FPR DESAK TINJAU TAPAL BATAS TAMAN NASIONAL Demo di BTNLL, Minta 9 Warga Lindu Dibebaskan Radar Sulteng, Jum'at 15 Agustus 2008 Palu,Fro...
https://www.infogsbi.or.id/2009/01/fpr-desak-tinjau-tapal-batas-taman.html?m=0
FPR DESAK TINJAU TAPAL BATAS TAMAN NASIONAL
Demo di BTNLL, Minta 9 Warga Lindu Dibebaskan
Radar Sulteng, Jum'at 15 Agustus 2008
Palu,Front Perjuangan Rakyat (FPR) berdemonstrasi di Kantor Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL), jalan Moh Yamin Palu, Kamis (14/8). Mereka mendesak pejabat di instansi tersebut untuk meninjau kembali dengan cermat kebijakan yang berkaitan dengan tapal batas kawasan hutan lindung (HL). FPR juga mendesak BTNLL untuk membebaskan sembilan warga lindu yang disebut-sebut merambah dan menjual lahan disekitar hutan lindung.
Kuasa Ratalembah, salah seorang pendemo menegaskan BTNLL gagal mengelola TNLL dan tidak berhasil menyehterakan rakyat disekitar taman nasional. Padahal, instansi tersebut mendapat kucuran anggaran yang sangat besar untuk membiayai program di taman nasional. Sayangnya program-program tersebut gagal. Bahkan dananya diduga kuat disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu. Kuasa juga, menyoroti tidak adanya kejelasan tentang zonasi TNLL.
FPR yang beranggotakan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Serikat Tani Donggala, Front Mahasiswa Nasional, Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP), Relawan untuk orang dan Alam, Persatuan Evegreen Indonesia, Walhi dan LBH) Sulteng mendesak pemerintah dan BTNLL untuk menghentikan distribusi pupuk melalui tengkulak. FPR juga meminta BTNLL mengakui keberadaan masyarakat di kawasan TNLL, menghentikan kekerasan dan kriminaslisasi kepada kaum tani yang melakukan perjuangan atas haknya. FPR juga mendesak pemerintah dan BTNLL untuk membebaskan dua orang petani Sibalaya, dan petani Watumaeta yang saat ini ditahan.
Di tempat yang sama ketua SPHP Sulteng, Agus Salim Faisal Said menegaskan, kasus intimidasi, kriminalisasi dan kekerasan lainnya yang dialami masyarakat lindu, merupakan rangkaian dari politik konservasi. Konsep politik ini mengusung isu lingkungan. "jadi, sembilan warga desa Tomado yang diklain melakukan perambahan hutan dan menjual lahan di sekitar TNLL merupakan kasus yang tidak berdiri sendiri. Ini bagian dari skenario global untuk mencaplok tanah adat rakyat untuk kepentingan pemodal," tegas agus.
Skenario global ini, urai Agus, dijalankan Direktorat Pelestarian Konservasi dan Perlindungan Hutan (PKPH) Departemen Kehutanan RI dan Balai Taman Nasional di Seluruh Indonesia dengan secara sepihak menghegemoni hak kuasa kelolal rakyat atas sumber-sumber penghidupannya di kawasan hutan. Dia mencontohkan, kasus di taman nasional komodo, lauser dan wakatobi, kasus-kasus ini tercatat di Komnas HAM sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pelanggaran ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob) yang telah diatur dalam TAP MPR IX tahun 1999. "Jika dikaji lebih dalam, BTNLL sebetulnya telah melanggar karena telah melakukan upaya kriminalisasi rakyat yang mengelola lahan sebagai sumber penghidupannya, tegas Agus.
Agus menjelaskan, hingga saat ini zonasi dan tapal batas TNLL adalah masalah yang tidak pernah tuntas diselesaikan, baik oleh BTNLL maupun instansi lainnya. "TNLL adalah satu-satunya taman Nasional di Indonesia yang tidak memiliki zonasi dan tapal batas yang tegas dan jelas. Lingkar cincin yang akan dicapai pihak pendukung TNLL, khususnya BTNLL telah gagal. Sepanjang tapal batas di 46 desa di dua Kabupaten ini, semuanya bermasalah dengan lokasi pemukiman petani. Kedudukan zona inti seperti di dataran Puro Lanko, Tomado, dan Anca merupakan bukti bagaimana BTNLL masih menyimpan upaya tersembunyi penyingkiran rakyat di daerah itu," tegasnya lagi.
Untuk menyelesaikan masalah tersebut. Agus mendesak Pemkab Donggala dan Provinsi Sulawesi Tenga segera mengambil langkah konkret untuk merespon masalah yang dihadapi petani di kawasan Lindu. "saya minta para politisi di DPRD jangan hanya sibuk mengurus administrasi pencalegan, dan membangun politik pencitraan agar dipilih rakyat. Tetapi juga harus menyelesaikan masalah yang dihadapi rakyat," tegas agus.
" saya menyerukan kepada masyarakat Lindu, untuk tidak memilih kembali anggota DPRD yang saat ini terbukti tidak menyelesaikan masalah rakyat di daerah itu," pungkasnya.
Terkait dugaan kasus perambahan hutan dan jual beli lahan disekiar kawasan TNLL, Kepada Budang Teknis Balai Nasional Taman Nasional Lore Lindu, Ir Agustinus Rante Lembang mengakui, sembilan warga desa Tomado diproses penyidik BTNLL. Berkas kasus satu diantara warga itu sudah ditangan Polda Sulteng. Sedangkan delpan warga lainnya masih sementara diproses.
Ditanya penyebab sehingga penyelesaian masalah tersebut tidak diselesaikan berdasarkan kerarifan lokal masyarakat Lindu. Agustinus pesimis masalah tersebut bisa diselesaikan melalui lembaga adat.. maslahnya kata agustinus sangat kompleks. Karena sudah berkaitan dengan jual beli lahan. Dia juga mengaku, Lembaga Konservasi desa (LKD) sulit menyelesaikan masalah tersebut.
Kata agustinus, warga tidak bisa serta merta membuka, membuka, menjual atau mengelola lahan disekitar taman nasional, walau tanah tersebut mereka bayar pajaknya (PBB). Hal tersebut disampaikan Agustinus menjawab perntanyaan Radar Sulteng tentang status Kepemilikan 45 hektar lahan yang selama 20 tahun terakhir PBB-nya dibayar warga, yang disebut-sebut merambah hutan dan menjual lahan di kawasan hutan lindung itu.
Menyinggung adanya peraturan daerah yang bahwa penyelesaian masalah di Kecamatan Lindu, baik menyangkut masalah pengelolaan sumber daya alam maupun masalah sosial lainnya harus diselesaikan melalui dewan adat, Agustinus menjelaskan, pihaknya melaksanakan tugas di TNLL dipayungi Undang-undang. (bil)
__._,_.___
Demo di BTNLL, Minta 9 Warga Lindu Dibebaskan
Radar Sulteng, Jum'at 15 Agustus 2008
Palu,Front Perjuangan Rakyat (FPR) berdemonstrasi di Kantor Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL), jalan Moh Yamin Palu, Kamis (14/8). Mereka mendesak pejabat di instansi tersebut untuk meninjau kembali dengan cermat kebijakan yang berkaitan dengan tapal batas kawasan hutan lindung (HL). FPR juga mendesak BTNLL untuk membebaskan sembilan warga lindu yang disebut-sebut merambah dan menjual lahan disekitar hutan lindung.
Kuasa Ratalembah, salah seorang pendemo menegaskan BTNLL gagal mengelola TNLL dan tidak berhasil menyehterakan rakyat disekitar taman nasional. Padahal, instansi tersebut mendapat kucuran anggaran yang sangat besar untuk membiayai program di taman nasional. Sayangnya program-program tersebut gagal. Bahkan dananya diduga kuat disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu. Kuasa juga, menyoroti tidak adanya kejelasan tentang zonasi TNLL.
FPR yang beranggotakan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Serikat Tani Donggala, Front Mahasiswa Nasional, Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP), Relawan untuk orang dan Alam, Persatuan Evegreen Indonesia, Walhi dan LBH) Sulteng mendesak pemerintah dan BTNLL untuk menghentikan distribusi pupuk melalui tengkulak. FPR juga meminta BTNLL mengakui keberadaan masyarakat di kawasan TNLL, menghentikan kekerasan dan kriminaslisasi kepada kaum tani yang melakukan perjuangan atas haknya. FPR juga mendesak pemerintah dan BTNLL untuk membebaskan dua orang petani Sibalaya, dan petani Watumaeta yang saat ini ditahan.
Di tempat yang sama ketua SPHP Sulteng, Agus Salim Faisal Said menegaskan, kasus intimidasi, kriminalisasi dan kekerasan lainnya yang dialami masyarakat lindu, merupakan rangkaian dari politik konservasi. Konsep politik ini mengusung isu lingkungan. "jadi, sembilan warga desa Tomado yang diklain melakukan perambahan hutan dan menjual lahan di sekitar TNLL merupakan kasus yang tidak berdiri sendiri. Ini bagian dari skenario global untuk mencaplok tanah adat rakyat untuk kepentingan pemodal," tegas agus.
Skenario global ini, urai Agus, dijalankan Direktorat Pelestarian Konservasi dan Perlindungan Hutan (PKPH) Departemen Kehutanan RI dan Balai Taman Nasional di Seluruh Indonesia dengan secara sepihak menghegemoni hak kuasa kelolal rakyat atas sumber-sumber penghidupannya di kawasan hutan. Dia mencontohkan, kasus di taman nasional komodo, lauser dan wakatobi, kasus-kasus ini tercatat di Komnas HAM sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pelanggaran ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob) yang telah diatur dalam TAP MPR IX tahun 1999. "Jika dikaji lebih dalam, BTNLL sebetulnya telah melanggar karena telah melakukan upaya kriminalisasi rakyat yang mengelola lahan sebagai sumber penghidupannya, tegas Agus.
Agus menjelaskan, hingga saat ini zonasi dan tapal batas TNLL adalah masalah yang tidak pernah tuntas diselesaikan, baik oleh BTNLL maupun instansi lainnya. "TNLL adalah satu-satunya taman Nasional di Indonesia yang tidak memiliki zonasi dan tapal batas yang tegas dan jelas. Lingkar cincin yang akan dicapai pihak pendukung TNLL, khususnya BTNLL telah gagal. Sepanjang tapal batas di 46 desa di dua Kabupaten ini, semuanya bermasalah dengan lokasi pemukiman petani. Kedudukan zona inti seperti di dataran Puro Lanko, Tomado, dan Anca merupakan bukti bagaimana BTNLL masih menyimpan upaya tersembunyi penyingkiran rakyat di daerah itu," tegasnya lagi.
Untuk menyelesaikan masalah tersebut. Agus mendesak Pemkab Donggala dan Provinsi Sulawesi Tenga segera mengambil langkah konkret untuk merespon masalah yang dihadapi petani di kawasan Lindu. "saya minta para politisi di DPRD jangan hanya sibuk mengurus administrasi pencalegan, dan membangun politik pencitraan agar dipilih rakyat. Tetapi juga harus menyelesaikan masalah yang dihadapi rakyat," tegas agus.
" saya menyerukan kepada masyarakat Lindu, untuk tidak memilih kembali anggota DPRD yang saat ini terbukti tidak menyelesaikan masalah rakyat di daerah itu," pungkasnya.
Terkait dugaan kasus perambahan hutan dan jual beli lahan disekiar kawasan TNLL, Kepada Budang Teknis Balai Nasional Taman Nasional Lore Lindu, Ir Agustinus Rante Lembang mengakui, sembilan warga desa Tomado diproses penyidik BTNLL. Berkas kasus satu diantara warga itu sudah ditangan Polda Sulteng. Sedangkan delpan warga lainnya masih sementara diproses.
Ditanya penyebab sehingga penyelesaian masalah tersebut tidak diselesaikan berdasarkan kerarifan lokal masyarakat Lindu. Agustinus pesimis masalah tersebut bisa diselesaikan melalui lembaga adat.. maslahnya kata agustinus sangat kompleks. Karena sudah berkaitan dengan jual beli lahan. Dia juga mengaku, Lembaga Konservasi desa (LKD) sulit menyelesaikan masalah tersebut.
Kata agustinus, warga tidak bisa serta merta membuka, membuka, menjual atau mengelola lahan disekitar taman nasional, walau tanah tersebut mereka bayar pajaknya (PBB). Hal tersebut disampaikan Agustinus menjawab perntanyaan Radar Sulteng tentang status Kepemilikan 45 hektar lahan yang selama 20 tahun terakhir PBB-nya dibayar warga, yang disebut-sebut merambah hutan dan menjual lahan di kawasan hutan lindung itu.
Menyinggung adanya peraturan daerah yang bahwa penyelesaian masalah di Kecamatan Lindu, baik menyangkut masalah pengelolaan sumber daya alam maupun masalah sosial lainnya harus diselesaikan melalui dewan adat, Agustinus menjelaskan, pihaknya melaksanakan tugas di TNLL dipayungi Undang-undang. (bil)
__._,_.___