Aksi FPR Menolak G20 15 Nov 2008
imperialisme hancurkan Bubarkan, bubarkan G20, AS, No one terorism Aksi FPR 15 Nop 2008 di Kedubes AS menuntut di Bubarkannya G 20 BUBARKA...
BUBARKAN! BUBARKAN! BUBARKAN G20!
JUNK! JUNK! JUNK G20!
Pernyataan Sikap Front Perjuangan Rakyat (FPR) Menentang Special Meeting G20 yang diselenggarakan di Washington DC, Amerika Serikat, Sabtu, 15 November 2008
Pada tanggal 15 November 2008 ini, sebuah pertemuan tingkat tinggi yang diikuti oleh negara-negara anggota G-20 akan diselenggarakan di Washington DC, Amerika Serikat. Prestise perundingan G20 saat ini justru terletak pada kondisi tentang semakin panjangnya daftar kegagalan imperialisme AS dalam memandu penyelesaian krisis ekonomi dan keuangan dunia. Upaya-upaya AS untuk menanggulangi krisis ekonomi, baik melalui kebijakan dalam negeri maupun melalui perundingan-perundingan internasional, seperti perundingan putaran Doha WTO dan Perundingan G8 di Hokkaido, Toyako, Jepang, Juli 2008 lalu tidak membuahkan hasil yang menggembirakan. Parahnya, krisis ekonomi dan keuangan justru kian menajam dan memburuk pasca September 2008.
Perundingan kali ini jelas dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi dan keuangan dunia yang dipicu oleh kredit macet sector perumahan Amerika Serikat (subprime mortgage) yang kini telah menelan kerugian lebih dari $1000 triliun, menyebabkan hilangnya lapangan kerja bagi 20 juta penduduk dunia, serta mengancam kehidupan bagi miliaran penduduk miskin yang memiliki pendapatan dibawah US$2 perhari. Krisis paling tajam terjadi di Amerika Serikat yang memaksa negara tersebut mengeluarkan dana tidak kurang dari US$ 700 miliar untuk menalangi kerugian dan menyelamatkan perusahaan-perusahaannya dari kebangkrutan. Langkah yang dilakukan AS juga diikuti oleh Inggris (US$691 miliar), Jerman (US$680 miliar), Irlandia (US$544 miliar), Perancis (US$492 miliar), Rusia (US$200 miliar), dan Asia (US$80 miliar).
KTT G20 kali ini diwarnai dengan gagasan-gagasan untuk kembali menerapkan sistem Bretton Wood yang diperbarui. Gagasan ini menuai kontroversi, terlebih ketika secara faktual sistem tersebut—mematok harga dollar AS berdasarkan ukuran emas—telah dihentikkan Presiden Nixon pada awal dekade 1970-an menyusul inflasi dan defisit anggaran belanja AS akibat Perang Vietnam (1965-1975). Pada saat ini, imperialisme Amerika Serikat berada dalam keadaan yang kurang-lebih sama; nilai dollar mengalami fluktuasi, deficit anggaran belanja melebar, dan defisit perdagangan—khususnya dengan China—semakin membengkak.
Pertemuan ini secara formal dimaksudkan untuk merumuskan langkah-langkah penyelesaian krisis ekonomi dan keuangan dunia yang kian memburuk pada saat ini. Namun, sedari awal sudah bisa diketahui, bagi rakyat dan bangsa-bangsa dunia ketiga termasuk Indonesia, pertemuan tersebut tidak akan membuahkan hasil yang menggembirakan, melainkan sekadar melipatgandakan penindasan dan penghisapan yang pada akhirnya hanya akan memperburuk kehidupan rakyat dan bangsa-bangsa dunia ketiga. Tidak ada satupun agenda perundingan yang membahas upaya-upaya penyelesaian kontradiksi pokok; yakni kontradiksi antara kerja dengan kepemilikan individual serta monopoli atas alat produksi--sebagai biang-keladi krisis ekonomi dunia.
Tidak ada satupun rancangan kesepakatan dalam perundingan G20 yang ditujukan untuk mendongkrak nilai upah bagi kaum buruh untuk meningkatkan daya beli masyarakat secara global. Tidak ada pula rancangan kesepakatan dalam perundingan G20 ini yang ditujukan untuk menghentikkan ekspansi dan monopoli imperialis atas tanah dan sumber-sumber produktif bagi miliaran rakyat dunia yang hidup di pedesaan. Artinya, tidak ada suatu rencana yang tersusun secara sistematis untuk menanggulangi overproduksi komoditi, spekulasi finansial untuk mengejar superprofit, dan pencegahan dan upaya-upaya lain yang secara efektif untuk mengangkat daya beli rakyat di seluruh dunia.
Terlebih, perundingan G20 kali ini ditujukan untuk menyeragamkan pemahaman para pemimpin dunia tentang pentingnya penguatan kelembagaan ekonomi global dengan memperkuat dan memperluas peranan lembaga-lembaga keuangan internasional, khususnya Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional sebagaimana dituangkan dalam resolusi-resolusi KTT ASEM di Beijing, Oktober 2008 lalu. Semuanya ditujukan untuk menghentikan pertikaian-pertikaian yang tidak berujung diantara negeri-negeri imperialis, sebagaimana yang terjadi di dalam forum-forum ekonomi dunia lainnya, khususnya dalam forum perundingan organisasi perdagangan (WTO) yang hingga kini tidak jelas kelanjutannya.
Perundingan tingkat tinggi G20 saat ini juga melulu ditujukan untuk mengonsentrasikan berbagai sumberdaya ekonomi guna mendukung rencana-rencana ‘chauvinis’ negara-negara industry maju untuk melakukan bailout (dana talangan) bagi kapitalis-kapitalis monopoli dunia yang kini terhuyung diambang kebangkrutan akibat ulahnya dan keserakahannya sendiri. Singkatnya, perundingan G20 kali ini justru kian menjauhkan harapan masyarakat dunia atas perbaikan kesejahteraan dan pemulihan krisis ekonomi yang demokratis dan berkeadilan sosial.
Front Perjuangan Rakyat (FPR) memandang bahwa hakikatnya G20 adalah persekongkolan jahat pemimpin-pemimpin negara-negara dari Argentina, Australia, Brazil, Kanada, China, Perancis, Jerman, India, Indonesia, Italy, Jepang, Meksiko, Russia, Saudi Arabia, Afrika Selatan, Korea Selatan, Turki, Inggris, AS, Uni Eropa, untuk mendukung rekayasa imperialisme Amerika Serikat yang tengah berkeinginan mendistribusikan beban krisis akibat membludaknya overproduksi teknologi tinggi dan persenjataan militer serta kian anarkisnya spekulasi finansial dan jatuhnya daya beli akibat intensifikasi penghisapan pada rakyat dan klas pekerja di negeri-negeri tersebut.
Khususnya bila kembali melihat sejarahnya: Pembentukkan G20 sesungguhnya mengikuti garis yang telah dirintis pada saat pembentukkan G6—terdiri dari AS, Inggris, Jerman Barat, Jepang, Italia, dan Perancis—atau “cikal-bakal G8” dekade 1975 yang saat itu ditujukan untuk menghadapi kemungkinan resesi ekonomi akibat gejolak kenaikan harga minyak mentah dunia.[i] Pembentukkan G20 melalui pertemuan di Berlin tahun 1999 juga tidak lebih dari upaya merespon semakin goyahnya keseimbangan politik dan ekonomi dari negeri-negeri imperialis akibat krisis ekonomi dunia saat itu. Dengan garis yang relative sama untuk mengatasi masalah yang kian memburuk, hanya akan semakin memperburuk keadaan yang dihadapi. Itulah haridepan dari perundingan G20 kali ini!
KTT G20 dan Krisis Ekonomi Indonesia
Perundingan G20 adalah usaha pelipatgandaan penindasan dan penghisapan bagi rakyat dan bangsa-bangsa terjajah dan setengah-jajahan di seluruh dunia. Sebagaimana diketahui, krisis ekonomi dan finansial yang melanda AS dan negara-negara industri maju, pada saat ini telah merembet dan meluas di negara-negara berkembang dan terbelakang. Dampak krisis di Negara-negara berkembang dan terbelakang akan semakin berlipat sebagai akibat dari kombinasi antara pengaruh eksternal dengan kondisi internal krisis--yakni adanya kontradiksi antara melemahnya produksi nasional dan membanjirnya dumping komoditi impor dari negeri-negeri imperialis serta tingginya beban utang luar negeri--yang menyebabkan terjadinya defisit anggaran dan perdagangan di masing-masing negara-negara tersebut.
Krisis ekonomi yang kian memburuk di negeri-negeri dunia ketiga ini justru diperburuk oleh munculnya kecenderungan perpindahan kapital (capital flight atau ekspor kapital) dari negeri-negeri terbelakang dan berkembang ke negeri-negeri maju. Berdasarkan laporan survey yang tertuang dalam Trade and Development Report 2008 UNCTAD, pada tahun 2002-2006, dari sekitar 113 negara berkembang, 42 negara diantaranya adalah Negara pengekspor kapital (net exporters of capital). Masih menurut UNCTAD, kecenderungan mengalami penguatan justru setelah Negara-negara berkembang mengalami krisis keuangan tahun 1997-1998.
Tingginya arus capital flight, khususnya pada era liberalisasi sistem keuangan dunia, menyebabkan negara-negara berkembang kian tidak mampu mengendalikan laju krisis ekonomi yang dihadapinya. Tidak salah bila bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, gejolak mata uang akibat transaksi valuta asing yang tidak seimbang, menjadi penyebab utama inflasi dan naiknya berbagai harga kebutuhan pokok yang pada gilirannya mencekik jutaan rakyat miskin yang hidup di negara-negara tersebut. Sebagaimana terjadi di Indonesia, kenyataan ini diperburuk oleh kebijakan dari rejim-rejim komprador dan kakitangan imperialisme AS yang mengeluarkan segala cara untuk mengamankan kepentingan dari negeri-negeri induknya; yakni imperialisme Amerika Serikat.
Lihat saja apa yang terjadi di Indonesia saat ini. Meski pemerintah SBY-JK berulangkali meyakinkan publik tentang kecilnya dampak akibat krisis keuangan dan ekonomi dunia, namun fakta di lapangan justru sebaliknya. Hantaman krisis ekonomi begitu kuat dirasakan oleh kaum buruh yang berdasarkan Surat Keputusan Bersama Empat Menteri dipaksa merelakan perampasan upah yang menjadi haknya. Demikian pula bagi kaum tani yang akan menghadapi gelombang perampasan tanah dan represifitas politik SBY-JK demi lancarnya pembangunan infrastruktur besar yang konon ditujukan untuk menarik investasi asing. Tidak cukup dengan itu, Pemerintah SBY-JK juga berniat untuk mengeruk sebesar-besarnya pendapatan dari pajak perorangan yang pada APBN 2009 ditargetkan mencapat sebesar Rp 364,4 triliun atau melebihi realisasi penerimaan pajak pada tahun 2008 yang mencapai Rp 325,7 triliun serta melipatgandakan pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri dengan target pengiriman 1 juta orang per-tahun mulai tahun 2009 untuk menggelembungkan penerimaan devisa dari remitan (uang kiriman) buruh migran Indonesia yang ditargetkan mencapai Rp 125 triliun atau hampir dua kali-lipat penerimaan remitan tahun 2008 ini.
Kebijakan yang intinya mengintensifkan penindasan dan penghisapan terhadap rakyat ini bertolak belakang dengan kebijakan lain yang dikeluarkan pemerintah terhadap kalangan pengusaha, spekulan valuta asing dan saham, serta investor-investor Asing. Selain pengurangan pajak dan berbagai insentif kebijakan yang liberal dan memanjakan, baru-baru ini pemerintah SBY-JK juga mengeluarkan beberapa kebijakan, seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Bank Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan, dan kebijakan-kebijakan lain, seperti pembelian kembali saham-saham BUMN dan pembelian kembali surat utang negara yang semuanya hanya ditujukan memberikan kompensasi triliunan rupiah dengan cuma-cuma bagi pengusaha besar komprador, spekulan saham dan valuta asing, serta investor-investor portofolio di bursa efek Indonesia.
Pemerintah juga tidak bergeming dari tuntutan penghapusan utang yang membebani anggaran. Padahal, dengan kondisi yang serba sulit, pengamanan cadangan devisa adalah hal terpenting pada saat cadangan devisa saat ini yang terus tergerus hingga hanya sebesar US$ 57 miliar. Penghapusan utang luar negeri menjadi semakin penting ketika pemasukkan devisa negara dari ekspor mengalami penyusutan akibat menyempitnya pasar dan membesarnya proteksionisme negara-negara maju serta akibat dari turunnya harga komoditi-komoditi andalan di pasar internasional. Pengamanan cadangan devisa dengan menghapuskan utang luar negeri semakin dibutuhkan untuk menjaga pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok yang hingga kini masih bergantung pada impor.
Singkatnya, penghapusan utang luar negeri pada saat ini adalah langkah yang secara logis tidak terhindarkan untuk menyelamatkan perekonomian rakyat. Terlebih, sebagian besar dari utang tersebut adalah utang najis yang haram untuk dibayar oleh Rakyat Indonesia. Sikap pemerintah Indonesia atas Utang Luar Negeri ini akan mencekik beban rakyat, khususnya ketika pada periode tahun 2009-2012 yang akan datang, adalah periode puncak pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo. Menurut data pemerintah SBY-JK[ii], volume utang luar negeri jatuh tempo yang harus dibayar Indonesia tahun 2009 mencapai 6,4 juta dollar; 2010 mencapai 5,1 juta dollar; tahun 2011 mencapai 4,5 juta dollar; tahun 2012 sebesar 4,4 juta dollar; tahun 2013 sebesar 4,5 juta dollar; tahun 2014 sebesar 4,3 juta dollar, dan tahun 2015 sebesar 4,2 juta dollar.
Kombinasi dari krisis ekonomi dan keuangan dunia dengan bentuk-bentuk krisis ekonomi di dalam negeri serta mekanisme penyelesaian krisis yang tidak berpihak pada rakyat akan tidak akan bermuara pada penyelesaian secara menyeluruh krisis ekonomi yang dilanda rakyat Indonesia. Keadaan-keadaan ini akan menyebabkan pemerintah Indonesia tidak akan sanggup mencapai target tujuan pembangunan millennium (MDGs) 2015 yang secara eksplisit menyebutkan keharusan adanya pengurangan angka kemiskinan menjadi setengahnya dari angka tahun 2000. Keadaan-keadaan ini juga akan menyebabkan kegagalan pemerintah dalam merealisasikan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya sebagaimana tertuang dalam Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang telah diratifikasi Pemerintah RI sejak tahun 2004. Tidak hanya itu, keadaan-keadaan ini juga akan hanya meningkatkan kekerasan negara terhadap rakyat, baik berupa kekerasan fisik maupun kekerasan politik, sebagai akibat dari tidak terpecahkannya kontradiksi-kontradiksi di kalangan rakyat.
Kesimpulan dan Sikap
Berdasarkan analisis dan pandangan-pandangan di atas, Front Perjuangan Rakyat menyimpulkan bahwasanya;
1. Konferensi Tingkat Tinggi Khusus Negara-Negara G20 tidak lebih dari persekongkolan jahat antara imperialisme pimpinan Amerika Serikat dengan komprador-kompradornya di berbagai negeri untuk mengintensifkan dan melipatgandakan penindasan dan penghisapan terhadap rakyat, khususnya rakyat dari negeri-negeri dunia ketiga yang bergantung dan terbelakang.
2. Bahwa kehadiran Presiden SBY dalam KTT G20 di Washington, 15 November 2008 ini tidak akan membawa manfaat apapun bagi rakyat, bahkan sebaliknya, justru kian memperburuk harapan rakyat untuk melepaskan diri dari jeratan dan cekikan krisis yang kian sengit.
Atas dasar kesimpulan tersebut, Front Perjuangan Rakyat (FPR) menyatakan sikap sebagai berikut;
1. Menentang dan menolak penyelenggaraan KTT G20 di Washington dan menuntut pembubaran G20 sebagai manifestasi dari pembubaran persekongkolan jahat imperialisme pimpinan AS dan komprador-kompradornya.
2. Menuntut Penyelesaian krisis ekonomi dan keuangan dunia dengan mengedepankan pemihakan terhadap rakyat khususnya kaum buruh dan kaum tani dalam dengan cara; (1) melakukan penaikan upah secara signifikan bagi kaum buruh; (2) melaksanakan land-reform sejati bagi kaum tani; (3) lapangan dan jaminan kerja yang layak bagi seluruh rakyat.
3. Menuntut penghapusan seluruh utang luar negeri, khususnya utang-utang najis dan haram, dan sekaligus menuntut debt-reparation kepada negara-negara imperialis guna memulihkan keadaan sosial, ekonomi,, kebudayaan, dan kedaulatan rakyat Indonesia yang selama berpuluh-puluh tahun dirusak oleh proyek-proyek utang luar negeri.
4. Menuntut penyelesaian segala bentuk pelanggaran HAM; berupa penyelesaian sengketa-sengketa perburuhan dengan mengembalikan seluruh hak-hak kaum buruh yang dirampas demi membiayai penanganan krisis ekonomi; penyelesaian sengketa-sengketa agraria dengan mengembalikan seluruh tanah-tanah rakyat yang dirampas oleh berbagai proyek infrastruktur, perkebunan, dan pertambangan; dan menuntut pemenuhan segala hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya rakyat Indonesia.
5. Menuntut penyelenggaraan pembangunan yang mandiri, berwatak nasional-patriotis, dan demokratis untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Demikian, pernyataan ini kami susun. Terima kasih.
Hidup Rakyat! Hidup Buruh! Hidup Tani!
Bubarkan! Bubarkan! Bubarkan G20!
Front Perjuangan Rakyat
Rudi HB Daman
Koordinator
T E N T A N G F R O N T P E R J U A N G A N R A K Y A T
http://fprsatumei.wordpress.com/
Front Perjuangan Rakyat (FPR) adalah aliansi luas dari organisasi-organisasi
E-mail : fpr1mei@gmail.com
Blog : http://fprsatumei.wordpress.com/
[i] G-6 kemudian menjadi G-7 pada tahun 1976 ketika Kanada menyatakan bergabung dengan grup tersebut. Melalui KTT G7 tahun 1994 di
[ii] Data Dirjen Pengelolaan Utang Luar Negeri, Departemen Keuangan RI per 31 Agustus 2008.