Page

Sabtu, 30 September 2023

Kritik Pedas Kebijakan Cipta Kerja, Serikat Buruh: Sesuai UUD 1945 Perppu Cipta Kerja Harusnya di Cabut

 


INFO GSBI- Jakarta, 17 Juli 2023 – Sebanyak 15 (lima belas) Serikat Pekerja dan Serikat Buruh/Para Pemohon yang diwakili oleh kuasa hukumnya, Indrayana Centre For Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm kembali menghadiri sidang pengujian formil UU Cipta Kerja (Ciptaker) terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini, agenda persidangan ialah mendengarkan keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden.

Sebagaimana diketahui, Para Pemohon tersebut mempersoalkan pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) menjadi Undang-Undang Ciptaker. Para Pemohon menilai, bahwa Perppu Ciptaker harusnya dicabut dan tidak bisa diberlakukan lagi karena gagal memenuhi ketentuan Pasal 22 UUD 1945 yaitu mendapat persetujuan DPR melalui forum akhir di rapat paripurna pada masa sidang setelah Perppu itu diterbitkan atau tepatnya pada tanggal 16 Februari 2023.

Atas penilaian yang disampaikan oleh Para Pemohon sebagaimana juga termuat dalam pokok permohonan, DPR dalam keterangannya mengemukakan argumentasi bantahannya, bahwa jika DPR tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengesahkan Perppu Ciptaker menjadi UU pada tanggal 16 Februari 2023.

Memasuki masa persidangan ketiga yang ditutup pada 16 Februari 2023 dan sesuai penjadwalan rapat-rapat DPR,  maka tidak terdapat waktu yang cukup untuk penjadwalan persidangan tingkat 2 (rapat paripurna). Barulah usulan mengenai pengesahan Perppu ini dilaksanakan pada masa persidangan keempat yang dibuka pada 14 Maret 2023. Kemudian, setelah masa penutupan ini DPR melaksanakan masa reses dari 17 Februari hingga 13 Maret 2023. Pada masa reses inilah DPR dapat lebih utuh mendengar masukan dari masyarakat. Kemudian pada 21 Maret 2023 dilakukan Rapat Paripurna dengan catatan 7 fraksi setuju untuk mengundangkan dan 2 fraksi menolak. Di sinilah kemudian Perppu Ciptaker disahkan menjadi UU,” demikian cerita Supriansa selaku Anggota Komisi III DPR.

Terlepas dari alasan kecukupan waktu pengesahan Perppu Ciptaker menjadi UU dalam masa sidang yang tepat, jelas bahwa tindakan yang dilakukan oleh DPR tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 52 Ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyebutkan bahwa Perppu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut. Pada bagian penjelasan pasal disebutkan, yang dimaksud dengan ”persidangan berikutnya” adalah masa sidang pertama DPR setelah perppu ditetapkan yang jatuh pada 16 Februari 2023.

Seperti diketahui, Perppu Ciptaker ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2022 saat DPR masih dalam masa reses. Adapun masa sidang pertama setelah Perppu ditetapkan adalah masa persidangan yang dibuka pada 10 Januari hingga 16 Februari 2023.

AKAL-AKALAN PEMERINTAH

Selain DPR yang menyampaikan keterangannya secara lisan di hadapan Majelis Hakim Konstitusi, pihak Presiden yang diwakili oleh Asep N Mulyana, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Kemenkumham, juga menyampaikan keterangannya sehubungan dengan agenda persidangan hari ini.

Dalam keterangannya, Asep N Mulyana mempersoalkan salah satu substansi yang termuat dalam pokok permohonan Para Pemohon, yakni mengenai model legislasi pengesahan Perppu Ciptaker menjadi UU mengembalikan proses pembentukan UU yang executive heavy dan otoriter seperti zaman orde baru.

Bagaimana mungkin, pengesahan Perppu Ciptaker menjadi UU dapat dikatakan merupakan model legilslasi yang executive heavy dan otoriter seperti zaman orde baru. Pendapat ini merupakan asumsi belaka dan tidak dapat dipertanggung jawabkan. Sebab, saat ini, sistem ketatanegaraan kita memiliki dasar konstitusional yang kuat dan mengedepankan prinsip check and ballances. Selain itu, dalam pengesahan Perppu menjadi UU, bukan hanya pihak Presiden semata, melainkan melibatkan pihak DPR dalam hal persetujuan, juga membuka seluas-luasnya partisipasi publik untuk memberi masukan terhadap kebijakan ini,” demikian keterangan yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Kemenkumham, tersebut.

Keterangan yang disampaikan olehnya sangat unik -jika tidak ingin disebut aneh-, sebab pada faktanya, Perppu yang diundangkan tanpa memperhatikan ihwal kegentingan memaksa yang kemudian disahkan menjadi UU diluar masa sidang yang tepat, adalah suatu bentuk penyelewengan dan pelanggaran nyata terhadap konstitusi. Kondisi inilah yang akan mengembalikan fungsi legislasi ke sebelum zaman reformasi, karena menempatkan DPR hanya sebagai tukang stempel semata.

Terhadap hal di atas, Daniel Yusmic P Foekh, salah satu Hakim Konstitusi yang juga ikut menyidangkan perkara ini, memberikan kritik dan/atau masukannya kepada pihak pemerintah, khususnya DPR.

Kewenangan DPR untuk menyetujui atau tidak menyetujui Perppu yang dibuat oleh Presiden, merupakan salah satu bentuk pengawasan yang dimiliki oleh DPR. Seharusnya, dalam hal ini DPR dapat mengindentifikasi lebih dalam soal Perppu ini. Sebab, bagaimana mungkin, proses pembuatan kebijakan dalam hal kegentingan yang memaksa, dengan waktu yang begitu singkat, tetapi dapat melahirkan sejumlah norma yang sangat banyak, kemudian tidak ada partisipasi. Saya kira ini catatan untuk DPR,” tegas Daniel Yusmic P Foekh.  []

 

 

Narahubung:

1.     Prof. Denny Indrayana (0817726299)

2.     Moh. Jumhur Hidayat (0816809565)

3.     Caisa Aamuliadiga (081286663679)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.