Buruh Migran Korban Kekerasan dan Perbudakan Modern
INFO GSBI - Jakarta 7 Maret 2023. Nama saya Kartika Puspitasari. Saya berumur 40 tahun dan berasal dari Cilacap, Jawa Tengah, Indonesia.
Setelah suami saya meninggal, dia meninggalkan satu anak. Sehingga saya terpaksa memutuskan untuk bekerja keluar negeri demi menghidupi anak dan keluarga. Sebelumnya saya bekerja sebagai PRT ke Singapura, lalu ke Hong Kong.
Untuk bekerja ke Hong Kong saya mendaftar pada sebuah PT penyalur di Jakarta.
Dan setelah itu saya diberangkatkan. Selama 2 tahun bekerja di Hong Kong, saya mengurus tiga anak kecil dan dua orang majikan dewasa.
Tiga bulan pertama bekerja, majikan masih memperlakukan saya dengan baik. Namun, setelah mereka pindah ke rumah baru dan mulai saat itu majikan perempuan berubah sikapnya. Dia membuang semua barang-barang saya termasuk pakaian, dokumen yang saya bawa dari Indonesia, paspor, kontrak kerja dan KTP Hong Kong. Majikan bilang supaya saya tidak bisa pulang ke Indonesia.
Saya hanya diberi makan tiga kali dalam seminggu, berupa bubur sisa dari rumah sakit dimana majikan perempuan bekerja, hanya boleh minum air keran atau toilet, majikan hanya memperbolehkan mandi di toilet umum, ketika saya sudah sangat bau, itu pun tanpa sabun, shampo dan gosok gigi.
Di musim panas dan dingin, majikan menyuruh saya memakai plastik sampah sebagai pengganti baju, dan saya juga disuruh memakai pampers setiap hari. Dia juga mulai sering memukuli saya menggunakan rantai sepeda, hanger, sepatu, tangan. Saya disuruh tidur di dapur dengan posisi duduk di kursi, kaki dan tangan diikat menggunakan kabel plastik setiap hari. Dia juga memotong paksa rambut saya menjadi sangat pendek sekali dengan alasan rambut saya kotor, bau dan ada kutunya. Jika saya menolak, dia menggunakan cutter melukai tubuh saya dan mengancam akan membunuh saya.
Hampir setiap hari badan, kepala, muka, punggung saya dipukuli oleh majikan perempuan, dengan hanger baju, rantai kunci sepeda, dan botol kaca. Kepala saya juga sering dibenturkan ke tembok dapur. Saya sering diancam akan dibunuh jika mencoba melarikan diri.
Sekitar tahun 2011, saya ditinggal majikan dan keluarganya berlibur ke Thailand. Selama 7 hari, kaki dan tangan saya diikat di kursi. Saya juga dipaksa memakai plastik sampah dan pampers sebagai pengganti baju dan dipaksa memakai 5 layer masker supaya saya tidak bisa berteriak atau bicara. Saya juga tidak diberi makan dan minum selama itu.
Saat itu, saya benar-benar putus asa tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya tidak punya teman, tidak bisa menghubungi siapapun dan disiksa setiap hari. Saya hanya bisa pasrah kepada Tuhan YME.
Setelah pindah ke rumah ketiga, majikan menyuruh saya tidur di dalam toilet dengan posisi duduk di atas toilet sembari tangan dan kaki saya diikat dengan kabel plastik. Dia juga sering melukai saya dengan penyulut api.
Selain penyiksaan fisik, saya juga tidak pernah digaji dan tidak diberi libur atau uang libur selama 2,3 tahun bekerja.
Saya sangat sedih, karena selama itu saya tidak bisa menghubungi keluarga, tidak bisa ngomong sama anak, ketika mendengar kabar keluarga yang menganggap bahwa saya dikira sudah meninggal. Demi mencari saya, ibu saya harus berhutang untuk mendatangi PT penyalur saya di Jakarta, tetapi PT yang menyalurkan saya sudah tutup. Ibu saya sudah tidak tahu harus kemana lagi meminta pertolongan. Kenapa pemerintah tidak membuka layanan di daerah, untuk membantu keluarga migran yang membutuhkan pertolongan?
Sekitar bulan Oktober 2012, ketika majikan perempuan sedang bekerja dan majikan laki-laki sedang mengantar anak ke sekolah dan dia lupa mengunci pintu. Saat itu saya melarikan diri dari rumah majikan. Saya berhasil kabur, saya bertemu dengan seorang pekerja migran Indonesia dan dia mengantarkan saya ke kantor KJRI Hong Kong.
Saya sangat senang akhirnya bisa keluar dari rumah majikan. Karena saking putus asa, saya berdoa kalau memang diberi kesempatan hidup saya mohon bebaskan saya, namun kalau harus disiksa terus menerus seperti ini, mending saya mati saja. Saya bersyukur bisa keluar dari rumah itu masih dalam keadaan hidup.
Kasus saya dilaporkan ke kantor polisi Hong Kong dan pada tahun 2013 kedua majikan dinyatakan bersalah dan dihukum penjara masing-masing 3,5 tahun (Ta Chi Kwai) dan 5,5 tahun (Catherine Au Yuk-Shan).
Selama mengurus kasus, saya tinggal shelter KJRI Hong Kong. Dan selama menunggu kasus kepolisian, kasus labour saya ditangani oleh agen, namun kasus saya kalah di pengadilan tribunal, dan saya tidak mendapatkan hak saya. Dari tuntutan sebesar 86,000 Hong Kong dollar, agen memberitahu bahwa saya hanya dikasih uang tiket sebesar 5,000 Hong Kong dollar. Tapi saya tidak pernah menerima uang tersebut.
Kondisi saya masih sangat trauma, ketakutan dan selalu mimpi buruk. Selama di KJRI, saya tidak pernah dibawa berobat untuk fisik dan mental saya. Saya senang ketika majikan saya divonis bersalah dan dipenjara, sehingga tidak melukai korban yang lain. Tapi saya juga sedih karena hukumannya terlalu ringan dibanding dengan apa yang mereka lakukan kepada saya. Bagi saya itu tetap tidak adil dan saya harus menanggung dampak perbuatan mereka seumur hidup saya.
Saya lebih sedih ketika kasus ketenagakerjaan saya, tidak dikabulkan oleh hakim. Disisi lain KJRI Hong Kong juga tidak naik banding, dan juga tidak membantu untuk menuntut ganti rugi maupun kompensasi. Padahal saya masih mengalami luka-luka diseluruh tubuh saya dan trauma yang sangat dalam.
Setelah persidangan labor tribunal selesai, saya bertanya kepada pihak KJRI terkait kasus saya, dan KJRI mengatakan bahwa kasus saya sudah selesai.
Saya dipulangkan ke Indonesia pada tahun 2014 tanpa sepeserpun. Kemudian saya didatangi oleh Koordinator Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) Hong Kong-Macau dan Direktur dari Mission for Migrant Workers (MFMW). Dari situlah, saya baru tahu kalau saya ternyata punya hak untuk menuntut kompensasi. Saya merasa senang dan punya harapan baru karena ada yang membantu untuk menuntut kompensasi.
Saya memulai memproses tuntutan kompensasi bersama dengan organisasi. Antara tahun 2015-2023, sebanyak 3 kali saya didatangkan ke Hong Kong lagi untuk pemeriksaan fisik, menghadiri sidang kasus kompensasi dan memberi kesaksian di District Court. Saya senang karena saya menang kasus kompensasi sebesar 1,2 juta Hong Kong dollar termasuk yang sudah dibayar perusahaan asuransi sebesar 350,000 Hong Kong dollar. Namun jumlah tersebut tidak dibanding dengan luka dan penderitaan yang saya alami.
Sampai sekarang saya masih merasakan trauma berat yang membuat saya gampang emosi, sering mimpi buruk dan gemetaran setiap kali melihat orang-orang yang mirip mantan kedua majikan. Saya kehilangan kepercayaan diri karena bekas-bekas luka yang ada di tubuh saya yang sangat kentara, masih sering sakit dan nyeri.
Saya merasa hukuman terhadap kedua majikan sangat tidak sebanding dengan penyiksaan tidak manusiawi dan pelanggaran yang mereka lakukan terhadap saya. Tapi saya hormati karena itu sudah aturan pemerintah Hong Kong. Saya hanya bisa berharap agar tidak ada lagi Pekerja Rumah Tangga migran yang mengalami nasib seperti saya.
Saya ucapkan banyak terima kasih kepada Mission for Migrant Workers, Jaringan Buruh Migran Indonesia Hong Kong Macau dan seluruh organisasi, lembaga, individu dan semua pihak yang telah membantu dan mendukung kasus saya selama ini.
Saya juga memohon agar pemerintah memantau pekerja migran dan jika ada pengaduan jangan disepelekan. Pemerintah harus menindak tegas PT yang tidak membantu keluarga migran yang sedang mencari keluarganya, seperti keluarga saya mencari saya.
Untuk pemerintah Hong Kong agar jangan semena-mena kepada buruh migran karena kita saling membutuhkan. Pemerintah Hong Kong juga harus punya nomor-nomor penting untuk pengaduan korban kekerasan.
Saya ingin meluruskan kepada media dan masyarakat, bahwa keputusan menang pengadilan itu masih sebatas angka. Beberapa wartawan membuat berita kalau saya sudah mendapat uang kompensasi sebesar 1,6 milyar rupiah, tapi itu hanya diatas kertas, dan sebenarnya saya belum mendapatkan sepeserpun, tapi di media sudah menyebar kalau saya sudah mendapatkan uang itu. Perasaan saya sangat sedih.
Ke depannya jika uang kompensasi saya sudah keluar, saya ingin mengobati luka-luka fisik dan mental saya. Saya tidak sanggup untuk bekerja lagi karena masih trauma, sering teringat perlakuan majikan, dan sering gemetar. Luka fisik saya, mata kanan saya tidak bisa melihat karena sering dipukul menggunakan botol kaca, muncul keloid di lengan tangan kiri, punggung, perut, tangan kanan kiri. Untuk biaya sekolah anak dan membangun rumah karena sampai sekarang saya masih tinggal dengan mertua.
Tidak semua yang bekerja menjadi buruh migran itu sukses dan banyak yang mengalami kekerasan seperti saya, hilang, bahkan mati. Yang kami harapkan adalah perlindungan yang pasti. []
*Kesaksian KARTIKA PUSPITASARI ini di sampaikan dalam acara Konferensi Pers dan Diskusi Negara Harus Meminta Maaf, Menegakkan Keadilan dan Ubah Kebijakan Merugikan Kartika dan Semua PRT Migran, di Jakarta pada 7 Maret 2023 yang di selenggarakan oleh HRWG, JBMI Hongkong-Macau, Beranda Perempuan dllnya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.