.
Sebagai upaya memperkuat penegakan HAM di Indonesia, pada tahun 2005
pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Kovensi Internasional tentang Hak Ekonomi Sosial
Budaya dan Hak Sipil Politik. Kedua kovenan ini diundangkan dalam UU No. 11
tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya
serta UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan tentang Hak Sipil dan
Politik. Kedua ratifikasi ini diharapkan mampu memberikan jaminan perlindungan
atas hak dasar seluruh rakyat Indonesia.
Namun demikian, lebih dari sepuluh tahun paska reformasi di Indonesia,
upaya-upaya penegakan HAM masih belum menunjukkan sebuah hasil yang
menggembirakan. Sehingga menjadi tanda tanya besar tentang kampanye demokrasi
di Indonesia yang selalu menjadi “bahan jualan” pemerintah SBY disetiap forum
Internasional yang diikuti, karena dalam kenyataannya negeri ini belum sama
sekali demokratis. Apa buktinya; berapa banyak sudah kaum tani yang meninggal
akibat konflik agraria? Berapa banyak kaum buruh yang mendapatkan tindakan
represif dari alat negara ketika menyelenggarakan pemogokannya? Berapa banyak
kaum miskin diperkotaan yang digusur dengan cara-cara paksa? Berapa banyak
intelektual yang diberangus kebebasannya untuk menyampaikan pendapat? Jika
benar masih begitu banyak pelanggaran HAM di Indonesia, apakah pantas kita akan sebut negeri ini demokratis, ataukah kita akan
katakan bahwa Indonesia saat ini sedang berada dibawah pemerintahan rejim yang
fasis.
Kapitalis Birokrasi : Aktor
Utama Tumbuh dan Berkembangnya Korupsi di Indonesia
Didalam aksi-aksi yang dilakukan oleh GSBI seringkali kita mendengar
sebuah teriakan slogan “kapitalis birokrasi, musuh rakyat”. Slogan ini seolah
telah melekat dan menjadi trade mark
bagi organisasi dalam setiap kampanye yang dilakukan. Apakah ini hanya sebuah
slogan semata ataukah ada makna mendalam yang terkandung didalamnya?
Kapitalisme birokrasi pada dasarnya adalah penyalahgunaan kekuasaan
oleh kaum birokrat yang duduk didalam formasi pemerintahan. Penyalahgunaan
kekuasaan yang dimaksud disini adalah bagaimana menggunakan jabatan didalam
kekuasaan pemerintahan bukan untuk melayani rakyat, sebaliknya hanya untuk
mempertahankan ataupun memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi kelompok
atau golongannya. Kapitalisme birokrasi memegang simpul kekuasaan untuk dirinya
sendiri, keluarga dan klik kekuasaannya, memberikan berbagai fasilitas dan
sumber daya terutama yang berhubungan langsung dengan aspek ekonomi sebagai
upaya kongkretnya untuk mendukung birokrasi.
Tidak mengherankan kemudian, jika korupsi, suap menyuap menjadi bagian
yang melekat dan telah mengakar dalam tubuh kapitalisme birokrasi. Praktek ini
telah membudaya dan sangat mudah kita temukan diberbagai tingkat pemerintahan,
mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi hingga nasional. Seolah
telah menjadi rahasia umum, bahwa segala bentuk urusan yang berkenaan dengan
aparat birokrasi di Indonesia akan lebih cepat selesai jika ada “uang pelicin”
yang menyertainya.
Dalam statemen-nya di media akhir tahun kemarin, Menteri Dalam Negeri
Gamawan Fauzi menyatakan bahwa selama tahun 2010-2011 ada 1,091 Pegawai Negeri
Sipil (PNS) yang terjerat kasus hukum, dari angka tersebut 60% adalah kasus
korupsi. Untuk kepala daerah ada 241 orang dan DPRD se-Indonesia mencapai 2,500
orang. Angka ini adalah sebuah kenyataan obyektif, fakta yang memperterang
bahwa birokrasi pemerintahan adalah sarang dari praktek korupsi di Indonesia.
Dari rilis laporan tahunan 2011 yang dikeluarkan oleh KPK, ada 152,96
trilliun rupiah potensi kerugian negara yang bisa diselamatkan. Hasil ini bukanlah
dengan penindakan, melainkan melalui upaya-upaya pencegahan, kordinasi, dan
sinergi dengan instansi pemerintah yang terkait, seperti BP Migas, Kementerian
ESDM, Kemenkeu, BPK, dan BPKP. Jumlah tersebut terdiri atas penyelamatan
keuangan negara dan kekayaan negara dari sector hulu migas sebesar Rp. 152,43
trilliun dan penyelamatan potensi keuangan negara akibat pengalihan hak Barang
Milik Negara (BMN) sebesar Rp. 532,20 milliar. Masih menurut KPK, dari tahun
2004-2011 kerugian negara yang diakibatkan oleh korupsi angkanya mencapai 39,3
trilliun.
Apabila kita terus telisik praktek-praktek korupsi yang sedang
berkembang beberapa tahun terakhir, kita juga temukan ada kasus bail out bank century, dimana ada dugaan
kerugian negara yang mencapai angka Rp. 6,3 trilliun, diduga sebagian dana ini
digunakan untuk membiayai kampanye pemenangan salah satu partai politik dalam
Pemilu 2009. Dalam perkembangannya, kasus bank Century ini belum juga mencapai
titik akhir, justru rakyat semakin dibuat bingung dengan perkembangan yang
terjadi karena kasus ini terkesan di ping-pong
wewenang tanggung jawab lembaga yang akan menuntaskan kasus ini. Belum lagi
beberapa kasus besar lainnya yang menyeret para petinggi partai politik seperti
kasus Wisma Atlet dalam pelaksanaan Sea Games 2011, pembangunan Sport Center
Hambalang di Bogor, Jawa Barat dan berbagai kasus korupsi lainnya.
Pos dan cadangan dana besar yang dimiliki oleh beberapa
lembaga/instansi pemerintah menjadi “sasaran empuk” bagi para koruptor, salah
satunya adalah dana yang tersimpan di Jamsostek (BUMN). Sedikitnya ada dana 110
trilliun uang buruh/pekerja swasta yang dikelola oleh PT. Jamsostek, belum
termasuk dana yang dikelola 3 BUMN lain seperti Asabri, Askes dan Taspen yang
totalnya diperkirakan mencapai angka Rp. 80 trilliun. Artinya, lembaga-lembaga
jaminan social ini mengelola tidak kurang dari Rp. 190 trilliun dari uang
seluruh pekerja di Indonesia. Tentu saja bukan angka yang kecil, sehingga wajar
sekali jika banyak kelompok berkepentingan besar mengincar trilliunan rupiah
yang ada dilembaga ini untuk kepentingan mereka. Bahkan dana segar yang cukup
besar ini juga sanggup menarik kepentingan Asian Development Bank (ADB), sebuah
lembaga keuangan internasional untuk terlibat bagaimana mendorong terciptanya
regulasi nasional di Indonesia, agar dana ini tidak lagi dikelola oleh BUMN,
sehingga lembaga seperti ADB sekalipun dikemudian hari dapat mengakses dana
tersebut.
Apa sesungguhnya yang ingin kita katakan atas tindakan korupsi yang
sudah mengakar di Indonesia? Korupsi secara nyata telah memberikan daya merusak
yang sangat dahsyat. Uang dalam jumlah besar yang seharusnya dapat digunakan
untuk memberikan subsidi kepada rakyat, memenuhi hak-hak dasar rakyat Indonesia
justru “dirampok” oleh sekelompok orang atau golongan tertentu melalui jabatan
dibirokrasi yang ditempati. Tentu saja, kita kaum buruh sebagai bagian dari
rakyat Indonesia tidak akan pernah rela sepeser-pun uang kita dimakan oleh para
kapitalisme birokrasi, apalagi melalui cara kotor berupa korupsi. Uang
trilliunan rupiah yang dikorupsi oleh birokrasi dibawah pimpinan SBY tentu akan
jauh lebih berguna ketika digunakan untuk membuka lapangan pekerjaan,
memberikan subsidi pendidikan atau kesehatan yang saat ini masih sangat sulit
didapatkan rakyat Indonesia.
SBY hanyalah seorang pendakwah anti-korupsi yang handal, tetapi tidak
sanggup melaksanakan apa yang selama ini di gembar-gemborkan.
Janji manisnya dalam upaya pemberantasan korupsi bertolak belakang dengan
kenyataan obyektif yang terjadi saat ini. Janji memimpin bangsa dengan bersih
tanpa korupsi yang selalu disebut dalam kampanye-nya menjadi tidak berarti
ketika pimpinan teras ditubuh partai yang dia pimpin banyak terlibat kasus
korupsi.
Setali tiga uang, keberadaan KPK sebagai lembaga yang
diharapkan dapat menjadi trigger dalam
penegakan kasus korupsi di Indonesia semakin menunjukkan bahwa sesungguhnya
lembaga ini tidak ada bedanya dengan berbagai lembaga lain yang dibentuk oleh
SBY. Lembaga ini semakin terbukti sebagai “kanal” yang berfungsi menjadi
penyalur aspirasi rakyat, tetapi tidak akan pernah dapat menyentuh atau
menghadap-hadapkan secara langsung antara masalah yang dihadapi oleh rakyat
dengan rejim SBY secara langsung. Lembaga ini tetap berada dibawah control
kekuasaan SBY, dan menjadi topeng
demokrasi yang sempurna untuk menutupi kebobrokan rejim SBY.
Fasisme Negara : Perampasan
atas Hak Dasar Rakyat Indonesia
Paska reformasi 1998, euphoria demokrasi menyeruak keseluruh lapisan
rakyat Indonesia. Ini tidak lepas dari keberhasilan perjuangan rakyat dalam
menggulingkan rejim fasis Soeharto yang selama 32 tahun memerintah di
Indonesia. Sejak reformasi ’98 pula, terjadi banyak perubahan di Indonesia,
terutama yang selama ini bagi sebagian besar orang dikatakan sebagai ukuran
sebuah negeri yang demokratis. Rakyat diberikan jaminan untuk berkumpul dan
berserikat, partai politik tidak dibatasi, dibangun sebuah system Pemilu dengan
pemilihan presiden secara langsung, pembentukan lembaga-lembaga seperti
Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan masih
banyak contoh lainnya.
Meski demikian, sebagai sebuah organisasi serikat buruh yang maju,
penting kiranya untuk tetap mengembangkan sebuah analisa yang mendalam, mencoba
menggali lebih dalam apakah benar sesungguhnya Indonesia saat ini sudah dapat
dikatakan sebagai negeri yang demokratis, sebagaimana kampanye SBY diberbagai
pertemuan Internasional dan mendapatkan sambutan hangat dari pimpinan negara
lain. Ataukah ini hanya sebuah demokrasi palsu, sebagai taktik yang dikembangkan
oleh rejim untuk mengelabui dan mengkanalisasi aspirasi rakyat.
Secara esensi, dalam sebuah pemerintahan disatu negeri kita hanya akan
mengenal dua hukum atau cara didalam memerintah, fasis dan demokratis. Tentu
saja, penting bagi kita kaum buruh untuk mengetahui secara lebih mendalam
apakah sesungguhnya fasisme itu.
Dalam pengertian umum sebagaimana sering dikemukakan oleh intelektual
borjuasi diperkotaan, fasisme hanya diartikan sebagai sebuah isu yang
berkembang diinternal kalangan klas borjuasi semata. Fasisme hanya diukur
ketika rejim yang berkuasa melarang kelompok-kelompok lainnya, memberangus
pluralisme ataupun ketika terjadi pencabutan secara paksa atas hak-hak
demokratis individu ketika mereka mengekspresikan sebuah tindakan yang
berlawanan dengan rejim. Namun kita sebagai klas buruh tentu mempunyai definisi
yang berbeda dengan pengertian yang disampaikan oleh teoritisi borjuasi, kita
memandang bahwa fasisme adalah ekspresi kediktatoran yang dilakukan oleh rejim
ketika memerintah disatu negeri, menindas rakyat dan perjuangan rakyat yang
progresif dengan melakukan berbagai macam bentuk terror, baik yang sifatnya
terbuka maupun dalam bentuk terselubung, sebagai upaya menindas rakyat.
Dengan memahami pengertian yang demikian, kita dapat melakukan
penilaian apa sesungguhnya yang berlaku di Indonesia. Saat ini, rejim yang
berkuasa tengah menciptakan berbagai instrument atau peraturan hukum yang akan digunakan untuk melegitimasi
tindakan fasis mereka. Sebagai contoh adalah upaya pemerintah yang gencar untuk
menelorkan UU Penyelesaian Konflik Sosial (PKS), RUU Ormas, RUU Intelijen
ataupun RUU Kemanan Nasional. Apa esensi dibalik keinginan kuat pemerintah
tidak lain adalah untuk memberikan peluang kepada militer untuk kembali tampil
dalam setiap penyelesaian masalah yang berkembang di negeri ini, secara khusus
adalah menghadapi menguatnya aspirasi demokratis rakyat. Situasi sekarang
memang dapat kita katakan sebagai situasi yang “relative damai”, namun kita
tidak dapat secara gegabah menyimpulkan bahwa Indonesia saat ini adalah negeri
yang demokratis.
Kita dapat melihat kenyataan obyektif yang terjadi disekitar kita,
gagasan untuk pembentukan beberapa UU diatas menunjukkan kepada rakyat
Indonesia, bahwa rejim sedang bekerja keras untuk memperkuat barisan militer
mereka, mengoptimalkan kembali peranan militer untuk ambil bagian dalam setiap
aspek kehidupan rakyat Indonesia. Disisi lain, pemerintah beserta seluruh
jajarannya semakin gencar mempromosikan demokrasi palsu dengan mengarahkan
seluruh aspirasi demokratis rakyat ke lembaga-lembaga bentukan mereka, sehingga
pertentangan antara rakyat dengan pemerintah tidak mengemuka sebagai dan tidak
akan pernah muncul ke permukaan. Situasi demikian yang kita sebut sebagai
fasisme terselubung (silence facism).
Didalam media elektronik maupun cetak yang biasa kita saksikan setiap
hari, kita-pun melihat diberbagai tempat bagaimana kaum tani selalu dihadapkan
dengan moncong senjata dan peluru tajam ketika terjadi konflik agrarian,
bagaimana juga aksi-aksi buruh menuntut soal upah mulai dari tingkat pabrik
hingga nasional juga dihadapkan dengan tindakan represif kepolisian dan
dikriminalisasikan. Atau dalam bentuk lainnya, bagaimana aksi-aksi buruh yang
marak belakangan ini juga “dihajar” dengan menggunakan kelompok paramiliter/preman,
yang tentu saja kita pahami bahwa hanya kekuatan militer yang bisa memainkan
peranan sedemikian tersebut. Ketika kenyataan obyektifnya berbicara demikian, apakah kita masih tetap akan mengatakan
bahwa Indonesia saat ini adalah negeri yang demokratis?
Dibawah rezim SBY, pemberangusan Serikat buruh dan PHK massal terhadap
buruh yang berjuang untuk mendapatkan hak-hak dasarnya semakin meningkat sudah tidak
terhitung lagi jumlahnya, karena meskipun pemerintah telah meratifikasi 17 konvensi ILO,
termasuk di dalamnya mengatur masalah kebebasan berserikat. Dan menerbitkan Undang
Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja serta Undang
Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Akan tetapi hal ini tidak secara serta merta kebebasan
berserikat bagi buruh dapat dilaksanakan baik didalam maupun di luar perusahaan,
praktek anti serikat buruh sejati yang dilakuakan pengusaha terhadap pimpinan
serikat buruh dalam menjalankan fugsinya sebagai pimpinan didalam aktifitasnya
baik dalam lingkungan perusahaan maupun diluar perusahaan terus saja terjadi. Selain
PHK dan mutasi bagi buruh yang mendirikan serikat, watak anti serikat dilakukan
oleh para pengusaha sampai dalam bentuk intervensi terhadap serikat buruh
dengan mengatur keterlibatan pimpinan
dan anggota dalam mengikuti kegiatan organisasi.
Kasus PHK masal yang
dialami oleh seluruh pimpinan dan 1,300 anggotanya yang berafilial pada GSBI terjadi di PT. Panarub Dwikarya (perusahaan pembuat sepatu
Adidas dan Mizuno) hanya karena mereka berjuang menuntut uang rapelan dan perbaikan
kondisi kerja adalah salah satu contoh dari sekian banyak kasus yang sama menimpa
buruh di berbagai daerah di Indonesia yang ingin berjuang menuntut haknya, kriminalisasi
terhadap para pimpinan serikat buruh sudah menjadi hal yang biasa dilakukan
oleh pengusaha karena mendapatkan dukungan penuh dari negara.
Kasus penangkapan dan
pemenjaraan yang dialami sdri Omih buruh PT. Panarub Dwikarya yang hanya karena mengirim SMS berupa ancaman adalah
bentuk nyata bahwa sejatinya pengusaha
anti serikat, kasus yang sama juga dialami oleh anggota dan pimpinan GSBI
seperti Sdr Sartono dan Sahrudin yang
sampai dengan hari ini kasusnya masih di persidangkan di Pengadilan Negeri
Sukabumi.
Tindakan anti serikat
dan represif terhadap
keberadaan serikat buruh yang dilakukan oleh pengusaha sersebut cenderung di
biarkan bahkan justru didukung penuh oleh aparatus negara, sehingga hak
demokratis dan hak politik kaum buruh selalu dilanggar dan diinjak-injak dengan
sangat berani dan vulgar
dilakukan oleh pengusaha. Lemahnya negara dihadapan pengusaha/modal sampai saat
ini berakibat pada pembiaran terhadap
setiap pelanggaran dan sikap anti serikat yang dilakukan pengusaha, negara
tidak mampu menindak dengan tegas terhadap setiap pelanggaran yang terjadi.
Lemahnya negara pada
saat berhadapan dengan modal, sangat jelas terlihat dalam banyak kasus, tindakan anti serikat yang dilaporkan oleh pihak serikat
buruh tidak direspon apalagi sampai
dilakukan pengawasan terhadap pengusaha yang melakukan pelanggaran. Pihak
Disnaker selaku pihak yang seharusnya melakukan pengawasan dan penyelidikan
terjadinya tindakan anti serikat sangat
lamban dan tidak bisa bekerja sesuai dengan kewenangannya. Pelanggaran terhadap kebebasan berserikat mengalami
hal yang sama jika di laporkan pada pihak kepolisian sering ditolak dengan berbagai
macam alasan, dengan dalih tidak memiliki kewenangan mereka saling lempar
tanggung jawab pada setiap kasus pelangganran kebebasan berserikat. Berbeda
ceritanya apabila yang melaporkan adalah pengusaha, dalam waktu yang sangat
singkat kepolisian langsung meresponnya dengan cepat.
Dibawah pemerintahan rejim SBY yang demikian, hak-hak dasar buruh dan rakyat Indonesia akan terampas dan tidak
akan terpenuhi. Demokrasi yang sedang gencar dipromosikan hanya akan bersifat
“relative”, dalam pengertian ketika buruh dan gerakan rakyat lainnya bangkit
untuk menuntut dipenuhinya hak-hak demokratisnya dan mengganggu keberadaan
penguasa, maka dengan cepat mereka akan mencampakkan topeng demokrasinya,
menunjukkan wajah aslinya yang fasis dengan tindakan yang juga fasis.
Apa yang Harus Kita (Buruh)
Lakukan?
Dalam rangka peringatan hari anti korupsi sedunia tahun ini, menjadi
sebuah momentum yang tepat bagi kaum buruh untuk memperkuat kedudukan,
pendirian dan aspirasinya untuk menyuarakan hak-hak dasar yang selama ini
dirampas oleh pemerintah. Ketika kita memahami benar bahwa korupsi adalah
tindakan yang merugikan rakyat, maka menjadi penting bagi kaum buruh sebagai
bagian dari rakyat Indonesia untuk mengatakan tidak pada korupsi dan melawan
berbagai macam praktek korupsi.
Kaum buruh harus peduli dengan isu korupsi, karena pada hakekatnya
ketika kita melawan praktek korupsi yang sebagian besar dilakukan oleh
kapitalis birokrat, maka disitulah menunjukkan keberpihakan nyata kaum buruh
untuk memblejeti kapitalis birokrat sebagai salah satu musuh utama rakyat
Indonesia.
Pun demikian, momentum peringatan hari HAM sedunia dalam pandangan
organisasi juga menjadi sebuah situasi yang tepat untuk mengkampanyekan bahwa
sesungguhnya tidak ada demokrasi di Indonesia, dan sebaliknya saat ini rakyat
sedang menghadapi rejim yang fasis. Namun harus diakui bahwa dalam menjalankan
kepemimpinan fasisnya, SBY dapat membungkusnya dengan sangat rapi sekali melalui
demokrasi palsu yang sengaja dia ciptakan, sehingga kedudukannya sebagai
pelayan setia imperialisme tidak akan tergantikan oleh klik manapun yang ada di Indonesia.
Peringatan hari HAM sedunia kali ini adalah momentum yang tepat bagi
rakyat dan kaum buruh khususnya untuk mengkampanyekan isu soal upah sebagai
tuntutan utama, dan Kebebasan berserikat sebagai bagian dari hak dasar yang sudah seharusnya dijamin oleh
negara. Sudah seharusnya juga negara memberikan jaminan atas kebebasan
berserikat, tidak hanya sekedar membuat peraturannya namun juga memastikan
bahwa aturan tersebut diimplementasikan. Tanpa adanya jaminan atas kebebasan
berserikat dan menyampaikan pendapat, mustahil kaum buruh bisa berjuang untuk
perbaikan upahnya.
Kaum buruh dan seluruh rakyat Indonesia harus mengambil keuntungan
dari momentum ini untuk membangun sebuah persatuan multisektoral untuk
mengkampanyekan jauh lebih hebat tentang dua masalah besar ini, tentang
kapitalis birokrat yang korup dan rejim fasis yang telah merampas hak dasar
rakyat Indonesia. Sehingga rakyat Indonesia dapat mengetahui dengan terang
siapa musuh mereka sesungguhnya, rakyat tidak akan tertipu lagi dengan berbagai
topeng demokrasi yang saat ini sedang digunakan oleh SBY beserta jajaran
pemerintah yang menjadi mesin pendukungnya. Semakin kuat dan besar persatuan
yang dapat kita bangun, maka akan semakin mengucilkan kekuatan musuh yang saat
ini berkuasa.
Penutup
Demikian brosur propaganda yang diterbitkan organisasi dalam rangka
memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia dan Hari HAM Sedunia 2012. Menjadi
penting kemudian bagi seluruh tingkat organisasi, dari pimpinan hingga anggota
bahkan massa luas untuk mendiskusikan bahan propaganda ini, memahami esensi
dari isi yang tertuang dalam brosur ini, sebagai pengetahuan dan panduan dalam
memahami isu tentang korupsi dan HAM dihubungkan dengan kepentingan kaum buruh
di Indonesia.
Kaum buruh tidak boleh lelah belajar teori atau merasa puas diri
dengan pengetahuan yang telah dimilikinya, karena sesungguhnya malas belajar
adalah musuh utama bagi kaum buruh. Brosur ini juga dapat kawan-kawan
kembangkan dalam berbagai bentuk yang lebih mudah dan efektif untuk dipahami, sehingga
dapat menjangkau massa lebih luas. Kombinasikan antara pekerjaan memperdalam
teori dan memperhebat praktek berorganisasi, hanya dengan langgam yang demikian
organisasi kita akan besar dan setahap demi setahap mewujudkan cita-cita
perjuangannya. ##
Jakarta, Desember 2012
*Diterbitkan
dalam rangka memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia dan
Hari
Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia
ya Allah di Indonesia korupsi merajalela ya gan
BalasHapusayooo gan kita basmi tikus2 nakal itu
BalasHapus