Analisis dan Sikap Kita : Hubungan antara kenaikan harga dan resesi ekonomi
Analisis dan Sikap Kita : Hubungan Antara Kenaikan Harga-harga Komoditas Pangan dengan Resesi Ekonomi Dunia dan Krisis Ekonomi Indonesia ...
Hubungan Antara Kenaikan Harga-harga Komoditas Pangan dengan Resesi Ekonomi Dunia dan Krisis Ekonomi
Oleh ; Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI)
Pukulan demi pukulan tiada henti diterima oleh rakyat Indonesia. Badai penderitaan semakin mencekik kehidupan rakyat tahap demi setahap menuju kematian yang mengenaskan. Kehidupan rakyat semakin tak ada cahaya harapan di bawah rezim SBY-JK. Di tengah semakin tingginya angka pengangguran, PHK massal di kalangan kelas buruh, penggusuran besar-besaran kaum pedagang kecil perkotaan atas nama tata kota, kemiskinan kaum tani pedesaan karena semakin rendahnya faktor produksi dan memburuknya kondisi alam, dsb. Kali ini serangan mematikan mengarah pada sektor pangan rakyat yang kantongnya semakin kempis karena rendahnya pendapatan. Yakni, kenaikan harga-harga kebutuhan pokok rakyat!
Mari kita melihat indikator permukaan makro-ekonomi. Menurut laporan BPS angka inflasi pada bulan Februari 2008 sebesar 0,65 persen. Faktor pemicunya adalah kenaikan harga bahan pangan yang menjadi pukulan paling mematikan bagi rakyat miskin. Masih menurut BPS, komoditas pangan yang paling mendongkrak inflasi Februari adalah jenis komoditas yang harganya memang tidak dikontrol oleh pemerintah seperti cabe merah, minyak goreng, ikan segar, daging ayam, tahu dan tempe. Berdasarkan catatan BI, laju inflasi Januari terus meninggi. Dalam sepuluh tahun terakhir, laju inflasi rata-rata mencapai 1,13 persen. Sebelumnya pemerintah dan BI menyepakati target inflasi untuk 2008 sebesar 5 persen dengan deviasi satu persen. Namun, BI mengingatkan, potensi inflasi tinggi masih bisa terjadi hingga melebihi 6 persen. Terakhir dalam sidang bersama DPR mereka menyepakati 6,5 persen (suatu angka optimisme namun utopia). Inflasi merupakan potret peristiwa moneter yang menggambarkan kenaikan harga barang. Bila dalam hukum ekonomi terdapat soal supply and demand (persediaan dan permintaan), maka serangan inflasi ini memukul dari sisi supply. Dan kenaikan angka inflasi bulan ini tercatat paling tinggi dalam tujuh tahun terakhir. Kenaikan inflasi ini semakin menjelaskan ketimpangan ekonomi nasional yang gagal mengurus penataan produksi nasional untuk memenuhi kebutuhan pokok nasional dan semakin tingginya ketergantungan pada barang komoditas impor, khususnya komoditas pangan internasional.
Beberapa faktor kenaikan harga-harga kebutuhan pokok memang tidak bisa dipisahkan dengan faktor resesi ekonomi dunia yang kian memburuk seiring dengan krisis umum imperialisme: kelesuan ekonomi Amerika Serikat yang dipicu oleh krisis kredit perumahan (subprime mortgage); krisis finansial, krisis energi [minyak, gas, batubara], ditandai dengan kenaikan harga minyak di pasaran internasional yang telah menembus 110 US $/barel yang memaksa berbagai sektor produksi ekonomi menaikkan ongkos produksinya. Sedangkan imbas dari pemanasan global telah menyerang lingkungan hidup bumi manusia, dengan cuaca buruk, gelombang badai, banjir, longsor, telah memukul hampir semua produksi pertanian dan kelancaran sistem transportasi dunia.
Ketidakbecusan rezim anti-rakyat SBY-JK dalam Mengurus Kekayaan Alam dan Ekonomi Rakyat
Seluruh fenomena yang hadir sebagai kenyataan tersebut telah gagal diantisipasi oleh rezim anti-rakyat SBY-JK. Akibatnya rakyat kembali menjadi korban. Dan seperti adat buruk rezim anti-rakyat, mereka mencari berbagai permakluman dan memanipulasi kenyataan dengan segala omong-kosong tanpa solusi yang paling jangka pendek sekalipun.
Bagaimana seluruh kegagalan ini berbicara? Pertama, kenyataan atas penderitan rakyat adalah fakta obyektif yang paling nyata. Kedua, kedudukan tanah air Indonesia yang memiliki sumber kekayaan alam seperti minyak, gas, batubara, aneka tambang, dan wilayah tropis yang membentang dari Sabang hingga Merauke, adalah kenyataan obyektif yang sangat bertentangan dengan nasib yang diterima oleh sebagian besar rakyat Indonesia sebagai subyek derita dewasa ini. Ketiga, fakta yang tidak kalah terang adalah kekuasaan yang diperintah oleh kelas-kelas yang berkuasa [borjuis komprador, kapitalis birokrat dan tuan tanah] yang terbukti tidak mampu mengurus seluruh kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat. Namun sebaliknya, seluruh kekayaan itu terbukti hanya menciptakan keuntungan dan kesejahteraan yang besar bagi kelas-kelas yang berkuasa tersebut dan tuannya, imperialis asing sebagai perampok kekayaan alam kita.
Berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh SBY-JK menjadi serentetan bukti yang paling meyakinkan untuk memperkuat kenyataan ini. Bahwa mereka tidak semakin memperbaiki keadaan, namun justru sebaliknya. Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok rakyat [minyak goreng, kedelai, tepung terigu, daging, dsb] di tengah tingkat pendapatan rakyat yang semakin rendah, bukan hanya memukul pangan rakyat namun semakin memerosotkan kualitas konsumsi rakyat. Kemampuan untuk memenuhi asupan gizi dan protein semakin rendah karena mahalnya harga-harga. Inilah kenyataan bagaimana krisis pangan tengah mengetuk pintu setiap konsumsi rumah tangga rakyat ini. Penderitaan rakyat di pedesaan jauh lebih berat. Mereka, selain karena ditinggalkan oleh segenap tenaga produktifnya menuju ke kota-kota karena rendahnya produktifitas pertanian, semakin terimbas oleh karena merosotnya pendapatan per kapita. Seluruh fenomena ini tentu saja berbanding terbalik dengan harapan naiknya angka pertumbuhan ekonomi nasional; karena justru semakin naiknya angka kemiskinan rakyat, jumlah pengangguran dan rendahnya produktifitas lapis masyarakat terendah.
Mari kita telusuri satu demi satu. Kenaikan harga minyak goreng yang bahan bakunya utamanya terbuat dari CPO kelapa sawit. Indonesia adalah negeri produsen terbesar CPO dan tengah mengembangka perkebunan kelapa sawit besar-besaran. Namun pemerintah demikian tanpa daya mengerem kenaikan minyak goreng ketika harga CPO di pasaran dunia merambat naik. Harga minyak goreng per liter mencapai Rp, 13.000 di pasaran. Demikian juga yang terjadi pada gula. Ketika harga gula naik, buru-buru pemerintah mengimpor gula kasar dan rafinasi, tanpa ada perspektif usaha-usaha mencukupi kebutuhan dalam negeri di masa depan. Demikian pula yang menimpa jagung. Sebagai perbandingan, tahun 2006 harga jagung dalam negeri Rp 950 per kg di tingkat petani. Tak lama berselang harga jagung dunia naik dari 135 dollar AS per ton menjadi 270 dollar AS per ton pada posisi Oktober 2007. Akibatnya, harga jagung lokal terdongkrak menjadi Rp 2.450 per kg. Kenaikan harga jagung mendorong kenaikan harga telur, ayam pedaging, daging sapi, dan susu. Sebab, jagung merupakan komponen utama (51,4 persen) pakan unggas dan merupakan makanan berprotein sapi perah. Harga beras juga tidak akan aman, bahkan sangat sensitif, dihadapkan dengan kenaikan berbagai kebutuhan pokok lainnya dan kenaikan ongkos produksi. Tepung terigu, sudah lama perut rakyat ini tergadaikan. Kedelai sebagai bahan baku pembuatan tempe, tahu, kecap, adalah fakta di mana 90% kebutuhan dalam negeri sangat bergantung pada impor. Pada tahun 1992 produksi kedelai sebesar 1,8 juta ton/tahun, namun pada tahun 1999 merosot menjadi 608.263 ton/tahun dan terus merosot hingga tahun-tahun berikutnya. Pukulan telak bagi industri kecil yang memproduksi lauk-pauk utama rakyat bangsa ini yang murah dan bergizi seperti tahu dan tempe.
Seluruh kenaikan harga-harga ini tentu saja bukan fakta yang tiba-tiba muncul. Ia adalah produk dari kekacauan dan kedodorannya penataan produksi pertanian yang tidak pernah berpihak pada rakyat petani Indonesia pada taraf yang paling rasional sekalipun. Di bawah rezim yang memiliki watak komprador dan tuan tanah ini, mereka jelas tidak becus mengurus kebutuhan pokok rakyat, memetakan komoditas pangan yang harus diselamatkan, daerah mana yang akan menjadi pusat produksinya, kebijakan apa yang harus disiapkan, dan siapa yang akan menggarapnya. Bahkan untuk menyelamatkan satu pun di antara seabrek kebutuhan pangan tersebut menunju swasembada pangan nasional.
Apa kata pemerintah dalam menyikapi masalah ini, mari kita ambil contoh beberapa masalah. Pertama) tentang kenaikan harga kedelai. Menko Perekonomian Boediono mengatakan, sasaran utama pengendalian harga bahan makanan adalah menurunkan biaya yang harus dibayar konsumen. Salah satunya adalah menurunkan biaya distribusi. Pemerintah akan melakukan apa saja untuk mengamankan harga bahan makanan. Salah satu langkah yang mungkin dilakukan adalah menambah importir beras dan kedelai. Ya, inilah bukti ketidakbecusan rezim SBY-JK dalam mengurus kedelai. Solusi yang sangat dangkal, pendek dan picik, yang akan menyeret perut rakyat bangsa ini ditentukan oleh para spekulen, pedagang besar dan komoditas pangan impor. Seluruh kebijaksanaan reaksioner tersebut semakin mengarah pada ilusi tentang kedaulatan pangan nasional. Sebuah omong kosong besar yang mengarah pada nasib rakyat di republik ini yang semakin rubuh dan remuk!
Kedua) tentang kenaikan harga BBM. Seperti yang sudah kita duga, harga minyak mentah di pasaran dunia telah menembus 110 $ US/barel, yang semakin menjelaskan krisis energi dunia. Dan mereka tidak akan berani menaikkan harga BBM karena alasan gejolak sosial-politik yang akan mengancam kelangsungan nasib rezim busuk itu sendiri. Oleh karenanya mereka mengambil cara paling aman dengan melakukan pembatasan konsumsi BBM, selain konversi dari minyak tanah ke gas yang telah terbukti gagal dan kacau itu. Di satu sisi mereka menggadaikan sumber-sumber minyak kita kepada asing, mereka kini sedang mengotak-atik anggaran belanja agar republik yang sudah tekor ini tidak semakin bangkrut. Kebijakan mutakhir mereka adalah pembatasan penggunaan konsumsi BBM bagi rakyat agar bisa menekan subsidi BBM tidak kian membesar (alih-alih menghemat 10 trilyun, karena dampak kenaikan harga minyak mentah yang semakin tinggi subsidi BBM malah membengkak 150 trilyun). APBN saat ini benar-benar tersandera oleh subsidi BBM. Namun sampai kapan mereka akan berdalih? Sampai kontrak rezim anti-rakyat ini akan dipikir kembali pada pemilu tahun depan, tentunya. Dan rutinitas omong kosong ini akan terus berlanjut hingga rakyat benar-benar bergolak dan menjebol seluruh pertahanan kelas-kelas reaksioner.
Terakhir, mereka juga melakukan penghematan sebesar 15% yang menyangkut seluruh anggaran mesin kekuasaan pemerintah reaksioner ini. Kebijakan ini tentu juga akan memukul nasib rakyat, taruh kata, sektor layanan kesehatan dan pendidikan akan semakin merosot dan jauh dari jangkauan rakyat. Dalam APBN-P terbaru, mereka mengucurkan dana Rp. 65 trilyun untuk menyokong bunga obligasi rekapitulasi perbankan nasional, dan HANYA Rp. 9 trilyun untuk SUBSIDI PANGAN RAKYAT. Anggaran untuk sektor energi sendiri sejumlah Rp. 90 trilyun. Alokasi anggaran pemerintah reaksioner itu sendiri sungguh mengabaikan kepentingan rakyat yang semakin dicekik kelaparan pangan. Sedangkan cadangan devisa per akhir Februari 2008 mencapai 57,1 miliar dollar AS atau setara 5,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Total keseluruhan belanja negara sendiri adalah menjadi Rp. 910,6 triliun.
Ketiga) menurut ekonom Faisal Basri, dari 11 indikator makro-ekonomi, pemerintah SBY-JK relatif berhasil membuat kemajuan dalam empat hal: pertumbuhan ekonomi, defisit APBN, cadangan devisa, dan utang pemerintah. Namun prestasi positif ini seperti istana pasir bila dihadapkan pada indikator lain seperti inflasi, nilai tukar rupiah, suku bunga, dan sama sekali tidak ada artinya dalam mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Dan seperti biasa, para ekonom borjuis itu selalu kehilangan pertanyaan kritisnya seperti, lantas siapa yang paling diuntungkan dari pertumbuhan ekonomi tersebut? Bila semua rakyat semakin miskin, kocek siapa (kelas penghisap) yang semakin mengakumulasi super profit dari kemakmuran ekonomi Indonesia? Bagaimana semua ironi itu terjadi, dan bagaimana agar tidak terjadi? Senjata berpikir ekonom borjuis dan takdir historisnya memang hanya mampu mengutak-atik keadaan tanpa becus mengubah keadaan rakyat agar jauh lebih baik.
Kembali pada persoalan kenaikan harga komoditas pangan. Mari kita lihat Kondisi ketahanan pangan yang makin gawat oleh berbagai fenomena, salah satunya ketika alih fungsi lahan pertanian yang tak bisa dikendalikan. Tahun 2003 sampai 2004 saja luas lahan pertanian menyusut 703.869 hektar dari 8.400.030 hektar menjadi 7.696.161 hektar. Penyusutan terjadi di lahan beririgasi teknis, setengah teknis, irigasi sederhana, tadah hujan, dan pasang surut. Baik di wilayah penataan lahan pertanian, pengadaan sarara produksi pertanian, prioritas penyelematan produksi pertanian tertentu, hingga proteksi harga-harga komoditas pangan penting nasional; sepenuhnya hampir tak terurus. Dan tidak ada syarat-syarat obyektif bahwa kondisi pangan nasional tahun depan akan lebih baik dari tahun ini. Dan tahun ini kita juga terus menghadapi kelanjutan berbagai kebijakan reaksioner di bidang agraria yang tak henti-hentinya merongrong UUPA dan penjebolan yang sudah berlangsung dengan berbagai cara khususnya melalui Undang-undang investasi yang telah terbit pada Mei 2007.
Dampaknya sungguh luar biasa. Kasus teranyar yang cukup menghentak tanah air adalah kasus kematian ibu dan anak di Makassar, Sulawesi Selatan akhir Februari 2008 lalu. Ny Basse (27) yang tengah hamil tujuh bulan dan anaknya Bahir (5) tewas mengenaskan setelah tiga hari tidak makan dan menderita diare akut. Kisah pilu keluarga Basse itu bukanlah kasus yang pertama dan diyakini bukan pula yang terakhir. Kejadian serupa juga terjadi di wilayah NTT, NTB, Tangerang, dan Tasikmalaya. Kasus itu hanyalah segelintir dari 4,1 juta kasus gizi buruk terbaru yang diungkap Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari. Angka 4,1 juta sungguh angka yang cukup fantastis untuk ukuran negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini; negeri yang subur dan kaya sumber daya pangan.
Kesimpulan dan Arahan
Bila kita memeriksa total jenderal dari situasi ekonomi nasional dan internasional dewasa ini, mesin tua imperialisme ini semakin tidak memadai untuk menyediakan faktor-faktor ekonomi yang menjamin pertumbuhan dan kesejahteraan rakyat dunia. Krisis umum imperialisme telah semakin akut dan berpadu dengan krisis ekonomi dalam negeri (domestik). Rezim reaksioner sendiri tidak bisa mengelak dengan merevisi target pertumbuhan ekonomi nasional 2008. Revisi ini karena melemahnya berbagai faktor pendukung pertumbuhan ekonomi. Inflasi terus meningkat. Kenaikan harga-harga barang dan jasa juga telah mengakibatkan produktivitas dunia usaha terus merosot ke titik yang semakin rendah. Situasi krisis ekonomi nasional yang semakin parah ini tentu menjadi dasar yang sangat penting bagi propaganda kita dalam garis politik pemblejetan musuh-musuh rakyat dan memperhebat perjuangan massa.
Di mata analis ekonomi reaksioner dan mulut manis pemerintah sendiri, mereka akan mengeluarkan kebijakan yang moderat nan penuh bijak hingga krisis komoditas pangan di masa transisi ini berlalu. Mereka, rezim komprador itu bilang, masa transisi akan berlalu? Ketemu berapa perkara? Apa yang bisa klik komprador SBY-JK perbuat dalam memperbaiki ekonomi dunia di tengah kolektif rezim imperialis dalam G-7 pun kedodoran mengurus resesi ekonomi dunia! Betapa tidak sadarnya mereka dengan kedudukannya sebagai komprador yang takdirnya selalu mengedarkan tangan perbudakan, mengemis-ngemis ke AS, Uni Eropa dan Jepang! Apa pula yang bisa mereka perbuat dalam memperbaiki ekonomi domestik, khususnya krisis komoditas pangan yang memukul konsumsi rumah tangga rakyat negeri ini? Jawabnya adalah impor, impor dan impor! Amankan dulu jangka pendek hingga pemilu tahun depan. Kocek keuangan komprador tidak punya ongkos yang cukup untuk mendanai solusi-solusi strategis masalah pangan rakyat. Jadi tak usahlah memikirkan terlampau serius nasib rakyat ini 10 tahun ke depan. Usai pemilu mari hisap dan tindas rakyat lebih hebat lagi! Inilah isi otak politisi rezim komprador dan tuan tanah. Otak tambal sulam yang hanya mampu berpikir dalam rentang waktu paling banter bulan depan dalam rakor-rakor mereka di istana negara. Mereka tidak pernah memiliki solusi strategis untuk mengamankan kedaulatan pangan nasional secara sungguh-sungguh. Dan rakyat tidak perlu berharap hal itu akan terjadi karena memang tidak akan pernah terjadi.
Dalam situasi inilah, dasaran obyektif yang menjelaskan krisis umum imperialisme dan perpaduannya dalam krisis ekonomi nasional semakin menyediakan bahan bakar yang sangat kaya bagi propaganda perjuangan massa kita. Dari ujung ke ujung, dari hulu ke hilir, kita sudah memeriksa bahwa tidak ada syarat-syarat yang bisa menjelaskan kekuatan subyektif rezim komprador dan tuan tanah ini mampu memperbaiki faktor-faktor pertumbuhan ekonomi nasional. Lantas bagaimana dengan syarat politik? Klik-klik dalam tubuh kekuasaan saat inipun belum muncul kekuatan politik signifikan (alternatif) bagi lahirnya kebijakan-kebijakan pro-rakyat di masa-masa mendatang. Bilamana ada beberapa elemen oportunis yang mencoba bermain dalam skala paling taktis bernama aliansi elektoral sekalipun, dihadapkan pada hitungan total jenderal ekonomi-politik nasional dewasa ini, betapa jauh panggang dari api. Ilusi politik yang sangat bias kanan ini menjadi cermin dari kekacauan berpikir atas situasi obyektif sehingga menuntun pada langkah-langkah dan orientasi politik yang menyesatkan gerakan rakyat. Situasi yang semakin menjelaskan kebangkrutan reformisme dan seluruh penempuh jalan parlementer sebagai strategi utama! Meneruskan strategi utama parlementerisme ini hanya akan memperpanjang ilusi rakyat dan meredupkan api perjuangan massa.
Kondisi ekonomi-politik nasional dewasa ini tidak ada alternatif lain kecuali tempalah besi selagi panas. Oleh karena tidak ada syarat-syarat hidup damai di republik ini, maka mari terus perhebat perjuangan dan perlawanan massa! Mengolah setiap penderitaan rakyat menjadi perjuangan massa, untuk merebut hak-hak dasar hidupnya. Saat ini tidak ada jalan yang lebih pasti kecuali berjuang, berorganisasi dan terus melatih perlawanan dalam mempertahankan maupun merebut kepentingan massa rakyat itu sendiri. Dan memang sudah saatnya bagi rakyat Indonesia untuk berhenti menggadaikan nasib di tangan kelas-kelas reaksioner negeri ini. ##