Di
terbitkan oleh: Front Perjuangan Rakyat/FPR, 10 Juni 2013
TOLAK
KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK (BBM)!!
“Rebut
Kedaulatan atas Minyak dan sumberdaya Alam lainnya dari Penguasaan Perusahaan
Monopoli Asing di Indonesia untuk Kemakmuran dan Kesejahteraan Rakyat”
Pendahuluan
Sudah dapat dipastikan bahwa pada
bulan Juni ini (17/6/13) pemerintah akan mengumumkan secara resmi kenaikan
harga BBM bersubsidi (kompas, 4 Juni 2013). Hal itu
sesuai dengan selesainya rapat paripurna soal Rancangan Anggaran dan Pendapatan
Belanja Negara Perubahan (RAPBNP 2013).
Untuk itu, tak akan
terlupakan didalam hati dan benak rakyat, bahwa selama dua periode kepemimpinan
rejim penghamba Susilo Bambang Yudhono (SBY), Rakyat telah menuai penderitaan
demi penderitaan yang tiada putusnya akibat kebijakan dan tindakan fasis dari
pemerintah dibawah kekuasaan SBY. Menjelang akhir periode kepemimpinannya yang
kedua kalinya, Tahun 2013 ini sekaligus telah menjadi tahun puncak bagi SBY
untuk menunjukkan pelayanan dan loyalitasnya kepada tuan imperialis-nya (Kapitalisme monopoli) secara
habis-habisan. Dengan demikian SBY-pun terus melakukan penghisapan dan
penindasan habis-habisan pula terhadap rakyat. Tahun ini pula akan menjadi
tahun yang paling menyakitkan bagi rakyat.
Sepanjang dua periode pemerintahannya (SBY), telah
diwarnai dengan berbagai persitiwa yang telah meninggalkan luka demi luka yang
menyakitkan bagi rakyat. Terbongkarnya begitu banyak kasus korupsi yang tak
sedikit melibatkan jajaran pengurus dan anggota Patai Demokrat, terjadinya
berbagai penggusuran tanah dan rumah warga di perkotaan maupun didesa,
terjadinya berbagai kekerasan dan tindakan anti demokrasi yang menyebabkan
terjadinya penahanan, pemukulan, penembakan bahkan hingga hilangnya nyawa
rakyat. Naiknya harga kebutuhan pokok, meningkatnya angka pengangguran dan
kemiskinan rakyat, serta dengan berbagai kebijakannya yang anti rakyat, semua
semakin kuat membuktikan bahwa pemerintah SBY adalah musuh rakyat yang paling
korup, paling kejam dan paling fasis.
Setelah terus-menerus memaksakan
politik upah murah terhadap kaum buruh Indonesia, meskipun diakhir tahun 2012
lalu, kaum buruh dapat memenangkan tuntutannya atas upah hingga naik mencapai
2,2 jt (Untuk Wilayah DKI) atau kenaikan upah rata-rata 12% secara nasional,
namun SBY pun tidak pernah berhenti menghujani rakyat dengan berbagai kebijakan
culasnya. Kenyataannya, sampai dengan pertengahan tahun ini, pemerintahan SBY
telah memukul rakyat dengan menaikkan tarif dasar listrik (TDL) sebanyak dua
kali, masing-masing 4,3 % pada bulan Januari dan April lalu. Sejak awal tahun
ini pula, SBY terus memukul rakyat dengan beban kenaikan harga kebutuhan pokok
yang kian mencekik secara beruntun setiap bulan, mulai dari kenaikan harga
daging, cabai, tomat, telur hingga harga bawang.
Tidak berhenti disitu, ditengah
beban hidup yang semakin berat dan menumpuk, kini pemerintah kembali hendak
menghantam rakyat dengan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada bulan
ini (Juni 2013). Rencana kenaikan harga BBM saat ini adalah realisasi dari
rencana kenaikan pada tahun lalu ditunda setelah mendapatkan tentangan keras
dari berbagai kalangan yang terus meningkat dan meluas dengan cepat. Kenaikan
harga BBM kali ini, sekaligus akan menjadi kenaikan yang keempat kalinya selama pemerintahan rezim boneka
anti rakyat “Susilo Bambang Yudhoyono”,
yakni pada: Maret 2005, Oktober
2005, dan Mei 2008.
Kenaikan harga BBM di Indonesia, sejatinya tidak terlepas
dari intervensi kapitalisme monopoli (Imperialisme) yang terus memaksa rezim
bonekanya untuk melakukan penghapusan atas subsidi bagi rakyat. Kenaikan
tersebut, telah menjadi akibat lansung dari dominasi Imperialisme yang terus
melakukan monopoli atas tanah, bahan mentah dan sumberdaya alam di Indonesia,
termasuk monopoli atas sumberdaya energi dan mineral.
Demikian pula halnya dengan kenaikan harga-harga
kebutuhan pangan merupakan akibat lansung dari kenaikan harga BBM tersebut,
sekaligus sebagai cermin atas hancurnya sektor agraria sebagai fundasi ekonomi
nasional; yakni masalah yang tidak bisa dipisahkan dari perampasan dan monopoli
tanah serta monopoli produksi pangan di tangan industri imperialis dan borjuasi
komprador. Seluruh kebijakan anti rakyat dan anti nasional tersebut secara
politik terletak di tangan SBY dan kapitalis birokrat dibawahnya. Itulah
mengapa kapitalisme birokrat merupakan musuh rakyat yang harus dilawan karena
menjadi gerbang legitimasi politik dan hukum bagi imperialisme dan feodalisme
secara syah mencekik nasib rakyat Indonesia semiskin-miskinnya.
Dalih
penaikan harga BBM oleh Pemerintah hanya
Alasan klasik yang usang
Tak heran, jika Imperialisme AS
beserta Imperialisme lainnya di kawasan Eropa, terus mempromosikan Indonesia,
sekaligus SBY sebagai contoh negara dan pemerintah yang berhasil mempertahankan
“pertumbuhan palsu” ekonomi ditengah badai krisis yang terus menghantam jantung
pertahanan Imperialisme dan dunia secara global, juga digadang-gadang sebagai
pemerintah yang berhasil menerapkan Demokrasi “palsu” ditengah populasi dengan
beragam suku-bangsa dan ras yang majemuk. Pujian usang dan promosi palsu
tersebut tiada lain karena memang terbukti bahwa selama berkuasa, budak
imperialis ini (SBY) telah menunjukkan konsistensinya sebagai pemerintah boneka
dalam melayani dan menyelamatkan perekonomian negeri imperialis dari badai
krisis yang mereka derita akibat kerakusannya sendiri. Namun sebaliknya,
dibalik jutaan puji tersebut, SBY bertindak sebagai musuh nomer 1 bagi rakyat
Indonesia melalui seluruh tindakan politiknya yang semakin menjauhkan rakyat dan
negeri dari kemandirian dan kedaulatannya.
Fakta tersebut, salah satunya dapat
dilihat dari rencana kebijakan penaikan harga BBM yang telah dipastikan akan
ditetapkan pada bulan ini (Juni 2013). Setelah mendapatkan tentangan yang
disertai dengan berbagai kecaman hingga akhirnya gagal menaikkan harga BBM
tahun lalu, kini pemerintah kembali memaksakan kehendaknya untuk merealisasikan
kebijakan tersebut dengan alasan yang sama. Namun, alasan-alasan yang paling
utama digunakan oleh pemerintah yakni: a).
Untuk penyelematan anggaran (APBN) dari pembengkakan akibat kebutuhan subsidi
yang tinggi, b). Karena naiknya harga minyak dunia, c). Karena
subsidi yang tidak tepat sasaran dan
pengalihan subsidi untuk sektor lain yang lebih berguna.
a). Untuk penyelematan anggaran (APBN) dari
pembengkakan akibat kebutuhan subsidi yang tnggi: Dari pengalaman
kenaikan harga BBM sebelum-sebelumnya, seakan sudah menjadi kebiasaan dalam
menjalankan niat bulusnya, pemerintah selalu berusaha membodohi rakyat dengan
permainan angka-angka untuk menutupi fakta di balik rencana kenaikan harga BBM
dan TDL. Selama ini SBY dan aparatusnya beralasan soal tingginya subsidi yang
harus ditanggung oleh pemerintah untuk sektor energi, terutama BBM. Subsidi
energi untuk tahun 2013 sebesar Rp 274,7 triliun, dengan perincian subsidi BBM
sebesar Rp 193,8 triliun dengan volume 46 Juta kiloliter setara Rp 80,9
triliun. Sedangkan kuota atau pemakaian BBM tahun 2013 diperkirakan akan
mencapai 48-53 juta kiloliter.
Secara
khusus, naiknya jumlah subsidi yang dibutuhkan tahun ini, menurut pemerintah
ialah karena meningkatnya konsumsi BBM mencapai 10%, atau 50 jt kl dari realisasi tahun sebelumnya 45
juta kl. Sementara itu, produksi minyak nasional hanya mencapai 850 ribu barrel
perhari. Dari total produksi tersebut,
jatah untuk pemerintah sebesar 540 ribu barrel[1].
Sedangkan total konsumsi minyak nasional mencapai 1,4 juta barrel perhari.
Artinya, defisit cadangan minyak nasional sebesar 860 ribu barrel perhari.
Dengan demikian, maka volume import-pun harus dinaikkan minimal 10% (990 ribu barel)
dari tahun sebelumnya (900 ribu barel)
perhari.
Naiknya konsumsi minyak menurut pemerintah
disebabkann karena meningkatnya pembelian kendaraan bermotor yang mencapai 1,2
juta unit, sehingga kebutuhan bakar-pun meningkat hingga 3 juta kl.
Penjualan sepeda motor tahun ini akan
mencapai 7,1 juta unit, bertambah 1
juta unit dari tahun sebelumnya (Th. 2012, 7,06 juta unit). Sedangkan penjualan mobil tahun lalu
naik 24,83 persen. Produksi mobil tahun ini mencapai 1,29 juta unit, kemudian Akan diekspor 90.000
unit. Jadi di dalam negeri akan ada 1,2 juta unit, bertambah dari perkiraan
awal 1,1 juta unit. Karena
itu, pemerintah (Melalui
Menteri ESDM, Jero Wacik) memastikan bahwa kuota BBM bersubsidi 46,01 juta kiloliter dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara 2013 tidak akan mencukupi.
Tabel I: Penjualan Mobil dan Motor
(2008-2011)
No
|
Tahun
|
Mobil
|
Motor
|
Jumlah
|
1
|
2008
|
603.774
|
6.215.831
|
6.819.605
|
2
|
2009
|
486.061
|
5.881.777
|
6.367.838
|
3
|
2010
|
764.710
|
6.881.893
|
7.646.603
|
4
|
2011
|
813.856
|
7.580.104
|
8.393.960
|
Sumber:
Kompas, 12 Maret 2012
b). Karena naiknya harga minyak dunia. Karena rencana penaikan harga BBM tahun
2013 ini adalah sebagai realisasi penaikan yang gagal pada tahun 2013, maka
pemerintah juga masih menggunakan alasan sebelumnya terkait dengan naiknya
harga minyak dunia tahun 2012 yang mencapai US$. 120-122/barrel. Namun harga
minyak dunia tahun ini justeru mengalami penurunan. Artinya bahwa, Jika hari
ini, pemerintah masih menggunakan alasan tersebut, tentunya sudah sangat tidak
relevan dengan kenyataan sekarang, dimana harga minyak dunia turun menjadi US$.
90-100 perbarel. Kendati demikian, pemerintah tetap menghitung ICP (Indonesian
Crued Price) sebesar US$. 100-115 per barrel.
c).
Karena subsidi yang tidak tepat
sasaran dan pengalihan subsidi untuk sektor lain yang lebih berguna. Pemerintah terus mengungkapkan seolah
menjadi “keresahan-nya” bahwa subsidi BBM yang dialokasikan dalam pembelian
setiap liter minyak tidak dapat dinikmati secara lansung oleh Rakyat. Pemerintah
SBY juga senantiasa menyebutkan bahwa subsidi BBM tidak tepat sasaran, sebab
masyarakat kurang mampu bukan konsumen premium maupun solar yang terbesar, sementara itu, 77% konsumsi BBM
bersubsidi digunakan oleh kelas menengah ke atas atau yang memiliki mobil
pribadi. Sehingga asumsi yang dibangun pemerintah atas kenaikan BBM agar
subsidi BBM lebih tepat sasaran.
Pemerintah kemudian menegaskan bahwa, masyarakat yang kurang mampu akan
menikmati manfaat lebih besar jika harga premium dan solar lebih tinggi. Sedangkan subsidi BBM harus diterima oleh
masyarakat melalui kompensasi dengan pengalihan subsidi kedalam bentuk lain yang “lebih berguna” dan
dapat dinikmati secara lansung.
Dengan dasar pikir demikian, Pemerintah secara
terang telah membodohi rakyat dengan menegasikan kesaling hubungan antara
sektor yang satu dengan lainnya. Secara khusus, kaitannya dengan sektor
transportasi, Pemerintah menutupi kenyataan bahwa dalam menjalankan
produksinya, rakyat tidak akan pernah terlepas dari transportasi, khususnya
dalam proses distribusi bahan mentah maupun barang jadi. Artinya bahwa dengan
tingginya biaya transportasi akibat kenaikan harga BBM tentu saja akan
mengakibatkan naiknya biaya/ongkos produksi.
Sama pula halnya dengan produksi pabrikasi yang menjadi
salah satu konsumen bahan bakar dan energi terbesar kedua setelah transportasi.
Pemerintah menegasikan bahwa hampir sebagaian besar barang komoditas kebutuhan
rakyat diproduksi melalui proses pabrikasi. Dengan demikian, beban produksi
yang meningkat akibat kenaikan harga bahan bakar pastinya akan menyebabkan naiknya
harga-harga kebutuhan pokok dan komoditas lainnya yang akan semakin mencekik
rakyat. Kenyataannya bahkan dari kenaikan-kenaikan harga selama ini “Cenderung”
melebihi angka kenaikan BBM.
Pembengkakan
Subsidi sebagai alasan penaikan BBM hanyalah permainan Angka semata bagi
Pemerintahan SBY
Kebijakan pemerintah untuk
menghapuskan subsidi BBM, tidak lebih hanya akal bulus SBY dalam mengutak-atik
politik anggarannya agar sesuai dengan kepentingan klik-nya yang sedang
berkuasa dan skema yang dikehendaki oleh imperialis. Seluruh dasar pikir dan
kebijakan yang diterapkan dalam mengawal kenaikan BBM ini, tak terbantahkan
pada akhirnya adalah meningkatnya penderitaan rakyat; semakin meluasnya kemiskinan
dan pengangguran. Alasan pembengkakan anggaran yang terus dijadikan sebagai
alasan utama untuk menaikkan harga BBM tersebut tidak ubahnya sebagai permainan
angka semata bagi pemerintahan SBY untuk terus mengelabui rakyat.
Alasan pemerintah atas membengkaknya subsidi tersebut, secara lansung dapat
dibantah dengan kenyataan bahwa:
1). Pemerintah menyatakan bahwa
total minyak (untuk menutupi kekurangan)
yang harus di import sebesar 990 ribu barrel perhari. Artinya, dalam perbandingan,
kebutuhan konsumsi dan jumlah produksi tersebut (jika dihitung hanya berdasarkan jatah Pemerintah: 540 ribu
barrel/hari), didalamnya terdapat
selisih 130 ribu barrel (20,7 kl) perhari, setara dengan Rp. 124, 02 M.
Atau sama dengan 46,8 jt barrel pertahun, setara dengan Rp. 1,49 T. Pertahun.
Jadi sebenarnya, kekurangan cadangan minyak nasional yang harus dipenuhi
melalui Import bukanlah sebesar 990 ribu barrel, melainkan 860 ribu barrel.
Artinya, terdepat selisih angka yang “digelapkan” oleh pemerintah sebesar 130
ribu barrel/hari. Dengan demikian, keuntungan yang diraup oleh pemerintah dari
“penggelapan” 130 ribu barrel perhari mencapai US$.13 Jt/hari , sama dengan Rp. 124,8 Milliar/hari atau Rp. 1, 498 Trilliun/tahun.
2). Jika seluruh hasil produksi minyak nasional
diorientasikan untuk kebutuhan domestik/nasional, maka sebenarnya Indonesia
hanya kekurangan 550 ribu barrel perhari dengan nilai US$. 55 jt. Namun karena
pemerintah lebih mengutamakan eksport, akibatnya jumlah Import yang harus
ditanggung negara melebihi jumlah produksi minyak didalam negeri. Belum lagi
jika dihitung bahwa minyak yang dieksport adalah minyak mentah, sementara kita
harus melakukan import sebagian besar adalah minyak jadi, termasuk 540 ribu
barrel jatah pemerintah dari setiap produksi tersebut, harus dieksport kembali
untuk diolah menjadi minyak jadi. Dengan demikian maka beban biaya yang
ditanggung oleh Negara menjadi berlipat-lipat.
Untuk memenuhi kekurangan
cadangan minyak tersebut, Christian Damayanto (Direktur Pengolahan PT. Pertamina) mengatakan bahwa, total Import
pertamina saat ini sebesar 200.000 barrel perhari dengan harga yang dipatok
oleh pemerintah berdasarkan Indonesian
crued price (ICP) sebesar US$ 100, dengan total anggaran yang disediakan
sebesar 46,1 jt kl. dengan Nilai Rp.69,150.000.000.000. Kenyataannya, jika
dihitung berdsarkan ICP yang ditetapkan Pemerintah, US$.100, maka Angka riil
untuk membiayai Import sebesar 200.000 barrel perhari menjadi sebesar Rp. 69.120.000.000.000.
Dari perhitungan tersebut terdapat selisih angka (Kelebihan Anggaran) mencapai
Rp. 30 T. Jadi, jika pemerintah menyatakan bahwa APBN yang dialokasikan untuk
46,1 kl minyak tersebut masih kurang, tentulah alasan tersebut adalah alasan
yang mengada-ada dan bohong belaka, kelebihan hingga Rp. 30 T. Tersebut bahkakn
belum termasuk APBN-P yang diusulkan mencapai 50-53 juta kl.
Alokasi Anggaran pendapatan dan belanja negara
(APBN) 2013 untuk subsidi BBM sebesar 46, 01 Jt kl. tersebut ditetapkan
berdasarkan data realisasi konsumsi BBM selama tiga tahun terakhir, yakni: 2012
mencapa 75, 07 jt kl dan konsumsi untuk BBM bersubsidi sebesar 3,02 juta kl,
Tahun 2011 sebesar 3,5 juta kl dan, tahun 2010 sebesar 38,26 juta kl. Lebih dari itu, Pemerintah bahkan mengusulkan kuota bahan
bakar minyak bersubsidi dalam RAPBN 2014 berkisar antara 51,04 juta hingga
52,41 juta kiloliter.
Monopoli minyak dalam negeri oleh perusahaan
asing milik imperialis adalah sebab utama kenaikan harga BBM[2]
Masalah utama yakni dominasi dan
kontrol imperialis atas produksi dan pasar secara monopoli sehingga rakyat tak
dapat berdaulat atas miliknya. Indonesia hanya akan diberi jatah sumur-sumur
tua yang terus mengalami penurunan produksi, atau pun mesin-mesin pertambangan
yang secara teknologi sangat terbelakang. Inilah yang dijadikan alasan oleh SBY,
yakni produksi yang makin turun sehingga membutuhkan impor minyak mentah dan
jadi dalam skala besar bagi kebutuhan dalam negeri. Kontrol terhadap Indonesia
tidak hanya berbentuk produksi minyak namun juga skema perdagangan minyak
sesuai dengan kepentingan pasar imperialis. Oleh karena itu, patokan harga
minyak selalu mengikuti perkembangan dan ketentuan yang dikeluarkan oleh
instrumen pasar milik imperialisme seperti New York Merchantile Exchange
(Nymex)
Selama ini pemerintah Indonesia
melakukan impor minyak sebesar 400.000 barel/hari untuk menutup kekurangan
konsumsi minyak harian Indonesia yang pada tahun 2012 mencapai 1,3 juta barel
per hari dan 2013 mencapai 1,4 juta barrel per hari, Sedangkan produksi minyak
dalam negeri selama ini hanya sekitar 910.000 – 920.000 barel per hari pada
tahun 2012 dan, pada tahun 2013 turun menjadi 850 barrel per hari. Hal tersebut
menjadi alasan kenaikan harga BBM di dalam negeri sebesar Rp 1.500 untuk
premium dan solar, karena tingginya harga minyak dunia dan membengkaknya
anggaran engara untuk subsidi BBM. Monopoli atas produksi hingga distribusi
minyak telah menyebabkan harga minyak naik, dan bukan sekedar akibat turunnya
volume produksi maupun ulah spekulan di pasar minyak internasional.
Monopoli telah menyebabkan produksi
dan penentuan harga sepenuhnya dikendalikan oleh kartel–kartel besar milik
imperialis, bahkan negara penghasil atau produsen minyak pun tidak akan sanggup
mengubah kebijakan harga di luar ketentuan dari kartel milik imperialis
tersebut. Minyak sebagai komoditas penting terutama untuk industri dan
transportasi telah sejak lama berada di bawah kendali kapitalisme monopoli.
Kebutuhan super besar untuk menggerakan industri dan transportasi milik
imperialis sesungguhnya dibarengi dengan pengendalian sepenuhnya atas industri
minyak di seluruh dunia.
Dimulai dari proses produksi dan
penguasaan cadangan minyak yang selama ini dipegang oleh perusahaan–perusahaan
minyak milik Imperialis terutama melalui AS, dahulu ada istilah 7 sisters
(Standard Oil of New Jersey, Royal Dutch Shell, Anglo Anglo Persian Oil Company
(sekarang BP), Standard Oil of New York (Exxon Mobile), Standard Oil of
California (Chevron), Gulf Oil dan Texaco) yang menguasai lebih dari sepertiga
produksi dan cadangan minyak dunia yang seiring dengan krisis yang
berkepanjangan yang menghasilkan merger, maka seven sisters terus berkurang dan
hanya menyisakan Exxon Mobil, Shell, BP, Chevron dan Conocco Phillips.
Meskipun banyak pihak yang
menyebutkan bahwa seiring berdirinya OPEC dan munculnya “new seven sisters”
yang terdiri dari Saudi Aramco (Arab Saudi), Gazprom (Rusia), CNPC (China),
NIOC (Iran), PDVSA (Venezuela), Petrobras (Brazil) dan Petronas (Malaysia)
meruntuhkan dominasi imperialis AS atas monopoli minyak di dunia. Kenyataannya
tidaklah demikian, apalagi dominasi bukan sekedar hanya dari proses produksi
semata, monopoli telah dilakukan imperialis dari hulu hingga hilir.
Exxon Mobil saja memiliki cabang
hampir di seluruh dunia, dengan pegawai mencapai lebih dari 120.000 dan enam
divisi besar yang masuk dalam tiga kategori Upstream, Downstream dan Chemical
yang bergerak dari hulu hingga hilir. Penghasilan Exxon di tahun 2005 saja
sebesar US$ 36,13 miliar, sedikit lebih kecil dari PDB Azerbaijan, sedangkan
pendapatannya lebih besar dari PDB Arab Saudi. Sedangkan tahun 2010, Exxon
Mobil meraup keuntungan sebesar US$ 19,28 Miliar yang didapat dari total
revenue sebesar US$275,56 Miliar. Termasuk di Indonesia, perusahaan minyak
imperialis seperti Exxon, Shell, BP, ConoccoPhillip dan Chevron telah
menggurita.
Sesungguhnya instrumen kekuasaan
imperialis AS untuk memonopoli industri minyak dunia tidak hanya sebatas
melalui perusahaan–perusahaan minyaknya saja. Bahkan imperialis AS menggunakan
pasar sebagai Instrumen pengendali industri minyak dunia, melalui pasar minyak
terbesar NYMEX (New York Merchantile
Exchange) di New York dan ICE (Intercontinental
Exchange) Future di London (pemilik
ICE ini merupakan perusahaan yang berbasiskan di Atlanta AS) serta DME di
Dubai. Di mana spekulan minyak terbesar justru untuk “memainkan” harga minyak
juga dikuasai oleh perusahaan keuangan dan perbankan terkemuka di AS, tercatat
empat perusahaan yaitu Goldman Sachs, Morgan Stanley, sebagai firma dagang
terkemuka serta Citigroup dan JP Morgan Chase yang menguasai lebih dari 75%
spekulasi dan harga minyak dunia.
Lembaga keuangan seperti Goldman
Sachs, Morgan Stanley, Citigroup maupun JP Morgan Case inilah yang selama ini
“memainkan” harga minyak dalam transaksi–transaksi derivatif dalam
kertas–kertas yang sesungguhnya jauh melebihi nilai riil dari harga minyak itu
sendiri, semua itu dilakukan untuk mendapatkan serta memutarkan kapital super
besar di tengah krisis. Fakta ini menunjukan bahwa harga minyak sesungguhnya
dikontrol oleh Wall Street, dan bukan oleh OPEC.
Selama ini pertukaran minyak
internasional dilakukan di NYMEX terutama untuk jenis WTI dan di ICE Future
terutama untuk jenis Brent, sekaligus menetapkan patokan (Benchmark) atas harga
kargo minyak yang diperdagangkan bebas. Peran kedua pasar minyak tersebut
dominan atas pembentukan patokan harga (Benchmark) minyak khususnya untuk jenis
crude oil West Texas Intermediate (WTI) dan North Sea Brent (Brent), selain itu
DME juga memiliki peranan yang sama sebagai kepanjangan tangan dari NYMEX.
Sekedar catatan, jenis Brent merupakan konsumsi pasar di Eropa dan Asia,
sedangkan WTI merupakan konsumsi di AS. Kedua jenis minyak ini terutama jenis
Brent, untuk penyempurnaan penyulingannya selama ini dilakukan di pantai timur
AS.
Sudah menjadi pemahaman umum bahwa ICE
selama ini merupakan partner sejati bagi penguasa–penguasa perdagangan minyak
seperti Chevron, Exxon, BP hingga Conocco Philip serta pedagang berjangka
minyak raksasa seperti Goldman Sachs, Morgan Stanley hingga Citigroup. Bahkan
tidak seperti umumnya perdagangan kertas berharga yang harus tercatat dan
teregulasi, perdagangan di ICE selama ini tidaklah teregulasi dan diserahkan
pada para pelaku pasar yang dengan seenaknya bisa memainkan harga minyak di
pasar bursa. Selama ini ICE yang juga dikenal sebagai gerombolan kriminal atau
mafia minyak selalu berlindung pada NYMEX, dan melalui OTC (over the counter)
atau perdagangan surat melalui elektronik inilah bahkan pemalsuan transaksi
seperti halnya “skandal Enron” dilakukan oleh imperialis untuk memonopoli minyak
di pasar dunia.
Sehingga dari sinilah terlihat
bahwa masalah kenaikan harga minyak tidak semata–mata diakibatkan oleh berbagai
sebab yang selama ini dipropagandakan oleh imperialis maupun pemerintah
bonekanya. Masalah tersebut hanyalah sekedar pemantik bagi munculnya spekulasi
yang kemudian digiring oleh mafia minyak imperialis untuk mendapatkan
keuntungan yang berlebih. Bahkan untuk lebih mendorong ekspektasi, perbaikan
ekonomi AS sebagai konsumen minyak terbesar di dunia pun dijadikan ukuran atas
naik atau turunnya harga minyak di pasar internasional.
Sesungguhnya monopoli imperialisme
atas minyak dunia tidak akan berjalan mudah tanpa bantuan rejim komprador di
berbagai negeri, mulai dari rejim negeri–negeri produsen minyak dunia di Timur
Tengah hingga Afrika tunduk di bawah dominasi Imperialisme pimpinan AS. Hal
yang sama juga berlaku di berbagai negeri di Asia, termasuk Indonesia yang
sekarang berada di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Seperti pada umumnya pemerintah
boneka di berbagai negeri, termasuk Indonesia, memiliki peranan untuk membantu
eksploitasi dan penindasan terhadap rakyat dan merampok sumber bahan mentah
bagi kepentingan imperialisme. Operator utama tentu saja adalah borjuasi besar
komprador yang dibantu kapitalisme birokrat dan tuan tanah yang seolah olah
menjadi pengusaha nasional akan tetapi aslinya tidak lebih dari makelar atau
calo penjual kekayaan negeri seperti Indonesia.
Sejarah dominasi perusahaan minyak
milik kapitalis asing di Indonesia atas ladang-ladang min-yak sesungguhnya
telah berjalan jauh sebelum kemerdekaan Indonesia[3]. Keberadaan
Perusahaan minyak AS sendiri yang memegang kendali dan kontrol atas produksi
dan pasar minyak dunia sekarang ini, telah ada sejak tahun 1914, yaitu Standard
Oil New Jersey (SOIJ) yang menemukan cadangan minyak di Talang Akar, Sumatera
Selatan. Melalui anak perusahaanya di Hindia Belanda yakni Nederlandsche
Koloniale Petroleum Maatschappij (NKPM) mulai memasang pipa transmisi di
Talang Akar yang berhubung dengan kilang di Sungai Gerong pada tahun 1926, di
seberang kilang Plaju milik Shell. Saat itu, sumber di Talang Akar merupakan
lapangan ekplorasi terbesar di Hindia Belanda. Pada tahun 1947, kedua
perusahaan tersebut (SOIJ dan NKPM) kemudian meleburkan diri menjadisatu dan
berganti nama menjadi STANVAC. Perusahaan ini memiliki perusahaan pemasaran
yang bernama Mobil Oil yang kelak bergabung dengan Exxon Cooperation dan
mendirikan ExxonMobil.
Sejak tekanan AS terhadap Belanda atas undang-undang diskriminatif,
yakni IMW, perusahaan minyak AS masuk ke Indonesia semakin banyak dan terus
mendominasi produksi minyak. Perusahaan itu seperti Gulf Oil yang masuk ke
Sumatera Utara dan Standard Oil California yang melakukan eksplorasi minyak di
Kalimantan dan Papua
(1922) yang kemudian merger dengan The Texas Company (TEXACO) menjadi
California Texas Oil (Caltex). Akan tetapi, Caltex ini baru membangun sumur
pertama yakni Rokan Block di Sebanga (Riau) kemudian di Duri. Caltex ini
pada perkembangannya menjadi Chevron pada tahun 2001.
Klas–klas
yang diuntungkan di balik kenaikan harga BBM, yaitu:
1. Kapitalis Birokrat, seperti SBY
dan anggota kabinetnya serta pejabat tinggi negara lainnya yang telah memimpin
berbagai kebijakan yang anti-rakyat, seperti pencabutan subsidi publik dan
memberikan keuntungan yang begitu besar bagi imperialis untuk beroperasi di
Indonesia. Memberikan perlindungan pada perusahaan imperialis melalui
serangkaian instrumen, mulai dari UU jaminan investasi (UUPM) untuk menjamin
kontrak karya dan operasinya di Indonesia, Privatisasi sumber daya alam
Indonesia, jaminan keamanan dan kemudahan investasi (berwujud keringanan pajak,
bea impor & ekspor murah dll). Kemudian tetap mempertahankan kebijakan
Import BBM yang jelas telah merugikan keuangan negara sebagai konsekwensi dari
penurunan produksi minyak dalam negeri akibat monopoli perusahaan asing.
2. Borjuasi Besar Komprador
(Pedagang Besar Kompardor), yang terdiri dari mereka yang diuntungkan melalui
banyak cara, memanfaatkan keuntungan di tengah isu kenaikan BBM. Baik yang
bekerjasama langsung dalam industri ekstraktif minyak bumi bersama perusahaan
milik imperialisme, seperti halnya Medco, PT SAS dan lain sebagainya.
Sudah menjadi pengetahuan umum,
bahwa masuknya perusahaan imperialis ke Indonesia selalu dengan menggandeng
pengusaha Indonesia, baik sebagai partnership, join venture hingga mendudukkan
para jenderal militer baik TNI dan Polri, pengusaha, hingga pejabat ke dalam
dewan komisaris maupun jajaran direksi. Model penyuapan untuk keamanan dan
kelancaran bisnis imperialis di Indonesia. Tidak heran, jika diberbagai sektor
industri selain perusahaan milik monopoli kapitalis (TNC/MNC) selalu terdapat
unsur dari Indonesia, baik itu sebagai mitra di lapangan, pemilik saham,
operator hingga jajaran pimpinanan. Hal itu tidak lebih untuk menipu, dengan
mengatakan kemandirian, industri nasional hingga alih teknologi yang semuanya
adalah palsu dan menyesatkan.
3. Tuan tanah, terutama terkait
berbagai proyek konsesi dan pembukaan ladang baru untuk minyak yang seolah
untuk menutupi target produksi. Termasuk industri gas, pembukaan ladang baru
gas sekarang telah menjadi primadona yang begitu menggiurkan atas dalih
diservikasi energi yang tentu akan menguntungkan imperialisme, komprador dan
tuan tanah.
Selain mereka, masih ada segelintir
golongan yang mendapatkan keuntungan terutama para spekulan dipasar berjangka
atau pasar saham yang diuntungkan dengan berbagai isu untuk mengail keuntungan
berlipat ditengah kenaikan harga minyak. Akan tetapi semua hal tersebut tetap
saja berpangkal pada bagaimana operasi kapitalis monopoli dalam bidang energi
yang begitu dalam dan jahat dalam memonopoli sumber energi dunia.
Sekali lagi, diberbagai negara
termasuk Indonesia, skenario tersebut niscaya tidak akan dapat berjalan dengan
baik jika tidak memiliki pelaksana atau operator yang loyal, seperti halnya
rejim Susilo Bambang Yudhoyono.
Dampak
Kenaikan Harga BBM Memberikan Beban Berlipat Ganda Bagi Rakyat
Sangat jelas, kenaikan harga BBM
tidak memberikan keuntungan sedikit pun bagi rakyat kecuali klas-klas
penghisap. Krisis yang berwatak kronis di negeri bergantung seperti Indonesia
akan semakin parah dan berdampak semakin terhisapnya rakyat, peningkatan
tindasan politik dan fasisme, serta meningkatnya kemiskinan. Beban krisis yang
ditanggung rakyat hakekatnya berlipat ganda dibandingkan rakyat di
negeri-negeri imperialis karena harus menanggung beban penyelesaian krisis yang
melanda negeri-negeri imperialis. Beban itu dapat dilihat dari dampak rencana
kenaikan harga BBM terhadap penghidupan rakyat secara umum dan sektor-sektor
penting dalam ekonomi.
Pertama, Ekonomi. Dampak kenaikan ini telah
mendongkrak kenaikan harga kebutuhan pokok rakyat (sembako), ongkos
transportasi, memukul usaha kecil-menengah, menurunkan daya beli masyarakat,
meningkatkan pengangguran dan kemiskinan.
Kenaikan harga BBM menjadikan
kenaikan harga bahan kebutuhan pokok masyarakat seperti beras, minyak goreng,
telur, sayur-sayuran, cabai, daging, dan lain-lain. Meskipun rencana penetapan
kenaikan tersebut akan dilakukan pada pertengahan Bulan ini (17 Juni 2013),
faktanya sejak awal tahun (bulan Januari) rakyat terus diguyur dengan kenaikan
harga kebutuhan pokok secara beruntun setiap bulan. Mulai dari kenaikan tarif
dasar listrik pada bulan januari dan April yang masing-masing sebesar 4,3%,
kemudian disusul dengan kenaikan harga daging, cabe, bawang, telur dan Tomat
serta kebutuhan pokok lainnya. Fenomena kenaikan harga kebutuhan pokok
(Inflasi) yang terjadi setiap bulan tersebut hanya terjadi di Indonesia. Dari
kenyataan tersebut, dapat digambarkan bagaimana kenyataan yang harus dihadapi
rakyat paska penaikan BBM bulan ini, terlebih pada awal bulan selanjutnya sudah
akan memasuki bulan puasa (Ramadhan), kemudian Lebaran, selanjutnya Natal dan
tahun baru.
Beberapa komponen sembako masih
bertahan di harga semula, tetapi perubahan dapat terjadi setiap hari dan
cenderung untuk naik meski pelaksanaan tarif BBM baru belum berlaku. Dampak
kenaikan tersebut sangat memberatkan bagi masyarakat di pedesaan atau pedalaman
yang mengalami kesulitan akses transportasi dan infrastruktur. Harga
barang-barang di daerah itu sudah mahal sebelumnya yang dipengaruhi biaya
transportasi yang besar. Di Papua, harga eceran bensin mencapai antara Rp
10.000 sampai Rp 50.000 per liter sudah sangat memberatkan rakyat, apalagi
ditambah kenaikan per 1 April nanti pasti akan melesat naik.
Di sektor transportasi, pemerintah
mengakui dampak kenaikan harga BBM adalah peningkatan biaya transportasi
sebesar 19,6 persen dari 77 persen total konsumsi minyak nasional. Peningkatan
biaya transportasi akan memaksa rakyat menambah pengeluaran hariannya yang
sudah cekak sebelumnya.
Dalam rencana kenaikan BBM tahun 2012,
Pemerintah berencana akan memberikan subsidi suku cadang dan pajak kendaraan
bagi usaha transportasi, tetapi hal itu hanya ditujukan bagi pengusaha
transportasi. Padahal, instrumen utama penggerak angkutan adalah sopir yang
harus menanggung pengeluaran untuk BBM. Ini membebani para sopir angkutan
karena akan menambah beban setoran yang baru dan mengurangi pendapatan mereka.
Contoh, sopir taksi di Jakarta harus mengejar target minimal Rp 500 ribu per
hari yang dialokasikan untuk setoran ke pemilik armada (perusahaan taksi)
sebesar Rp 300 ribu per hari dan bensin sebesar Rp 200 ribu per hari. Upah
sopir didapatkan dari selisih jumlah pemasukan selama operasi per hari
dikurangi target minimal tersebut. Jadi, sopir tidak mendapatkan upah yang
pasti dan selalu kecil yang berkisar rata-rata Rp 50 ribu per hari. Jika harga
BBM naik, maka akan semakin mengurangi pendapatan mereka. Dilain sisi, Sopir (Sopir
taksi sebagai Contoh awal) juga dihadapkan dengan tekanan psychology yang
tinggi, dimana ketika tidak mampu memberikan setoran sesuai target, yakni Rp.
300.000/hari, maka Ia terancam Skors (Tidak
dipekerjakan samapi target setoran dapat dipenuhi).
Di sektor industri, khususnya
Industri kecil dan menengah, banyak pengusaha akan mengalami kebangkrutan
akibat meningkatnya harga bahan baku, listrik, transportasi pengangkutan, dan
lain-lain. Mereka memiliki keterbatasan akses pasar di level nasional akibat
dominasi imperialis dan ditekan oleh borjuasi komprador. Karena itu, kenaikan
harga BBM mempengaruhi produksi dan distribusi mereka yang tidak mendapatkan
perlindungan (regulasi, insentif, pasar) sehingga akan mengalami kebangkrutan.
Kenaikan harga tentu akan merampas
upah buruh karena terpotongnya nilai riil pendapatan yang didapatkan. Kenaikan
nominal upah mereka tidak berarti apa-apa dan tidak berhubungan dengan kenaikan
nilai riil upah yang diterima. Kenaikan nominal upah buruh sekitar tujuh sampai
sepuluh persen di tahun 2013 tidak sebanding dengan kenaikan harga-harga barang
dan kebutuhan penting lainnya yang naik oleh kenaikan harga BBM. Selain itu,
kenaikan harga berdampak pada meningkatnya angka PHK akibat kebijakan efesiensi
tenaga kerja oleh perusahaan yang harus menanggung kenaikan biaya produksi.
Cara-cara lain perampasan upah yang dilakukan akibat tersebut adalah
peningkatan jam kerja lembur buruh dan penundaan pembayaran upah. Untuk itu
semua, pengusaha dan pemerintaha akan semakin mengekang kebebasan berserikat
dan pemogokan buruh.
Struktur industri Indonesia yang
didominasi oleh imperialis yang bekerjasama dengan kaki tangannya yakni
borjuasi komprador dan tuan tanah menjadikan tidak adanya industri nasional
yang mandiri. Keadaan ini telah menjadikan Indonesia menjadi lautan
pengangguran yang mencapai lebih dari 40 juta dan semakin bertambah akibat
dampak kenaikan harga BBM. Pengangguran itu merupakan tumpukan orang yang tidak
terserap di industri ditambah dengan korban PHK oleh perusahaan yang melakukan
efesiensi.
Sementara itu, kaum tani menjadi
klas mayoritas rakyat yang menderita akibat kenaikan harga BBM. Akibat
penghisapan feodalisme dan dominasi imperialisme, mereka menanggung beban kerja
berlipat akibat semakin tingginya biaya sewa tanah yang ditanggung, pemotongan
upah, dan terjerat hutang lintah darat. Kenaikan harga menjadikan biaya
produksi yang harus ditanggung petani miskin dan buruh tani untuk input pertanian
yakni benih, pupuk, obat-obatan dan alat kerja.
Contoh, di desa Sukamulya Rumpin
(Jawa Barat) harga pupuk kandang pasca kenaikan harga BBM tahun 2008 meningkat
menjadi Rp 4.000 per karung (20 kg) dari harga sebelumnya Rp 2.700 per karung.
Kenaikan ini akibat biaya transportasi dan harga karung. Di Cirebon, pasca
kenaikan harga BBM tahun 2008 juga telah meningkatkan harga sewa tanah naik 100
persen menjadi Rp 10 juta/hektar per tahun.
Kaum nelayan juga sangat menderita
oleh kenaikan harga BBM di tengah penggunaan solar yang merupakan komponen
terbesar biaya produksi yang mencapai 60 persen lebih. Mayoritas nelayan di
Indonesia dari 2,6 juta adalah nelayan pengguna kapal kecil yang bobotnya di
bawah 30 GT (gross ton). Para nelayan kecil, biasaya, membeli solar
eceran yang harganya dapat mencapai dua kali lipat per liter. Tentunya, para
nelayan semakin membatasi aktivitasnya atau terjerat oleh tengkulak dan lintah
darat sebagai sumber pembiayaan aktivitasnya.
Jelas, tarif baru BBM akan
menjadikan penurunan daya beli masyarakat. Inflasi saja sudah menjadikan
harga-harga barang meningkat apalagi ditambah kenaikan tarif baru nanti.
Keadaan itu akan menambah inflasi yang diperkirakan mencapai 7,2 persen (naik dari asumsi inflasi APBN 2013 yang
berada di kisaran 4,9 persen) sehingga nilai uang serta upah diterima pasti
terpangkas lagi. Penghidupan kaum borjuasi kecil (Intelektuil: Guru, Dosen, Profesional,
Pegawai rendahan, dan Pedagang Kecil, dll) akan semakin menurun seiring
terpotongnya upah kerja dan berkurangnya pemasukan usaha produksi dan dagang
mereka.
Kenaikan
harga-harga barang dan jasa sudah pasti menjadikan angka kemiskinan meningkat.
Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi memperkirakan kenaikan harga
BBM sebesar 30 persen berpotensi mengakibatkan orang miskin bertambah sebesar
8,55 persen atau sekitar 15,68 juta jiwa dan pengangguran diprediksikan
meningkat 16,92 persen dari angka pengangguran resmi yang dilansir BPS sebesar
10,11 juta. Hal tersebut juga senada
dengan yang diungkapkan oleh Menteri Keuangan (Chatib Basri) mengungkapkan, kenaikan harga BBM
bersubsidi 2013 akan
menciptakan sekitar 4 juta orang miskin baru.
Pemerintah selalu membanggakan
keberhasilan palsunya dalam menurunkan angka kemiskinan sebesar satu juta orang
atau menjadi 30,5 juta orang pada tahun 2011. Akan tetapi, ia tidak bisa
menjelaskan peningkatan sasaran bantuan tunai langsung (BLT) setiap kenaikan
harga BBM melebihi angka rakyat miskin hasil rekayasa Badan Pusat Statistik
(BPS). Mereka hanya bermain dengan kategori-kategori palsu tentang kemiskinan
seperti tingkatan kemiskinan dan ukuran minimum rakyat miskin yakni hidup
kurang dari Rp 7.000 per hari.
Kedua, Politik. Demi menjaga skema imperialis dalam
mengatasi krisisnya yang berujung berlipatgandanya penghisapan terhadap rakyat,
maka rezim boneka SBY akan meningkatkan politik fasisme. Penghidupan rakyat
yang semakin merosot pasti akan memercikan api perlawanan dan semakin meluas
sehingga rezim merasa terancam dan bertindak fasis untuk menjaga stabilitas dan
jaminan bagi tuannya, imperialis AS. Rezim reaksi sekarang ini, sejak tahun
2012 lalu telah memberi ancaman bagi gerakan rakyat yang menolak kenaikan harga
BBM dengan menyebarkan isu “makar” dan cap anti kemajuan negara. Bahkan
pemerintah, oleh Presiden SBY secara lansung menyatakan “Akan Menindak Tegas”
setiap demonstrasi atau gerakan-gerakan lain yang menolak rencana kebijakan
tersebut.
Disisi yang lain pula, pengalihan
subsidi menjadi kompensasi dalam berbagai bentuk tidak terlepas dari
kepentingan politik menuju pemilu 2014 yang sudah semakin dekat. Pemberian
Kompensasi melalui program percepatan dan perluasan perlindungan social senilai
Rp. 12,5 Trilliun dan Bantuan lansung sementara (BLSM) senilai Rp. 30,1 Triliun
tak ubahnya sebagai politik pencitraan semata.
Ketiga, Kebudayaan. Sudah pasti, kenaikan harga BBM
akan meningkatkan biaya pendidikan. Pemerintah selalu bersembunyi di balik
topeng pengalihan biaya subsidi harga BBM yakni penambahan subsidi bagi
pendidikan bagi keluarga miskin. Faktanya, harga biaya pendidikan semakin mahal
sehingga meningkatkan angka putus sekolah.
Sebagai contoh, dari kenaikan harga
BBM pada tahun 2005 dan tahun 2008, subsidi pendidikan akibat kenaikan harga
BBM diwujudkan dalam bentuk kompensasi yang dikenal dengan “Bantuan
Operasional Sekolah (BOS)” untuk siswa SD dan SMP. Sementara itu, dalam
Implementasinya tidak pernah menyentuh angka 50-40% dari total jumlah peserta
didik dari keluarga Miskin. Dilain sisi, penyaluran atas kompensasi tesebutpun
masih melalui Beasiswa dengan sistem subsidi silang yang sarat dengan
diskriminasi dan manipulasi. Dampak lain dari itu, justeru mengurangi
tanggungan wajib pemerintah (20% Anggaran pendidikan dari APBN), dimana
anggaran BOS kemudian dimasukkan menjadi bagian dari Anggaran 20% tersebut yang
juga tidak pernah terealisasi secara utuh, meskipun pemerintah telah dengan
bangga mengumumkan bahwa angaran tersebut sudah terpenuhi, bahkan lebih dari
20%, yaitu 20,02%. Kenyataannya, setelah dibagi dengan berbagai kementerian dan
terlebih lagi anggaran tersebut didalamnya termasuk dana BOS dan gaji guru,
sehingga secara nominal pastilah tampak menjadi lebih besar, padahal
sesungguhnya, realisasi anggaran tersebut masih tidak lebih dari hanya 11%.
Dampak lansung, dari kenaikan harga
BBM saat itu (Th. 2005 dan 2008) juga menambah angka putus sekolah dan
pengangguran yang semakin tinggi. Sampai dengan tahun 2009, terhitung jumlah
siswa putus sekolah untuk Sekolah Dasar (SD) setiap tahunnya rata-rata
berjumlah 600.000-700.000 siswa. Sedangkan siswa SMP yang harus mengakhiri
sekolah sebelum tamat setiap tahunnya rata-rata berjumlah 150.000 sampai 200.000
siswa. Sementara akses ke pendidikan tinggipun sangat rendah, bahkan
menunjukkan kesenjangan yang sangat tinggi. Dari jumlah pemuda usia kuliah
(18-25 tahun), yang dapat mengenyam pendidikan tinggi hanya mencapai 5,6 Juta
jiwa dari kurang lebih 25 juta jiwa, dan dari angka tersebut menunjukkan angka
putus kuliah yang tidak kurang dari 150.000 Mahasiswa setiap tahun.
Selain dampak lansung terhadap
biaya pendidikan yang semakin tinggi, bagi pemuda Indonesia secara umum, angka
putus sekolah/kuliah akibat biaya tersebut kemudian menambahkan angka
pengangguran di Indonesia yang semakin tinggi. Dari total jumlah pemuda usia
16-30 tahun (versi Pemerintah), data yang di release BPS tahun 2011
menunjukkan angka pengangguran mencapai 60,5%. Sektor pendidikan juga telah
menyumbangkan angka pengangguran yang cukup tinggi. Tercatat, Pengangguran
dengan Pendidikan Rata-rata SD-SMP, per-Agusus 2008 berjumlah 4.073.954, naik
menjadi 4.198.429 pada periode Februari 2009. Sedangkan pengangguran dari
pendidikan tinggi berjumlah 961.001 pada Agustus 2008, menjadi 1.113.020 pada
Februari 2009.
Artinya bahwa kenaikan harga BBM
kali inipun pasti akan menyebabkan akan semakin naiknya biaya pendidikan,
terlebih pemerintah sendiri oleh Presiden SBY lansung menyampaikan bahwa “Angaran
Pendidikan dan Kesehatan” menjadi salah satu sektor yang masuk prioritas
pemotongan subsidi yang akan dialihkan untuk Alokasi Subsidi (Kompensasi BBM
2012). Menurut forum rektor yang bersentuhan lansung dengan lembaga pendidikan
tinggi, juga telah menyepakati bahwa biaya pendidikan harus naik menyesuaikan
kenaikan harga BBM. UNPAD akan menghitung ulang biaya kuliah dan akan
menaikkannya sesuia dengan kenaikan BBM.
Dilihat dari sisi lainpun, tentu
dampak kenaikan harga BBM disektor Pendidikan, tidak hanya pada meningkatnya
biaya yang akan dibayarkan lansung oleh peserta didik dan keluarganya, namun
selain itu, peserta didik juga harus menyiapkan anggaran sendiri yang lebih
tinggi untuk sarana prasana pendidikan dan memenuhi kebutuhan belajar mengajar lainnya,
seperti untuk pembelian seragam sekolah, buku, bolpoin, bahan praktikum, biaya
potocopy, transportasi, akses internet, dll.
Begitu
juga dengan keadaan kesehatan masyarakat yang makin makin memburuk akibat
mahalnya biaya kesehatan dan pelayanan yang buruk. Sejak Januari 2012, harga
obat telah naik hingga 10 persen, bahkan obat yang mengandung parasetamol mencapai
43 persen. Kenaikan itu semakin memberatkan karena pemerintah tidak menanggung
semua obat dalam program jaminan kesehatan yang diberikan bagi keluarga miskin.
Keadaan gizi masyarakat akan menurun akibat mahalnya harga makanan dan nutrisi
yang semakin menjadi-jadi akibat kenaikan harga BBM.
Solusi palsu Pemerintah SBY untuk
menjawab kenaikan harga BBM
Sedangkan untuk menjawab tuntutan
rakyat atas imbas kenaikan harga BBM, Pemerintah SBY menerapkan skema yang sama
dangkal dan klise seperti tahun-tahun sebelumnya. Kenaikan BBM tahun 2005 dan
2008, ada beberapa kebijakan yang diklaim mengurangi dampak kenaikan harga BBM
yaitu 1) Pemberian kompensasi berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT), 2) Konversi
minyak tanah ke gas dan 3) Pemberian Raskin. Faktanya, harga berbagai kebutuhan
pokok dan ongkos transportasi yang membumbung tinggi tetap tidak mampu diatasi
dan dikurangi dampaknya dengan skema BLT maupun raskin.
Bahkan kebijakan pemberian paket
Raskin tidak lebih dari proyek penghinaan terhadap rakyat di tengah kemiskinan
yang akut. Diskriminasi dengan beras berkualitas buruk, bahkan tidak layak
konsumsi dengan dalih tanggung jawab sosial negara terhadap rakyat. Faktanya
skema raskin, bahkan seperti menabur garam di lautan, karena antara tahun 2005
hingga 2009, menunjukan angka kemiskinan rakyat Indonesia di atas 33 juta jiwa,
atau jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok sasaran BLT dan Raskin. SBY
seperti tidak malu dengan kenyataan bahwa sebagian rakyat Indonesia masih makan
nasi aking, tiwul serta akrab dengan penyakit busung lapar maupun gizi buruk.
Bank Dunia mengatakan bahwa rakyat Indonesia, 50 persen lebih merupakan
kelompok yang rentan terhadap kemiskinan terutama akibat kenaikan bahan pokok
atau sembako.
Skema konversi minyak ke gas pun
sesungguhnya lebih kental muatan politisnya dibandingkan dengan kebijakan
efisiensi energi. Sudah menjadi pengetahuan umum kalau kebijakan tersebut tidak
lebih merupakan upaya mengeruk keuntungan komprador di Indonesia seperti Muh.
Jusuf Kalla (JK), Abu Rizal Bakrie (Ichal) dan berbagai perusahaan gas
imperialis di Indonesia seperti Exxon, BP dan Chevron. Bahkan jauh sebelum
kebijakan menaikan harga BBM, telah direncanakan pembatasan BBM bersubsidi dan,
bagi angkutan umum bahan bakarnya akan di konversi ke gas. Lagi–lagi sebuah
proyek yang akan menguntungkan industri komprador maupun milik imperialis.
Untuk
menangani keadaan ini, pemerintah masih menggunakan politik “pro-rakyat” palsu
yang digunakan sejak kebijakan kenaikan harga BBM diluncurkan pada tahun 2005
dan 2008. Pemerintah berusaha menggelontorkan bantuan langsung untuk menekan
dampak kenaikan terhadap masyarakat miskin yakni: Pertama, Bantuan langsung sementara (BLSM) sebesar Rp 150 ribu
per keluarga yang dibagikan kepada 18,5 keluarga miskin dengan anggaran Rp 25,6
triliun. Kedua, Tambahan
subsidi beras miskin selama dua bulan (dari 12 bulan menjadi 14 bulan). Proyek
ini memiliki anggaran sebesar Rp 5,3 triliun. Ketiga, Subsidi penambahan jumlah beasiswa untuk pelajar dan
mahasiswa dari keluarga miskin sebesar Rp 3,4 triliun. Keempat, Subsidi angkutan umum
massal seperti kapal penumpang, kereta api, dan bus umum sebesar Rp 5 triliun.
Apa artinya itu semua? Pemerintah
tidak perlu mengeluarkan dana untuk subsidi atas satu liter BBM dan mengubah
bahasa subsidi menjadi dana kompensansi kenaikan harga BBM. Alasan pemerintah
adalah merombak subsidi yang justru banyak dimanfaatkan orang kaya sebagai
pengguna terbesar BBM. Kompensasi merupakan imbalan pemerintah kepada rakyat
miskin yang terkena dampak yang jumlahnya ditentukan melalui rumus “khusus” ala
pemerintah yang penuh kesesatan dan kepalsuan. Demikian cara pemerintah yang
pasti sia-sia dan tidak menjawab masalah rakyat, bahkan semakin menderitakan
rakyat.
Solusi
jangka panjang dan tuntutan Rakyat
Berdasarkan pada analisis di atas,
maka seluruh rakyat Indonesia harus ssegera bersatu dan berseru menyatakan
Sikap “Tolak Kenaikan Harga BBM”, kemudian
terus bersama-sama untuk menggalang kekuatan dan merangkul seluruh Elemen
rakyat Indonesia untuk menolak dan melawan sekuat tenaga kebijakan Pemerintah
SBY menaikkan harga BBM, dengan berbagai bentuk perlawanan dan menuntut:
1. Tolak
Kenaikan Harga BBM !
2. Cabut UU
Migas no. 22/2001, UU no. 11/1967 dan UU Penanaman Modal no. 25/2007 yang
mengabdi pada imperialis!
3. Turunkan
dan Kendalikan Sepenuhnya Harga-harga
Kebutuhan Pokok Rakyat!
4. Hentikan Perampsan Upah, Naikkan Upah Buruh, Pegawai Rendahan dan pekerja lainnya !
5. Hentikan
Perampasan Tanah dan
Laksanakan Reforma Agraria Sejati !
6. Berikan
jaminan kesejahteraan dan penuhi hak penghidupan rakyat lainnya !
7. Berantas
korupsi dan sita hasil Korupsi untuk Rakyat !
8. Berikan
Jaminan kebebasan Berorganisasi dan mengeluarkan pendapat bagi Rakyat !
9. Hentikan
Komersialisasi pendidikan dan realisasi 20% anggaran pendidikan untuk rakyat !
Hidup Rakyat!
Jayalah Perjuangan Rakyat!
Referensi:
1.
Website Kementerian ESDM
2.
Website kementerian keuangan
3. Berita online, Antara News, Plasadana, Kompas
Online,
Yahoo News Dll.
4.
Brosuer propaganda
GSBI tentang GERAKAN BURUH MELAWAN
POLITIK UPAH MURAH DAN PENANGGUHAN KENAIKAN UPAH 2013
5.
Analisis Indonesian for National and Democraci Studies
(INDIES)
6.
Brosur Propaganda penolakan BBM FMN 2013
yg miskin makin miskin
BalasHapuskasian
judi bola online | agen bola indonesia