PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Atas Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Putusan yang Menjilat Ludahnya Sendiri, Bentuk Tunduknya Mahkamah Konstitusi terhadap Subjektif Presiden Joko Widodo yang Bersekongkol dengan DPR-RI Berkhidmat pada Oligarki dan Mengkhianati Konstitusi (UUD 1945).
Salam Demokrasi !!!
Sejak dalam gagasan sampai diterbitkan pada tahun 2020 Omnibus Law “Undang-Undang” Cipta Kerja telah di tolak, diprotes dan dilawan terus menerus oleh kaum buruh dan rakyat dari bebagai klas, golongan dan sektor. Setelah setahun berlaku dengan perlawanan tiada henti, akhirnya omnibus law “UU” Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja diputus inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 (Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja) yang dibacakan Kamis, 25 November 2021. Alih-alih memperbaiki dan melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi, pemerintah dalam hal ini Presiden Joko Widodo malah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada tanggal 31 Desember 2022, yang kemudian disahkan/disetujui oleh DPR pada tanggal 21 Maret 2023 menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja.
Perppu Nomor 2 tahun 2022 termasuk Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja pun tidak lepas dari penolakan, protes dan perlawanan dari kaum buruh dan rakyat termasuk gugatan Uji Formil di Mahkamah Konstitusi.
Pada tanggal 2 Oktober 2023 kemarin, Mahkamah Konstitusi telah memutus dan membacakan 5 (lima) perkara pengujian formil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Kelima putusan tersebut diantaranya Putusan Nomor 54/PUU-XII/2023 yang diajukan oleh Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) bersama 14 serikat pekerja – serikat buruh yang tergabung dalam Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB). Serta Putusan Nomor 40/PUU-XXI/2023; Nomor 41/PUU-XXI/2023; Putusan Nomor 46/PUU-XXI/2023; dan Putusan Nomor 50/PUU-XXI/2023. Dalam semua amar putusan aquo, Mahkamah menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya, dan menyatakan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja sah dan berlaku.
Buruh Indonesia (GSBI) menyatakan bahwa keputusan tersebut telah mengesampingkan fakta-fakta persidangan yang otentik yang membuktikan bahwa omnibus law “Undang-Undang” Nomor 6 Tahun 2023 telah kehilangan azas konstitusionalnya mengingat; pertama; Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 jelas mengarahkan pembuatan undang-undang, bukan Perppu, dan yang tidak kalah penting, tanpa partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation). Kedua, pengesahan/persetujuannya oleh DPR RI dari Perppu Nomor 2 tahun 2022 menjadi Undang-Undang setelah berakhirnya batas waktu yang ditentukan oleh Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, juncto Pasal 52 UU PPP, juncto Putusan MK Nomor 43/PUU-XVIII/2020. Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011:
bahwa, “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan” (vide Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011). Makna frasa “persidangan yang berikut” sesungguhnya mengandung prinsip pembatasan waktu, yaitu hanya pada masa persidangan pertama setelah ditetapkan Perppu oleh Presiden. Hal ini menjadi penting dikarenakan adanya sifat kegentingan yang memaksa dari Perppu itu sendiri. Dengan kata lain, pembahasan persetujuan terhadap perppu tidak dapat ditunda dan dilakukan pada masa-masa sidang setelah sidang pertama berikutnya.
Hal tersebut kembali di tegaskan oleh Putusan MK Nomor 43/PUU-XVIII/2020, halaman 385, paragraf kedua, menyatakan :
“[…]
frasa “persidangan yang berikut” harus diartikan sebagai persidangan
pengambilan keputusan oleh DPRseketika setelah Perpu ditetapkan oleh Presiden
dan diajukan kepada DPR. Artinya, meskipun Perpu ditetapkan dan diajukan oleh
Presiden pada saat masa sidang DPR sedang berjalan (bukan masa reses), maka DPR
haruslah memberikan penilaian terhadap RUU Penetapan Perpu tersebut pada sidang
pengambilan keputusan di masa sidang DPR yang sedang berjalan tersebut. […]
Hal demikian penting mengingat esensi diterbitkannya Perpu adalah karena adanya keadaan kegentingan yang memaksa sebagai syarat absolute.”
Untuk itu, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja seharusnya dicabut, dinyatakan cacat formil dan inkonstitusional permanen, bukan malah disahkan menjadi undang-undang.
Dengan isi putusan macam demikian, dan berbagai pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi tidak konsisten dalam menyikapi sifat kemendesakan (emergency) dan sementara (temporary) yang notabenenya merupakan karakter dari Perppu. Hal ini dapat dilihat ketika satu sisi Mahkamah dalam Putusan Nomor 43/PUU-XVIII/2020 berpendapat bahwa “semakin panjang jangka waktu DPR memberikan persetujuan atau tidak berkenaan dengan Perppu yang diajukan Presiden akan menghilangkan esensi diterbitkannya Perppu”, tetapi disisi lain melalui Putusan Mahkamah Nomor 54/PUU-XXI/2023 Mahkamah justru memberikan toleransi waktu yang terbilang panjang kepada DPR dalam memberikan persetujuan terhadap Perppu a quo.
Ini jelas bentuk mancla-mencle, menjilat ludahnya sendiri, bentuk nyata pengingkaran 5 hakim Mahkamah Konstitusi (Anwar Usman, Arief Hidayat, M. Guntur Hamzah, Manahan P Sitompul, Daniel Yusmic P Foek) terhadap putusanya sendiri Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan putusan Nomor 43/PUU-XVIII/2020, dimana ke lima hakim ini lebih tunduk terhadap dalil subjektif Presiden Joko Widodo yang menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 dengan dalil “kegentingan memaksa” yang digambarkan dalam bentuk ancaman krisis ekonomi global, perang Rusia-Ukraina mengancam ekonomi nasional daripada putusan yang mereka buat dan putuskan sendiri.
Putusan ini juga menjelaskan bagaimana kuat adanya dugaan persekongkolan dan permupakatan jahat mengangkangi Konstitusi (UUD 1945) Presiden RI, DPR RI dan Mahkamah Kosntitusi. DPR-RI yang tidak lebih sebagai pelayan rezim Joko Widodo daripada sebagai wakil rakyat yang menjalankan fungsinya terutama dengan memecat Hakim Aswanto dan menggantikanya dengan Hakim M. Guntur Hamzah sehingga merubah komposisi hakim Mahkamah Konstitusi antara sebagai penjaga konstitusi menjadi berat sebelah sebagai tukang stempel kepentingan rezim Joko Widodo yang berkhidmat pada oligarki.
Maka dengan diterbitkannya omnibus law “UU” Cipta Kerja pada tahun 2020 dan kemudian diterbitkan ulang pada tahun 2023 yang distempel oleh Mahkamah Konstitusi, hak-hak rakyat, termasuk hak-hak kelas buruh, telah dihapuskan secara sistematis oleh rezim Joko Widodo, karena mengikuti keinginan kaum neo-liberal. Ini menandai semakin hilangnya hak-hak demokratis kelas buruh dan keadilan bagi rakyat di dalam masa 25 Tahun Reformasi. Padahal tujuan Gerakan Reformasi 1998 adalah untuk memperbaiki akses rakyat terhadap demokrasi dan keadilan dalam segala bidang.
Bagi GSBI tegas!, putusan ini adalah pengkhianatan terhadap rakyat dan pengukuhan sepenuhnya kebijakan negara di era rezim Joko Widodo sebagai boneka sejati pelayan oligarki, menciptakan fleksibilitas ketenagakerjaan yang semakin fleksibel dengan terus melanggengkan praktek tenagakerja dengan upah murah dan menciptakan sistem baru perampasan upah buruh. Pun demikian, dengan mengatas namakan “Pembangunanisme” perampasan tanah rakyat semakin masif dan diobralnya SDA bagi kepentingan perusahaan-perusahaan kapitalis monopoli asing, tuan tanah dan para birokrat busuk. Disisi lain subsidi fasilitas dasar untuk rakyat dan biaya produksi kaum tani terus dikurangi.
Untuk itu Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) menyatakan sikap dengan tegas menolak seluruh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XII/2023 terkait uji formil UU Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023, dan akan tetap dan terus melakukan penolakan dan perlawanan dalam berbagai bentuk atas di berlakukannya omnibus law “UU” Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
Bahwa karena Mahkamah Konstitusi RI nyata telah
menjadi alat kekuasaan, tukang stemple kebijakan rezim Joko Widodo sebagai
kakitangan oligarki dan kapitalis monopoli asing, mengangkangi Pancasila dan
UUD 1945, dengan memutuskan menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,
dan menyatakan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2023 sah dan berlaku, maka Gabungan
Serikat Buruh Indonesia (GSBI) dengan sadar, untuk serta demi keadilan mendesak
dan menuntut untuk diadakannya, dilaksanakannya REFERENDUM disetujui atau
tidak oleh rakyat, perlu ada atau tidak, dibutuhkan rakyat atau tidak Omnibus
Law “UU” Cipta Kerja.
Dan atas pendapat berbeda (Dissenting Opinion) yang dinyatakan secara resmi oleh 4 Hakim Mahkamah Konstitusi (Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih) dalam putusan ini, GSBI memberikan apresiasi dan mendukung, karena 4 orang hakim ini tetap konsisten dengan pendapatnya terdahulu, masih menggunakan hati nurani dan kejujurannya, tetap berkhidmat pada konstitusi (UUD 1945) dan rakyat, serta membuktikan bahwa dirinya menjadi hakim yang mulia berusaha jujur menjadi benteng Konstitusi.
Selain hal-hal yang telah dinyatakan diatas, GSBI
juga menuntut :
- Cabut dan Batalkan UU Cipta Kerja No. 6 Tahun 2023, dan seluruh
produk hukum turunanya yang merampas hak-hak buruh dan rakyat
serta kedaulatan bangsa indonesia.
- Hentikan seluruh Proyek Strategis Nasional (PSN) yang telah
merampas hak atas tanah kaum tani, masyarakat adat, serta perampokan SDA
oleh perusahaan-perusahaan asing beserta kompradornya dan para tuan tanah besar.
- Tingkatkan realisasi subsidi bagi biaya produksi kaum tani dan
jamin pemenuhan ketersediaanya.
- Turunkan Harga Kebutuhan Pokok Rakyat dan Jamin pemenuhan
ketersediaanya, serta hapus pembatasan – pembatasan akses kebutuhan pokok
rakyat yang tidak perlu.
- Hentikan seluruh Intimidasi, Kekerasan, Penangkapan kepada rakyat
yang mempertahankan dan memperjuangakan hak-hak demokratisnya sebagaimana
Hak-hak rakyat Indonesia yang telah ditetapkan dan dijamin oleh UUD 1945.
- Bangun Industri Nasional diatas Land Reform Sejati !
Dan melalu pernyataan sikap ini, DPP. GSBI menyerukan kepada seluruh anggota dan badan pimpinan GSBI diseluruh Indonesia, serikat buruh anggota, serta kaum buruh dan seluruh kelompok dan golongan rakyat Indonesia yang merasa di rugikan dan menolak omnibus law Cipta Kerja untuk terus memperkuat persatuan, meluaskan aliansi dan front perjuangan, tetap teguh dan militant dalam melakukan perlawanan dan penolakan atas pemberlakukan omnibus law “UU” Nomor 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja dalam berbagai bentuk dan skema.
Selamat berjuang para pimpinan dan anggota GSBI, serta kaum buruh Indonesia, terus jaga kekompakan dan persatuan serta solidaritas nyata klas buruh Indonesia, saling jaga bergandengan tangan dengan kuat. Berdirilah dengan tegak nan kokoh sekuat baja, teguh seperti batu karang, menangkan tuntutan. Buruh dan Rakyat Tertindas Indonesia Bersatu, Bangkit, Bergerak Melawan Kebijakan Rezim Anti Rakyat.
Demikian pernyataan
sikap ini disampaikan untuk diketahui dan ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.
Jakarta, 3 Oktober 2023
Hormat Kami,
DEWAN PIMPINAN PUSAT
GABUNGAN SERIKAT BURUH INDONESIA (DPP. GSBI)
Rudi HB Daman (Ketua Umum)
Emelia Yanti MD Siahaan, SH (Sekretaris Jenderal)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.