Diterbitkan oleh Departemen Diklat
dan propaganda DPP-GSBI
Dalam Rangka Memperingati Hari
Perempuan Internasional 2013
Pengantar
Tanggal 8 Maret adalah Hari Perempuan Internasional,
merupakan hari yang sangat bersejarah bagi kaum perempuan diseluruh dunia.
Hampir seluruh dunia merayakan peristiwa ini, tak terkecuali di Indonesia. Dan
sudah menjadi tradisi dalam pergerakan di Indonesia termasuk diorganisasi GSBI,
Hari Perempuan Internasional selalu diperingati dengan berbagai aktivitas
terutama diskusi-diskusi dan aksi-aksi massa guna menyuarakan aspirasi dan
tuntutan rakyat atas persoalan kaum perempuan, dan persoalan rakyat secara
umum.
Bagi GSBI peringatan Hari Perempuan Internasional
(HPI) tahun ini sangat intimewa karena dunia sedang berada dalam situasi
dilanda krisis ekonomi akut terutama di negara-negara imperialis, bahkan
dampaknya sampai merambat kenegera-negara berkembang seperti Indonesia, krisis
yang terjadi sejak tahun 2008 hingga saat ini belum dapat terselesaikan.
Hari Perempuan Internasional (HPI)
di Indonesia selayaknya tidak hanya di peringati secara seremonial semata dan
tidak hanya mencerminkan perjuangan dari kaum perempuan semata, tetapi harus
lebih dari itu, yaitu perjuangan yang seharusnya dilakukan oleh seluruh
rakyat tertindas di Indonesia, dengan persatuan seluruh rakyat Indonesia untuk
pemenuhan hak sosial, ekonomi, politik dan budaya kaum perempuan serta untuk
pembebasan seluruh rakyat Indonesia dari belenggu dominasi imperialisme dan
feodalisme.
Tulisan ini disusun dan diterbitkan olah Departemen
Diklat dan Propaganda Dewan Pimpinan Pusat Gabungan Serikat Buruh Independen,
secara khusus akan mengulas tentang persoalan pokok kaum perempuan Indonesia di
tengah situasi krisis yang terjadi di tubuh Imperialisme, dalam rangka
memperingati Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2013. Agar dapat dipergunakan
sebagai bahan diskusi bagi pimpinan dan anggota GSBI di semua wilayah serta
kaum buruh secara luas.
Penindasan Kaum Perempuan Dalam Sejarah Perkembangan
Umat Manusia
Kaum perempuan merupakan sebuah golongan dalam
masyarakat, mempunyai peran yang menentukan dalam produksi maupun segi
kehidupan yang lain. Peran ini yang memiliki andil besar dalam perkembangan
sejarah umat manusia. Dalam masyarakat komunal primitif, di samping mengemban
tugas mulia dalam mengandung dan melahirkan anak, kaum perempuan juga terlibat
dalam mengembangkan teknologi pertanian dan peternakan di saat kaum laki-laki
berburu atau melakukan kerja produksi di tempat yang jauh dari pemukiman.
Pengembangan teknologi pertanian ini yang membantu umat manusia dapat menyimpan
dan menjaga bahan makanan untuk waktu tertentu. Sedangkan aktivitas kaum
perempuan dalam kehidupan sehari-hari di pemukiman komunal membantu
perkembangan berbagai kerajinan tangan, penggunaan api, obat-obatan, dan
berbagai teknik dalam kehidupan keluarga dan pemukiman.
Seiring dengan meningkatnya pekerjaan produksi,
kemampuan manusia dalam mengumpulkan makanan, berburu, dan pertanian, meningkat
menjadi pengembangan teknik peperangan untuk mengamankan daerah, memperluas
komunitas menuju peradaban yang lebih tertata. Kaum perempuan dan laki-laki
terpisah dalam pembagian kerja produksi ini. Karena pekerjaannya yang lebih
banyak berada di luar pemukiman, kaum laki-laki mempunyai kesempatan
berinteraksi dan mendatangi pemukimam komunal komunitas yang lain. Pemisahan
ini membuka jalan pembagian kelas dalam masyarakat.
Pembagian kelas dalam masyarakat, pada tahap
perkembangan sejarah selanjutnya membuka zaman baru umat manusia, yaitu zaman
penindasan dan penghisapan. Semakin meluasnya wilayah pertanian dan pemukiman
sebuah komunitas membawa pada pengembangan struktur ekonomi dan politik. Sebuah
model pemerintahan mulai diterapkan, karena mulai muncul dan berkembangnya
kelas yang berkuasa dalam masyarakat. Kelas Tuan Budak merajai dan menguasai
segi-segi kehidupan manusia, mereka berdiri diatas darah dan keringat kelas
budak yang mereka taklukkan dengan kekerasan. Perkembangan sejarah umat manusia
dalam hubungan produksi penindasan ini, menjerumuskan kaum perempuan menjadi
subordinat dalam masyarakat. Tugas-tugas domestik kerumahtanggaan dianggap
sebagai tugas remeh temeh dan rendah dalam sistem baru masyarakat.
Kekuatan ekonomi dan politik dari kelas tuan budak yang menindas dijaga dan
dikembangkan melalui cara-cara kekerasan.
Penindasan budak oleh tuan (pemilik) budak ini yang
mengilhami perlawanan budak kepada tuan budak dan menuntut pembebasan.
Meningkatnya perlawanan budak, membuat tuan budak terpaksa memerdekakan
budak-budaknya dan merubah klas budak menjadi tani hamba. Sedangkan tuan budak,
karena kini hanya memiliki tanah sebagai harta pribadinya; maka berubah menjadi
tuan (pemilik) tanah.
Akan tetapi, tuan-tuan tanah ini tentu saja tidak
ingin kehilangan 100 persen tenaga kerjanya selama ini. Maka, diciptakanlah
budaya patriarkhi. Perempuan dibebaskan secara relatif dengan membatasi ruang
gerak perempuan, serta menciptakan opini mengenai watak dasar perempuan. Budaya
patriarkhi mengidentikkan perempuan sebagai manusia yang lembut, santun, lemah
gemulai, dan hanya boleh bekerja dalam lingkungan terbatas. Fase feodal ini
memang sengaja memposisikan perempuan lebih rendah dari laki-laki demi
kepentingan untuk menundukkan tani hamba yang memang mayoritas adalah
perempuan.
Kedatangan bangsa asing ke Indonesia yang melakukan
kolonialisme terhadap Indonesia, tidak pernah menghancurkan sistem feodalisme
dalam masyarakat. Mereka justru menjadikannya sebagai basis sosialnya dalam
melakukan penjajahan terhadap rakyat Indonesia. Sebab, mereka membutuhkan
keberadaan tuan-tuan tanah tersebut untuk pendirian perkebunan luas sebagai
jaminan suplai bahan mentah bagi industri di negara mereka. Mereka juga
membutuhkan tenaga kerja murah agar dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya,
dan industri rakitan di dalam negeri Indonesia sebagai pasar bagi hasil
produksi industri mereka serta konsumen atas barang dagangannya. Kolonialisme
juga memanfaatkan budaya patriarkhi untuk mengkebiri perempuan Indonesia.
Dalam fase-fase selanjutnya, ketika Indonesia telah
merdeka sekalipun, penindasan tersebut masih terus berlangsung. Hal ini karena
kemerdekaan bangsa Indonesia telah dikhianati oleh Perjanjian Damai Konferensi
Meja Bundar yang menjadikan Indonesia sebagai negara setengah jajahan dan tetap
menggunakan feodalisme sebagai basis sosialnya. Revolusi Hijau yang digencarkan
Orde Baru tidak membongkar hubungan produksi feodalistik yang menjadi penyangga
budaya patriarkhi. Akibatnya, kaum perempuan menjadi kalangan yang menanggung
beban paling berat. Partisipasi perempuan dalam proses produksi pertanian di
pedesaan semakin hilang, dan pergilah mereka bermigrasi ke kota atau luar
negeri untuk mencari sumber penghidupan bagi mereka dan keluarganya.
Sudah dapat kita pelajari secara singkat, sumbangsih
tenaga produkitif kaum perempuan yang bahu membahu bersama kaum laki-laki
membangun keluarga dan pemukiman komunalnya, semakin direndahkan dan ditindas
oleh kelas yang berkuasa. Dari sistem masyarakat perbudakan, feodalisme, dan
kapitalisme (dimana sampai hari ini telah mencapai tahap tertingginya, yaitu
kapitalisme monopoli atau imperialisme), kaum perempuan menjadi golongan dalam
masyarakat yang mendapat penindasan dan penghisapan. Kedudukan kaum perempuan
sebagai kelas buruh, kaum tani, atau rakyat pekerja yang lain memiliki hubungan
erat dan tidak terpisahkan dengan kaum laki-laki.
Sejarah Singkat Hari Perempuan Internasional
Pada bulan Februari 1908, ratusan perempuan di Amerika
Serikat menyelenggarakan aksi massa besar-besaran menuntut hak-hak ekonomi dan
politik bagi kaum perempuan. Pada tahun 1909, sekitar 20.000-30.000 perempuan
buruh garmen di Amerika Serikat menggelar aksi massa menuntut kenaikan upah dan
8 jam kerja dalam sehari. Aksi massa ini digelar selama 13 minggu
berturut-turut. Aksi kali ini memberikan pengaruh yang cukup luas terhadap
kebangkitan pekerja perempuan dan bahkan meluas hingga ke Eropa yang pada
akhirnya mereka meraih keberhasilan dengan dipenuhinya tuntutan-tuntutan
mereka.
Pada tahun 1910, dalam Kongres Internasional Perempuan
Kelas Buruh di Copenhagen-Denmark, disepakati bahwa momentum tersebut
diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional. Meskipun pada saat itu belum
disepakati tanggal-nya. Adalah Clara Zetkin, seorang perempuan Jerman, yang
mengusulkan bahwa kaum perempuan di seluruh dunia harus memiliki momentum
tertentu dalam setiap tahun dimana mereka dapat memperingatinya sebagai bentuk
penghormatan atas kebangkitan kaum perempuan dalam perjuangan menuntut hak-hak
sosial-ekonominya.
Proses penetapan waktu tersebut berjalan selama 7 tahun
berikutnya. Minggu terakhir Februari 1913, kaum perempuan di Rusia
menyelenggarakan demontrasi untuk menentang perang dunia I. Setahun kemudian
demonstrasi ini meluas ke seluruh Eropa, jatuh pada minggu pertama Maret.
Tahun 1917, lagi-lagi kaum perempuan di Rusia
melakukan demonstrasi besar pada minggu terakhir Februari dengan mengusung
tuntutan “Bread and Peace!” (Roti dan Perdamaian). Empat hari kemudian,
tepat tanggal 8 Maret dalam kalender Masehi, kekuasaan Tsar Rusia jatuh.
Kemudian kaum perempuan mendapatkan hak pilih mereka. Sejak saat itu 8 Maret
ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasional sebagai penghargaan atas
kebangkitan kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-hak sosial-ekonominya. Dan
selama masih ada diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan, maka tentu
saja momentum itu harus diperingati dengan berbagai bentuk kegiatan yang tetap
dalam kerangka perjuangan menuntut hak-hak sosial-ekonomi perempuan.
Problem Pokok Kaum Perempuan Indonesia
Indonesia merupakan negara Setengah Jajahan dan
Setengah Feodal (SJSF). Dikatakan sebagai Negara SJSF karena adanya dominasi
imperialisme terhadap hubungan produksi lama, yakni feodalisme. Dengan kata
lain, feodalisme menjadi basis sosial bagi imperialisme dalam melakukan
penindasan terhadap rakyat Indonesia. Dengan demikian, rakyat Indonesia
ditindas dalam dua bentuk penindasan sekaligus.
Indonesia resmi menjadi negara SJSF setelah
ditandatangainya Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949 yang memberikan
berbagai keuntungan bagi imperialisme. Dominasi imperialisme terhadap Indonesia
telah melahirkan klas borjuis komparador yang menjadi kaki tangannya. Sementara
feodalisme, tetap mempertahankan kekuasaan tuan-tuan tanah besar. Persekutuan
jahat antara imperialisme dan feodalisme telah membentuk pemerintahan diktator
bersama klas borjuis besar komparador dan tuan tanah yang senantiasa menindas
rakyat Indonesia demi melayani kepentingan majikannya, imperialisme.
Sistem Setengah Jajahan dan Setengah Feodal telah
menempatkan kaum perempuan Indonesia dalam belenggu diskriminasi, yakni ada
perbedaan hak dibandingkan dengan laki-laki. Kesenjangan upah `di Indonesia
dengan selisih hingga 19% pada tahun 2012, perempuan memperoleh upah rata-rata
81% dari upah laki-laki, meskipun memiliki tingkat pendidikan dan pengalaman
yang sama. Di Indonesia, perempuan mewakili sekitar 38% layanan sipil, tetapi
lebih dari sepertiganya melakukan pekerjaan “tradisional”, seperti mengajar dan
mengasuh, yang cenderung memperoleh upah kurang dari pekerjaan yang didominasi
laki-laki.
Selain itu, persoalan lainnya adalah kesetaraan dalam
soal upah dengan kaum laki-laki. Konvensi ILO No. 100 (yang diratifikasi
dalam UU No.80 tahun 1957), Declaration of Human Right pasal 2, UU No.39
tahun 1999 pasal 38 tentang HAM dan Undang-Undang No. 7 tahun 1984 telah
menjamin kesetaraan upah bagi buruh perempuan dan laki-laki. Namun kenyataan
dilapangan masih banyak ditemukan penyimpangan. Sebagian besar buruh perempuan
hanya mendapatkan upah 2/3 dari buruh laki-laki. Kenyataan yang diskriminatif
ini dikuatkan dengan adanya Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 4 tahun 1988
yang berisi bahwa perempuan tidak mendapatkan tunjangan kesehatan bila suami
sudah mendapatkan hak yang serupa. Gaji minim yang diterimanya telah memaksa
44% buruh pabrik perempuan untuk bekerja lebih panjang, lebih dari 75
jam/minggu. Sedangkan buruh perempuan yang bekerja penuh waktu (35-74
jam/minggu) hanya sebesar 48%. Bandingkan dengan persentase buruh laki-laki
yang bekerja penuh waktu yang mencapai 71,6%.
Dalam masyarakat Indonesia yang Setengah jajahan dan
Setengah Feodal kaum perempuan dari keluarga kelas buruh dan kaum tani memiliki
jumlah yang sangat besar. Saat ini mereka menderita oleh penindasan dan
penghisapan yang secara terus menerus dilakukan oleh imperialisme dan
feodalisme melalui kekuasaan bersama borjuasi besar dan tuan tanah. Kaum
perempuan Indonesia mengalami penindasan dalam tiga bentuk, yaitu: dominasi
imperialisme terhadap bangsa Indonesia, penghisapan dan penindasan kelas
borjuis besar komprador dan tuan tanah, dan dominasi budaya feodal-patriarkal
dan liberal-machoisme dari kaum laki-laki warisan feodalisme dan dominasi
imperialisme.
Krisis hebat yang mendera imperialisme memaksa mereka
untuk terus menciptakan skema penindasan dan penghisapan baru terhadap seluruh
rakyat didunia, termasuk Indonesia sebagai salah satu negeri setengah
jajahannya. Tentu saja, skema-skema yang dipromosikan ini akan berdampak kepada
kaum perempuan. Sebagai contoh, sejak krisis yang terjadi pada periode
1997/1998, bagaimana kemudian imperialisme mempromosikan apa yang disebut
sebagai flexibilitas perburuhan, sebuah mekanisme perburuhan yang lebih banyak
mengatur bagaimana mempermudah penempatan dan bagaimana cara menempatkan tenaga
kerja dengan mengesampingkan pemenuhan atas hak-hak normatifnya. Kebijakan
kongkret yang dihasilkan adalah system kerja outsourcing dan kerja kontrak
jangka pendek yang sama sekali tidak memberikan jaminan kepastian kerja
terhadap kaum buruh dan menghilangkan berbagai hak dasar yang seharusnya diterima
oleh buruh.
Contoh lainnya adalah bagaimana imperialisme dengan
gencar mendorong skema bernama Forum Global tentang Migrasi dan Pembangunan (Global
Forum on Migration and Development) sebagai salah satu jalan keluar dari
krisis ekonomi yang terjadi. Imperialisme memahami benar, bahwa selama ini,
proses migrasi tenaga kerja telah menghasilkan dana segar melalui remitansi
yang angkanya sangat fantastis. Remitansi diseluruh dunia dari proses migrasi
tenaga kerja ini mencapai US $ 351 miliar dan akan meningkat hingga US $ 441
miliar pada 2014. Di Indonesia sendiri, devisa yang diperoleh dari remitansi
buruh migrant Indonesia angkanya mencapai Rp. 66 trilliun pada 2009 dan
diharapkan bisa terus meningkat hingga Rp. 125 trilliun (hampir 10 persen
dari APBN Indonesia). Dari sekitar 8 juta BMI yang sekarang bekerja diluar
negeri dan lebih dari 200 juta pekerja migrant diseluruh dunia, mayoritas
adalah kaum perempuan. Sedangkan kita semua telah tahu bagaimana nasib buruh
migrant Indonesia khususnya perempuan yang selama ini bekerja diluar negeri,
tindakan kekerasan, pelecehan, perampasan dan berbagai resiko kerja terburuk
lainnya telah mereka hadapi sejak pra-keberangkatn, di negara penempatan hingga
ketika mereka kembali ke Indonesia.
Secara umum, perempuan Indonesia menderita di bawah
penindasan dan penghisapan imperialisme dan feodalisme dalam negeri yang
berwujud:
Secara Ekonomi; Adanya diskriminasi jenis kelamin dalam kerja
produksi. Misalnya sistem pengupahan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan,
tunjangan keluarga dan tidak dipenuhinya hak natural kaum perempuan seperti
haid, hamil, dan melahirkan.
Secara Politik; Masih terhambatnya keterlibatan kaum perempuan dalam
gelanggang politik untuk memperjuangkan hak-hak dasarnya sebagai perempuan. Meskipun
di beberapa daerah ada kepala daerah dari perempuan akan tetapi sama sekali
tidak mewakili aspirasi sejati dari kaum perempuan Indonesia (terutama dari
kelas buruh, kaum tani, dan rakyat pekerja lainnya). Karena mereka umumnya
tetap merupakan pelayan dan boneka yang mengabdi kepada imperialisme dan
feodalisme, dan hanya mementingkan kepentingan kelasnya semata.
Secara Budaya; masih berkembangnya warisan lama ideologi feodal-patriarkal, ideologi
ini tidak hilang bahkan semakin menguat dan bercampur dengan budaya liberal
imperialis yang konsevatif. Kebudayaan mencerminkan bangunan bawah yang
berdominasi, sehingga kebudayaan yang ada dan dipertahankan oleh rezim ini
mengabdi kepada kepentingan ekonomi-politik imperialisme dan feodalisme.
Penindasan, penghisapan, perlakuan diskriminatif dan
terlanggarnya hak dasar sosial, ekonomi, budaya dan politik kaum perempuan yang
begitu hebat juga dialami oleh seluruh rakyat Indonesia saat ini, hal ini
akibat dari masih bercokol kuatnya budaya Feodal-Patriarchal serta
berdominasinya kekuatan Imperialisme di Indonesia yang masuk dan kokoh berdiri
atas bantuan para pembantunya dalam negeri yaitu para borjuasi besar komprador
dan tuan tanah yang saat ini dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagai
bawahan atau boneka Imperialis tentu harus menuruti segala kehendak tuan
Imperialisnya saat ini yaitu AS. Di bawah rejim penghamba Imperialis inilah
rakyat Indonesia terus dihimpit dengan berbagai penghisapan dan penindasan,
berbagai cara digunakan untuk menyenangkan tuan Imperialisnya, kita memahami
bahwa Imperialisme sangat bernafsu pada kekayaan yang dimiliki Indonesia, mulai
dari bahan tambang, sumber bahan mentah untuk Industri sampai pada jumlah
penduduk yang sangat cocok untuk pasar bahkan untuk penyedia tenaga kerja/buruh.
Politik Upah Murah dan Penangguhan Upah adalah Paket
Kebijakan Rezim yang Menyengsarakan Kaum (Buruh) Perempuan Indonesia
Rezim SBY-Budiono sukses mempertahankan skema politik
upah murah bagi buruh Indonesia, konsepsi upah minimum yang dijalankan oleh
rezim sejak masa kolonialisme Belanda hingga sekarang sama sekali tidak
didasarkan pada pemenuhan kebutuhan riil buruh beserta keluarganya, hal ini
dapat dilihat dari kebijakan negara yang mengatur tentang penetapan upah
minimum provinsi (UMP) atau Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) yaitu permen
nomor 13 tahun 2012, Peraturan yang baru saja disahkan oleh rezim SBY ini
hakekatnya masih sama dengan permen sebelumnya yaitu Permenaker nomor 17 tahun
2005 dimana upah hanya didasarkan pada pemenuhan hidup fisik minimum bagi buruh
lajang, meskipun didalamnya ada penambahan 14 komponen kebutuhan hidup
buruh.
Bukti lain yang menjelaskan bahwa rezim SBY tidak
pernah serius berusaha meningkatkan kesejahteraan buruh adalah penangguhan
pelaksanaan upah minimum. Kebijakan negara untuk melegalkan penangguhan upah
minimum ini telah diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan nomor 13 Tahun
2003 yaitu didalam pasal 90 ayat 2 dan 3 yang berbunyi “ (Ayat 2) Bagi
pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan. Tata cara penangguhan pembayaran upah
minimum ini diatur dalam Keputusan Menteri nomor 231 Tahun 2003.
Skema penangguhan pelaksanaan upah minimum yang
dilegalkan oleh pemerintah SBY ini merupakan bentuk nyata dari perampasan upah,
tujuannya tak lain adalah untuk memenuhi kepentingan dari tuannya yaitu
Imperialisme agar upah buruh dapat ditekan serendah mungkin sehingga dapat
memperoleh keuntungan yang besar. Atas desakan para pengusaha-pengusaha
komprador dan imperialis yang tidak bersedia menaikkan upah tahun 2013,
pemerintah SBY telah mengeluarkan kebijakan yang ditujukan kepada pemerintah
provinsi agar mempermudah bagi pengusaha yang mengajukan penangguhan kenaikan
upah. Hal ini semakin membuktikan bahwa pemerintah SBY adalah rezim yang anti
buruh dan pelayan setia imperialis.
Dengan alasan untuk mengantisipasi kelangsungan usaha
diindustri padat karya (usaha tekstil, alas kaki dan indutri mainan) akibat
kenaikan upah minimum 2013 rezim SBY melalui Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi pada tanggal 17 Desember 2012 telah mengeluarkan Surat edaran No.
248/Men/PHIJSK-PJS/XII/2012 yang ditujukan kepada 33 Gubernur di seluruh
Indonesia. Akibatnya adalah sekitar 600 perusahaan di Indonesia telah
mendapatkan SK Penangguhan Kenaikan Upah dari pemerintah daerah (Gubernur). Hal
ini dapat disimpulkan bahwa ada perlawanan sistematis yang dilakukan oleh
pengusaha dan pemerintah yang berkuasa untuk melanggengkan perampasan upah buruh.
Padahal sejatinya surat edaran tersebut hanya untuk memenuhi keinginan dan
desakan dari klas borjuasi yang ingin menekan upah buruh serendah mungkin, dan
agar meraup keuntungan sebesar-besarnya dari tenaga dan keringat klas buruh.
Dari data yang diolah GSBI dari SK Penangguhan Upah
2013 diketahui, bahwa manyoritas perusahaan yang telah mendapatkan SK
penangguhan pembayaran upah minimum adalah perusahaan-perusahaan padat karya
yaitu sekitar 60% perusahaan Garment, Tekstil dan Alas Kaki. Dari 144 perusahaan
di provinsi Banten yang disetujui penangguhan upahnya, sebanyak 54 perusahaan
adalah perusahaan garment dan tekstil. Dari 152,948 orang buruh yang menjadi
korban penangguhan upah 2013 untuk provinsi Jawa Barat, 97,491 orang adalah
buruh yang bekerja diindustri tekstil, dimana sebagian besar buruhnya adalah
perempuan (80%). Sehingga dapat di simpulkan bahwa kebijakan penangguhan
kenaikan upah tahun 2013 yang terkena dampaknya mayoritas adalah kaum
perempuan. Padahal saat ini sebagian besar buruh-buruh perempuan Indonesia
adalah topangan utama ekonomi keluarga. Melambungnya harga-harga kebutuhan
pokok akibat inflasi disatu sisi sedangkan disisi lain upah buruh tidak naik
telah mengakibatkan penghidupan klas buruh semakin merosot dari waktu-kewaktu.
Sedangkan janji-janji rezim yang selalu mengatakan
akan menggratiskan biaya pendidikan dan kesehatan hanyalah isapan jempol semata
dan tidak ada buktinya sama-sekali karena pada kenyataannya, biaya pendidikan
dan kesehatan dari waktu kewaktu justru semakin mahal, angka putus sekolah
masih sangat tinggi dan Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah
terbesar angka kematian ibu yang melahirkan, ini membuktikan bahwa pemerintah
sejatinya tidak pernah serius menjalankan amanat Undang-Undang Dasar, bahkan
baru-baru ini terjadi kasus yang sangat memilukan kita semua dimana ada
seseorang bayi meninggal dunia setelah 10 rumah sakit menolak memberikan
perawatan. Pada tahun 2012 seorang ibu terpaksa harus melahirkan putranya di
depan teras Rumah Sakit, hingga menyebabkan bayi tersebut meninggal dunia
karena tidak dapat pertolongan medis. Hal tersebut terjadi lantaran sang ibu
ditolak oleh pihak Rumah Sakit Umum Nagan Raya, Aceh. Upaya pemerintah
Indonesia melalui Tujuan Pembangunan Milenium (MDG’s) yang salah satu tujuannya
adalah menurunkan angka kematian Ibu (perempuan) ketika melahirkan juga masih
jauh dari harapan. Melalui MDG’s pemerintah Indonesia mentargetkan pada tahun
2015 dapat menurunkan angka kematian ibu melahirkan hingga 150 per 100,000
kelahiran, namun dari Laporan Tahunan MDG’s 2012 angka kematian perempuan
ketika melahirkan masih berada diangka 240 orang per 100,000 kelahiran.
Artinya, target yang ingin dicapai masih belum menunjukkan keberhasilan
menjelang berakhirnya program MDG’s pada tahun 2015.
Tugas Kaum Perempuan (Buruh) dalam Perjuangan Massa di
Indonesia
Gerakan perempuan tidak bisa terpisah dari perjuangan
rakyat di berbagai sektor. Karena perempuan berada di berbagai sector; kaum
tani, klas buruh, dan pemuda/mahasiswa. Maka gerakan perempuan harus ambil
bagian secara aktif dalam perjuangan rakyat di seluruh sektor untuk melepaskan
rakyat dari berbagai persoalan yang kini sedang dihadapi.
Tugas utama kaum perempuan Indonesia agar dapat
mencabut akar penindasan terhadap kaum perempuan adalah dengan
mengorganisasikan diri dalam organisasi massa yang berwatak demokratis dan
nasional diberbagai sektor serta harus terlibat aktif dalam perjuangan
demokrasi nasional untuk mewujudkan pembebasan sejati kaum perempuan.
Untuk mendukung tugas utama tersebut maka tanggung
jawab organisasi GSBI secara nyata adalah selain berusaha membangkitkan dan
mengorganisasikan kaum buruh perempuan agar dapat berperan serta dan
berpartisipasi aktif dalam memperjuangkan hak-hak dasarnya, juga turut serta
membantu kaum perempuan di berbagai sektor untuk mengorganisasikan dirinya
dalam sebuah organisasi massa gerakan perempuan yang militan dan demokratis
agar dapat berjuang bersama-sama dan saling bahu membahu dalam perjuangan
demokratis nasional. Karena hanya dengan jalan itu kaum perempuan dapat melawan
dan menghancurkan nilai kebudayaan feodal-patriarkal dan liberal-machoisme
yang menjadi produk dari dominasi imperialisme dan sisa-sisa feodalisme.
GSBI sebagai organisasi serikat buruh yang memiliki
anggota mayoritas perempuan tentu saja akan terus memperbesar kekuatan dengan
cara mendukung, memprogandakan, dan mengembangkan kebudayaan nasionalis,
demokratis, dan ilmiah yang demokratis dan kerakyatan. Agar kaum perempuan
Indonesia dapat memahami persoalan-persoalan dasar dan akarnya, sehingga dapat
mengerti dan bangkit berjuang bersama-sama untuk mewujudkan tatanan yang
merdeka, demokratis, adil, sejahtera, damai, dan memiliki masa depan yang lebih
baik. Berjuang untuk mendapatkan kesempatan pekerjaan dan melawan segala bentuk
diskriminasi jenis kelamin dalam kerja produksi. Memperjuangkan hak natural
kaum perempuan untuk mendapatkan perhatian dalam pekerjaan produksi. Misalnya:
cuti hamil, cuti haid, dan tunjangan melahirkan. Memperjuangkan perbaikan
kondisi kerja dan penghidupan yang layak bagi kelas buruh. Yaitu: menaikkan
upah buruh sesuai dengan kondisi ekonomi yang ada, menuntut pelaksanaan 8 jam
kerja sehari, dan pemenuhan tunjangan dari keuntungan yang diambil oleh para
pengusaha.
Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI) adalah
organisasi massa buruh yang memiliki anggota sekitar 80% adalah kaum perempuan,
dalam momentum peringatan Hari Pekerja Perempuan Internasional (HPI) kali ini,
akan mengusung berbagai isu penting dan beberapa tuntutan yang akan di
kampanyekan dan diperjuangkan bersama-sama dengan organisasi lain diantaranya
adalah sebagai berikut:
- Menuntut Kenaikan Upah sesuai dengan Standar Kebutuhan Hidup Layak;
- Cabut Permenaker Nomor 231 Tahun 2003 dan Menolak SK Penangguhan kenaikan Upah 2013
- Menuntut kesetaraan Upah dan berbagai tunjangan bagi buruh laki-laki dan perempuan;
- Menuntut Biaya Pendidikan Gratis bagi Anak Keluarga Buruh.
- Menuntut Biaya Kesehatan Gratis bagi Buruh dan keluarganya.
- Menuntut Biaya Kesehatan Reproduksi (Posyandu, Alat Kontrasepsi, Biaya Persalinan) gratis bagi kaum Perempuan.
- Menuntut Jaminan atas Pemenuhan Hak-hak Normatif bagi Buruh Perempuan (cuti haid, cuti melahirkan, dan asuransi kesehatan bagi keluarga buruh perempuan).
- Menuntut Dibangunnya Fasilitas Penitipan Anak dan Tempat Menyusui di Tempat Kerja dan Tempat-tempat Umum.
- Menolak Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional dan Rancangan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan;
Penutup
Meningkatnya beban kerja yang dialami oleh klas buruh
dan berbagai kebijakan yang diskriminatif menyebabkan semakin meningkatkan
derajat penindasan dan penghisapan bagi klas buruh yang mayoritasnya adalah
kaum perempuan, sehingga penghidupan klas buruh Indonesia semakin merosot dari
waktu-kewaktu, sedangkan sisi yang lain harga-harga kebutuhan pokok rakyat
semakin naik akibat berbagai kebijakan pencabutan subsidi bagi rakyat.
Atas dasar itu maka DPP GSBI menyerukan kepada seluruh
buruh perempuan terutama yang menjadi anggota GSBi disemua wilayah untuk ambil
bagian aktif dalam perjuangan membela dan melindungi hak-hak perempuan serta
mengajak seluruh elemen rakyat Indonesia; baik itu yang hari ini secara aktif
terlibat dalam perjuangan membela hak-hak perempuan Indonesia serta tergabung
dalam berbagai lembaga dan organisasi massa perempuan, maupun yang bergerak
aktif dalam berbagai organisasi massa buruh, tani, pemuda, mahasiswa, kaum
miskin kota dan berbagai sector lainnya, untuk berpartisipasi secara aktif
dalam menggelorakan perjuangan massa secara bersama-sama dengan mengkampanyekan
berbagai persoalan rakyat, khususnya perempuan Indonesia yang tersebar di
berbagai sector; yang hari ini sedang menanggung beban penindasan dan
penghisapan sebagai akibat dari krisis imperialisme.
Perempuan Indonesia, Bangkit Melawan Penindasan!!!
Galang Solidaritas Lawan Penindasan!!
Jakarta 22 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.