Page

Kamis, 30 Mei 2024

Pengusaha Saja Menolak TAPERA, Apalagi Serikat Buruh dan Kaum Buruh

Pengusaha Saja Menolak TAPERA, Apalagi Serikat Buruh dan Kaum Buruh

“Tapera adalah skema perampasan upah buruh. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) ini wajib di tolak kaum buruh, wajib batal dan harus di cabut! karena sewenang-wenang, mengubah yang tadinya hak rakyat menjadi kewajiban rakyat, dan secara nyata Undang-undang dan Peraturan Tapera ini melanggar konstitusi”.

Oleh: Rudi HB Daman, Ketua Umum GSBI

 

Presiden Joko Widodo baru saja menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2024 (tentang perubahan atas peraturan pemerintah No 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat). Melalui peraturan ini pemerintah mewajibkan, alias memaksa, buruh harus menabung sebesar 3 persen dari gaji, upah atau pendapatannya: Pemberi Kerja menanggung 0,5 persen, dan buruh menanggung 2,5 persen. Adapun dasar hukum yang digunakan dari peraturan pemerintah ini, yaitu UU No 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.

Terbitnya PP 21 tahun 2024 ini mendapat reaksi negative dari berbagai pihak termasuk dari pengusaha, sebagaimana di sampaikan oleh Ketua Umum APINDO Shinta W. Kamdhani: “Tapera semakin menambah beban baru, baik bagi para pengusaha dan pekerja. Saat ini beban pungutan pengusaha sudah 18,24 - 19,74 persen, dengan rinciannya : - Jaminan Sosial Ketenagakerjaan: Jaminan Hari Tua (JHT) 3,7 persen; Jaminan Kematian (JK) 0,3 persen;  Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) 0,25 – 1,74 persen; dan Jaminan Pensiun (JP) 2 persen. - Jaminan Sosial Kesehatan 4 persen. – Cadangan pesangon dengan PSAK berdasarkan perhitungan aktuaria sekitar 8 persen. Dan beban ini semakin berat dengan adanya depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar”. (kumparan.com).

Melalui peraturan ini kaum buruh dipaksa untuk menabung, untuk membiayai proyek perumahan rakyat.

Dan jika kita merujuk pada UUD 1945 (konstitusi), tidak ada satu pasal di dalam konstitusi yang menyatakan pemerintah bisa mewajibkan masyarakat untuk menabung. Di samping itu, pemaksaan menabung melanggar konstitusi Pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Oleh karena itu, UU Tapera ini menyimpang dari UUD (melanggar konstitusi), melanggar Hak Asasi Manusia, yang pada prinsipnya, masyarakat mempunyai hak bebas memilih untuk menabung atau konsumsi: tidak bisa dipaksa.

Sikap GSBI atas Tapera

Sikap GSBI atas Tapera ini tetap seperti sikap yang pernah di rilis GSBI di tahun 2016 ketika UU Nomor 4 tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) di terbitkan Presiden Joko Widodo serta sikap di tahun 2020 ketika Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat di keluarkan.

GSBI menolak Tapera, GSBI menilai Tapera adalah bentuk perampasan upah buruh yang di legalkan negara. Pengusaha saja menolak apalagi serikat buruh dan kaum buruh yang upahnya rendah pasti keberatan, pasti menolak dan akan bergerak melakukan perlawanan atas UU dan Peraturan Pemerintah ini. UU dan peraturan pemerintah tentang Tapera ini wajib batal demi hukum dan harus di cabut!.

Dalam kajian dan analisa GSBI, berdasarkan pada hitungan-hitungan iuran yang di bayarkan buruh setiap bulannya. Tapera tidak dapat memastikan setiap pesertanya akan mendapat rumah layak.

Secara matematis, iuran Tapera sebesar 3 persen (yang dibebankan kepada pengusaha 0,5 persen dan dibayar buruh 2,5 persen), ini tidak akan mencukupi buruh untuk membeli rumah di usia pensiun atau saat kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Mari kita hitung-hitungan. Katakanlah upah rata-rata buruh Indonesia adalah Rp 4 juta per bulan. Bila dipotong 3 persen per bulan, iurannya hanya sekitar Rp120.000,- ribu per bulan atau Rp1.440.000,-per tahun. Karena Tapera adalah Tabungan sosial, maka dalam jangka waktu 10 tahun sampai 20 tahun ke depan, uang yang terkumpul adalah sebesar Rp14.400.000,- hingga Rp28.800.000,-.

Pertanyaan besarnya adalah, apakah dalam 10 tahun ke depan ada harga rumah yang seharga Rp14,4 juta atau harga Rp28,8 juta dalam 20 tahun ke depan?.

 

Jadi Iming-iming rumah dengan iuran 3 persen setiap bulan dari upah buruh merupakan suatu hal yang mustahil dan bohong besar. Iuran tersebut hanya  akan membebani buruh, hanya merampas upah buruh yang sudah murah.

 

Lebih parah lagi bahwa iming-iming kepemilikan rumah lewat program Tapera saat ini hanya dibebankan kepada buruh. Sedangkan, pemerintah lepas tangan.  Mestinya beban itu menjadi tanggung jawab pemerintah sebagaimana amanat konstitusi UUD 1945.

 

Dalam program Tapera, pemerintah tidak membayar iuran sama sekali, hanya sebagai pengumpul dari iuran uang buruh dan rakyat. Ini jelas tidak adil, dholim, karena sesungguhnya ketersediaan rumah (hunian yang layak) adalah tanggung jawab negara dan menjadi hak rakyat.

 

Jadi jelas program Tapera ini adalah program, kebijakan yang dipaksakan hanya untuk mengumpulkan dana masyarakat khususnya dari buruh, PNS, TNI/Polri, dan masyarakat umum. Maka wajar jika buruh sangat khawatir iuran itu justru menjadi ladang bancakan penjarahan sistemmatis seperti ASABRI dan Taspen.

 

Pertanyaan besar nya kenapa harus ada Tapera? upah buruh harus di potong lagi, dirampas lagi untuk membiayai perumahan rakyat?. Padahal BPJS Ketenagakerjaan sudah dapat membiayai program kepemilikan rumah bagi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Jadi, untuk apalagi Tapera yang pesertanya sama dengan BPJS Ketenagakerjaan?

 

Terlebih kita mengetahui bahwa UU yang dibuat pemerintah (terutama rezim Jokowi) selalu diwarnai dengan motif rente ekonomi terselubung yang merugikan rakyat. Baca omnibus law “UU” cipta kerja, UU IKN, UU MK, UU KPK dan masih banyak lagi.

 

Potongan Tapera ini terlalu besar, tidak sebanding dengan angka kenaikan upah buruh. Ini jelas perampasan upah buruh. Skema system matis memiskinkan kaum buruh yang sudah miskin dan sangat sulit hidupnya.

Hitung saja rata-rata upah buruh di Indonesia (thn 2024) adalah sebesar Rp 2,9 juta per bulan sementara terdapat 58 juta buruh formal, artinya akan terkumpul sekitar Rp 60,55 triliun per tahun yang dikelola oleh Badan Pengelola Tapera (BP Tapera). Ini dana segar yang sangat besar, ditengah watak dan prilaku birokrasi yang busuk dan korup ini bisa jadi bahan bancakan korupsi penguasa dengan cara digoreng-goreng diberbagai instrumen investasi dan berbagai modus operandinya.

Rezim Jokowi ini memang rezim culas, rezim raja tega, tidak pernah mau memahami kesulitan buruh dan rakyat. Kehidupan buruh sangat sulit karena upah yang murah, minimnya jaminan sosial, fasilitas dan kondisi kerja yang buruk, hak-hak buruh telah diserang dan dirampas secara brutal melalui omnibus law cipta kerja. Selain itu demokrasi pun di acak-acak, kebebasan berekpresi di rampas, praktek KKN secara terang-terangan, intervensi lembaga pengadilan, konstitusi dan hukum dipermainkan demi kepentingan keluarga dan kelompoknya.

Berdalih untuk mensejahterakan buruh, malah upah buruh yang kecil (murah) terus di rampas, dipotong dengan berbagai skema, seperti kenaikan tarif listrik, kenaikan BBM, berbagai pajak di naikkan termasuk PPH21, iuran BPJS, di tambah lagi potongan upah untuk Tapera dan masih banyak lagi potongan-potongan (perampasan) upah buruh baik langsung ataupun tidak langsung.

Sementara untuk kenaikan upah buruh (upah minimum saja) sangat pelit banyak alasan ini dan itu, tapi memotong dan merampas upah buruh langsung sikat tanpa perasaan dan seolah-olah sangat benar dan keputusan yang sangat bijaksana.

Situasi ini menunjukan semakin nyata Indonesia dibawah rezim Jokowi dan juga rezim yang akan melanjutkannya (Prabowo-Gibaran) berada dalam krisis yang akut, sehingga rezim Jokowi boneka Imperialis sontoloyo ini terus merampas uang (pendapatan) rakyat, mengumpulkan dana-dana segar dari berbagai sektor termasuk buruh untuk bancakan dan menyelamatkan tuannya.

Strategi menggarong dana-dana public (uang rakyat)

Kita semua patut curiga ini uang (Tapera) nantinya akan digunakan untuk pembiayaan IKN, Makan siang Gratis, Proyek Strategis Nasional (PSN) yang membutuhkan uang banyak. Dan nampaknya pemerintah sudah kehabisan sumber pembiayaan utang untuk membiayai defisit APBN yang terus membengkak? Investasi asing juga lesu karena negeri-negeri imperialis menahan uangnya untuk berjaga-jaga krisis akan semakin menyerang negeri mereka. Hal ini ditandai dengan terpuruknya nilai mata uang dalam negeri akibat penarikan dollar ke negara asalnya hingga waktu yang tidak ditentukan, hal ini akan mendorong langka (krisis bahan pangan) dan naiknya harga kebutuhan pokok rakyat. Jelas situasi ini akan menambah tebal lapisan kesengsaraan rakyat dunia yang telah lama merasakan kesulitan hidup yang tidak ada ujungnya dibawah sistem ekonomi dunia “neo liberal” kapitalis monopoli.

Indonesia sebagai salah satu negeri bergantung pada Asing (setengah jajahan setengah feodal) dapat dipastikan akan menghadapi dampak luar biasa dari krisis dunia yang tengah berkecamuk saat ini, dan kaum buruh serta rakyatlah yang utama akan menjadi korbannya. Mengingat sepanjang 9 (sembilan) tahun dibawa rezim Joko Widodo semua pembangunan dan kebijakan yang dijalankan sepenuhnya bukan untuk memperkuat pondasi ekonomi dan kedaulatan rakyat dan bangsa Indonesia, sebagaimana tercermin dalam omnibus law” UU” cipta kerja, tetapi lebih mempasilitasi dan mengamankan kepentingan imperialis AS, Eropa, Jepang, Tiongkok, dllnya, atas seluruh investasi, utang, dan pembiakan super-profitnya bersama barisan oligarki penyokongnya: borjuis besar komprador dan tuan tanah besar adalah manifestasi setiap kebijakan rezim Jokowi yang mengabdi pada kepentingan asing dan aseng.

Terlebih jika mengingat krisis dunia saat ini yang terus bergerak hingga pada situasi perang proxy yang dilancarkan oleh Imperialism pimpinan AS yang memprovokasi negara-negara satelitnya untuk berhadap-hadapan dengan negara imperialism blok Rusia – China hingga mengarah pada meletusnya perang antar negara imperialism berhadap-hadapan secara langsung. Krisis dan persaingan antara negeri imperialis menjadi terbukanya pintu dunia akan lahirnya Perang Dunia ketiga.

Pertanyaan lanjutan juga apakah karena sebagian besar uang Haji dan uang BPJS Ketenagakerjaan sudah menipis digunakan untuk membeli surat utang negara??

Bayangkan dan kajilah lebih mendalam darimana uang yang akan di gunakan rezim Prabowo-Gibran sebagai rezim lanjutan Jokowi untuk membiayai proyek pembangunan IKN yang akan menghabiskan dana sebesar 450 Triliun, program “makan siang gratis” diangka 450 Triliun (totalnya mencapai 50 persen dari pendapatan negara), pembayaran hutang dan bunga hutang Indonesia setiap tahun nya mencapai angka 900 Triliun. Total untuk tiga hal itu saja mencapai 1.800 Triliun (100 persen dari pendapatan negara), sedangkan kebutuhan APBN sebagai contoh tahun 2023 lalu sebesar 3.000 Triliun.

Maka berkaca dari pengalaman tahun 2023 terdapat kebutuhan 1.200 Triliun untuk membiayai negara yang dipimpin oleh rezim pemerintahan yang baru nanti. Padahal APBN sudah terseok-seok sejak periode pertama Jokowi berkuasa. Maka sudah dapat dipastikan selain mengemis untuk mendapatkan hutang dan invesatasi asing untuk menjaga kestabilan APBN, adalah menggarong dana-dana publik (uang rakyat).

Sepanjang tahun 2018 s/d 2023 dana yang dimiliki kaum buruh yang terdapat di BPJS Ketenagakerjaan telah di investasikan sebanyak Rp.3.132,82 Triliun ke pemerintah dan swasta. Paling besar investasi BPJS tersebut dialokasikan ke pemerintah untuk digunakan mendanai APBN melalui Surat Berharga Negara (SBN) dalam bentuk investasi dengan total akumulasi 2018-2023 sebesar ±Rp. 2.188,5 Triliun (69,86%). Namun, tak ada satupun penghormatan terhadap buruh oleh negara, selain buruh terus dijadikan sasaran tindasan kebijakan dan dirampasnya upah yang murah untuk proyek-proyek yang menambah tebal problem pokok buruh dan rakyat Indonesia.

Bagi GSBI dan buruh Tapera itu lebih banyak merugikannya daripada manfaatnya. Upah buruh yang murah harus di potong lagi untuk Tapera 2,5% dari upahnya, padahal selama ini juga sudah banyak potongan-potongan atas upah buruh. Kalau pemerintah tidak bisa ngasih duit dan ngasih kebahagian buat rakyatnya, minimal janganlah terus-terusan ambil (rampas) duit rakyat.

Oleh karena itu, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) ini wajib di tolak kaum buruh, wajib batal karena sewenang-wenang, mengubah yang tadinya hak rakyat menjadi kewajiban rakyat, dan secara nyata Undang-undang dan peraturan Tapera ini melanggar konstitusi.[]

 

--- 000 ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.