INFO GSBI- Jakarta, 17 Juli 2023 – Sebanyak 15 (lima belas) Serikat Pekerja dan Serikat
Buruh/Para Pemohon yang diwakili oleh kuasa hukumnya, Indrayana Centre For
Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm kembali
menghadiri sidang pengujian formil UU Cipta Kerja (Ciptaker)
terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini, agenda persidangan
ialah mendengarkan keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden.
Sebagaimana diketahui, Para Pemohon tersebut
mempersoalkan pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) menjadi Undang-Undang Ciptaker. Para Pemohon menilai,
bahwa Perppu Ciptaker harusnya dicabut dan tidak bisa
diberlakukan lagi karena gagal
memenuhi ketentuan Pasal 22 UUD 1945 yaitu mendapat persetujuan DPR melalui
forum akhir di rapat paripurna pada masa sidang setelah Perppu itu diterbitkan
atau tepatnya pada tanggal 16 Februari 2023.
Atas penilaian yang disampaikan oleh Para Pemohon
sebagaimana juga termuat dalam pokok permohonan, DPR dalam keterangannya
mengemukakan argumentasi bantahannya, bahwa jika DPR
tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengesahkan Perppu Ciptaker menjadi UU
pada tanggal 16 Februari 2023.
“Memasuki
masa persidangan ketiga yang ditutup pada 16 Februari 2023 dan sesuai
penjadwalan rapat-rapat DPR, maka tidak terdapat waktu yang cukup untuk
penjadwalan persidangan tingkat 2 (rapat paripurna). Barulah usulan mengenai
pengesahan Perppu ini dilaksanakan pada masa persidangan keempat yang dibuka
pada 14 Maret 2023. Kemudian, setelah masa penutupan ini DPR melaksanakan masa
reses dari 17 Februari hingga 13 Maret 2023. Pada masa reses inilah DPR dapat
lebih utuh mendengar masukan dari masyarakat. Kemudian pada 21 Maret 2023
dilakukan Rapat Paripurna dengan catatan 7 fraksi setuju untuk mengundangkan
dan 2 fraksi menolak. Di sinilah kemudian Perppu Ciptaker disahkan menjadi UU,” demikian cerita Supriansa selaku Anggota Komisi III
DPR.
Terlepas dari alasan kecukupan
waktu pengesahan Perppu Ciptaker menjadi UU dalam masa sidang
yang tepat, jelas bahwa tindakan yang dilakukan oleh DPR tersebut bertentangan
dengan ketentuan
Pasal 52 Ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyebutkan
bahwa Perppu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut. Pada bagian
penjelasan pasal disebutkan, yang dimaksud dengan ”persidangan berikutnya”
adalah masa sidang pertama DPR setelah perppu ditetapkan yang jatuh pada
16 Februari 2023.
Seperti diketahui,
Perppu Ciptaker ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2022 saat
DPR masih dalam masa reses. Adapun masa sidang pertama setelah Perppu
ditetapkan adalah masa persidangan yang dibuka pada 10 Januari hingga 16
Februari 2023.
AKAL-AKALAN PEMERINTAH
Selain DPR yang menyampaikan
keterangannya secara lisan di hadapan Majelis Hakim Konstitusi, pihak Presiden
yang diwakili oleh Asep N Mulyana, Direktur Jenderal Peraturan
Perundang-undangan, Kemenkumham, juga menyampaikan keterangannya sehubungan
dengan agenda persidangan hari ini.
Dalam keterangannya,
Asep N Mulyana mempersoalkan salah satu substansi yang termuat dalam pokok
permohonan Para Pemohon, yakni mengenai model legislasi pengesahan Perppu
Ciptaker menjadi UU mengembalikan proses pembentukan UU yang executive heavy
dan otoriter seperti zaman orde baru.
“Bagaimana
mungkin, pengesahan Perppu Ciptaker menjadi UU dapat dikatakan merupakan model
legilslasi yang executive heavy dan otoriter seperti zaman orde baru. Pendapat
ini merupakan asumsi belaka dan tidak dapat dipertanggung jawabkan. Sebab, saat
ini, sistem ketatanegaraan kita memiliki dasar konstitusional yang kuat dan
mengedepankan prinsip check and ballances. Selain itu, dalam pengesahan Perppu
menjadi UU, bukan hanya pihak Presiden semata, melainkan melibatkan pihak DPR
dalam hal persetujuan, juga membuka seluas-luasnya partisipasi publik untuk
memberi masukan terhadap kebijakan ini,” demikian keterangan yang
disampaikan oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Kemenkumham,
tersebut.
Keterangan yang disampaikan olehnya sangat unik -jika tidak ingin disebut
aneh-, sebab pada faktanya, Perppu yang diundangkan tanpa memperhatikan ihwal
kegentingan memaksa yang kemudian disahkan menjadi UU diluar masa sidang yang
tepat, adalah suatu bentuk penyelewengan dan pelanggaran nyata terhadap
konstitusi. Kondisi inilah yang akan mengembalikan fungsi
legislasi ke sebelum zaman reformasi, karena menempatkan DPR hanya sebagai
tukang stempel semata.
Terhadap hal di atas,
Daniel Yusmic P Foekh, salah satu Hakim Konstitusi yang juga ikut menyidangkan
perkara ini, memberikan kritik dan/atau masukannya kepada pihak pemerintah,
khususnya DPR.
“Kewenangan
DPR untuk menyetujui atau tidak menyetujui Perppu yang dibuat oleh Presiden,
merupakan salah satu bentuk pengawasan yang dimiliki oleh DPR. Seharusnya,
dalam hal ini DPR dapat mengindentifikasi lebih dalam soal Perppu ini. Sebab,
bagaimana mungkin, proses pembuatan kebijakan dalam hal kegentingan yang
memaksa, dengan waktu yang begitu singkat, tetapi dapat melahirkan sejumlah
norma yang sangat banyak, kemudian tidak ada partisipasi. Saya kira ini catatan
untuk DPR,” tegas Daniel Yusmic P Foekh. []
Narahubung:
1.
Prof. Denny Indrayana (0817726299)
2.
Moh. Jumhur Hidayat (0816809565)
3. Caisa Aamuliadiga (081286663679)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.