Page

Kamis, 13 Juni 2013

Brosure Penolakan Kenaikan Harga BBM 2013


Di terbitkan oleh: Front Perjuangan Rakyat/FPR, 10 Juni 2013

TOLAK KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK (BBM)!!
“Rebut Kedaulatan atas Minyak dan sumberdaya Alam lainnya dari Penguasaan Perusahaan Monopoli Asing di Indonesia untuk Kemakmuran dan Kesejahteraan Rakyat”



Pendahuluan

Sudah dapat dipastikan bahwa pada bulan Juni ini (17/6/13) pemerintah akan mengumumkan secara resmi kenaikan harga BBM bersubsidi (kompas, 4 Juni 2013). Hal itu sesuai dengan selesainya rapat paripurna soal Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara Perubahan (RAPBNP 2013).

Untuk itu, tak akan terlupakan didalam hati dan benak rakyat, bahwa selama dua periode kepemimpinan rejim penghamba Susilo Bambang Yudhono (SBY), Rakyat telah menuai penderitaan demi penderitaan yang tiada putusnya akibat kebijakan dan tindakan fasis dari pemerintah dibawah kekuasaan SBY. Menjelang akhir periode kepemimpinannya yang kedua kalinya, Tahun 2013 ini sekaligus telah menjadi tahun puncak bagi SBY untuk menunjukkan pelayanan dan loyalitasnya kepada tuan imperialis-nya (Kapitalisme monopoli) secara habis-habisan. Dengan demikian SBY-pun terus melakukan penghisapan dan penindasan habis-habisan pula terhadap rakyat. Tahun ini pula akan menjadi tahun yang paling menyakitkan bagi rakyat.

Sepanjang dua periode pemerintahannya (SBY), telah diwarnai dengan berbagai persitiwa yang telah meninggalkan luka demi luka yang menyakitkan bagi rakyat. Terbongkarnya begitu banyak kasus korupsi yang tak sedikit melibatkan jajaran pengurus dan anggota Patai Demokrat, terjadinya berbagai penggusuran tanah dan rumah warga di perkotaan maupun didesa, terjadinya berbagai kekerasan dan tindakan anti demokrasi yang menyebabkan terjadinya penahanan, pemukulan, penembakan bahkan hingga hilangnya nyawa rakyat. Naiknya harga kebutuhan pokok, meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan rakyat, serta dengan berbagai kebijakannya yang anti rakyat, semua semakin kuat membuktikan bahwa pemerintah SBY adalah musuh rakyat yang paling korup, paling kejam dan paling fasis.

Setelah terus-menerus memaksakan politik upah murah terhadap kaum buruh Indonesia, meskipun diakhir tahun 2012 lalu, kaum buruh dapat memenangkan tuntutannya atas upah hingga naik mencapai 2,2 jt (Untuk Wilayah DKI) atau kenaikan upah rata-rata 12% secara nasional, namun SBY pun tidak pernah berhenti menghujani rakyat dengan berbagai kebijakan culasnya. Kenyataannya, sampai dengan pertengahan tahun ini, pemerintahan SBY telah memukul rakyat dengan menaikkan tarif dasar listrik (TDL) sebanyak dua kali, masing-masing 4,3 % pada bulan Januari dan April lalu. Sejak awal tahun ini pula, SBY terus memukul rakyat dengan beban kenaikan harga kebutuhan pokok yang kian mencekik secara beruntun setiap bulan, mulai dari kenaikan harga daging, cabai, tomat, telur hingga harga bawang.

Tidak berhenti disitu, ditengah beban hidup yang semakin berat dan menumpuk, kini pemerintah kembali hendak menghantam rakyat dengan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada bulan ini (Juni 2013). Rencana kenaikan harga BBM saat ini adalah realisasi dari rencana kenaikan pada tahun lalu ditunda setelah mendapatkan tentangan keras dari berbagai kalangan yang terus meningkat dan meluas dengan cepat. Kenaikan harga BBM kali ini, sekaligus akan menjadi kenaikan yang keempat kalinya selama pemerintahan rezim boneka anti rakyat “Susilo Bambang Yudhoyono”, yakni pada: Maret 2005, Oktober 2005, dan Mei 2008.

Kenaikan harga BBM di Indonesia, sejatinya tidak terlepas dari intervensi kapitalisme monopoli (Imperialisme) yang terus memaksa rezim bonekanya untuk melakukan penghapusan atas subsidi bagi rakyat. Kenaikan tersebut, telah menjadi akibat lansung dari dominasi Imperialisme yang terus melakukan monopoli atas tanah, bahan mentah dan sumberdaya alam di Indonesia, termasuk monopoli atas sumberdaya energi dan mineral.

Demikian pula halnya dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pangan merupakan akibat lansung dari kenaikan harga BBM tersebut, sekaligus sebagai cermin atas hancurnya sektor agraria sebagai fundasi ekonomi nasional; yakni masalah yang tidak bisa dipisahkan dari perampasan dan monopoli tanah serta monopoli produksi pangan di tangan industri imperialis dan borjuasi komprador. Seluruh kebijakan anti rakyat dan anti nasional tersebut secara politik terletak di tangan SBY dan kapitalis birokrat dibawahnya. Itulah mengapa kapitalisme birokrat merupakan musuh rakyat yang harus dilawan karena menjadi gerbang legitimasi politik dan hukum bagi imperialisme dan feodalisme secara syah mencekik nasib rakyat Indonesia semiskin-miskinnya.

Dalih penaikan  harga BBM oleh Pemerintah hanya Alasan klasik yang usang
Tak heran, jika Imperialisme AS beserta Imperialisme lainnya di kawasan Eropa, terus mempromosikan Indonesia, sekaligus SBY sebagai contoh negara dan pemerintah yang berhasil mempertahankan “pertumbuhan palsu” ekonomi ditengah badai krisis yang terus menghantam jantung pertahanan Imperialisme dan dunia secara global, juga digadang-gadang sebagai pemerintah yang berhasil menerapkan Demokrasi “palsu” ditengah populasi dengan beragam suku-bangsa dan ras yang majemuk. Pujian usang dan promosi palsu tersebut tiada lain karena memang terbukti bahwa selama berkuasa, budak imperialis ini (SBY) telah menunjukkan konsistensinya sebagai pemerintah boneka dalam melayani dan menyelamatkan perekonomian negeri imperialis dari badai krisis yang mereka derita akibat kerakusannya sendiri. Namun sebaliknya, dibalik jutaan puji tersebut, SBY bertindak sebagai musuh nomer 1 bagi rakyat Indonesia melalui seluruh tindakan politiknya yang semakin menjauhkan rakyat dan negeri dari kemandirian dan kedaulatannya.

Fakta tersebut, salah satunya dapat dilihat dari rencana kebijakan penaikan harga BBM yang telah dipastikan akan ditetapkan pada bulan ini (Juni 2013). Setelah mendapatkan tentangan yang disertai dengan berbagai kecaman hingga akhirnya gagal menaikkan harga BBM tahun lalu, kini pemerintah kembali memaksakan kehendaknya untuk merealisasikan kebijakan tersebut dengan alasan yang sama. Namun, alasan-alasan yang paling utama digunakan oleh pemerintah yakni: a). Untuk penyelematan anggaran (APBN) dari pembengkakan akibat kebutuhan subsidi yang tinggi, b). Karena naiknya harga minyak dunia, c).  Karena subsidi yang tidak tepat  sasaran dan pengalihan subsidi untuk sektor lain yang lebih berguna.

a). Untuk penyelematan anggaran (APBN) dari pembengkakan akibat kebutuhan subsidi yang tnggi: Dari pengalaman kenaikan harga BBM sebelum-sebelumnya, seakan sudah menjadi kebiasaan dalam menjalankan niat bulusnya, pemerintah selalu berusaha membodohi rakyat dengan permainan angka-angka untuk menutupi fakta di balik rencana kenaikan harga BBM dan TDL. Selama ini SBY dan aparatusnya beralasan soal tingginya subsidi yang harus ditanggung oleh pemerintah untuk sektor energi, terutama BBM. Subsidi energi untuk tahun 2013 sebesar Rp 274,7 triliun, dengan perincian subsidi BBM sebesar Rp 193,8 triliun dengan volume 46 Juta kiloliter setara Rp 80,9 triliun. Sedangkan kuota atau pemakaian BBM tahun 2013 diperkirakan akan mencapai 48-53 juta kiloliter.

Secara khusus, naiknya jumlah subsidi yang dibutuhkan tahun ini, menurut pemerintah ialah karena meningkatnya konsumsi BBM mencapai 10%, atau 50 jt kl dari realisasi tahun sebelumnya 45 juta kl. Sementara itu, produksi minyak nasional hanya mencapai 850 ribu barrel perhari. Dari total produksi tersebut,  jatah untuk pemerintah sebesar 540 ribu barrel[1]. Sedangkan total konsumsi minyak nasional mencapai 1,4 juta barrel perhari. Artinya, defisit cadangan minyak nasional sebesar 860 ribu barrel perhari. Dengan demikian, maka volume import-pun harus dinaikkan minimal 10% (990 ribu barel) dari tahun sebelumnya (900  ribu barel) perhari.

Naiknya konsumsi minyak menurut pemerintah disebabkann karena meningkatnya pembelian kendaraan bermotor yang mencapai 1,2 juta unit, sehingga kebutuhan bakar-pun meningkat hingga 3 juta kl. Penjualan sepeda motor tahun ini akan mencapai 7,1 juta unit, bertambah 1 juta unit dari tahun sebelumnya (Th. 2012, 7,06 juta unit). Sedangkan penjualan mobil tahun lalu naik 24,83 persen. Produksi mobil tahun ini mencapai 1,29 juta unit, kemudian Akan diekspor 90.000 unit. Jadi di dalam negeri akan ada 1,2 juta unit, bertambah dari perkiraan awal 1,1 juta unit. Karena itu, pemerintah (Melalui Menteri ESDM, Jero Wacik)  memastikan bahwa kuota BBM bersubsidi 46,01 juta kiloliter dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2013 tidak akan mencukupi.

Tabel I: Penjualan Mobil dan Motor (2008-2011)
No
Tahun
Mobil
Motor
Jumlah
1
2008
603.774
6.215.831
6.819.605
2
2009
486.061
5.881.777
6.367.838
3
2010
764.710
6.881.893
7.646.603
4
2011
813.856
7.580.104
8.393.960
Sumber: Kompas, 12 Maret 2012

b). Karena naiknya harga minyak dunia. Karena rencana penaikan harga BBM tahun 2013 ini adalah sebagai realisasi penaikan yang gagal pada tahun 2013, maka pemerintah juga masih menggunakan alasan sebelumnya terkait dengan naiknya harga minyak dunia tahun 2012 yang mencapai US$. 120-122/barrel. Namun harga minyak dunia tahun ini justeru mengalami penurunan. Artinya bahwa, Jika hari ini, pemerintah masih menggunakan alasan tersebut, tentunya sudah sangat tidak relevan dengan kenyataan sekarang, dimana harga minyak dunia turun menjadi US$. 90-100 perbarel. Kendati demikian, pemerintah tetap menghitung ICP (Indonesian Crued Price) sebesar US$. 100-115 per barrel.

c).  Karena subsidi yang tidak tepat  sasaran dan pengalihan subsidi untuk sektor lain yang lebih berguna. Pemerintah terus mengungkapkan seolah menjadi “keresahan-nya” bahwa subsidi BBM yang dialokasikan dalam pembelian setiap liter minyak tidak dapat dinikmati secara lansung oleh Rakyat. Pemerintah SBY juga senantiasa menyebutkan bahwa subsidi BBM tidak tepat sasaran, sebab masyarakat kurang mampu bukan konsumen premium maupun solar yang terbesar, sementara itu, 77% konsumsi BBM bersubsidi digunakan oleh kelas menengah ke atas atau yang memiliki mobil pribadi. Sehingga asumsi yang dibangun pemerintah atas kenaikan BBM agar subsidi BBM lebih tepat sasaran. Pemerintah kemudian menegaskan bahwa, masyarakat yang kurang mampu akan menikmati manfaat lebih besar jika harga premium dan solar lebih tinggi. Sedangkan subsidi BBM harus diterima oleh masyarakat melalui kompensasi dengan pengalihan subsidi  kedalam bentuk lain yang “lebih berguna” dan dapat dinikmati secara lansung. 

Dengan dasar pikir demikian, Pemerintah secara terang telah membodohi rakyat dengan menegasikan kesaling hubungan antara sektor yang satu dengan lainnya. Secara khusus, kaitannya dengan sektor transportasi, Pemerintah menutupi kenyataan bahwa dalam menjalankan produksinya, rakyat tidak akan pernah terlepas dari transportasi, khususnya dalam proses distribusi bahan mentah maupun barang jadi. Artinya bahwa dengan tingginya biaya transportasi akibat kenaikan harga BBM tentu saja akan mengakibatkan naiknya biaya/ongkos produksi.

Sama pula halnya dengan produksi pabrikasi yang menjadi salah satu konsumen bahan bakar dan energi terbesar kedua setelah transportasi. Pemerintah menegasikan bahwa hampir sebagaian besar barang komoditas kebutuhan rakyat diproduksi melalui proses pabrikasi. Dengan demikian, beban produksi yang meningkat akibat kenaikan harga bahan bakar pastinya akan menyebabkan naiknya harga-harga kebutuhan pokok dan komoditas lainnya yang akan semakin mencekik rakyat. Kenyataannya bahkan dari kenaikan-kenaikan harga selama ini “Cenderung” melebihi angka kenaikan BBM.

Pembengkakan Subsidi sebagai alasan penaikan BBM hanyalah permainan Angka semata bagi Pemerintahan SBY
Kebijakan pemerintah untuk menghapuskan subsidi BBM, tidak lebih hanya akal bulus SBY dalam mengutak-atik politik anggarannya agar sesuai dengan kepentingan klik-nya yang sedang berkuasa dan skema yang dikehendaki oleh imperialis. Seluruh dasar pikir dan kebijakan yang diterapkan dalam mengawal kenaikan BBM ini, tak terbantahkan pada akhirnya adalah meningkatnya penderitaan rakyat; semakin meluasnya kemiskinan dan pengangguran. Alasan pembengkakan anggaran yang terus dijadikan sebagai alasan utama untuk menaikkan harga BBM tersebut tidak ubahnya sebagai permainan angka semata bagi pemerintahan SBY untuk terus mengelabui rakyat.

Alasan pemerintah atas membengkaknya subsidi tersebut, secara lansung dapat dibantah dengan kenyataan bahwa:
1). Pemerintah menyatakan bahwa total minyak (untuk menutupi kekurangan) yang harus di import sebesar 990 ribu barrel perhari. Artinya, dalam perbandingan, kebutuhan konsumsi dan jumlah produksi tersebut (jika dihitung hanya berdasarkan jatah Pemerintah: 540 ribu barrel/hari), didalamnya terdapat  selisih 130 ribu barrel (20,7 kl) perhari, setara dengan Rp. 124, 02 M. Atau sama dengan 46,8 jt barrel pertahun, setara dengan Rp. 1,49 T. Pertahun. Jadi sebenarnya, kekurangan cadangan minyak nasional yang harus dipenuhi melalui Import bukanlah sebesar 990 ribu barrel, melainkan 860 ribu barrel. Artinya, terdepat selisih angka yang “digelapkan” oleh pemerintah sebesar 130 ribu barrel/hari. Dengan demikian, keuntungan yang diraup oleh pemerintah dari “penggelapan” 130 ribu barrel perhari mencapai US$.13 Jt/hari , sama dengan Rp. 124,8 Milliar/hari atau Rp. 1, 498 Trilliun/tahun.

2). Jika seluruh hasil produksi minyak nasional diorientasikan untuk kebutuhan domestik/nasional, maka sebenarnya Indonesia hanya kekurangan 550 ribu barrel perhari dengan nilai US$. 55 jt. Namun karena pemerintah lebih mengutamakan eksport, akibatnya jumlah Import yang harus ditanggung negara melebihi jumlah produksi minyak didalam negeri. Belum lagi jika dihitung bahwa minyak yang dieksport adalah minyak mentah, sementara kita harus melakukan import sebagian besar adalah minyak jadi, termasuk 540 ribu barrel jatah pemerintah dari setiap produksi tersebut, harus dieksport kembali untuk diolah menjadi minyak jadi. Dengan demikian maka beban biaya yang ditanggung oleh Negara menjadi berlipat-lipat.

Untuk memenuhi kekurangan cadangan minyak tersebut, Christian Damayanto (Direktur Pengolahan PT. Pertamina) mengatakan bahwa, total Import pertamina saat ini sebesar 200.000 barrel perhari dengan harga yang dipatok oleh pemerintah berdasarkan Indonesian crued price (ICP) sebesar US$ 100, dengan total anggaran yang disediakan sebesar 46,1 jt kl. dengan Nilai Rp.69,150.000.000.000. Kenyataannya, jika dihitung berdsarkan ICP yang ditetapkan Pemerintah, US$.100, maka Angka riil untuk membiayai Import sebesar 200.000 barrel perhari menjadi sebesar Rp. 69.120.000.000.000. Dari perhitungan tersebut terdapat selisih angka (Kelebihan Anggaran) mencapai Rp. 30 T. Jadi, jika pemerintah menyatakan bahwa APBN yang dialokasikan untuk 46,1 kl minyak tersebut masih kurang, tentulah alasan tersebut adalah alasan yang mengada-ada dan bohong belaka, kelebihan hingga Rp. 30 T. Tersebut bahkakn belum termasuk APBN-P yang diusulkan mencapai 50-53 juta kl.

Alokasi Anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2013 untuk subsidi BBM sebesar 46, 01 Jt kl. tersebut ditetapkan berdasarkan data realisasi konsumsi BBM selama tiga tahun terakhir, yakni: 2012 mencapa 75, 07 jt kl dan konsumsi untuk BBM bersubsidi sebesar 3,02 juta kl, Tahun 2011 sebesar 3,5 juta kl dan,  tahun 2010 sebesar 38,26 juta kl. Lebih dari itu, Pemerintah bahkan mengusulkan kuota bahan bakar minyak bersubsidi dalam RAPBN 2014 berkisar antara 51,04 juta hingga 52,41 juta kiloliter.

Monopoli minyak dalam negeri oleh perusahaan asing milik imperialis adalah sebab utama kenaikan harga BBM[2]

Masalah utama yakni dominasi dan kontrol imperialis atas produksi dan pasar secara monopoli sehingga rakyat tak dapat berdaulat atas miliknya. Indonesia hanya akan diberi jatah sumur-sumur tua yang terus mengalami penurunan produksi, atau pun mesin-mesin pertambangan yang secara teknologi sangat terbelakang. Inilah yang dijadikan alasan oleh SBY, yakni produksi yang makin turun sehingga membutuhkan impor minyak mentah dan jadi dalam skala besar bagi kebutuhan dalam negeri. Kontrol terhadap Indonesia tidak hanya berbentuk produksi minyak namun juga skema perdagangan minyak sesuai dengan kepentingan pasar imperialis. Oleh karena itu, patokan harga minyak selalu mengikuti perkembangan dan ketentuan yang dikeluarkan oleh instrumen pasar milik imperialisme seperti New York Merchantile Exchange (Nymex)

Selama ini pemerintah Indonesia melakukan impor minyak sebesar 400.000 barel/hari untuk menutup kekurangan konsumsi minyak harian Indonesia yang pada tahun 2012 mencapai 1,3 juta barel per hari dan 2013 mencapai 1,4 juta barrel per hari, Sedangkan produksi minyak dalam negeri selama ini hanya sekitar 910.000 – 920.000 barel per hari pada tahun 2012 dan, pada tahun 2013 turun menjadi 850 barrel per hari. Hal tersebut menjadi alasan kenaikan harga BBM di dalam negeri sebesar Rp 1.500 untuk premium dan solar, karena tingginya harga minyak dunia dan membengkaknya anggaran engara untuk subsidi BBM. Monopoli atas produksi hingga distribusi minyak telah menyebabkan harga minyak naik, dan bukan sekedar akibat turunnya volume produksi maupun ulah spekulan di pasar minyak internasional.

Monopoli telah menyebabkan produksi dan penentuan harga sepenuhnya dikendalikan oleh kartel–kartel besar milik imperialis, bahkan negara penghasil atau produsen minyak pun tidak akan sanggup mengubah kebijakan harga di luar ketentuan dari kartel milik imperialis tersebut. Minyak sebagai komoditas penting terutama untuk industri dan transportasi telah sejak lama berada di bawah kendali kapitalisme monopoli. Kebutuhan super besar untuk menggerakan industri dan transportasi milik imperialis sesungguhnya dibarengi dengan pengendalian sepenuhnya atas industri minyak di seluruh dunia.

Dimulai dari proses produksi dan penguasaan cadangan minyak yang selama ini dipegang oleh perusahaan–perusahaan minyak milik Imperialis terutama melalui AS, dahulu ada istilah 7 sisters (Standard Oil of New Jersey, Royal Dutch Shell, Anglo Anglo Persian Oil Company (sekarang BP), Standard Oil of New York (Exxon Mobile), Standard Oil of California (Chevron), Gulf Oil dan Texaco) yang menguasai lebih dari sepertiga produksi dan cadangan minyak dunia yang seiring dengan krisis yang berkepanjangan yang menghasilkan merger, maka seven sisters terus berkurang dan hanya menyisakan Exxon Mobil, Shell, BP, Chevron dan Conocco Phillips.

Meskipun banyak pihak yang menyebutkan bahwa seiring berdirinya OPEC dan munculnya “new seven sisters” yang terdiri dari Saudi Aramco (Arab Saudi), Gazprom (Rusia), CNPC (China), NIOC (Iran), PDVSA (Venezuela), Petrobras (Brazil) dan Petronas (Malaysia) meruntuhkan dominasi imperialis AS atas monopoli minyak di dunia. Kenyataannya tidaklah demikian, apalagi dominasi bukan sekedar hanya dari proses produksi semata, monopoli telah dilakukan imperialis dari hulu hingga hilir.

Exxon Mobil saja memiliki cabang hampir di seluruh dunia, dengan pegawai mencapai lebih dari 120.000 dan enam divisi besar yang masuk dalam tiga kategori Upstream, Downstream dan Chemical yang bergerak dari hulu hingga hilir. Penghasilan Exxon di tahun 2005 saja sebesar US$ 36,13 miliar, sedikit lebih kecil dari PDB Azerbaijan, sedangkan pendapatannya lebih besar dari PDB Arab Saudi. Sedangkan tahun 2010, Exxon Mobil meraup keuntungan sebesar US$ 19,28 Miliar yang didapat dari total revenue sebesar US$275,56 Miliar. Termasuk di Indonesia, perusahaan minyak imperialis seperti Exxon, Shell, BP, ConoccoPhillip dan Chevron telah menggurita.

Sesungguhnya instrumen kekuasaan imperialis AS untuk memonopoli industri minyak dunia tidak hanya sebatas melalui perusahaan–perusahaan minyaknya saja. Bahkan imperialis AS menggunakan pasar sebagai Instrumen pengendali industri minyak dunia, melalui pasar minyak terbesar NYMEX (New York Merchantile Exchange) di New York dan ICE (Intercontinental Exchange) Future di London (pemilik ICE ini merupakan perusahaan yang berbasiskan di Atlanta AS) serta DME di Dubai. Di mana spekulan minyak terbesar justru untuk “memainkan” harga minyak juga dikuasai oleh perusahaan keuangan dan perbankan terkemuka di AS, tercatat empat perusahaan yaitu Goldman Sachs, Morgan Stanley, sebagai firma dagang terkemuka serta Citigroup dan JP Morgan Chase yang menguasai lebih dari 75% spekulasi dan harga minyak dunia.

Lembaga keuangan seperti Goldman Sachs, Morgan Stanley, Citigroup maupun JP Morgan Case inilah yang selama ini “memainkan” harga minyak dalam transaksi–transaksi derivatif dalam kertas–kertas yang sesungguhnya jauh melebihi nilai riil dari harga minyak itu sendiri, semua itu dilakukan untuk mendapatkan serta memutarkan kapital super besar di tengah krisis. Fakta ini menunjukan bahwa harga minyak sesungguhnya dikontrol oleh Wall Street, dan bukan oleh OPEC.

Selama ini pertukaran minyak internasional dilakukan di NYMEX terutama untuk jenis WTI dan di ICE Future terutama untuk jenis Brent, sekaligus menetapkan patokan (Benchmark) atas harga kargo minyak yang diperdagangkan bebas. Peran kedua pasar minyak tersebut dominan atas pembentukan patokan harga (Benchmark) minyak khususnya untuk jenis crude oil West Texas Intermediate (WTI) dan North Sea Brent (Brent), selain itu DME juga memiliki peranan yang sama sebagai kepanjangan tangan dari NYMEX. Sekedar catatan, jenis Brent merupakan konsumsi pasar di Eropa dan Asia, sedangkan WTI merupakan konsumsi di AS. Kedua jenis minyak ini terutama jenis Brent, untuk penyempurnaan penyulingannya selama ini dilakukan di pantai timur AS.

Sudah menjadi pemahaman umum bahwa ICE selama ini merupakan partner sejati bagi penguasa–penguasa perdagangan minyak seperti Chevron, Exxon, BP hingga Conocco Philip serta pedagang berjangka minyak raksasa seperti Goldman Sachs, Morgan Stanley hingga Citigroup. Bahkan tidak seperti umumnya perdagangan kertas berharga yang harus tercatat dan teregulasi, perdagangan di ICE selama ini tidaklah teregulasi dan diserahkan pada para pelaku pasar yang dengan seenaknya bisa memainkan harga minyak di pasar bursa. Selama ini ICE yang juga dikenal sebagai gerombolan kriminal atau mafia minyak selalu berlindung pada NYMEX, dan melalui OTC (over the counter) atau perdagangan surat melalui elektronik inilah bahkan pemalsuan transaksi seperti halnya “skandal Enron” dilakukan oleh imperialis untuk memonopoli minyak di pasar dunia.

Sehingga dari sinilah terlihat bahwa masalah kenaikan harga minyak tidak semata–mata diakibatkan oleh berbagai sebab yang selama ini dipropagandakan oleh imperialis maupun pemerintah bonekanya. Masalah tersebut hanyalah sekedar pemantik bagi munculnya spekulasi yang kemudian digiring oleh mafia minyak imperialis untuk mendapatkan keuntungan yang berlebih. Bahkan untuk lebih mendorong ekspektasi, perbaikan ekonomi AS sebagai konsumen minyak terbesar di dunia pun dijadikan ukuran atas naik atau turunnya harga minyak di pasar internasional.

Sesungguhnya monopoli imperialisme atas minyak dunia tidak akan berjalan mudah tanpa bantuan rejim komprador di berbagai negeri, mulai dari rejim negeri–negeri produsen minyak dunia di Timur Tengah hingga Afrika tunduk di bawah dominasi Imperialisme pimpinan AS. Hal yang sama juga berlaku di berbagai negeri di Asia, termasuk Indonesia yang sekarang berada di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Seperti pada umumnya pemerintah boneka di berbagai negeri, termasuk Indonesia, memiliki peranan untuk membantu eksploitasi dan penindasan terhadap rakyat dan merampok sumber bahan mentah bagi kepentingan imperialisme. Operator utama tentu saja adalah borjuasi besar komprador yang dibantu kapitalisme birokrat dan tuan tanah yang seolah olah menjadi pengusaha nasional akan tetapi aslinya tidak lebih dari makelar atau calo penjual kekayaan negeri seperti Indonesia.

Sejarah dominasi perusahaan minyak milik kapitalis asing di Indonesia atas ladang-ladang min-yak sesungguhnya telah berjalan jauh sebelum kemerdekaan Indonesia[3]. Keberadaan Perusahaan minyak AS sendiri yang memegang kendali dan kontrol atas produksi dan pasar minyak dunia sekarang ini, telah ada sejak tahun 1914, yaitu Standard Oil New Jersey (SOIJ) yang menemukan cadangan minyak di Talang Akar, Sumatera Selatan. Melalui anak perusahaanya di Hindia Belanda yakni Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij (NKPM) mulai memasang pipa transmisi di Talang Akar yang berhubung dengan kilang di Sungai Gerong pada tahun 1926, di seberang kilang Plaju milik Shell. Saat itu, sumber di Talang Akar merupakan lapangan ekplorasi terbesar di Hindia Belanda. Pada tahun 1947, kedua perusahaan tersebut (SOIJ dan NKPM) kemudian meleburkan diri menjadisatu dan berganti nama menjadi STANVAC. Perusahaan ini memiliki perusahaan pemasaran yang bernama Mobil Oil yang kelak bergabung dengan Exxon Cooperation dan mendirikan ExxonMobil.

Sejak tekanan AS terhadap Belanda atas undang-undang diskriminatif, yakni IMW, perusahaan minyak AS masuk ke Indonesia semakin banyak dan terus mendominasi produksi minyak. Perusahaan itu seperti Gulf Oil yang masuk ke Sumatera Utara dan Standard Oil California yang melakukan eksplorasi minyak di Kalimantan dan Papua (1922) yang kemudian merger dengan The Texas Company (TEXACO) menjadi California Texas Oil (Caltex). Akan tetapi, Caltex ini baru membangun sumur pertama yakni Rokan Block di Sebanga (Riau) kemudian di Duri. Caltex ini pada perkembangannya menjadi Chevron pada tahun 2001.

Klas–klas yang diuntungkan di balik kenaikan harga BBM, yaitu:
1. Kapitalis Birokrat, seperti SBY dan anggota kabinetnya serta pejabat tinggi negara lainnya yang telah memimpin berbagai kebijakan yang anti-rakyat, seperti pencabutan subsidi publik dan memberikan keuntungan yang begitu besar bagi imperialis untuk beroperasi di Indonesia. Memberikan perlindungan pada perusahaan imperialis melalui serangkaian instrumen, mulai dari UU jaminan investasi (UUPM) untuk menjamin kontrak karya dan operasinya di Indonesia, Privatisasi sumber daya alam Indonesia, jaminan keamanan dan kemudahan investasi (berwujud keringanan pajak, bea impor & ekspor murah dll). Kemudian tetap mempertahankan kebijakan Import BBM yang jelas telah merugikan keuangan negara sebagai konsekwensi dari penurunan produksi minyak dalam negeri akibat monopoli perusahaan asing.

2. Borjuasi Besar Komprador (Pedagang Besar Kompardor), yang terdiri dari mereka yang diuntungkan melalui banyak cara, memanfaatkan keuntungan di tengah isu kenaikan BBM. Baik yang bekerjasama langsung dalam industri ekstraktif minyak bumi bersama perusahaan milik imperialisme, seperti halnya Medco, PT SAS dan lain sebagainya.

Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa masuknya perusahaan imperialis ke Indonesia selalu dengan menggandeng pengusaha Indonesia, baik sebagai partnership, join venture hingga mendudukkan para jenderal militer baik TNI dan Polri, pengusaha, hingga pejabat ke dalam dewan komisaris maupun jajaran direksi. Model penyuapan untuk keamanan dan kelancaran bisnis imperialis di Indonesia. Tidak heran, jika diberbagai sektor industri selain perusahaan milik monopoli kapitalis (TNC/MNC) selalu terdapat unsur dari Indonesia, baik itu sebagai mitra di lapangan, pemilik saham, operator hingga jajaran pimpinanan. Hal itu tidak lebih untuk menipu, dengan mengatakan kemandirian, industri nasional hingga alih teknologi yang semuanya adalah palsu dan menyesatkan.

3. Tuan tanah, terutama terkait berbagai proyek konsesi dan pembukaan ladang baru untuk minyak yang seolah untuk menutupi target produksi. Termasuk industri gas, pembukaan ladang baru gas sekarang telah menjadi primadona yang begitu menggiurkan atas dalih diservikasi energi yang tentu akan menguntungkan imperialisme, komprador dan tuan tanah.

Selain mereka, masih ada segelintir golongan yang mendapatkan keuntungan terutama para spekulan dipasar berjangka atau pasar saham yang diuntungkan dengan berbagai isu untuk mengail keuntungan berlipat ditengah kenaikan harga minyak. Akan tetapi semua hal tersebut tetap saja berpangkal pada bagaimana operasi kapitalis monopoli dalam bidang energi yang begitu dalam dan jahat dalam memonopoli sumber energi dunia.

Sekali lagi, diberbagai negara termasuk Indonesia, skenario tersebut niscaya tidak akan dapat berjalan dengan baik jika tidak memiliki pelaksana atau operator yang loyal, seperti halnya rejim Susilo Bambang Yudhoyono.

Dampak Kenaikan Harga BBM Memberikan Beban Berlipat Ganda Bagi Rakyat
Sangat jelas, kenaikan harga BBM tidak memberikan keuntungan sedikit pun bagi rakyat kecuali klas-klas penghisap. Krisis yang berwatak kronis di negeri bergantung seperti Indonesia akan semakin parah dan berdampak semakin terhisapnya rakyat, peningkatan tindasan politik dan fasisme, serta meningkatnya kemiskinan. Beban krisis yang ditanggung rakyat hakekatnya berlipat ganda dibandingkan rakyat di negeri-negeri imperialis karena harus menanggung beban penyelesaian krisis yang melanda negeri-negeri imperialis. Beban itu dapat dilihat dari dampak rencana kenaikan harga BBM terhadap penghidupan rakyat secara umum dan sektor-sektor penting dalam ekonomi.

Pertama, Ekonomi. Dampak kenaikan ini telah mendongkrak kenaikan harga kebutuhan pokok rakyat (sembako), ongkos transportasi, memukul usaha kecil-menengah, menurunkan daya beli masyarakat, meningkatkan pengangguran dan kemiskinan.

Kenaikan harga BBM menjadikan kenaikan harga bahan kebutuhan pokok masyarakat seperti beras, minyak goreng, telur, sayur-sayuran, cabai, daging, dan lain-lain. Meskipun rencana penetapan kenaikan tersebut akan dilakukan pada pertengahan Bulan ini (17 Juni 2013), faktanya sejak awal tahun (bulan Januari) rakyat terus diguyur dengan kenaikan harga kebutuhan pokok secara beruntun setiap bulan. Mulai dari kenaikan tarif dasar listrik pada bulan januari dan April yang masing-masing sebesar 4,3%, kemudian disusul dengan kenaikan harga daging, cabe, bawang, telur dan Tomat serta kebutuhan pokok lainnya. Fenomena kenaikan harga kebutuhan pokok (Inflasi) yang terjadi setiap bulan tersebut hanya terjadi di Indonesia. Dari kenyataan tersebut, dapat digambarkan bagaimana kenyataan yang harus dihadapi rakyat paska penaikan BBM bulan ini, terlebih pada awal bulan selanjutnya sudah akan memasuki bulan puasa (Ramadhan), kemudian Lebaran, selanjutnya Natal dan tahun baru.

Beberapa komponen sembako masih bertahan di harga semula, tetapi perubahan dapat terjadi setiap hari dan cenderung untuk naik meski pelaksanaan tarif BBM baru belum berlaku. Dampak kenaikan tersebut sangat memberatkan bagi masyarakat di pedesaan atau pedalaman yang mengalami kesulitan akses transportasi dan infrastruktur. Harga barang-barang di daerah itu sudah mahal sebelumnya yang dipengaruhi biaya transportasi yang besar. Di Papua, harga eceran bensin mencapai antara Rp 10.000 sampai Rp 50.000 per liter sudah sangat memberatkan rakyat, apalagi ditambah kenaikan per 1 April nanti pasti akan melesat naik.

Di sektor transportasi, pemerintah mengakui dampak kenaikan harga BBM adalah peningkatan biaya transportasi sebesar 19,6 persen dari 77 persen total konsumsi minyak nasional. Peningkatan biaya transportasi akan memaksa rakyat menambah pengeluaran hariannya yang sudah cekak sebelumnya.

Dalam rencana kenaikan BBM tahun 2012, Pemerintah berencana akan memberikan subsidi suku cadang dan pajak kendaraan bagi usaha transportasi, tetapi hal itu hanya ditujukan bagi pengusaha transportasi. Padahal, instrumen utama penggerak angkutan adalah sopir yang harus menanggung pengeluaran untuk BBM. Ini membebani para sopir angkutan karena akan menambah beban setoran yang baru dan mengurangi pendapatan mereka. Contoh, sopir taksi di Jakarta harus mengejar target minimal Rp 500 ribu per hari yang dialokasikan untuk setoran ke pemilik armada (perusahaan taksi) sebesar Rp 300 ribu per hari dan bensin sebesar Rp 200 ribu per hari. Upah sopir didapatkan dari selisih jumlah pemasukan selama operasi per hari dikurangi target minimal tersebut. Jadi, sopir tidak mendapatkan upah yang pasti dan selalu kecil yang berkisar rata-rata Rp 50 ribu per hari. Jika harga BBM naik, maka akan semakin mengurangi pendapatan mereka. Dilain sisi, Sopir (Sopir taksi sebagai Contoh awal) juga dihadapkan dengan tekanan psychology yang tinggi, dimana ketika tidak mampu memberikan setoran sesuai target, yakni Rp. 300.000/hari, maka Ia terancam Skors (Tidak dipekerjakan samapi target setoran dapat dipenuhi).

Di sektor industri, khususnya Industri kecil dan menengah, banyak pengusaha akan mengalami kebangkrutan akibat meningkatnya harga bahan baku, listrik, transportasi pengangkutan, dan lain-lain. Mereka memiliki keterbatasan akses pasar di level nasional akibat dominasi imperialis dan ditekan oleh borjuasi komprador. Karena itu, kenaikan harga BBM mempengaruhi produksi dan distribusi mereka yang tidak mendapatkan perlindungan (regulasi, insentif, pasar) sehingga akan mengalami kebangkrutan.

Kenaikan harga tentu akan merampas upah buruh karena terpotongnya nilai riil pendapatan yang didapatkan. Kenaikan nominal upah mereka tidak berarti apa-apa dan tidak berhubungan dengan kenaikan nilai riil upah yang diterima. Kenaikan nominal upah buruh sekitar tujuh sampai sepuluh persen di tahun 2013 tidak sebanding dengan kenaikan harga-harga barang dan kebutuhan penting lainnya yang naik oleh kenaikan harga BBM. Selain itu, kenaikan harga berdampak pada meningkatnya angka PHK akibat kebijakan efesiensi tenaga kerja oleh perusahaan yang harus menanggung kenaikan biaya produksi. Cara-cara lain perampasan upah yang dilakukan akibat tersebut adalah peningkatan jam kerja lembur buruh dan penundaan pembayaran upah. Untuk itu semua, pengusaha dan pemerintaha akan semakin mengekang kebebasan berserikat dan pemogokan buruh.

Struktur industri Indonesia yang didominasi oleh imperialis yang bekerjasama dengan kaki tangannya yakni borjuasi komprador dan tuan tanah menjadikan tidak adanya industri nasional yang mandiri. Keadaan ini telah menjadikan Indonesia menjadi lautan pengangguran yang mencapai lebih dari 40 juta dan semakin bertambah akibat dampak kenaikan harga BBM. Pengangguran itu merupakan tumpukan orang yang tidak terserap di industri ditambah dengan korban PHK oleh perusahaan yang melakukan efesiensi.

Sementara itu, kaum tani menjadi klas mayoritas rakyat yang menderita akibat kenaikan harga BBM. Akibat penghisapan feodalisme dan dominasi imperialisme, mereka menanggung beban kerja berlipat akibat semakin tingginya biaya sewa tanah yang ditanggung, pemotongan upah, dan terjerat hutang lintah darat. Kenaikan harga menjadikan biaya produksi yang harus ditanggung petani miskin dan buruh tani untuk input pertanian yakni benih, pupuk, obat-obatan dan alat kerja.

Contoh, di desa Sukamulya Rumpin (Jawa Barat) harga pupuk kandang pasca kenaikan harga BBM tahun 2008 meningkat menjadi Rp 4.000 per karung (20 kg) dari harga sebelumnya Rp 2.700 per karung. Kenaikan ini akibat biaya transportasi dan harga karung. Di Cirebon, pasca kenaikan harga BBM tahun 2008 juga telah meningkatkan harga sewa tanah naik 100 persen menjadi Rp 10 juta/hektar per tahun.

Kaum nelayan juga sangat menderita oleh kenaikan harga BBM di tengah penggunaan solar yang merupakan komponen terbesar biaya produksi yang mencapai 60 persen lebih. Mayoritas nelayan di Indonesia dari 2,6 juta adalah nelayan pengguna kapal kecil yang bobotnya di bawah 30 GT (gross ton). Para nelayan kecil, biasaya, membeli solar eceran yang harganya dapat mencapai dua kali lipat per liter. Tentunya, para nelayan semakin membatasi aktivitasnya atau terjerat oleh tengkulak dan lintah darat sebagai sumber pembiayaan aktivitasnya.

Jelas, tarif baru BBM akan menjadikan penurunan daya beli masyarakat. Inflasi saja sudah menjadikan harga-harga barang meningkat apalagi ditambah kenaikan tarif baru nanti. Keadaan itu akan menambah inflasi yang diperkirakan mencapai 7,2 persen (naik dari asumsi inflasi APBN 2013 yang berada di kisaran 4,9 persen) sehingga nilai uang serta upah diterima pasti terpangkas lagi. Penghidupan kaum borjuasi kecil (Intelektuil: Guru, Dosen, Profesional, Pegawai rendahan, dan Pedagang Kecil, dll) akan semakin menurun seiring terpotongnya upah kerja dan berkurangnya pemasukan usaha produksi dan dagang mereka.
Kenaikan harga-harga barang dan jasa sudah pasti menjadikan angka kemiskinan meningkat. Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi memperkirakan kenaikan harga BBM sebesar 30 persen berpotensi mengakibatkan orang miskin bertambah sebesar 8,55 persen atau sekitar 15,68 juta jiwa dan pengangguran diprediksikan meningkat 16,92 persen dari angka pengangguran resmi yang dilansir BPS sebesar 10,11 juta. Hal tersebut juga senada dengan  yang diungkapkan oleh Menteri Keuangan (Chatib Basri) mengungkapkan, kenaikan harga BBM bersubsidi 2013 akan menciptakan sekitar 4 juta orang miskin baru.

Pemerintah selalu membanggakan keberhasilan palsunya dalam menurunkan angka kemiskinan sebesar satu juta orang atau menjadi 30,5 juta orang pada tahun 2011. Akan tetapi, ia tidak bisa menjelaskan peningkatan sasaran bantuan tunai langsung (BLT) setiap kenaikan harga BBM melebihi angka rakyat miskin hasil rekayasa Badan Pusat Statistik (BPS). Mereka hanya bermain dengan kategori-kategori palsu tentang kemiskinan seperti tingkatan kemiskinan dan ukuran minimum rakyat miskin yakni hidup kurang dari Rp 7.000 per hari.

Kedua, Politik. Demi menjaga skema imperialis dalam mengatasi krisisnya yang berujung berlipatgandanya penghisapan terhadap rakyat, maka rezim boneka SBY akan meningkatkan politik fasisme. Penghidupan rakyat yang semakin merosot pasti akan memercikan api perlawanan dan semakin meluas sehingga rezim merasa terancam dan bertindak fasis untuk menjaga stabilitas dan jaminan bagi tuannya, imperialis AS. Rezim reaksi sekarang ini, sejak tahun 2012 lalu telah memberi ancaman bagi gerakan rakyat yang menolak kenaikan harga BBM dengan menyebarkan isu “makar” dan cap anti kemajuan negara. Bahkan pemerintah, oleh Presiden SBY secara lansung menyatakan “Akan Menindak Tegas” setiap demonstrasi atau gerakan-gerakan lain yang menolak rencana kebijakan tersebut.

Disisi yang lain pula, pengalihan subsidi menjadi kompensasi dalam berbagai bentuk tidak terlepas dari kepentingan politik menuju pemilu 2014 yang sudah semakin dekat. Pemberian Kompensasi melalui program percepatan dan perluasan perlindungan social senilai Rp. 12,5 Trilliun dan Bantuan lansung sementara (BLSM) senilai Rp. 30,1 Triliun tak ubahnya sebagai politik pencitraan semata.

Ketiga, Kebudayaan. Sudah pasti, kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya pendidikan. Pemerintah selalu bersembunyi di balik topeng pengalihan biaya subsidi harga BBM yakni penambahan subsidi bagi pendidikan bagi keluarga miskin. Faktanya, harga biaya pendidikan semakin mahal sehingga meningkatkan angka putus sekolah.

Sebagai contoh, dari kenaikan harga BBM pada tahun 2005 dan tahun 2008, subsidi pendidikan akibat kenaikan harga BBM diwujudkan dalam bentuk kompensasi yang dikenal dengan “Bantuan Operasional Sekolah (BOS)” untuk siswa SD dan SMP. Sementara itu, dalam Implementasinya tidak pernah menyentuh angka 50-40% dari total jumlah peserta didik dari keluarga Miskin. Dilain sisi, penyaluran atas kompensasi tesebutpun masih melalui Beasiswa dengan sistem subsidi silang yang sarat dengan diskriminasi dan manipulasi. Dampak lain dari itu, justeru mengurangi tanggungan wajib pemerintah (20% Anggaran pendidikan dari APBN), dimana anggaran BOS kemudian dimasukkan menjadi bagian dari Anggaran 20% tersebut yang juga tidak pernah terealisasi secara utuh, meskipun pemerintah telah dengan bangga mengumumkan bahwa angaran tersebut sudah terpenuhi, bahkan lebih dari 20%, yaitu 20,02%. Kenyataannya, setelah dibagi dengan berbagai kementerian dan terlebih lagi anggaran tersebut didalamnya termasuk dana BOS dan gaji guru, sehingga secara nominal pastilah tampak menjadi lebih besar, padahal sesungguhnya, realisasi anggaran tersebut masih tidak lebih dari hanya 11%.

Dampak lansung, dari kenaikan harga BBM saat itu (Th. 2005 dan 2008) juga menambah angka putus sekolah dan pengangguran yang semakin tinggi. Sampai dengan tahun 2009, terhitung jumlah siswa putus sekolah untuk Sekolah Dasar (SD) setiap tahunnya rata-rata berjumlah 600.000-700.000 siswa. Sedangkan siswa SMP yang harus mengakhiri sekolah sebelum tamat setiap tahunnya rata-rata berjumlah 150.000 sampai 200.000 siswa. Sementara akses ke pendidikan tinggipun sangat rendah, bahkan menunjukkan kesenjangan yang sangat tinggi. Dari jumlah pemuda usia kuliah (18-25 tahun), yang dapat mengenyam pendidikan tinggi hanya mencapai 5,6 Juta jiwa dari kurang lebih 25 juta jiwa, dan dari angka tersebut menunjukkan angka putus kuliah yang tidak kurang dari 150.000 Mahasiswa setiap tahun.

Selain dampak lansung terhadap biaya pendidikan yang semakin tinggi, bagi pemuda Indonesia secara umum, angka putus sekolah/kuliah akibat biaya tersebut kemudian menambahkan angka pengangguran di Indonesia yang semakin tinggi. Dari total jumlah pemuda usia 16-30 tahun (versi Pemerintah), data yang di release BPS tahun 2011 menunjukkan angka pengangguran mencapai 60,5%. Sektor pendidikan juga telah menyumbangkan angka pengangguran yang cukup tinggi. Tercatat, Pengangguran dengan Pendidikan Rata-rata SD-SMP, per-Agusus 2008 berjumlah 4.073.954, naik menjadi 4.198.429 pada periode Februari 2009. Sedangkan pengangguran dari pendidikan tinggi berjumlah 961.001 pada Agustus 2008, menjadi 1.113.020 pada Februari 2009.

Artinya bahwa kenaikan harga BBM kali inipun pasti akan menyebabkan akan semakin naiknya biaya pendidikan, terlebih pemerintah sendiri oleh Presiden SBY lansung menyampaikan bahwa “Angaran Pendidikan dan Kesehatan” menjadi salah satu sektor yang masuk prioritas pemotongan subsidi yang akan dialihkan untuk Alokasi Subsidi (Kompensasi BBM 2012). Menurut forum rektor yang bersentuhan lansung dengan lembaga pendidikan tinggi, juga telah menyepakati bahwa biaya pendidikan harus naik menyesuaikan kenaikan harga BBM. UNPAD akan menghitung ulang biaya kuliah dan akan menaikkannya sesuia dengan kenaikan BBM.

Dilihat dari sisi lainpun, tentu dampak kenaikan harga BBM disektor Pendidikan, tidak hanya pada meningkatnya biaya yang akan dibayarkan lansung oleh peserta didik dan keluarganya, namun selain itu, peserta didik juga harus menyiapkan anggaran sendiri yang lebih tinggi untuk sarana prasana pendidikan dan memenuhi kebutuhan belajar mengajar lainnya, seperti untuk pembelian seragam sekolah, buku, bolpoin, bahan praktikum, biaya potocopy, transportasi, akses internet, dll.

Begitu juga dengan keadaan kesehatan masyarakat yang makin makin memburuk akibat mahalnya biaya kesehatan dan pelayanan yang buruk. Sejak Januari 2012, harga obat telah naik hingga 10 persen, bahkan obat yang mengandung parasetamol mencapai 43 persen. Kenaikan itu semakin memberatkan karena pemerintah tidak menanggung semua obat dalam program jaminan kesehatan yang diberikan bagi keluarga miskin. Keadaan gizi masyarakat akan menurun akibat mahalnya harga makanan dan nutrisi yang semakin menjadi-jadi akibat kenaikan harga BBM.

Solusi palsu Pemerintah SBY untuk menjawab kenaikan harga BBM
Sedangkan untuk menjawab tuntutan rakyat atas imbas kenaikan harga BBM, Pemerintah SBY menerapkan skema yang sama dangkal dan klise seperti tahun-tahun sebelumnya. Kenaikan BBM tahun 2005 dan 2008, ada beberapa kebijakan yang diklaim mengurangi dampak kenaikan harga BBM yaitu 1) Pemberian kompensasi berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT), 2) Konversi minyak tanah ke gas dan 3) Pemberian Raskin. Faktanya, harga berbagai kebutuhan pokok dan ongkos transportasi yang membumbung tinggi tetap tidak mampu diatasi dan dikurangi dampaknya dengan skema BLT maupun raskin.

Bahkan kebijakan pemberian paket Raskin tidak lebih dari proyek penghinaan terhadap rakyat di tengah kemiskinan yang akut. Diskriminasi dengan beras berkualitas buruk, bahkan tidak layak konsumsi dengan dalih tanggung jawab sosial negara terhadap rakyat. Faktanya skema raskin, bahkan seperti menabur garam di lautan, karena antara tahun 2005 hingga 2009, menunjukan angka kemiskinan rakyat Indonesia di atas 33 juta jiwa, atau jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok sasaran BLT dan Raskin. SBY seperti tidak malu dengan kenyataan bahwa sebagian rakyat Indonesia masih makan nasi aking, tiwul serta akrab dengan penyakit busung lapar maupun gizi buruk. Bank Dunia mengatakan bahwa rakyat Indonesia, 50 persen lebih merupakan kelompok yang rentan terhadap kemiskinan terutama akibat kenaikan bahan pokok atau sembako.

Skema konversi minyak ke gas pun sesungguhnya lebih kental muatan politisnya dibandingkan dengan kebijakan efisiensi energi. Sudah menjadi pengetahuan umum kalau kebijakan tersebut tidak lebih merupakan upaya mengeruk keuntungan komprador di Indonesia seperti Muh. Jusuf Kalla (JK), Abu Rizal Bakrie (Ichal) dan berbagai perusahaan gas imperialis di Indonesia seperti Exxon, BP dan Chevron. Bahkan jauh sebelum kebijakan menaikan harga BBM, telah direncanakan pembatasan BBM bersubsidi dan, bagi angkutan umum bahan bakarnya akan di konversi ke gas. Lagi–lagi sebuah proyek yang akan menguntungkan industri komprador maupun milik imperialis.

Untuk menangani keadaan ini, pemerintah masih menggunakan politik “pro-rakyat” palsu yang digunakan sejak kebijakan kenaikan harga BBM diluncurkan pada tahun 2005 dan 2008. Pemerintah berusaha menggelontorkan bantuan langsung untuk menekan dampak kenaikan terhadap masyarakat miskin yakni: Pertama, Bantuan langsung sementara (BLSM) sebesar Rp 150 ribu per keluarga yang dibagikan kepada 18,5 keluarga miskin dengan anggaran Rp 25,6 triliun. Kedua, Tambahan subsidi beras miskin selama dua bulan (dari 12 bulan menjadi 14 bulan). Proyek ini memiliki anggaran sebesar Rp 5,3 triliun. Ketiga, Subsidi penambahan jumlah beasiswa untuk pelajar dan mahasiswa dari keluarga miskin sebesar Rp 3,4 triliun. Keempat, Subsidi angkutan umum massal seperti kapal penumpang, kereta api, dan bus umum sebesar Rp 5 triliun.

Apa artinya itu semua? Pemerintah tidak perlu mengeluarkan dana untuk subsidi atas satu liter BBM dan mengubah bahasa subsidi menjadi dana kompensansi kenaikan harga BBM. Alasan pemerintah adalah merombak subsidi yang justru banyak dimanfaatkan orang kaya sebagai pengguna terbesar BBM. Kompensasi merupakan imbalan pemerintah kepada rakyat miskin yang terkena dampak yang jumlahnya ditentukan melalui rumus “khusus” ala pemerintah yang penuh kesesatan dan kepalsuan. Demikian cara pemerintah yang pasti sia-sia dan tidak menjawab masalah rakyat, bahkan semakin menderitakan rakyat.

Solusi jangka panjang dan tuntutan Rakyat
Berdasarkan pada analisis di atas, maka seluruh rakyat Indonesia harus ssegera bersatu dan berseru menyatakan Sikap “Tolak Kenaikan Harga BBM”, kemudian terus bersama-sama untuk menggalang kekuatan dan merangkul seluruh Elemen rakyat Indonesia untuk menolak dan melawan sekuat tenaga kebijakan Pemerintah SBY menaikkan harga BBM, dengan berbagai bentuk perlawanan dan menuntut:

1.      Tolak Kenaikan Harga BBM !
2.      Cabut UU Migas no. 22/2001, UU no. 11/1967 dan UU Penanaman Modal no. 25/2007 yang mengabdi pada imperialis!
3.      Turunkan dan Kendalikan Sepenuhnya Harga-harga Kebutuhan Pokok Rakyat!
4.      Hentikan Perampsan Upah, Naikkan Upah Buruh, Pegawai Rendahan dan pekerja lainnya !
5.      Hentikan Perampasan Tanah dan Laksanakan Reforma Agraria Sejati !
6.      Berikan jaminan kesejahteraan dan penuhi hak penghidupan rakyat lainnya !
7.      Berantas korupsi dan sita hasil Korupsi untuk Rakyat !
8.      Berikan Jaminan kebebasan Berorganisasi dan mengeluarkan pendapat bagi Rakyat !
9.      Hentikan Komersialisasi pendidikan dan realisasi 20% anggaran pendidikan untuk rakyat !

Hidup Rakyat!
Jayalah Perjuangan Rakyat!

Referensi:
1.      Website Kementerian ESDM
2.      Website kementerian keuangan
3.      Berita online, Antara News, Plasadana, Kompas Online, Yahoo News Dll.
4.      Brosuer propaganda GSBI tentang GERAKAN BURUH MELAWAN POLITIK UPAH MURAH DAN PENANGGUHAN KENAIKAN UPAH 2013
5.      Analisis Indonesian for National and Democraci Studies (INDIES)
6.      Brosur Propaganda penolakan BBM FMN 2013
7.      Analisis sejarah monopoli Minyak Imperialis di Indonesia-Front Perjuangan Rakyat (FPR), 2012



[1] Rudi Rubiandini  (Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral)
[2] Brosur Penolakan BBM FMN 2012
[3] Sejarah Monopoli Minyak Imperialisme di Indonesia, Analaisis Front Perjuangan Rakyat (FPR) 2012

1 komentar:

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.