Page

Sabtu, 21 Oktober 2023

Dari Diskusi Membedah Buku “Angin Menerpa Menara” (Bagian 2)

Han Dongping tumbuh besar dalam periode RBKP. Selama 25 tahun ia melakukan penelitian di pedesaan Tiongkok.  Dalam wawancara luas dengan kaum tani di Kabupaten Jimo, provinsi Shangdong, di mana kelaparan paling serius terjadi dari tahun 1959-1961,  ia tidak ketemu seorang tanipun yang berpendapat Mao kehilangan popularitasnya karena Lompatan Jauh Kedepan. Tak seorang tanipun mempertimbangkan bangkit berontak melawan Pemerintah ketika itu, padahal pada umumnya kaum tani adalah juga anggota Milisia. Senjata tertumpuk  di pinggir tempat kerjanya. Mayoritas tani yang dia tanyai tentang Lompatan Jauh Kedepan melihat bencana alam sebagai sebab dari penderitaannya. 

Mereka yang anti-Mao dapat mengajukan “keterpaksaan”, atau “ancaman” dari Pemerintah sebagai jawaban. Jawaban yang demikian datang dari ketidak tahuan atau memang tidak ingin mengakui kenyataan sejarah perjuangan panjang PKT di bawah pimpinan Mao yang telah memupuk dan menciptakan hubungan erat dan kepercayaan massa kaum tani terhadap anggota dan kader-kader PKT.

Ada satu faktor penting lagi yang dilupakan para penentang Mao dalam “argumentasinya” untuk mendiskreditkan Lompatan Besar Kedepan. Faktor itu adalah dukungan sepenuhnya dari seluruh masyarakat Tiongkok kepada semua proyek besar yang sedang dibangun kaum tani. Mobilisasi  buruh pabrik, pegawai kantor, prajurit TPR, para siswa dan guru sekolah menengah dan mahasiswa dikirim ke pedesaan guna membantu kaum tani dalam musim “sibuk”. Itu merupakan praktek yang sangat umum ketika itu.

Bahagia karena tidak perlu lagi membungkuk untuk mencabut semaian. Mesin baru diperkenalkan dalam penanaman padi

Han Dongping mencatat bahwa pada tanggal 11 Oktober, 1959, 12 ribu siswa universitas dan sekolah menengah dan guru-guru dari kota Qingdao datang ke Jimo untuk membantu panen dan menanam pada musim gugur. Pada bulan September 1960, 28 ribu siswa dan guru dari kota Qingdao datang ke Jimo untuk membantu panen dan menanam.

Seorang petani tua di Henan dengan rasa kasih sayang menceritakan bagaimana gairahnya dia dan kaum tani lainnya melihat artis-artis nasional terkenal datang ke desa mereka untuk memberi pertunjukan di tempat di mana sedang dibangun irigasi. Dia berkata, jam kerjanya panjang dan makanan tidak begitu baik. Namun para tani terus bertahan karena Ketua Mao dan Pemerintah memperhatikan kaum tani. Ia berkata, artis-artis itu dikirim Ketua Mao dan Pemerintah.

Dukungan seluruh bangsa dan perhatian Partai dan Pemerintah telah meningkatkan dan memperkuat perasaan solidaritas dan semangat nasional dan hal itu membuat kaum tani yang berada di tingkat paling bawah dalam masyarakat merasa diberdayakan dan melihat arti penting dari partisipasinya dalam mem-bangun masa depan mereka sendiri.

Salah satu dampak besar dan berat dari perlawanan Mao terhadap pimpinan remo PKUS terjadi pada Juli-Agustus 1960.  1390 ahli Soviet ditarik, 343 kontrak dan 257 proyek “ditangguhkan”, selama 18 bulan ke depan segala macam suku cadang peralatan dihentikan. Utang Tiongkok untuk peralatan militer yang dipasok selama Perang Korea harus dibayar segera. Harus diingat ketika itu Tiongkok sedang dilanda bencana alam besar. Sadarilah, kaum Remo tidak kurang kejam nya dibanding dengan imperialisme!

Sabotase dan berbagai halangan dari kaum remo dalam dan luar negeri serta kesalahan dan salah urus tak mampu menggagalkan Lompatan Jauh Ke Depan. Garis Mao membangun Sosialisme lebih cepat, lebih baik dan lebih ekonomis ini telah menggembleng massa rakyat dan meletakkan dasar dan sarana yang dibutuhkan untuk terus berdikari dalam mengembangkan teknologi dan  industri berat yang bergandengan tangan dengan industri ringan dan pertanian, serta perevo lusioneran ideologi.  Dalam waktu tiga tahun Tiongkok telah mengatasi kesulitan luar biasa dari 1959-1961.

 

Prinsip berdikari dalam Pembangunan Ekonomi Nasional

Para penguasa Negeri-Negeri Dunia Ketiga, yang pada umumnya dikuasai kelas yang merupakan kepanjangan tangan kaum neo-kolonial dan imperialis, sulit melepaskan dirinya dari mitos yang menganggap pembangunan dan kemajuan tak mungkin dicapai tanpa investasi modal asing.  Adakah negeri Dunia Ketiga yang berhasil mengembangkan ekonomi nasionalnya dan mencapai kapitalisme yang mampu memberi remah-remah dari keuntungannya kepada rakyat pekerja seperti negeri-negeri Eropa Barat? Negara Kesejahteraan Eropa Barat pun sudah banyak dipreteli oleh krisis ekonomi/finans dan inflasi berkepanjangan tak ada ujungnya.

Masalahnya adalah di zaman imperialisme sebagai tahap tertinggi dari kapitalis memonopoli sekarang ini, kaum imperialis tidak akan pernah mengijinkan negeri-negeri Dunia Ketiga berkembang dan menjadi saingannya. Mereka sangat berkepentingan untuk mempertahankan kondisi negeri-negeri itu hanya sebagai sumber bahan mentah, tenaga kerja murah dan pasar bagi barang-barang produksinya yang sudah kelebihan sebagai akibat dari over-production.

Pengalaman Tiongkok dalam menghancurkan hubungan produksi feodal melalui reforma agraria dan kolektivisasi, kemudian diteruskan dengan pembangunan Sosialisme tanpa investasi asing telah menghancurkan mitos yang memang dipropagandakan oleh kaum borjuasi dan imperialisme.

Pabriknya kecil, aspirasinya tinggi, berusaha keras untuk memberikan kontribusi yang besar.  Kaum buruh mendiskusikan bagaimana memperbaiki dan meningkatkan produksi.

Prinsip Mao yang pokok adalah berdiri di atas kaki sendiri dan memenuhi kebutuhan manusia sebagai tujuan dari perkembangan. Masih banyak orang yang tidak percaya Tiongkok dapat mengejar ketertinggalan dalam teknologi, ilmu dan kesejahteraan rakyatnya dengan bersandar pada prinsip berdikari, tanpa utang dalam maupun luar negeri.

Maurice Meusner, ahli sinologi Amerika membandingkan angka pertumbuhan ekonomi per dekade dalam periode industrialisasinya: Jerman 33 persen (1880-1914), Jepang 43 persen (1874-1929), Uni Soviet 54 persen (1928-1958) dan Tiongkok 64 persen (1952-1972). Pencapaian ini sekaligus menunjukkan keunggulan Sosialisme. Harus diingat Tiongkok dan Uni Soviet membangun Sosialisme di bawah kondisi blokade ekonomi, di atas puing-puing perang melawan imperialisme dan kaum reaksioner dalam negeri dan tanpa bantuan lembaga keuangan internasional.

Pengamatan almarhum Wim Wertheim (Profesor sosiologi emeritus Belanda) dan Pao Yuching (ahli ekonomi Amerika) terhadap model perkembangan Mao bertemu pada satu titik, yaitu perlunya kemenangan sebuah revolusi sosial terlebih dulu. Berdirinya sebuah pemerintahan rakyat sebagai hasil dari kemena ngan revolusi sosial merupakan sebuah syarat yang tak dapat dihindarkan, kalau menginginkan suksesnya prinsip berdikari.

Pao Yuching melihat dua dimensi dalam prinsip berdikari. Dimensi pertama ialah perkembangan ekonomi harus bersandar pada pembiayaan intern yang datang dari mobilisasi seluruh sumbernya sendiri. Dimensi kedua adalah bersandar pada teknologi sendiri.

Kadang-kadang orang dengan sinis mengejek arti dari “bersandar pada teknologi sendiri”, karena dia memberi interpretasi vulgernya sendiri, yaitu menciptakan suatu teknik sendiri yang sebetulnya sudah ada di negeri yang lebih maju. Mao sama sekali tidak menolak belajar teknologi maju dari Barat. Yang diajarkan ada lah dalam proses mengambil teknologi yang sudah ada di Barat, kita harus menilai nya dengan kritis dan berusaha menerapkannya sesuai dengan kebutuhan per kembangan kita sendiri.

Untuk menjaga sumber kapital negeri miskin yang sedang berusaha mengembang kan industri nasionalnya, Mao berpendapat Tiongkok harus menggunakan teknologi yang berbeda-beda tingkatnya. Artinya, penggunaan teknologi maju dari Barat tidak harus mencampakkan teknologi yang diciptakan sendiri yang barang kali kurang canggih tapi masih dibutuhkan untuk menggerakkan pabrik-pabrik nya sendiri. Dengan begitu penerapan teknologi maju tidak akan membuat buruh kehilangan pekerjaannya.

Mengapa politik ekonomi berdikari hanya bisa berhasil dalam sebuah negeri di mana kekuasaan politik sudah ada di tangan rakyat pekerja? Sangat penting sekali mengerti maksud Prof. Wertheim ketika mengatakan “perkembangan ekonomi (pertanian dan industri) harus direncanakan dan dipimpin oleh sebuah Negara yang kuat yang dapat melawan provokasi kuat dan serangan mendadak dari kekuasaan asing”.

Sementara itu Pao Yuching mengajukan alasan kedua mengapa prinsip berdikari hanya bisa berhasil di sebuah negeri yang sudah menang revolusi sosialnya, yaitu karena semua proyek berdikari harus dipimpin oleh politik proletar. Singkat nya politik proletar adalah panglima.

Politik proletar sebagai panglima tercermin, misalnya, ketika Negara bertindak sebagai satu-satunya badan yang berhak membeli dan menjual semua padi /biji-bijian. Monopoli Negara itu diperlukan untuk mencegah terjadinya persekutuan antara tani kaya di pedesaan dengan pedagang dan kapitalis di daerah perkotaan melalui hubungan perdagangan di mana tani kaya menjual hasil panennya langsung kepada pedagang dan kapitalis di kota  dengan tujuan mencari untung. Kebijakan yang menempatkan politik proletar sebagai panglima telah mendorong proses kolektivisasi.

Alasan terakhir mengapa model perkembangan Mao hanya dapat dijalankan di negeri yang sudah menang revolusi sosialnya, adalah karena diperlukan nilai-nilai sosialis yang merupakan bagian tak terpisahkan dari model tersebut.

Salah satu nilai paling pokok dari nilai-nilai sosialis itu adalah tujuan dari perkembangan model Mao adalah untuk menghapuskan semua bentuk penghisapan. Artinya rakyat berhak atas semua hasil kerjanya, oleh karena itu distribusi dijalan kan berdasarkan kepada kerja yang disumbangkan setiap orang, bukan kepada modal yang dimilikinya. Bandingkan  dengan sistim 996 yang diterapkan di Tiongkok sekarang: kerja dari jam 9 pagi sampai 9 malam, 6 hari seminggu, upah sering tak dibayar tepat pada waktunya.  Nilai-nilai sosialis untuk menghapus penghisapan hanya bisa diciptakan melalui dasar ekonomi sosialis di mana  alat produksi milik perorangan harus diubah menjadi milik umum.

Nilai-nilai moral dan etik sosialis bertolak belakang dengan nilai-nilai moral dan etik kapitalis. Mao melihat pembangunan Sosialisme tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan, pakaian, tempat tinggal, dan menjamin hak-hak demokratis rakyat pekerja. Mao melihat lebih jauh dari pada hanya memenuhi kebutuhan material. Oleh karena itu Mao menekankan pada pendidikan ideologi supaya rakyat berangsur-angsur meninggalkan pandangan dunia, kebiasaan, pikiran dan mentalitas feodal dan borjuis yang diwarisi dari Tiongkok lama. Artinya Mao sungguh–sungguh ingin membawa rakyat Tiongkok ke suatu masyarakat yang tidak saja berstruktur ekonomi sosialis tapi juga dengan semua unsur-unsur bangunan atas yang sesuai dengan basis ekonomi sosialis tersebut.

Dalam hal ini visi Mao bertemu dengan visi Che Guevara yang menganggap tugas pembangunan Sosialisme adalah juga untuk membentuk “Hombre Nuevo” (Ma-nusia Baru). Manusia Baru tak mungkin terbentuk kalau ideologi, pikiran, mentalitas, dan kebiasaan borjuis dibiarkan terus mendominasi pikiran manusia. Pembentukan “manusia baru” ini adalah sebuah keharusan supaya kesadaran dan ideologi yang merupakan bagian dari superstructure berangsur-angsur sesuai dengan basis ekonomi yang perubahannya jauh lebih cepat. Dengan begitu bangunan atas akan lebih sesuai dengan basis ekonomi.


Revolusi Besar Kebudyaan Proletar (RBKP)

Belajar dari munculnya revisionisme modern (remo) di Uni Soviet, Mao menyadari bahwa di Tiongkok juga ada bahaya restorasi kapitalis. Ancaman tidak datang dari kaum reaksioner atau imperialis asing, tetapi  justru dari wakil-wakil kaum borjuasi dan kontra-revolusioner yang telah menyusup ke dalam Partai, Pemerintahan, kalangan Militer dan Budaya. Kepemimpinan dalam mayoritas organisasi dan departemen tidak lagi di tangan wakil rakyat dan orang-orang Marxis.

“Orang-orang berkuasa di CC PKT yang mengambil jalan kapitalis” adalah markas besar borjuis yang menjalankan garis politik dan ekonomi yang bertentangan dengan garis proletar revolusioner yang bertujuan meneruskan pembangunan Sosialisme.

Mao menjelaskan RBKP sebagai berikut:” Revolusi Besar Kebudayaan Proletar, pada dasarnya, adalah sebuah revolusi politik besar yang dipimpin oleh klas pro letariat melawan klas burjuasi dan semua klas penghisap lainnya di bawah kondisi sosialisme, (ini adalah) kelanjutan dari perjuangan panjang yang dilancarkan  PKT dan massa rakyat revolusioner yang diorganisasi Partai, melawan Kuomintang,  kelanjutan dari perjuangan klas antara proletariat dan borjuasi. “

Mengapa dalam tahap pembangunan sosialis masih dimungkinkan bangkitnya revisionisme yang akan membelokkan tujuan mencapai Sosialisme? Berbagai macam kontradiksi, ketimpangan dan ketidak setaraan yang diwarisi dari masyarakat lama tak mungkin dilenyapkan dalam beberapa tahun atau bahkan beberapa dekade, seperti tukang sulap mengayunkan tongkat sihirnya.

Ketidaksetaraan seperti perbedaan upah antara kerja mental dan kerja manual, antara pekerjaan terampil dan tidak terampil, antara kesempatan pendidikan dan pekerjaan di kota dan di pedesaan, antara tingkat kehidupan dan kesejahteraan buruh di pusat-pusat industri kota dan kehidupan tani di pedesaan, perbedaan dalam pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial antara kota dan desa. Semua ini tidak membantu pemupukan perasaan kesetia-kawanan dan kesetaraan, sebaliknya memupuk dan meningkatkan egoisme, hak istimewa, karierisme yang melahirkan sebuah klas elit baru, sebuah klas borjuasi baru. (Tatiana Lukman).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.