Pengusaha
Saja Menolak TAPERA, Apalagi Serikat Buruh dan Kaum Buruh
“Tapera
adalah skema perampasan upah buruh. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah
tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) ini wajib di tolak kaum buruh, wajib
batal dan harus di cabut! karena sewenang-wenang, mengubah yang tadinya hak
rakyat menjadi kewajiban rakyat, dan secara nyata Undang-undang dan Peraturan
Tapera ini melanggar konstitusi”.
Oleh:
Rudi HB Daman, Ketua Umum GSBI
Presiden Joko Widodo baru saja
menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2024 (tentang perubahan atas peraturan pemerintah No 25 Tahun 2020 tentang
Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat). Melalui peraturan ini
pemerintah mewajibkan, alias memaksa, buruh harus menabung sebesar 3 persen
dari gaji, upah atau pendapatannya: Pemberi Kerja menanggung 0,5 persen, dan buruh
menanggung 2,5 persen. Adapun dasar hukum yang digunakan dari peraturan
pemerintah ini, yaitu UU No 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Terbitnya PP 21 tahun 2024 ini
mendapat reaksi negative dari berbagai pihak termasuk dari pengusaha,
sebagaimana di sampaikan oleh Ketua Umum APINDO Shinta W. Kamdhani: “Tapera
semakin menambah beban baru, baik bagi para pengusaha dan pekerja. Saat ini
beban pungutan pengusaha sudah 18,24 - 19,74 persen, dengan rinciannya : -
Jaminan Sosial Ketenagakerjaan: Jaminan Hari Tua (JHT) 3,7 persen; Jaminan
Kematian (JK) 0,3 persen; Jaminan
Kecelakaan Kerja (JKK) 0,25 – 1,74 persen; dan Jaminan Pensiun (JP) 2 persen. -
Jaminan Sosial Kesehatan 4 persen. – Cadangan pesangon dengan PSAK berdasarkan
perhitungan aktuaria sekitar 8 persen. Dan beban ini semakin berat dengan
adanya depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar”. (kumparan.com).
Melalui peraturan ini kaum
buruh dipaksa untuk menabung, untuk membiayai proyek perumahan rakyat.
Dan jika kita merujuk pada UUD
1945 (konstitusi), tidak ada satu pasal di dalam konstitusi yang menyatakan
pemerintah bisa mewajibkan masyarakat untuk menabung. Di samping itu, pemaksaan
menabung melanggar konstitusi Pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Oleh karena itu, UU Tapera ini
menyimpang dari UUD (melanggar konstitusi), melanggar Hak Asasi Manusia, yang
pada prinsipnya, masyarakat mempunyai hak bebas memilih untuk menabung atau
konsumsi: tidak bisa dipaksa.
Sikap GSBI atas Tapera
Sikap GSBI atas Tapera ini
tetap seperti sikap yang pernah di rilis GSBI di tahun 2016 ketika UU Nomor 4
tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) di terbitkan Presiden
Joko Widodo serta sikap di tahun 2020 ketika Peraturan Pemerintah Nomor 25
Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat di keluarkan.
GSBI menolak Tapera, GSBI
menilai Tapera adalah bentuk perampasan upah buruh yang di legalkan negara.
Pengusaha saja menolak apalagi serikat buruh dan kaum buruh yang upahnya rendah
pasti keberatan, pasti menolak dan akan bergerak melakukan perlawanan atas UU
dan Peraturan Pemerintah ini. UU dan peraturan pemerintah tentang Tapera ini
wajib batal demi hukum dan harus di cabut!.
Dalam kajian dan
analisa GSBI, berdasarkan pada hitungan-hitungan iuran yang di bayarkan buruh
setiap bulannya. Tapera tidak dapat memastikan setiap pesertanya akan mendapat
rumah layak.
Secara
matematis, iuran Tapera sebesar 3 persen (yang dibebankan kepada pengusaha 0,5
persen dan dibayar buruh 2,5 persen), ini tidak akan mencukupi buruh untuk
membeli rumah di usia pensiun atau saat kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Mari kita hitung-hitungan. Katakanlah upah rata-rata buruh
Indonesia adalah Rp 4 juta per bulan. Bila dipotong 3 persen per bulan,
iurannya hanya sekitar Rp120.000,- ribu per bulan atau Rp1.440.000,-per tahun.
Karena Tapera adalah Tabungan sosial, maka dalam jangka waktu 10 tahun sampai
20 tahun ke depan, uang yang terkumpul adalah sebesar Rp14.400.000,- hingga Rp28.800.000,-.
Pertanyaan besarnya adalah, apakah dalam 10 tahun ke depan ada harga rumah yang seharga Rp14,4 juta atau harga Rp28,8 juta dalam 20 tahun ke depan?.
Jadi Iming-iming rumah
dengan iuran 3 persen setiap bulan dari upah buruh merupakan suatu hal yang
mustahil dan bohong besar. Iuran tersebut hanya akan membebani buruh, hanya merampas upah
buruh yang sudah murah.
Lebih parah lagi bahwa iming-iming
kepemilikan rumah lewat program Tapera saat ini hanya dibebankan kepada buruh.
Sedangkan, pemerintah lepas tangan. Mestinya beban itu menjadi tanggung
jawab pemerintah sebagaimana amanat konstitusi UUD 1945.
Dalam program Tapera,
pemerintah tidak membayar iuran sama sekali, hanya sebagai pengumpul dari iuran
uang buruh dan rakyat. Ini jelas tidak adil, dholim, karena sesungguhnya ketersediaan
rumah (hunian yang layak) adalah tanggung jawab negara dan menjadi hak rakyat.
Jadi jelas program Tapera ini
adalah program, kebijakan yang dipaksakan hanya untuk mengumpulkan dana
masyarakat khususnya dari buruh, PNS, TNI/Polri, dan masyarakat umum. Maka
wajar jika buruh sangat khawatir iuran itu justru menjadi ladang bancakan
penjarahan sistemmatis seperti ASABRI dan Taspen.
Pertanyaan
besar nya kenapa harus ada Tapera? upah buruh harus di potong lagi, dirampas
lagi untuk membiayai perumahan rakyat?. Padahal BPJS Ketenagakerjaan sudah
dapat membiayai program kepemilikan rumah bagi peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Jadi, untuk apalagi Tapera yang pesertanya sama dengan BPJS Ketenagakerjaan?
Terlebih
kita mengetahui bahwa UU yang dibuat pemerintah (terutama rezim Jokowi) selalu
diwarnai dengan motif rente ekonomi terselubung yang merugikan rakyat. Baca
omnibus law “UU” cipta kerja, UU IKN, UU MK, UU KPK dan masih banyak lagi.
Potongan Tapera ini terlalu besar, tidak sebanding dengan angka kenaikan upah buruh. Ini jelas perampasan upah buruh. Skema system matis memiskinkan kaum buruh yang sudah miskin dan sangat sulit hidupnya.
Hitung saja rata-rata upah buruh di Indonesia (thn 2024) adalah sebesar Rp 2,9 juta per bulan sementara terdapat 58 juta buruh formal, artinya akan terkumpul sekitar Rp 60,55 triliun per tahun yang dikelola oleh Badan Pengelola Tapera (BP Tapera). Ini dana segar yang sangat besar, ditengah watak dan prilaku birokrasi yang busuk dan korup ini bisa jadi bahan bancakan korupsi penguasa dengan cara digoreng-goreng diberbagai instrumen investasi dan berbagai modus operandinya.
Rezim Jokowi ini memang rezim culas,
rezim raja tega, tidak pernah mau memahami kesulitan buruh dan rakyat.
Kehidupan buruh sangat sulit karena upah yang murah, minimnya jaminan sosial, fasilitas
dan kondisi kerja yang buruk, hak-hak buruh telah diserang dan dirampas secara
brutal melalui omnibus law cipta kerja. Selain
itu demokrasi pun di acak-acak, kebebasan berekpresi di rampas, praktek KKN
secara terang-terangan, intervensi lembaga pengadilan, konstitusi dan hukum
dipermainkan demi kepentingan keluarga dan kelompoknya.
Berdalih untuk mensejahterakan
buruh, malah upah buruh yang kecil (murah) terus di rampas, dipotong dengan
berbagai skema, seperti kenaikan tarif listrik, kenaikan BBM, berbagai pajak di
naikkan termasuk PPH21, iuran BPJS, di tambah lagi potongan upah untuk Tapera
dan masih banyak lagi potongan-potongan (perampasan) upah buruh baik langsung
ataupun tidak langsung.
Sementara untuk kenaikan upah
buruh (upah minimum saja) sangat pelit banyak alasan ini dan itu, tapi memotong
dan merampas upah buruh langsung sikat tanpa perasaan dan seolah-olah sangat
benar dan keputusan yang sangat bijaksana.
Situasi ini menunjukan semakin
nyata Indonesia dibawah rezim Jokowi dan juga rezim yang akan melanjutkannya (Prabowo-Gibaran)
berada dalam krisis yang akut, sehingga rezim Jokowi boneka Imperialis
sontoloyo ini terus merampas uang (pendapatan) rakyat, mengumpulkan dana-dana
segar dari berbagai sektor termasuk buruh untuk bancakan dan menyelamatkan
tuannya.
Strategi menggarong dana-dana public
(uang rakyat)
Kita semua patut curiga ini
uang (Tapera) nantinya akan digunakan untuk pembiayaan IKN, Makan siang Gratis,
Proyek Strategis Nasional (PSN) yang membutuhkan uang banyak. Dan nampaknya
pemerintah sudah kehabisan sumber pembiayaan utang untuk membiayai defisit APBN
yang terus membengkak? Investasi asing juga lesu karena negeri-negeri
imperialis menahan uangnya untuk berjaga-jaga krisis akan semakin menyerang
negeri mereka. Hal ini ditandai dengan terpuruknya
nilai mata uang dalam negeri akibat penarikan dollar ke negara asalnya hingga
waktu yang tidak ditentukan, hal ini akan mendorong langka (krisis bahan
pangan) dan naiknya harga kebutuhan pokok rakyat. Jelas situasi ini akan
menambah tebal lapisan kesengsaraan rakyat dunia yang telah lama merasakan
kesulitan hidup yang tidak ada ujungnya dibawah sistem ekonomi dunia “neo
liberal” kapitalis monopoli.
Indonesia
sebagai salah satu negeri bergantung pada Asing (setengah jajahan setengah
feodal) dapat dipastikan akan menghadapi dampak luar biasa dari krisis dunia
yang tengah berkecamuk saat ini, dan kaum buruh serta rakyatlah yang utama akan
menjadi korbannya. Mengingat sepanjang 9 (sembilan) tahun dibawa rezim Joko
Widodo semua pembangunan dan kebijakan yang dijalankan sepenuhnya bukan untuk
memperkuat pondasi ekonomi dan kedaulatan rakyat dan bangsa Indonesia,
sebagaimana tercermin dalam omnibus law” UU” cipta kerja, tetapi lebih
mempasilitasi dan mengamankan
kepentingan imperialis AS, Eropa, Jepang, Tiongkok, dllnya, atas seluruh
investasi, utang, dan pembiakan super-profitnya bersama barisan oligarki
penyokongnya: borjuis besar komprador dan tuan tanah besar adalah manifestasi setiap kebijakan rezim Jokowi yang
mengabdi pada kepentingan asing dan aseng.
Terlebih jika mengingat krisis
dunia saat ini yang terus bergerak hingga
pada situasi perang proxy yang dilancarkan oleh Imperialism pimpinan AS yang
memprovokasi negara-negara satelitnya untuk berhadap-hadapan dengan negara
imperialism blok Rusia – China hingga mengarah pada meletusnya perang antar
negara imperialism berhadap-hadapan secara langsung. Krisis dan persaingan
antara negeri imperialis menjadi terbukanya pintu dunia akan lahirnya Perang
Dunia ketiga.
Pertanyaan lanjutan juga apakah
karena sebagian besar uang Haji dan uang BPJS Ketenagakerjaan sudah menipis
digunakan untuk membeli surat utang negara??
Bayangkan
dan kajilah lebih mendalam darimana uang yang akan di gunakan rezim
Prabowo-Gibran sebagai rezim lanjutan Jokowi untuk membiayai proyek pembangunan
IKN yang akan menghabiskan dana sebesar 450 Triliun, program “makan siang
gratis” diangka 450 Triliun (totalnya mencapai 50 persen dari pendapatan
negara), pembayaran hutang dan bunga hutang Indonesia setiap tahun nya mencapai
angka 900 Triliun. Total untuk tiga hal itu saja mencapai 1.800 Triliun (100
persen dari pendapatan negara), sedangkan kebutuhan APBN sebagai contoh tahun
2023 lalu sebesar 3.000 Triliun.
Maka
berkaca dari pengalaman tahun 2023 terdapat kebutuhan 1.200 Triliun untuk
membiayai negara yang dipimpin oleh rezim pemerintahan yang baru nanti. Padahal
APBN sudah terseok-seok sejak periode pertama Jokowi berkuasa. Maka sudah dapat
dipastikan selain mengemis untuk mendapatkan hutang dan invesatasi asing untuk
menjaga kestabilan APBN, adalah menggarong dana-dana publik (uang rakyat).
Sepanjang
tahun 2018 s/d 2023 dana yang dimiliki kaum buruh yang terdapat di BPJS
Ketenagakerjaan telah di investasikan sebanyak Rp.3.132,82 Triliun ke
pemerintah dan swasta. Paling besar investasi BPJS tersebut dialokasikan ke
pemerintah untuk digunakan mendanai APBN melalui Surat Berharga Negara (SBN)
dalam bentuk investasi dengan total akumulasi 2018-2023 sebesar ±Rp. 2.188,5
Triliun (69,86%). Namun, tak ada satupun penghormatan terhadap buruh oleh
negara, selain buruh terus dijadikan sasaran tindasan kebijakan dan dirampasnya
upah yang murah untuk proyek-proyek yang menambah tebal problem pokok buruh dan
rakyat Indonesia.
Bagi GSBI dan buruh Tapera itu
lebih banyak merugikannya daripada manfaatnya. Upah buruh yang murah harus di
potong lagi untuk Tapera 2,5% dari upahnya, padahal selama ini juga sudah
banyak potongan-potongan atas upah buruh. Kalau pemerintah tidak bisa ngasih
duit dan ngasih kebahagian buat rakyatnya, minimal janganlah terus-terusan
ambil (rampas) duit rakyat.
---
000 ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.