Terdapat dua segi atau dimensi
dalam RBKP. Pertama, ia merupakan puncak dari perjuangan dua garis di
mana Mao menggerakkan dan memobilisasi massa untuk merebut kekuasaan politik
dari kaum revisionis yang sudah
mendominasi Partai dan Negara. Dengan begitu Sosialisme dapat didorong
maju dan dikonsolidasi. Kedua, tujuan strategis RBKP adalah
menyelesaikan masalah pandangan dunia. Massa rakyat luas dibangkitkan supaya
turut ambil bagian aktif dalam proses merubah pandangan dunianya: pandangan
dunia lama yang diwarisi dari feodalisme diubah berangsur-angsur melalui
belajar Fikiran Mao Tsedong dan menerapkannya dalam revolusi kebudayaan,
praktek produksi, penelitian ilmu dan kehidupan secara umum. Dengan demikian
ideologi, kebudayaan, mentalitas, gaya hidup, dan semua yang merupakan bagian
dari bangunan atas akan sesuai dengan basis ekonomi sosialis.
RBKP telah membuat saya sadar bahwa kekuasaan Liu-Deng di Pusat
cukup besar sehingga aparatusnya dapat memotong atau mengabaikan
Komite Sentral dan Mao. Misalnya pada
tahun 1955, dari 53 ribu koperasi, 15 ribu dibubarkan. Menurut Mao penyusutan
terang-terangan itu bukan karena keputusan Komite Partai Zhejiang, tapi karena
perintah dari Pusat. “Dalam sekali hunjam, 400 ribu rumah tangga petani
kembali menjadi pertanian perseorangan …. Ini semua sama sekali salah,
diputuskan dalam keadaan bingung dilanda kepanikan. Juga tidak dibenarkan
mengambil keputusan sebesar itu tanpa persetujuan Komite Sentral.” Mao harus selalu berusaha meyakinkan kawan-kawannya
supaya menerapkan Materialisme Dialektika. Selama 10 tahun RBKP Mao berhasil
menunda restorasi kapitalisme.
Remo Indonesia
Apa itu Revisionisme? Mao menjawab: ”Revisionisme atau oportunisme
kanan adalah satu aliran pikiran borjuis yang bahkan lebih berbahaya
dari pada dogmatisme. Kaum revisionis atau kaum oportunis kanan memakai
Marxisme hanya sebagai polesan di bibir dan mereka juga menyerang dogmatisme.
Tetapi apa yang mereka serang sebenarnya
adalah sari pati dari Marxisme”.
Salah satu prinsip yang dianggap sari pati dari
Marxisme adalah perjuangan klas merupakan motor pendorong sejarah umat manusia. Deng Xiaoping dalam pidatonya di
depan sidang CCPKT tahun 80-an berkata: “dia bermimpi di Tiongkok ada klas
borjuis. Tidak bisa! Pada tahun 1949 kita sudah membasmi klas borjuis dan
melakukan pembangunan Sosialisme, bagaimana bisa ada klas borjuis? Mengatakan
bahwa perjuangan klas masih belum selesai? Itulah pikiran Revolusi Kebudayaan”.
Sementara itu, dokumen Kongres PKT ke IX, 1969 menyatakan
“Masyarakat sosialis meliputi satu
periode sejarah yang cukup panjang. Dalam periode sejarah sosialis, masih ada
klas, kontradiksi klas dan perjuangan klas, ada perjuanganan tara jalan
sosialis dan jalan kapitalis dan ada bahaya restorasi kapitalisme”.
Justru karena adanya perjuangan klas itulah Mao tak
pernah berhenti menghadapi sabotase dan perlawanan terbuka maupun tersembunyi
dari sesama kawan pimpinan yang berusaha menerapkan garis revisionis yang akan
membawa Tiongkok ke kapitalisme. Jelas terlihat penyelewengan revisionis Deng
Xiaoping yang setali tiga uang dengan dedengkot remo Khrushchov: sama-sama
tidak mengakui adanya perjuangan klas dalam periode sosialis.
Anehnya, S.
Suroso, yang pernah
diusir dari Soviet, karena menentang remo Krushchov, ketika restorasi
kapitalisme terjadi di Tiongkok, bukannya membela Mao dan Sosialisme tapi malah menganggap Deng telah
mengembangkan Marxisme dengan ”ide dan gagasan brillian” yang belum ada dalam
literatur Marxis, seperti “Tiongkok berada dalam tahap awal sosialisme; pasar berguna bagi
kapitalisme, juga berguna bagi sosialisme; tugas utama sosialisme sesudah
ditegakkan diktatur proletariat adalah membebaskan dan mengembangkan tenaga
produktif, melancarkan reform dan politik pintu terbuka untuk membangun
sosialisme berkepribadian Tiongkok......”
Kalau sekarang Tiongkok berada
dalam “tahap awal sosialisme”, lalu apa nama-nya
tahap setelah pembebasan Tiongkok tahun 1949 sampai meninggalnya
Mao tahun 1976? Dan kapan selesainya tahap awal sosialisme itu?
S. Suroso membela digunakannya mekanisme
pasar untuk membangun Sosialisme. Ekonomi pasar memerlukan dukungan kepemilikan
perseorangan, persaingan, dan produksi yang ditujukan untuk memenuhi permintaan pasar dan penghisapan tenaga kerja yang melahirkan nilai lebih yang dirampas sebagai profit oleh kaum pemilik
modal. Sedangkan pembangunan sosialisme membutuhkan, dan karena itu, memupuk
nilai-nilai moral dan etik baru, seperti
semangat berkorban untuk kepentingan kolektif dan masyarakat,
solidaritas, kebersamaan dan kesetaraan.
Tujuan kolektivisasi sampai Komune Rakyat
antara lain adalah untuk memupuk pandangan dunia dan nilai-nilai baru yang akan mendorong maju konsolidasi sosialisme. Tapi Deng membubarkan Komune
Rakyat, tanah diserahkan pengelolaannya kepada keluarga yang menentukan sendiri tanaman dan harganya
menurut permintaan pasar. Itulah reformasi kapitalisme yang diselubungi nama “sosialisme dengan ciri Tiongkok”.
Teori Deng lainnya yang dibela S. Suroso adalah “membebaskan dan mengembangkan tenaga
produktif”sebagai tugas utama sosialisme.
Dalam karyanya “Tentang
Kontradiksi” Mao menulis:”Benar, tenaga produktif, praktek dan basis ekonomi pada umumnya memainkan peran
yang menentukan; siapa yang
menyangkal ini, bukanlah seorang
materialis. Tetapi juga harus
diakui, bahwa dalam kondisi
tertentu, aspek seperti hubungan produksi, teori dan suprastruktur pada gilirannya menampilkan diri dan memainkan peran pokok dan menentukan”.
Liu-Deng bertolak dari
materialisme mekanik : tenaga produktif sebagai aspek pokok dalam kontradiksi
antara tenaga produktif dan hubungan produksi, dan dia mengembangkannya dengan
mencampakkan hubungan produksi yang sudah dalam proses perubahan menuju
hubungan produksi sosialis. Mereka tidak melihat hubungan dialektis antara
tenaga produktif dan hubungan produksi. Bagaimana bisa bicara tentang “membebaskan dan
mengembangkan” tenaga kerja, kalau majikan bisa sewenang-wenang memecat buruh,
sewenang-wenang menekan upah buruh untuk mempertahankan murahnya harga produk Tiongkok?
Sedangkan Mao menerapkan materialisme dialektis,
yaitu di bawah kondisi tertentu aspek pokok dari kontradiksi bisa bermutasi
menjadi tidak pokok. Hubungan produksi feodal yang tadinya merupakan aspek
tidak pokok, mengalami perubahan besar ketika kaum tani dibebaskan dari
penghisapan melalui reforma agraria dan kolektivisasi. Ketika tercapai puncak
tertinggi kolektivisasi melalui pembentukan Komune Rakyat, hubungan produksi feodal dihancurkan dan digantikan dengan hubungan
produksi sosialis. Hubungan produksi sosialis sebagai aspek pokok dari
kontradiksi sekarang mempunyai peran menentukan dalam mengembangkan tenaga
produktif. Kesadaran kaum tani terus
mengalami pening katan. Itulah yang menjadi kekuatan material dan mendorong
maju tenaga produktif.
Dazhai adalah bukti suksesnya garis ”Mencengkam
Revolusi dan Mendorong Produksi” yang diajukan Mao dalam RBKP. Dalam proses
perjuangan mengubah alam yang tidak menguntungkan itu, kaum tani Dazhai
melancarkan perjuangan politik melawan ide-ide revisionis-kapitalis yang
menentang kolektivisasi. Kesadaran yang tadinya merupakan aspek yang ditentukan
oleh materi, sekarang beralih kedudukannya. Ia menjadi aspek yang berperan
menentukan dalam mendorong maju perkembangan. Dalam kasus Dazhai, mendorong
maju produksi. Kesadaran telah menjadi kekuatan materi yang dicerminkan dalam
kekuatan, keteguhan, kreativitas kaum tani yang berjuang untuk memperbaiki
kehidupannya sendiri.
Penahapan baru
kaum revisionis yang dikemukakan
S. Suroso di atas bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar RRT yang pernah mereka
sempurnakan sendiri pada tahun 1982, di mana dirumuskan:
”Transformasi sosialis dari kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi sudah selesai, sistim penghisapan manusia oleh manusia sudah dilenyapkan, dan sistim sosialis sudah didirikan, diktatur
demokrasi rakyat di bawah pimpinan proletariat berdasarkan persekutuan buruh
dan tani, yang hakekatnya adalah diktatur proletariat,
sudah dikonsolidasi dan dikembangkan.”
Masih di tahap awal Sosialisme tapi penghisapan manusia
oleh manusia sudah dilenyapkan? Lantas apa namanya perampasan nilai lebih oleh
pemilik modal/pabrik yang dihasilkan dari
sistim kerja 996 (kerja dari jam 9 pagi sampai 9 malam selama 6 hari seminggu)?
Rupanya pengertian tentang penghisapan di kalangan kaum remo sudah berbeda dari
yang dikemukakan Marx. S. Surosopun
bertanya: ”Apakah memperbolehkan usaha swasta, yang berarti
memperbolehkan pemilik modal memperoleh laba dari nilai lebih yang dihasilkan
buruh dianggap sebagai mengembangkan penghisapan? Kalau bukan penghisapan, lalu
apa namanya perampasan nilai lebih itu?
Hadiah Tahun Baru kaum buruh untuk kaum kapitalis?
Tokoh remo lainnya, Ibrahim Isa, dalam oleh-oleh
kunjungan ke Tiongkok, tak sekali pun menyinggung masalah
“penghisapan”. “Penghisapan” sudah menjadi tabu bagi para pendukung “Sosialisme
dengan ciri khusus Tiongkok”. Logislah
mereka tidak mau bicara soal penghisapan, karena pada
“Kongres Partai ke 16, kalimat Sosialisme harus “melenyapkan penghisapan”
dihilangkan dari Piagam Partai tanpa penjelasan apapun” (Surat 170 anggota dan
kader PKT kepada Sekjen Hu Jintao).
ChanCT, pengelola milis Gelora 45, remo kecil,
lebih ngawur lagi. Ia menganggap kerja sukarela yang
dilakukan kaum buruh/kaum tani dalam pembangunan Sosialisme sebagai penghisapan
oleh pemerintahan Mao. Jadi Che Guevara yang
bekerja sukarela menebang tebu atau pembangunan setelah kerja di kantornya
selesai, juga “menderita penghisapan” pemerintah yang dia turut dirikan.
Sementara itu, S.Suroso
menuduh orang-orang yang terus membela RBKP dan menolak penilaian
para penguasa PKT dan RRT yang sekarang terhadap RBKP sebagai orang-orang
yang anti Tiongkok.
Orang-orang
komunis Indonesia, di tengah teror putih ketiga yang paling kejam dan berdarah, pernah mengeluarkan pernyataan
mendukung Mao dan RBKP.
S. Suroso menuduh
orang-orang komunis itu “dibutakan dari informasi tentang perkembangan Tiongkok yang sudah mengalami
perobahan drastis. Tanpa mengetahui perkembangan besar Tiongkok, maka tidak
sedikit orang yang terus berpegang pada pendirian lama, mendukung RBKP. Padahal, semenjak tahun
1981, pimpinan Partai Komunis Tiongkok sudah menyatakan bahwa RBKP salah”.
Namun, bulan Mei 2007, dalam “Pernyataan Penegasan akan Arti Penting dan Relevansi
dari Perjuangan Anti-Revisionis dan Revolusi Besar Kebudayaan Proletar”, kaum komunis dan kaum revolusioner di dunia menyatakan:” Teori dan praktek
meneruskan revolusi di bawah kediktaturan proletariat melalui RBKP, merupakan
sebuah tahap baru yang lebih tinggi dalam perkembangan Marxisme-Leninisme”.
I.Isa juga menampilkan tulisan A. Munandar, yang menganggap “Lompatan Jauh Ke depan”, Komune Rakyat dan RBKP merupakan kesalahan
berat. Tapi A.Munandar tidak berani menuding Mao Zedong sebagai yang bertanggung jawab atas semua “kesalahan” itu.
Barangkali dia merasa “sungkan” mengingat sikapnya dulu ketika memimpin di
Timur dimana kebijakan yang dikeluarkan adalah mendukung PKT, Mao dan RBKP.
Buku “Angin Menerpa Menara” telah memperkaya referensi dan memperdalam pemahaman
saya terkait dengan perjuangan sengit Mao melawan remo di dalam PKT dan juga di
GKI. Fakta sejarah menunjukkan Partai yang dijangkiti
Revisionisme tak akan dapat membawa revolusi ke kemenangan. Sosialisme
tak akan dapat dikonsolidasi dan maju ketahap lebih tinggi, yaitu komunisme,
kalau tidak melancarkan perjuangan klas untuk menyelesaikan kontradiksi antara
jalan kapitalisme dan Sosialisme.
Khrushchov menyerang Komune Rakyat dan Lompatan
Jauh ke Depan sebagai “borjuis kecil…fanatik… petualangan.” Peng Dehuai
menggunakan istilah yang sama dalam “surat pendapatnya”. Liu-Deng juga
menyalahkan Komune Rakyat dan RBKP. S. Suroso, I. Isa, A. Munandar, Chan CT
mengikuti jejak kaum remo Soviet dan Tiongkok: Komune Rakyat, Lompatan Jauh Ke depan
dan RBKP semua salah!
Jelas terlihat kaum remo Soviet, Tiongkok dan Indonesia sama-sama
menentang pem bangunan Sosialis yang dipimpin Mao, yang oleh Prof. Wertheim dinamakan
“perkembangan model Mao”.
Berikut pendapatnya: “Pada awal tahun 80-an, menjadi cukup jelas bagi saya
bahwa politik yang dijalankan Partai Komunis Tiongkok, walau pun masih
mempertahankan nama dan pura-pura mendukung ’Fikiran Mao Zedong’, sudah sama
sekali meninggalkan apa yang saya namakan perkembangan model Mao. Pukulan terakhir
terhadap politik Mao adalah dibongkarnya komune rakyat dan menggantikan ’garis
massa’ Mao dengan komitment sepenuhnya kepada tindakan hukum sebagai cara untuk
menjamin kesepakatan rakyat dengan tujuan yang ingin di capai pimpinan partai. Pernyataan Deng
Xiaoping bahwa ’memperkaya diri sendiri adalah sesuatu yang harus dipuji’
berarti, dalam praktek sebenarnya, kapitalisme diundang masuk melalui pintu
depan”. (Wim F. Wertheim:” Lasting Signifi cance of Mao- Model For Third World Countries”). (Tatiana Lukman).
--- Selesai ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.