Page

Selasa, 26 Februari 2013

Gerakan (Buruh) Perempuan Melawan Penangguhan Upah dan Cabut Kepmen 231/2003


Diterbitkan oleh Departemen Diklat dan propaganda DPP-GSBI
Dalam Rangka Memperingati Hari Perempuan Internasional 2013 

Pengantar 
Tanggal 8 Maret adalah Hari Perempuan Internasional, merupakan hari yang sangat bersejarah bagi kaum perempuan diseluruh dunia. Hampir seluruh dunia merayakan peristiwa ini, tak terkecuali di Indonesia. Dan sudah menjadi tradisi dalam pergerakan di Indonesia termasuk diorganisasi GSBI, Hari Perempuan Internasional selalu diperingati dengan berbagai aktivitas terutama diskusi-diskusi dan aksi-aksi massa guna menyuarakan aspirasi dan tuntutan rakyat atas persoalan kaum perempuan, dan persoalan rakyat secara umum. 

Bagi GSBI peringatan Hari Perempuan Internasional (HPI) tahun ini sangat intimewa karena dunia sedang berada dalam situasi dilanda krisis ekonomi akut terutama di negara-negara imperialis, bahkan dampaknya sampai merambat kenegera-negara berkembang seperti Indonesia, krisis yang terjadi sejak tahun 2008 hingga saat ini belum dapat terselesaikan.

Hari Perempuan Internasional (HPI) di Indonesia selayaknya tidak hanya di peringati secara seremonial semata dan tidak hanya mencerminkan perjuangan dari kaum perempuan semata, tetapi harus lebih dari itu, yaitu  perjuangan yang seharusnya dilakukan oleh seluruh rakyat tertindas di Indonesia, dengan persatuan seluruh rakyat Indonesia untuk pemenuhan hak sosial, ekonomi, politik dan budaya kaum perempuan serta untuk pembebasan seluruh rakyat Indonesia dari belenggu dominasi imperialisme dan feodalisme.

Tulisan ini disusun dan diterbitkan olah Departemen Diklat dan Propaganda Dewan Pimpinan Pusat Gabungan Serikat Buruh Independen, secara khusus akan mengulas tentang persoalan pokok kaum perempuan Indonesia di tengah situasi krisis yang terjadi di tubuh Imperialisme, dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2013. Agar dapat dipergunakan sebagai bahan diskusi bagi pimpinan dan anggota GSBI di semua wilayah serta kaum buruh secara luas.

Penindasan Kaum Perempuan Dalam Sejarah Perkembangan Umat Manusia
Kaum perempuan merupakan sebuah golongan dalam masyarakat, mempunyai peran yang menentukan dalam produksi maupun segi kehidupan yang lain. Peran ini yang memiliki andil besar dalam perkembangan sejarah umat manusia. Dalam masyarakat komunal primitif, di samping mengemban tugas mulia dalam mengandung dan melahirkan anak, kaum perempuan juga terlibat dalam mengembangkan teknologi pertanian dan peternakan di saat kaum laki-laki berburu atau melakukan kerja produksi di tempat yang jauh dari pemukiman. Pengembangan teknologi pertanian ini yang membantu umat manusia dapat menyimpan dan menjaga bahan makanan untuk waktu tertentu. Sedangkan aktivitas kaum perempuan dalam kehidupan sehari-hari di pemukiman komunal membantu perkembangan berbagai kerajinan tangan, penggunaan api, obat-obatan, dan berbagai teknik dalam kehidupan keluarga dan pemukiman.

Seiring dengan meningkatnya pekerjaan produksi, kemampuan manusia dalam mengumpulkan makanan, berburu, dan pertanian, meningkat menjadi pengembangan teknik peperangan untuk mengamankan daerah, memperluas komunitas menuju peradaban yang lebih tertata. Kaum perempuan dan laki-laki terpisah dalam pembagian kerja produksi ini. Karena pekerjaannya yang lebih banyak berada di luar pemukiman, kaum laki-laki mempunyai kesempatan berinteraksi dan mendatangi pemukimam komunal komunitas yang lain. Pemisahan ini membuka jalan pembagian kelas dalam masyarakat.

Pembagian kelas dalam masyarakat, pada tahap perkembangan sejarah selanjutnya membuka zaman baru umat manusia, yaitu zaman penindasan dan penghisapan. Semakin meluasnya wilayah pertanian dan pemukiman sebuah komunitas membawa pada pengembangan struktur ekonomi dan politik. Sebuah model pemerintahan mulai diterapkan, karena mulai muncul dan berkembangnya kelas yang berkuasa dalam masyarakat. Kelas Tuan Budak merajai dan menguasai segi-segi kehidupan manusia, mereka berdiri diatas darah dan keringat kelas budak yang mereka taklukkan dengan kekerasan. Perkembangan sejarah umat manusia dalam hubungan produksi penindasan ini, menjerumuskan kaum perempuan menjadi subordinat dalam masyarakat. Tugas-tugas domestik kerumahtanggaan dianggap sebagai tugas remeh temeh dan rendah dalam sistem baru masyarakat. Kekuatan ekonomi dan politik dari kelas tuan budak yang menindas dijaga dan dikembangkan melalui cara-cara kekerasan.

Penindasan budak oleh tuan (pemilik) budak ini yang mengilhami perlawanan budak kepada tuan budak dan menuntut pembebasan. Meningkatnya perlawanan budak, membuat tuan budak terpaksa memerdekakan budak-budaknya dan merubah klas budak menjadi tani hamba. Sedangkan tuan budak, karena kini hanya memiliki tanah sebagai harta pribadinya; maka berubah menjadi tuan (pemilik) tanah.

Akan tetapi, tuan-tuan tanah ini tentu saja tidak ingin kehilangan 100 persen tenaga kerjanya selama ini. Maka, diciptakanlah budaya patriarkhi. Perempuan dibebaskan secara relatif dengan membatasi ruang gerak perempuan, serta menciptakan opini mengenai watak dasar perempuan. Budaya patriarkhi mengidentikkan perempuan sebagai manusia yang lembut, santun, lemah gemulai, dan hanya boleh bekerja dalam lingkungan terbatas. Fase feodal ini memang sengaja memposisikan perempuan lebih rendah dari laki-laki demi kepentingan untuk menundukkan tani hamba yang memang mayoritas adalah perempuan.

Kedatangan bangsa asing ke Indonesia yang melakukan kolonialisme terhadap Indonesia, tidak pernah menghancurkan sistem feodalisme dalam masyarakat. Mereka justru menjadikannya sebagai basis sosialnya dalam melakukan penjajahan terhadap rakyat Indonesia. Sebab, mereka membutuhkan keberadaan tuan-tuan tanah tersebut untuk pendirian perkebunan luas sebagai jaminan suplai bahan mentah bagi industri di negara mereka. Mereka juga membutuhkan tenaga kerja murah agar dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, dan industri rakitan di dalam negeri Indonesia sebagai pasar bagi hasil produksi industri mereka serta konsumen atas barang dagangannya. Kolonialisme juga memanfaatkan budaya patriarkhi untuk mengkebiri perempuan Indonesia.

Dalam fase-fase selanjutnya, ketika Indonesia telah merdeka sekalipun, penindasan tersebut masih terus berlangsung. Hal ini karena kemerdekaan bangsa Indonesia telah dikhianati oleh Perjanjian Damai Konferensi Meja Bundar yang menjadikan Indonesia sebagai negara setengah jajahan dan tetap menggunakan feodalisme sebagai basis sosialnya. Revolusi Hijau yang digencarkan Orde Baru tidak membongkar hubungan produksi feodalistik yang menjadi penyangga budaya patriarkhi. Akibatnya, kaum perempuan menjadi kalangan yang menanggung beban paling berat. Partisipasi perempuan dalam proses produksi pertanian di pedesaan semakin hilang, dan pergilah mereka bermigrasi ke kota atau luar negeri untuk mencari sumber penghidupan bagi mereka dan keluarganya.

Sudah dapat kita pelajari secara singkat, sumbangsih tenaga produkitif kaum perempuan yang bahu membahu bersama kaum laki-laki membangun keluarga dan pemukiman komunalnya, semakin direndahkan dan ditindas oleh kelas yang berkuasa. Dari sistem masyarakat perbudakan, feodalisme, dan kapitalisme (dimana sampai hari ini telah mencapai tahap tertingginya, yaitu kapitalisme monopoli atau imperialisme), kaum perempuan menjadi golongan dalam masyarakat yang mendapat penindasan dan penghisapan. Kedudukan kaum perempuan sebagai kelas buruh, kaum tani, atau rakyat pekerja yang lain memiliki hubungan erat dan tidak terpisahkan dengan kaum laki-laki.

Sejarah Singkat Hari Perempuan Internasional
Pada bulan Februari 1908, ratusan perempuan di Amerika Serikat menyelenggarakan aksi massa besar-besaran menuntut hak-hak ekonomi dan politik bagi kaum perempuan. Pada tahun 1909, sekitar 20.000-30.000 perempuan buruh garmen di Amerika Serikat menggelar aksi massa menuntut kenaikan upah dan 8 jam kerja dalam sehari. Aksi massa ini digelar selama 13 minggu berturut-turut. Aksi kali ini memberikan pengaruh yang cukup luas terhadap kebangkitan pekerja perempuan dan bahkan meluas hingga ke Eropa yang pada akhirnya mereka meraih keberhasilan dengan dipenuhinya tuntutan-tuntutan mereka.

Pada tahun 1910, dalam Kongres Internasional Perempuan Kelas Buruh di Copenhagen-Denmark, disepakati bahwa momentum tersebut diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional. Meskipun pada saat itu belum disepakati tanggal-nya. Adalah Clara Zetkin, seorang perempuan Jerman, yang mengusulkan bahwa kaum perempuan di seluruh dunia harus memiliki momentum tertentu dalam setiap tahun dimana mereka dapat memperingatinya sebagai bentuk penghormatan atas kebangkitan kaum perempuan dalam perjuangan menuntut hak-hak sosial-ekonominya.

Proses penetapan waktu tersebut berjalan selama 7 tahun berikutnya. Minggu terakhir Februari 1913, kaum perempuan di Rusia menyelenggarakan demontrasi untuk menentang perang dunia I. Setahun kemudian demonstrasi ini meluas ke seluruh Eropa, jatuh pada minggu pertama Maret.

Tahun 1917, lagi-lagi kaum perempuan di Rusia melakukan demonstrasi besar pada minggu terakhir Februari dengan mengusung tuntutan “Bread and Peace!” (Roti dan Perdamaian). Empat hari kemudian, tepat tanggal 8 Maret dalam kalender Masehi, kekuasaan Tsar Rusia jatuh. Kemudian kaum perempuan mendapatkan hak pilih mereka. Sejak saat itu 8 Maret ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasional sebagai penghargaan atas kebangkitan kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-hak sosial-ekonominya. Dan selama masih ada diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan, maka tentu saja momentum itu harus diperingati dengan berbagai bentuk kegiatan yang tetap dalam kerangka perjuangan menuntut hak-hak sosial-ekonomi perempuan.

Problem Pokok Kaum Perempuan Indonesia
Indonesia merupakan negara Setengah Jajahan dan Setengah Feodal (SJSF). Dikatakan sebagai Negara SJSF karena adanya dominasi imperialisme terhadap hubungan produksi lama, yakni feodalisme. Dengan kata lain, feodalisme menjadi basis sosial bagi imperialisme dalam melakukan penindasan terhadap rakyat Indonesia. Dengan demikian, rakyat Indonesia ditindas dalam dua bentuk penindasan sekaligus.

Indonesia resmi menjadi negara SJSF setelah ditandatangainya Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949 yang memberikan berbagai keuntungan bagi imperialisme. Dominasi imperialisme terhadap Indonesia telah melahirkan klas borjuis komparador yang menjadi kaki tangannya. Sementara feodalisme, tetap mempertahankan kekuasaan tuan-tuan tanah besar. Persekutuan jahat antara imperialisme dan feodalisme telah membentuk pemerintahan diktator bersama klas borjuis besar komparador dan tuan tanah yang senantiasa menindas rakyat Indonesia demi melayani kepentingan majikannya, imperialisme.

Sistem Setengah Jajahan dan Setengah Feodal telah menempatkan kaum perempuan Indonesia dalam belenggu diskriminasi, yakni ada perbedaan hak dibandingkan dengan laki-laki. Kesenjangan upah `di Indonesia dengan selisih hingga 19% pada tahun 2012, perempuan memperoleh upah rata-rata 81% dari upah laki-laki, meskipun memiliki tingkat pendidikan dan pengalaman yang sama. Di Indonesia, perempuan mewakili sekitar 38% layanan sipil, tetapi lebih dari sepertiganya melakukan pekerjaan “tradisional”, seperti mengajar dan mengasuh, yang cenderung memperoleh upah kurang dari pekerjaan yang didominasi laki-laki.

Selain itu, persoalan lainnya adalah kesetaraan dalam soal upah dengan kaum laki-laki. Konvensi ILO No. 100 (yang diratifikasi dalam UU No.80 tahun 1957), Declaration of Human Right pasal 2, UU No.39 tahun 1999 pasal 38 tentang HAM dan Undang-Undang No. 7 tahun 1984 telah menjamin kesetaraan upah bagi buruh perempuan dan laki-laki. Namun kenyataan dilapangan masih banyak ditemukan penyimpangan. Sebagian besar buruh perempuan hanya mendapatkan upah 2/3 dari buruh laki-laki. Kenyataan yang diskriminatif ini dikuatkan dengan adanya Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 4 tahun 1988 yang berisi bahwa perempuan tidak mendapatkan tunjangan kesehatan bila suami sudah mendapatkan hak yang serupa. Gaji minim yang diterimanya telah memaksa 44% buruh pabrik perempuan untuk bekerja lebih panjang, lebih dari 75 jam/minggu. Sedangkan buruh perempuan yang bekerja penuh waktu (35-74 jam/minggu) hanya sebesar 48%. Bandingkan dengan persentase buruh laki-laki yang bekerja penuh waktu yang mencapai 71,6%.

Dalam masyarakat Indonesia yang Setengah jajahan dan Setengah Feodal kaum perempuan dari keluarga kelas buruh dan kaum tani memiliki jumlah yang sangat besar. Saat ini mereka menderita oleh penindasan dan penghisapan yang secara terus menerus dilakukan oleh imperialisme dan feodalisme melalui kekuasaan bersama borjuasi besar dan tuan tanah. Kaum perempuan Indonesia mengalami penindasan dalam tiga bentuk, yaitu: dominasi imperialisme terhadap bangsa Indonesia, penghisapan dan penindasan kelas borjuis besar komprador dan tuan tanah, dan dominasi budaya feodal-patriarkal dan liberal-machoisme dari kaum laki-laki warisan feodalisme dan dominasi imperialisme.

Krisis hebat yang mendera imperialisme memaksa mereka untuk terus menciptakan skema penindasan dan penghisapan baru terhadap seluruh rakyat didunia, termasuk Indonesia sebagai salah satu negeri setengah jajahannya. Tentu saja, skema-skema yang dipromosikan ini akan berdampak kepada kaum perempuan. Sebagai contoh, sejak krisis yang terjadi pada periode 1997/1998, bagaimana kemudian imperialisme mempromosikan apa yang disebut sebagai flexibilitas perburuhan, sebuah mekanisme perburuhan yang lebih banyak mengatur bagaimana mempermudah penempatan dan bagaimana cara menempatkan tenaga kerja dengan mengesampingkan pemenuhan atas hak-hak normatifnya. Kebijakan kongkret yang dihasilkan adalah system kerja outsourcing dan kerja kontrak jangka pendek yang sama sekali tidak memberikan jaminan kepastian kerja terhadap kaum buruh dan menghilangkan berbagai hak dasar yang seharusnya diterima oleh buruh. 

Contoh lainnya adalah bagaimana imperialisme dengan gencar mendorong skema bernama Forum Global tentang Migrasi dan Pembangunan (Global Forum on Migration and Development) sebagai salah satu jalan keluar dari krisis ekonomi yang terjadi. Imperialisme memahami benar, bahwa selama ini, proses migrasi tenaga kerja telah menghasilkan dana segar melalui remitansi yang angkanya sangat fantastis. Remitansi diseluruh dunia dari proses migrasi tenaga kerja ini mencapai US $ 351 miliar dan akan meningkat hingga US $ 441 miliar pada 2014. Di Indonesia sendiri, devisa yang diperoleh dari remitansi buruh migrant Indonesia angkanya mencapai Rp. 66 trilliun pada 2009 dan diharapkan bisa terus meningkat hingga Rp. 125 trilliun (hampir 10 persen dari APBN Indonesia). Dari sekitar 8 juta BMI yang sekarang bekerja diluar negeri dan lebih dari 200 juta pekerja migrant diseluruh dunia, mayoritas adalah kaum perempuan. Sedangkan kita semua telah tahu bagaimana nasib buruh migrant Indonesia khususnya perempuan yang selama ini bekerja diluar negeri, tindakan kekerasan, pelecehan, perampasan dan berbagai resiko kerja terburuk lainnya telah mereka hadapi sejak pra-keberangkatn, di negara penempatan hingga ketika mereka kembali ke Indonesia.

Secara umum, perempuan Indonesia menderita di bawah penindasan dan penghisapan imperialisme dan feodalisme dalam negeri yang berwujud:

Secara Ekonomi; Adanya diskriminasi jenis kelamin dalam kerja produksi. Misalnya sistem pengupahan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, tunjangan keluarga dan tidak dipenuhinya hak natural kaum perempuan seperti haid, hamil, dan melahirkan.

Secara Politik; Masih terhambatnya keterlibatan kaum perempuan dalam gelanggang politik untuk memperjuangkan hak-hak dasarnya sebagai perempuan. Meskipun di beberapa daerah ada kepala daerah dari perempuan akan tetapi sama sekali tidak mewakili aspirasi sejati dari kaum perempuan Indonesia (terutama dari kelas buruh, kaum tani, dan rakyat pekerja lainnya). Karena mereka umumnya tetap merupakan pelayan dan boneka yang mengabdi kepada imperialisme dan feodalisme, dan hanya mementingkan kepentingan kelasnya semata.

Secara Budaya; masih berkembangnya warisan lama ideologi feodal-patriarkal, ideologi ini tidak hilang bahkan semakin menguat dan bercampur dengan budaya liberal imperialis yang konsevatif. Kebudayaan mencerminkan bangunan bawah yang berdominasi, sehingga kebudayaan yang ada dan dipertahankan oleh rezim ini mengabdi kepada kepentingan ekonomi-politik imperialisme dan feodalisme.

Penindasan, penghisapan, perlakuan diskriminatif dan terlanggarnya hak dasar sosial, ekonomi, budaya dan politik kaum perempuan yang begitu hebat juga dialami oleh seluruh rakyat Indonesia saat ini, hal ini akibat dari masih bercokol kuatnya budaya Feodal-Patriarchal serta berdominasinya kekuatan Imperialisme di Indonesia yang masuk dan kokoh berdiri atas bantuan para pembantunya dalam negeri yaitu para borjuasi besar komprador dan tuan tanah yang saat ini dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagai bawahan atau boneka Imperialis tentu harus menuruti segala kehendak tuan  Imperialisnya saat ini yaitu AS. Di bawah rejim penghamba Imperialis inilah rakyat Indonesia terus dihimpit dengan berbagai penghisapan dan penindasan, berbagai cara digunakan untuk menyenangkan tuan Imperialisnya, kita memahami bahwa Imperialisme sangat bernafsu pada kekayaan yang dimiliki Indonesia, mulai dari bahan tambang, sumber bahan mentah untuk Industri sampai pada jumlah penduduk yang sangat cocok untuk pasar bahkan untuk penyedia tenaga kerja/buruh.

Politik Upah Murah dan Penangguhan Upah adalah Paket Kebijakan Rezim yang Menyengsarakan Kaum (Buruh) Perempuan Indonesia 
Rezim SBY-Budiono sukses mempertahankan skema politik upah murah bagi buruh Indonesia, konsepsi upah minimum yang dijalankan oleh rezim sejak masa kolonialisme Belanda hingga sekarang sama sekali tidak didasarkan pada pemenuhan kebutuhan riil buruh beserta keluarganya, hal ini dapat dilihat dari kebijakan negara yang mengatur tentang penetapan upah minimum provinsi (UMP) atau Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) yaitu permen nomor 13 tahun 2012, Peraturan yang baru saja disahkan oleh rezim SBY ini hakekatnya masih sama dengan permen sebelumnya yaitu Permenaker nomor 17 tahun 2005 dimana upah hanya didasarkan pada pemenuhan hidup fisik minimum bagi buruh lajang, meskipun didalamnya ada penambahan 14 komponen kebutuhan hidup buruh. 

Bukti lain yang menjelaskan bahwa rezim SBY tidak pernah serius berusaha meningkatkan kesejahteraan buruh adalah penangguhan pelaksanaan upah minimum. Kebijakan negara untuk melegalkan penangguhan upah minimum ini telah diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan nomor 13 Tahun 2003 yaitu didalam pasal 90 ayat 2 dan 3 yang berbunyi “ (Ayat 2) Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan. Tata cara penangguhan pembayaran upah minimum ini diatur dalam Keputusan Menteri nomor 231 Tahun 2003.

Skema penangguhan pelaksanaan upah minimum yang dilegalkan oleh pemerintah SBY ini merupakan bentuk nyata dari perampasan upah, tujuannya tak lain adalah untuk memenuhi kepentingan dari tuannya yaitu Imperialisme agar upah buruh dapat ditekan serendah mungkin sehingga dapat memperoleh keuntungan yang besar. Atas desakan para pengusaha-pengusaha komprador dan imperialis yang tidak bersedia menaikkan upah tahun 2013, pemerintah SBY telah mengeluarkan kebijakan yang ditujukan kepada pemerintah provinsi agar mempermudah bagi pengusaha yang mengajukan penangguhan kenaikan upah. Hal ini semakin membuktikan bahwa pemerintah SBY adalah rezim yang anti buruh dan pelayan setia imperialis.

Dengan alasan untuk mengantisipasi kelangsungan usaha diindustri padat karya (usaha tekstil, alas kaki dan indutri mainan) akibat kenaikan upah minimum 2013 rezim SBY melalui Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada tanggal 17 Desember 2012 telah mengeluarkan Surat edaran No. 248/Men/PHIJSK-PJS/XII/2012 yang ditujukan kepada 33 Gubernur di seluruh Indonesia. Akibatnya adalah sekitar 600 perusahaan di Indonesia telah mendapatkan SK Penangguhan Kenaikan Upah dari pemerintah daerah (Gubernur). Hal ini dapat disimpulkan bahwa ada perlawanan sistematis yang dilakukan oleh pengusaha dan pemerintah yang berkuasa untuk melanggengkan perampasan upah buruh. Padahal sejatinya surat edaran tersebut hanya untuk memenuhi keinginan dan desakan dari klas borjuasi yang ingin menekan upah buruh serendah mungkin, dan agar meraup keuntungan sebesar-besarnya dari tenaga dan keringat klas buruh.

Dari data yang diolah GSBI dari SK Penangguhan Upah 2013 diketahui, bahwa manyoritas perusahaan yang telah mendapatkan SK penangguhan pembayaran upah minimum adalah perusahaan-perusahaan padat karya yaitu sekitar 60% perusahaan Garment, Tekstil dan Alas Kaki. Dari 144 perusahaan di provinsi Banten yang disetujui penangguhan upahnya, sebanyak 54 perusahaan adalah perusahaan garment dan tekstil. Dari 152,948 orang buruh yang menjadi korban penangguhan upah 2013 untuk provinsi Jawa Barat, 97,491 orang adalah buruh yang bekerja diindustri tekstil, dimana sebagian besar buruhnya adalah perempuan (80%). Sehingga dapat di simpulkan bahwa kebijakan penangguhan kenaikan upah tahun 2013 yang terkena dampaknya mayoritas adalah kaum perempuan. Padahal saat ini sebagian besar buruh-buruh perempuan Indonesia adalah topangan utama ekonomi keluarga. Melambungnya harga-harga kebutuhan pokok akibat inflasi disatu sisi sedangkan disisi lain upah buruh tidak naik telah mengakibatkan penghidupan klas buruh semakin merosot dari waktu-kewaktu.

Sedangkan janji-janji rezim yang selalu mengatakan akan menggratiskan biaya pendidikan dan kesehatan hanyalah isapan jempol semata dan tidak ada buktinya sama-sekali karena pada kenyataannya, biaya pendidikan dan kesehatan dari waktu kewaktu justru semakin mahal, angka putus sekolah masih sangat tinggi dan Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah terbesar angka kematian ibu yang melahirkan, ini membuktikan bahwa pemerintah sejatinya tidak pernah serius menjalankan amanat Undang-Undang Dasar, bahkan baru-baru ini terjadi kasus yang sangat memilukan kita semua dimana ada seseorang bayi meninggal dunia setelah 10 rumah sakit menolak memberikan perawatan. Pada tahun 2012 seorang ibu terpaksa harus melahirkan putranya di depan teras Rumah Sakit, hingga menyebabkan bayi tersebut meninggal dunia karena tidak dapat pertolongan medis. Hal tersebut terjadi lantaran sang ibu ditolak oleh pihak Rumah Sakit Umum Nagan Raya, Aceh. Upaya pemerintah Indonesia melalui Tujuan Pembangunan Milenium (MDG’s) yang salah satu tujuannya adalah menurunkan angka kematian Ibu (perempuan) ketika melahirkan juga masih jauh dari harapan. Melalui MDG’s pemerintah Indonesia mentargetkan pada tahun 2015 dapat menurunkan angka kematian ibu melahirkan hingga 150 per 100,000 kelahiran, namun dari Laporan Tahunan MDG’s 2012 angka kematian perempuan ketika melahirkan masih berada diangka 240 orang per 100,000 kelahiran. Artinya, target yang ingin dicapai masih belum menunjukkan keberhasilan menjelang berakhirnya program MDG’s pada tahun 2015.

Tugas Kaum Perempuan (Buruh) dalam Perjuangan Massa di Indonesia 
Gerakan perempuan tidak bisa terpisah dari perjuangan rakyat di berbagai sektor. Karena perempuan berada di berbagai sector; kaum tani, klas buruh, dan pemuda/mahasiswa. Maka gerakan perempuan harus ambil bagian secara aktif dalam perjuangan rakyat di seluruh sektor untuk melepaskan rakyat dari berbagai persoalan yang kini sedang dihadapi.

Tugas utama kaum perempuan Indonesia agar dapat mencabut akar penindasan terhadap kaum perempuan adalah dengan mengorganisasikan diri dalam organisasi massa yang berwatak demokratis dan nasional diberbagai sektor serta harus terlibat aktif dalam perjuangan demokrasi nasional untuk mewujudkan pembebasan sejati kaum perempuan.

Untuk mendukung tugas utama tersebut maka tanggung jawab organisasi GSBI secara nyata adalah selain berusaha membangkitkan dan mengorganisasikan kaum buruh perempuan agar dapat berperan serta dan berpartisipasi aktif dalam memperjuangkan hak-hak dasarnya, juga turut serta membantu kaum perempuan di berbagai sektor untuk mengorganisasikan dirinya dalam sebuah organisasi massa gerakan perempuan yang militan dan demokratis agar dapat berjuang bersama-sama dan saling bahu membahu dalam perjuangan demokratis nasional. Karena hanya dengan jalan itu kaum perempuan dapat melawan dan menghancurkan nilai kebudayaan feodal-patriarkal dan liberal-machoisme yang menjadi produk dari dominasi imperialisme dan sisa-sisa feodalisme.

GSBI sebagai organisasi serikat buruh yang memiliki anggota mayoritas perempuan tentu saja akan terus memperbesar kekuatan dengan cara mendukung, memprogandakan, dan mengembangkan kebudayaan nasionalis, demokratis, dan ilmiah yang demokratis dan kerakyatan. Agar kaum perempuan Indonesia dapat memahami persoalan-persoalan dasar dan akarnya, sehingga dapat mengerti dan bangkit berjuang bersama-sama untuk mewujudkan tatanan yang merdeka, demokratis, adil, sejahtera, damai, dan memiliki masa depan yang lebih baik. Berjuang untuk mendapatkan kesempatan pekerjaan dan melawan segala bentuk diskriminasi jenis kelamin dalam kerja produksi. Memperjuangkan hak natural kaum perempuan untuk mendapatkan perhatian dalam pekerjaan produksi. Misalnya: cuti hamil, cuti haid, dan tunjangan melahirkan. Memperjuangkan perbaikan kondisi kerja dan penghidupan yang layak bagi kelas buruh. Yaitu: menaikkan upah buruh sesuai dengan kondisi ekonomi yang ada, menuntut pelaksanaan 8 jam kerja sehari, dan pemenuhan tunjangan dari keuntungan yang diambil oleh para pengusaha.

Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI) adalah organisasi massa buruh yang memiliki anggota sekitar 80% adalah kaum perempuan, dalam momentum peringatan Hari Pekerja Perempuan Internasional (HPI) kali ini, akan mengusung berbagai isu penting dan beberapa tuntutan yang akan di kampanyekan dan diperjuangkan bersama-sama dengan organisasi lain diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Menuntut Kenaikan Upah sesuai dengan Standar Kebutuhan Hidup Layak; 
  2. Cabut Permenaker Nomor 231 Tahun 2003 dan Menolak SK Penangguhan kenaikan Upah 2013 
  3. Menuntut kesetaraan Upah dan berbagai tunjangan bagi buruh laki-laki dan perempuan;
  4. Menuntut Biaya Pendidikan Gratis bagi Anak Keluarga Buruh.
  5. Menuntut Biaya Kesehatan Gratis bagi Buruh dan keluarganya.
  6. Menuntut Biaya Kesehatan Reproduksi (Posyandu, Alat Kontrasepsi, Biaya Persalinan) gratis bagi kaum Perempuan.
  7. Menuntut Jaminan atas Pemenuhan Hak-hak Normatif bagi Buruh Perempuan (cuti haid, cuti melahirkan, dan asuransi kesehatan bagi keluarga buruh perempuan).
  8. Menuntut Dibangunnya Fasilitas Penitipan Anak dan Tempat Menyusui di Tempat Kerja dan Tempat-tempat Umum.
  9. Menolak Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional dan Rancangan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan;

Penutup

Meningkatnya beban kerja yang dialami oleh klas buruh dan berbagai kebijakan yang diskriminatif menyebabkan semakin meningkatkan derajat penindasan dan penghisapan bagi klas buruh yang mayoritasnya adalah kaum perempuan, sehingga penghidupan klas buruh Indonesia semakin merosot dari waktu-kewaktu, sedangkan sisi yang lain harga-harga kebutuhan pokok rakyat semakin naik akibat berbagai kebijakan pencabutan subsidi bagi rakyat.

Atas dasar itu maka DPP GSBI menyerukan kepada seluruh buruh perempuan terutama yang menjadi anggota GSBi disemua wilayah untuk ambil bagian aktif dalam perjuangan membela dan melindungi hak-hak perempuan serta mengajak seluruh elemen rakyat Indonesia; baik itu yang hari ini secara aktif terlibat dalam perjuangan membela hak-hak perempuan Indonesia serta tergabung dalam berbagai lembaga dan organisasi massa perempuan, maupun yang bergerak aktif dalam berbagai organisasi massa buruh, tani, pemuda, mahasiswa, kaum miskin kota dan berbagai sector lainnya, untuk berpartisipasi secara aktif dalam menggelorakan perjuangan massa secara bersama-sama dengan mengkampanyekan berbagai persoalan rakyat, khususnya perempuan Indonesia yang tersebar di berbagai sector; yang hari ini sedang menanggung beban penindasan dan penghisapan sebagai akibat dari krisis imperialisme.

Perempuan Indonesia, Bangkit Melawan Penindasan!!!
Galang Solidaritas Lawan Penindasan!!



Jakarta 22 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.