Pernyataan Sikap : Peringatan Hari Migran Internasional tahun 2008 Untuk Perlindungan Buruh Migran. Frot Perjuangan Rakyat (FPR) , MIGRANTCA...
https://www.infogsbi.or.id/2009/01/pernyataan-sikap-peringatan-hari-migran.html
Pernyataan Sikap :
Peringatan Hari Migran Internasional tahun 2008
Untuk Perlindungan Buruh Migran.
Frot Perjuangan Rakyat (FPR) , MIGRANTCARE, ATKI Hongkong, ATKI Jakarta, ATKI Macau, IMWU, GSBI, FSBI, FMN, CGM-UBK, LPB, INFID, INDIES, SARI Solo, Peduli Buruh Migrant, ABK, Komunitas Ciliwung, Operata, Komunitas BMI Indramayu, Komunitas BMI Subang, Komunitas BMI Blitar, Khatulistiwa Indonesia, dan Komunitas Bmi Cianjur.
“Hentikan Perampasan Upah, Kerja dan Tanah Rakyat”
Tolak Komoditisasi BMI !!
Cabut UU 39 tahun 2004 !!
Segera Ratifikasi Konvensi PBB No. 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran!!
Salam Demokrasi,...
Dalam sejarahnya, peringatan Hari Migrant Internasional ditetapkan berdasarkan tanggal penetapan konvensi PBB perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya pada 18 Desember 1990. Migrant Day diperingati sebagai bentuk pengakuan internasional atas tingginya masalah-masalah migrasi, khususnya terhadap Buruh Migrant, pengungsi dan kaum terusir dari seluruh dunia, yang disebabkan oleh krisis ekonomi dalam sistem globalisasi-neoliberal.
Maka pada setiap tanggal 18 Desember 2008 rakyat di seluruh Dunia memperingati International Migran Day ( Hari Migran Internasional) tak terkecuali kita di Indonesia. Apalagi peringatan Internation Migran Day saat ini sangat memiliki keistimewaan yaitu berada dalam situasi krisis ekonomi dan finansial global yang kian memburuk dan paling buruk sepanjang sejarah peradaban manusia, yang berdampak pada semakin hebatnya penindasan dan penghisapan, baik yang dilakukan di negeri-negeri penerima melalui politik kontrol perbatasan, xenophobia, dan eksploitasi kerja dengan upah murah, maupun di negeri-negeri pengirim melalui kebijakan pengiriman “satu-pintu” dan berbagai bentuk kebijakan yang penindasan serta menciptakan migrasi yang tidak aman bagi kaum migran, khususnya buruh migran dan pengungsi sebagai komponen migran terbesar di seluruh dunia, hal ini sangat di rasakan langsung oleh kalangan buruh Migrant/TKI, dimana TKI di jadikan tumbal atas krisis global ini.
Krisis Global yang terjadi saat ini dengan cepat menyergap dan memperburuk kehidupan kaum migrant Indonesia. Bankrutnya industry di negara-negara maju secara cepat melahirkan PHK. Sementara untuk sebagian industry, satu-satunya cara untuk mempertahankan diri adalah dengan mengubah pola hubungan industrial, dengan melakukan rasionalisasi, kontraktualisasi, dan fleksibilisasi. Di atas kertas, akan muncul kebutuhan yang besar akan pasokan buruh murah di sektor industri.
Di sisi lain, adanya pemusatan dana global untuk menalangi kerugian-kerugian investasi bank-bank dan lembaga-lembaga kapital-keuangan lainnya ini menyebabkan transaksi perdagangan di pasar komoditi mengalami penurunan drastis. Hal ini berdampak pada turunnya harga-harga komoditi dasar, seperti harga pangan dan minyak. Kemudian, PHK dan turunnya daya beli global menyebabkan terjadinya penghematan di sektor jasa, khususnya jasa informal seperti pekerja rumah tangga.
Di tengah keadaan-keadaan yang serba kontradiktif di atas, buruh migran sebagai sumber tenaga kerja murah bagi negara-negara maju dan sekaligus penghasil devisa bagi negara-negara berkembang, tentu saja akan berada dalam situasi yang sangat tidak menguntungkan. Sebab selain diperah sebagai pekerja yang super-murah di negeri-negeri maju, juga ditindas sebagai komoditi yang diperjual-belikan oleh negeri-negeri miskin dan terbelakang, seperti Indonesia.
Pasca 18 tahun terbitnya Konvensi PBB tentang Pelindungan atas seluruh Hak-hak Buruh Migran dan Keluarganya. Kondisi umum ekonomi sosial budaya yang menyebabkan terjadinya migrasi secara terpaksa (forced migration) di dunia justru kian memburuk. Kaum migran pengungsi, dan kalangan terusir lainnya mengalami penderitaan yang paling berat. Selain terancam pemecatan kerja (PHK), deportasi, dan berbagai pelanggaran hak lainnya, kaum migrant juga terpaksa berhadapan dengan dampak-dampak buruk krisis seperti Rasisme, Xenophobia, dan Fundamentalisme pasar, yang menjadikan migrant sebagai komoditi yang diperdagangkan.
Di Indonesia, migrasi tenaga kerja dewasa ini merupakan gejala yang dihasilkan oleh penghancuran tenaga produktif yang berimbas pada mobilisasi tenaga kerja murah, khususnya di pedesaan yang mengalami pemiskinan selama berabad-abad lamanya. Wilayah pedesaan di Indonesia yang merupakan tempat tinggal mayoritas dari rakyat Indonesia, di mana tanah pertanian sebagai sumber penghidupan yang utama, dan petani menjadi profesi terbesar yang paling tua di Indonesia, telah mengalami penghancuran yang luar biasa massif. Siapa yang menghancurkan dan dengan cara apa ekonomi pedesaan dihancurkan? Penghancuran ini dilakukan oleh rezim-rezim yang berkuasa sejak Suharto hingga SBY-JK yang ditandai dengan absence-nya program yang memajukan kondisi sosial-ekonomi yang sangat dibutuhkan oleh kaum tani pedesaan seperti Land-reform yang sejati dan modernisasi pertanian yang menjadi syarat pokok kemajuan ekonomi pedesaan menuju kesejahteraan petani.
Dimana saat ini tidak kurang dari 6 (enam) juta buruh migrant Indonesia/TKI yang tersebar diberbagai negara tujuan seperti; Timur Tengah, Malaysia, Hongkong, Taiwan, Korea Selatan, Singapura, Jepang, Amerika dan Eropa sebagaimana di informasikan oleh pemerintah sendiri bahwa buruh migran telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia, dimana pemasukan devisa dari buruh migran menduduki posisi kedua terbesar setelah minyak dan gas bumi. Sebagai catatan sementara, kontribusi devisa dari remitan buruh migran pada tahun ini mengalami peningkatan menjadi sekitar Rp 85 triliun. Angka ini jauh lebih besar dari tahun 2007 yang mencapai Rp 44 triliun dan tahun 2006 yang mencapai angka sebesar Rp 35 triliun. Angka-angka tersebut didasarkan pada penghitungan yang dilakukan perbankan dan perusahaan jasa pengiriman uang. Bila perhitungannya ditambahi dengan jumlah kiriman uang yang dilakukan secara langsung, diduga jumlah riilnya mencapai dua sampai tiga kali lipat dari angka yang tertera di atas.
Namun celakanya, kontribusi ekonomi yang cukup besar dari uang remitan buruh migran/TKI tidak sebanding dengan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, khususnya dalam konteks perlindungan atas hak-hak dasar buruh migran. Jumlah kasus-kasus kekerasan, kematian, deportasi dan dampak pengetatan kontrol perbatasan, dan berbagai kasus pelanggaran lainnya yang menimpa buruh-buruh migran Indonesia tetap saja tinggi. Pemerintah seolah telah semakin “mati-rasa”. Masalah-masalah muncul dan mendera buruh-buruh migran Indonesia pun semakin pelik dan kompleks. Hulu dari masalah-masalah itupun tidak hanya berasal dari keabaian pemerintah, melainkan juga berasal dari semakin agresifnya tekanan kebijakan dan menguatnya tensi ketegangan diantara instansi-instansi pemerintah sendiri yang berebut kue berupa remitan dan “setoran” buruh migran.
Sementara perhatian utama pemerintah, baik pemerintah pengirim maupun penerima melulu tertuju pada aspek-aspek ekonomi, dimana pemerasan dan pelipatgandaan penghisapan dan penindasan terhadap buruh migrant menjadi agenda utama kebijakan.
Hal ini tercermin dalam berbagai kebijakan rezim SBY-JK, dengan alasan mengatasi akar masalah, rezim SBY-JK membuat berbagai kebijakan yang justru malah menambah persoalan baru, yaitu dengan lebih mengintensifkan BMI dalam “perbudakan modern” dan mengeruk devisa setinggi-tingginya demi kepentingan pemerintah yang berkuasa, dengan cara mengeluarkan berbagai kebijakan yang semata-mata melayani majikan dan menguntungkan PJTKI.
Pemerintahan SBY-Kalla tidak pernah sedikit pun menunjukkan upaya untuk meningkatkan perlindungan bagi Buruh Migran Indonesia (BMI), sebaliknya mereka secara sistematis terus memaksimalkan potensi ekonomi dari proses pengiriman BMI. Hal ini tercermin dalam program pemerintah mengenai percepatan pemulihan iklim investasi yang dituangkan dalam Inpres No. 3 tahun 2006 yang memasukan pengiriman BMI sebagai bagian dari paket kebijakan ini.
Selain itu, hal ini juga mendorong perubahan-perubahan regulasi untuk semakin memuluskan proses ekspor manusia, yang salah satunya tercermin dalam rencana Amandemen UUPTKILN No. 39/2004. Dan perlu dicatat, kedua kebijakan yang menyangkut jutaan nasib BMI ini tidak pernah dirumuskan dengan melibatkan organisasi massa buruh migran sebagai pihak yang paling berkepentingan atas terbitnya seluruh kebijakan pemerintah menyangkut BMI. Argurmen pemerintah yang berupaya menyembunyikan kebusukannya dengan mengatakan Amandemen UUPTKILN No. 39/2004 ini dilakukan untuk meningkatkan perlindungan bagi BMI, telah mereka bantah sendiri dengan kebijakan-kebijakan sebelumnya, dan ke engganan Pemerintah meratifikasi konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya semakin menguatkan bukti bahwa pemerintahan SBY-Kalla memang tidak pernah memiliki keinginan untuk melindungi dan mensejahterakan rakyatnya.
Isu tentang Amandemen UU No. 39/2004 tentang PPTKILN memiliki dua pertimbangan: Pertama, Untuk melayani kepentingan PJTKI guna mempermudah perijinan supaya bisa menunjang program pencapaian target pengiriman Buruh Migran Indonesia sebesar satu juta BMI per tahun. Kedua, mengalihkan perhatian Buruh Migran Indonesia dari tuntutan atas Ratifikasi Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya yang selama ini didesakan oleh Buruh Migran Indonesia.
Revisi UU No. 39 tahun 2004 hanya bisa dilakukan apabila pemerintah Indonesia memiliki framework perlindungan Buruh Migran yang komprehensif dan diakui secara International. Dengan demikian, revisi tersebut secara logika hanya bisa dilakukan pasca pemerintah Indonesia merativikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya. Konvensi tersebut tidak hanya berguna sebagai payung kebijakan perlindungan di dalam negeri, melainkan juga dapat menjadi instrumen untuk memandu politik diplomasi luar negeri, khususnya dengan negara-negara penerima BMI.
Dengan demikian, ratifikasi konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya menjadi salah satu kunci yang tidak hanya bisa memandu politik gerakan Buruh Migran terkait dengan UU No. 39/2004 melainkan juga menjadi referensi utama untuk melakukan koreksi yang fundamental atas kebijakan-kebijakan pemerintah RI tentang penempatan dan perlindungan Buruh Migran Indonesia. Untuk itu Rativikasi Konvensi PBB No 1990 adalah keharusan.
Di tengah peliknya mendorong perhatian pemerintah untuk mengubah preposisi dan memperbaiki kinerja perlindungan buruh migran, tekanan baru muncul melalui forum global yang mengulas masalah migrasi dan pembangunan (Global Forum on Migration and Development, GFMD). Forum yang telah dirintis sejak Dialog Tingkat Tinggi (High Level Dialogue) di New York (2006) ini sedianya ditujukan untuk menata keterhubungan antara migrasi dengan pembangunan.
Premis dasar dari forum ini adalah adanya hubungan yang mutualistik antara migrasi dengan pertumbuhan ekonomi. Perhelatan pertama dari putaran pertemuan yang akan diselenggarakan hingga 2011 ini dimulai tahun lalu di Brussels, Belgia. Pertemuan kedua, tahun 2008 ini diselenggarakan di Manila, Filipina, dan pertemuan ketiga akan diselenggarakan di Yunani (2009).
GFMD adalah penanda penting dalam kebijakan global terhadap buruh migran, yang menjadikan remitan dan pasokan buruh murah yang diperoleh melalui migrasi sebagai salah satu metode untuk membantu penyelesaian krisis keuangan dunia. Sinyalemen ini dinyatakan jelas oleh Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon dalam pidato pembukaan GFMD II di Manila beberapa waktu lalu.
Manifestasi GFMD yang pada intinya merupakan pembicaraan multilateral untuk mendorong liberalisasi perdagangan tenaga kerja dalam skala global. GFMD merupakan kelanjutan dari prinsip-prinsip yang tertuang pada GATS (General Agreement Trade Services) dan WTO tentang perdagangan dan tenaga kerja.
GFMD juga mendorong Negara-negara miskin pengirim buruh migrant untuk memaksimalkan potensi keuangan dari remiten sebagai sumber pemasukan Negara yang pada akhirnya digunakan untuk membayar utang luaar negeri.
Prinsip-prinsip umum GFMD inilah yang coba diimplementasikan pemerintah RI dalam berbagai kebijakan terkait migrasi tenaga kerja. Beberapa kebijakan Negara tersebut ialah; (1). Perluasan sasaran Negara pengirima; (2). Formalisasi jalur-jalur pengiriman BMI melalui institusi resmi yang diakui pemerintah; (3). Melembagakan institusi pengelola remiten/uang kiriman;(4). Merintis penempatan buruh migrant berketerampilan (skilled labor); (5). Memperlonggar prosedur pendirian PJTKI.
Berdasarkan pada analisis dan pandangan di atas, maka kami menyimpulkan bahwa:
1. Seluruh produk kebijakan pemerintah SBY-JK menyangkut perlindungan dan kesejahteraan BMI, di mana organisasi BMI sendiri sebagai pihak yang paling berkepentingan tidak pernah dilibatkan secara demokratis, secara terang menjelaskan bahwa baik Inpres No. 3/2006 maupun UU No. 39/2004 adalah produk kebijakan yang secara material cacat dan tidak legitimate. Maka tidak heran bila seluruh regulasi tersebut pada kenyataannya jauh dari harapan BMI dalam hal perlindungan dan kesejahteraannya.
2. Seluruh regulasi yang ada, maupun berbagai langkah untuk melakukan amandemen atas UU 39/2004, selama tidak melibatkan organisasi massa BMI hanya akan menguntungkan pemerintah dan PJTKI. Hal ini semakin menegaskan bahwa SBY-JK adalah rezim “raja budak” yang selalu melestarikan ‘perbudakan modern’ atas nasib rakyat dan membiarkan tanpa perlindungan dan jaminan atas naiknya kesejahteraan BMI.
Atas dasar pandangan dan kesimpulan tersebut, maka kami menyatakan sikap sebagai berikut;
1. Cabut UU No. 39 tahun 2008 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri;
2. Tolak dan Hentikan komoditisasi buruh migrant dan tolak seluruh kesepakatan yang dicapai melalui GFMD;
3. Menuntut Pemerintah RI untuk segera meratifikasi Konvensi Internasional yang melindungi buruh migran yakni Konvensi Internasional Perlindungan Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of their Families) 1990 dan Beberapa Konvensi ILO terkait seperti Konvensi ILO 143 tentang Pekerja Migran (1975), Konvensi ILO No. 97 tentang Migrasi demi Pekerjaan (ILO Convention No. 97 Concerning Migration for Migration Employment) yang direvisi tahun 1949 dan Konvensi No. 181 tentang Agen Tenaga Kerja Swasta (Convention No. 181 Concerning Private Employment Agencies) yang disahkan tahun 1997;
4. Bubarkan Terminal Khusus TKI, (sekarang menjadi Gedung Pencatatan Kepulangan Tenaga Kerja Indonesia/GPK TKI atau disebut juga dengan Terminal IV);
5. Stop Overcharging!! Menuntut kepada pemerintah untuk menghentikan berbagai biaya lebih penempatan; beban ganda dari pemerintahan yang tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan, sekaligus bekerja sebagai buruh migrant yang harus membayar biaya penempatan dengan komponen biaya yang sangat memeras BMI;
6. Segera akui PRT migran ssebagai pekerja formal yang dilindungi hukum;
7. Selesaikan segera persoalan-persoalan darurat buruh migran diluar negeri; Evakuasi korban trafficking di Irak, Evakuasi Korban Perbudakan seksual di Syiria, selesaikan kasus Ceriyati, dll;
8. Hentikan deportasi massal terhadap Buruh Migran tidak berdokumen dan pengungsi Aceh di Malaysia;
9. Bentuk segera komisi perlindungan TKI;
10. Bentuk Segera Pengadilan Adhock TKI;
11. Penuhi hak politik buruh migran dalam pemilu 2009
12. Menuntut segera di hentikannya berbagai bentuk Perampasan Upah, Kerja dan Tanah;
13. Menentang seluruh kebijakan-kebijakan imperialisme dan rejim SBY-JK yang kian mengintensifkan penindasan dan penghisapan terhadap rakyat dan kaum tertindas serta terhisap di Indonesia ;
14. Menuntut Penyelesaian krisis ekonomi dan keuangan dunia dengan mengedepankan pemihakan terhadap rakyat khususnya kaum buruh dan kaum tani dalam dengan cara; (1) melakukan penaikan upah secara signifikan bagi kaum buruh; (2) melaksanakan land-reform sejati bagi kaum tani; (3) lapangan dan jaminan kerja yang layak bagi seluruh rakyat;
15. Menuntut penghapusan seluruh utang luar negeri, khususnya utang-utang najis dan haram, dan sekaligus menuntut debt-reparation kepada negara-negara imperialis guna memulihkan keadaan sosial, ekonomi,, kebudayaan, dan kedaulatan rakyat Indonesia yang selama berpuluh-puluh tahun dirusak oleh proyek-proyek utang luar negeri ;
16. Menuntut penyelenggaraan pembangunan yang mandiri, berwatak nasional-patriotis, dan demokratis untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
17. Menuntut di cabut dan di hapuskannya PB 4 Menteri ;
18. Menuntut di hentikannya PHK dalam bentuk apapun;
19. Menolak dan hapuskan segera sistem Kekrja Kontrak dan Outsourcing
20. Menuntut di laksanakan dan dilindunginya Kebebasan berpendapat dan berkumpul (kebebaan berorganisasi) bagi kaum buruh dan seluruh rakyat Indonesia;
21. Menuntu pendidikan dan kesehatan murah bagi seluruh rakyat ;
22. Menuntut di cabut UU No. 13 tahun 2008 tentang Ketenagakerjaan sebagai sumber penindasan kaum buruh atas dilegalkanya system kerja kontrak dan outsourcing dan merupakan kebijakan/undang-undang yang cenderung anti Hak Asasi Manusia;
Demikian pernyataan sikap ini kami buat dan sampaikan, atas perhatiannya di ucapkan terimakasih.
Hidup Buruh Migran Indonesia!
Hidup Rakyat Indonesia!
Buruh Migran Bersatu Menuntut Perlindungan dan Kesejahteraan!
Jakarta, 18 Desember 2008
Hormat kami
Panitia Bersama Peringatan Hari Migran Internasional tahun 2008
Untuk Perlindungan Buruh Migran:
Frot Perjuangan Rakyat (FPR) , MIGRANTCARE, ATKI Hongkong, ATKI Jakarta, ATKI Macau, IMWU, GSBI, FSBI, FMN, CGM-UBK, LPB, INFID, INDIES, SARI Solo, Peduli Buruh Migrant, ABK, Komunitas Ciliwung, Operata, Komunitas BMI Indramayu, Komunitas BMI Subang, Komunitas BMI Blitar, Khatulistiwa Indonesia, dan Komunitas Bmi Cianjur.
Anis Hidayah
Migrant Care
(Hp. 0815-78722874)
Rudy HB Daman
Front Perjuangan Rakyat (FPR)
(Hp. 0818-08974078)
Peringatan Hari Migran Internasional tahun 2008
Untuk Perlindungan Buruh Migran.
Frot Perjuangan Rakyat (FPR) , MIGRANTCARE, ATKI Hongkong, ATKI Jakarta, ATKI Macau, IMWU, GSBI, FSBI, FMN, CGM-UBK, LPB, INFID, INDIES, SARI Solo, Peduli Buruh Migrant, ABK, Komunitas Ciliwung, Operata, Komunitas BMI Indramayu, Komunitas BMI Subang, Komunitas BMI Blitar, Khatulistiwa Indonesia, dan Komunitas Bmi Cianjur.
“Hentikan Perampasan Upah, Kerja dan Tanah Rakyat”
Tolak Komoditisasi BMI !!
Cabut UU 39 tahun 2004 !!
Segera Ratifikasi Konvensi PBB No. 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran!!
Salam Demokrasi,...
Dalam sejarahnya, peringatan Hari Migrant Internasional ditetapkan berdasarkan tanggal penetapan konvensi PBB perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya pada 18 Desember 1990. Migrant Day diperingati sebagai bentuk pengakuan internasional atas tingginya masalah-masalah migrasi, khususnya terhadap Buruh Migrant, pengungsi dan kaum terusir dari seluruh dunia, yang disebabkan oleh krisis ekonomi dalam sistem globalisasi-neoliberal.
Maka pada setiap tanggal 18 Desember 2008 rakyat di seluruh Dunia memperingati International Migran Day ( Hari Migran Internasional) tak terkecuali kita di Indonesia. Apalagi peringatan Internation Migran Day saat ini sangat memiliki keistimewaan yaitu berada dalam situasi krisis ekonomi dan finansial global yang kian memburuk dan paling buruk sepanjang sejarah peradaban manusia, yang berdampak pada semakin hebatnya penindasan dan penghisapan, baik yang dilakukan di negeri-negeri penerima melalui politik kontrol perbatasan, xenophobia, dan eksploitasi kerja dengan upah murah, maupun di negeri-negeri pengirim melalui kebijakan pengiriman “satu-pintu” dan berbagai bentuk kebijakan yang penindasan serta menciptakan migrasi yang tidak aman bagi kaum migran, khususnya buruh migran dan pengungsi sebagai komponen migran terbesar di seluruh dunia, hal ini sangat di rasakan langsung oleh kalangan buruh Migrant/TKI, dimana TKI di jadikan tumbal atas krisis global ini.
Krisis Global yang terjadi saat ini dengan cepat menyergap dan memperburuk kehidupan kaum migrant Indonesia. Bankrutnya industry di negara-negara maju secara cepat melahirkan PHK. Sementara untuk sebagian industry, satu-satunya cara untuk mempertahankan diri adalah dengan mengubah pola hubungan industrial, dengan melakukan rasionalisasi, kontraktualisasi, dan fleksibilisasi. Di atas kertas, akan muncul kebutuhan yang besar akan pasokan buruh murah di sektor industri.
Di sisi lain, adanya pemusatan dana global untuk menalangi kerugian-kerugian investasi bank-bank dan lembaga-lembaga kapital-keuangan lainnya ini menyebabkan transaksi perdagangan di pasar komoditi mengalami penurunan drastis. Hal ini berdampak pada turunnya harga-harga komoditi dasar, seperti harga pangan dan minyak. Kemudian, PHK dan turunnya daya beli global menyebabkan terjadinya penghematan di sektor jasa, khususnya jasa informal seperti pekerja rumah tangga.
Di tengah keadaan-keadaan yang serba kontradiktif di atas, buruh migran sebagai sumber tenaga kerja murah bagi negara-negara maju dan sekaligus penghasil devisa bagi negara-negara berkembang, tentu saja akan berada dalam situasi yang sangat tidak menguntungkan. Sebab selain diperah sebagai pekerja yang super-murah di negeri-negeri maju, juga ditindas sebagai komoditi yang diperjual-belikan oleh negeri-negeri miskin dan terbelakang, seperti Indonesia.
Pasca 18 tahun terbitnya Konvensi PBB tentang Pelindungan atas seluruh Hak-hak Buruh Migran dan Keluarganya. Kondisi umum ekonomi sosial budaya yang menyebabkan terjadinya migrasi secara terpaksa (forced migration) di dunia justru kian memburuk. Kaum migran pengungsi, dan kalangan terusir lainnya mengalami penderitaan yang paling berat. Selain terancam pemecatan kerja (PHK), deportasi, dan berbagai pelanggaran hak lainnya, kaum migrant juga terpaksa berhadapan dengan dampak-dampak buruk krisis seperti Rasisme, Xenophobia, dan Fundamentalisme pasar, yang menjadikan migrant sebagai komoditi yang diperdagangkan.
Di Indonesia, migrasi tenaga kerja dewasa ini merupakan gejala yang dihasilkan oleh penghancuran tenaga produktif yang berimbas pada mobilisasi tenaga kerja murah, khususnya di pedesaan yang mengalami pemiskinan selama berabad-abad lamanya. Wilayah pedesaan di Indonesia yang merupakan tempat tinggal mayoritas dari rakyat Indonesia, di mana tanah pertanian sebagai sumber penghidupan yang utama, dan petani menjadi profesi terbesar yang paling tua di Indonesia, telah mengalami penghancuran yang luar biasa massif. Siapa yang menghancurkan dan dengan cara apa ekonomi pedesaan dihancurkan? Penghancuran ini dilakukan oleh rezim-rezim yang berkuasa sejak Suharto hingga SBY-JK yang ditandai dengan absence-nya program yang memajukan kondisi sosial-ekonomi yang sangat dibutuhkan oleh kaum tani pedesaan seperti Land-reform yang sejati dan modernisasi pertanian yang menjadi syarat pokok kemajuan ekonomi pedesaan menuju kesejahteraan petani.
Dimana saat ini tidak kurang dari 6 (enam) juta buruh migrant Indonesia/TKI yang tersebar diberbagai negara tujuan seperti; Timur Tengah, Malaysia, Hongkong, Taiwan, Korea Selatan, Singapura, Jepang, Amerika dan Eropa sebagaimana di informasikan oleh pemerintah sendiri bahwa buruh migran telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia, dimana pemasukan devisa dari buruh migran menduduki posisi kedua terbesar setelah minyak dan gas bumi. Sebagai catatan sementara, kontribusi devisa dari remitan buruh migran pada tahun ini mengalami peningkatan menjadi sekitar Rp 85 triliun. Angka ini jauh lebih besar dari tahun 2007 yang mencapai Rp 44 triliun dan tahun 2006 yang mencapai angka sebesar Rp 35 triliun. Angka-angka tersebut didasarkan pada penghitungan yang dilakukan perbankan dan perusahaan jasa pengiriman uang. Bila perhitungannya ditambahi dengan jumlah kiriman uang yang dilakukan secara langsung, diduga jumlah riilnya mencapai dua sampai tiga kali lipat dari angka yang tertera di atas.
Namun celakanya, kontribusi ekonomi yang cukup besar dari uang remitan buruh migran/TKI tidak sebanding dengan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, khususnya dalam konteks perlindungan atas hak-hak dasar buruh migran. Jumlah kasus-kasus kekerasan, kematian, deportasi dan dampak pengetatan kontrol perbatasan, dan berbagai kasus pelanggaran lainnya yang menimpa buruh-buruh migran Indonesia tetap saja tinggi. Pemerintah seolah telah semakin “mati-rasa”. Masalah-masalah muncul dan mendera buruh-buruh migran Indonesia pun semakin pelik dan kompleks. Hulu dari masalah-masalah itupun tidak hanya berasal dari keabaian pemerintah, melainkan juga berasal dari semakin agresifnya tekanan kebijakan dan menguatnya tensi ketegangan diantara instansi-instansi pemerintah sendiri yang berebut kue berupa remitan dan “setoran” buruh migran.
Sementara perhatian utama pemerintah, baik pemerintah pengirim maupun penerima melulu tertuju pada aspek-aspek ekonomi, dimana pemerasan dan pelipatgandaan penghisapan dan penindasan terhadap buruh migrant menjadi agenda utama kebijakan.
Hal ini tercermin dalam berbagai kebijakan rezim SBY-JK, dengan alasan mengatasi akar masalah, rezim SBY-JK membuat berbagai kebijakan yang justru malah menambah persoalan baru, yaitu dengan lebih mengintensifkan BMI dalam “perbudakan modern” dan mengeruk devisa setinggi-tingginya demi kepentingan pemerintah yang berkuasa, dengan cara mengeluarkan berbagai kebijakan yang semata-mata melayani majikan dan menguntungkan PJTKI.
Pemerintahan SBY-Kalla tidak pernah sedikit pun menunjukkan upaya untuk meningkatkan perlindungan bagi Buruh Migran Indonesia (BMI), sebaliknya mereka secara sistematis terus memaksimalkan potensi ekonomi dari proses pengiriman BMI. Hal ini tercermin dalam program pemerintah mengenai percepatan pemulihan iklim investasi yang dituangkan dalam Inpres No. 3 tahun 2006 yang memasukan pengiriman BMI sebagai bagian dari paket kebijakan ini.
Selain itu, hal ini juga mendorong perubahan-perubahan regulasi untuk semakin memuluskan proses ekspor manusia, yang salah satunya tercermin dalam rencana Amandemen UUPTKILN No. 39/2004. Dan perlu dicatat, kedua kebijakan yang menyangkut jutaan nasib BMI ini tidak pernah dirumuskan dengan melibatkan organisasi massa buruh migran sebagai pihak yang paling berkepentingan atas terbitnya seluruh kebijakan pemerintah menyangkut BMI. Argurmen pemerintah yang berupaya menyembunyikan kebusukannya dengan mengatakan Amandemen UUPTKILN No. 39/2004 ini dilakukan untuk meningkatkan perlindungan bagi BMI, telah mereka bantah sendiri dengan kebijakan-kebijakan sebelumnya, dan ke engganan Pemerintah meratifikasi konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya semakin menguatkan bukti bahwa pemerintahan SBY-Kalla memang tidak pernah memiliki keinginan untuk melindungi dan mensejahterakan rakyatnya.
Isu tentang Amandemen UU No. 39/2004 tentang PPTKILN memiliki dua pertimbangan: Pertama, Untuk melayani kepentingan PJTKI guna mempermudah perijinan supaya bisa menunjang program pencapaian target pengiriman Buruh Migran Indonesia sebesar satu juta BMI per tahun. Kedua, mengalihkan perhatian Buruh Migran Indonesia dari tuntutan atas Ratifikasi Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya yang selama ini didesakan oleh Buruh Migran Indonesia.
Revisi UU No. 39 tahun 2004 hanya bisa dilakukan apabila pemerintah Indonesia memiliki framework perlindungan Buruh Migran yang komprehensif dan diakui secara International. Dengan demikian, revisi tersebut secara logika hanya bisa dilakukan pasca pemerintah Indonesia merativikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya. Konvensi tersebut tidak hanya berguna sebagai payung kebijakan perlindungan di dalam negeri, melainkan juga dapat menjadi instrumen untuk memandu politik diplomasi luar negeri, khususnya dengan negara-negara penerima BMI.
Dengan demikian, ratifikasi konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya menjadi salah satu kunci yang tidak hanya bisa memandu politik gerakan Buruh Migran terkait dengan UU No. 39/2004 melainkan juga menjadi referensi utama untuk melakukan koreksi yang fundamental atas kebijakan-kebijakan pemerintah RI tentang penempatan dan perlindungan Buruh Migran Indonesia. Untuk itu Rativikasi Konvensi PBB No 1990 adalah keharusan.
Di tengah peliknya mendorong perhatian pemerintah untuk mengubah preposisi dan memperbaiki kinerja perlindungan buruh migran, tekanan baru muncul melalui forum global yang mengulas masalah migrasi dan pembangunan (Global Forum on Migration and Development, GFMD). Forum yang telah dirintis sejak Dialog Tingkat Tinggi (High Level Dialogue) di New York (2006) ini sedianya ditujukan untuk menata keterhubungan antara migrasi dengan pembangunan.
Premis dasar dari forum ini adalah adanya hubungan yang mutualistik antara migrasi dengan pertumbuhan ekonomi. Perhelatan pertama dari putaran pertemuan yang akan diselenggarakan hingga 2011 ini dimulai tahun lalu di Brussels, Belgia. Pertemuan kedua, tahun 2008 ini diselenggarakan di Manila, Filipina, dan pertemuan ketiga akan diselenggarakan di Yunani (2009).
GFMD adalah penanda penting dalam kebijakan global terhadap buruh migran, yang menjadikan remitan dan pasokan buruh murah yang diperoleh melalui migrasi sebagai salah satu metode untuk membantu penyelesaian krisis keuangan dunia. Sinyalemen ini dinyatakan jelas oleh Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon dalam pidato pembukaan GFMD II di Manila beberapa waktu lalu.
Manifestasi GFMD yang pada intinya merupakan pembicaraan multilateral untuk mendorong liberalisasi perdagangan tenaga kerja dalam skala global. GFMD merupakan kelanjutan dari prinsip-prinsip yang tertuang pada GATS (General Agreement Trade Services) dan WTO tentang perdagangan dan tenaga kerja.
GFMD juga mendorong Negara-negara miskin pengirim buruh migrant untuk memaksimalkan potensi keuangan dari remiten sebagai sumber pemasukan Negara yang pada akhirnya digunakan untuk membayar utang luaar negeri.
Prinsip-prinsip umum GFMD inilah yang coba diimplementasikan pemerintah RI dalam berbagai kebijakan terkait migrasi tenaga kerja. Beberapa kebijakan Negara tersebut ialah; (1). Perluasan sasaran Negara pengirima; (2). Formalisasi jalur-jalur pengiriman BMI melalui institusi resmi yang diakui pemerintah; (3). Melembagakan institusi pengelola remiten/uang kiriman;(4). Merintis penempatan buruh migrant berketerampilan (skilled labor); (5). Memperlonggar prosedur pendirian PJTKI.
Berdasarkan pada analisis dan pandangan di atas, maka kami menyimpulkan bahwa:
1. Seluruh produk kebijakan pemerintah SBY-JK menyangkut perlindungan dan kesejahteraan BMI, di mana organisasi BMI sendiri sebagai pihak yang paling berkepentingan tidak pernah dilibatkan secara demokratis, secara terang menjelaskan bahwa baik Inpres No. 3/2006 maupun UU No. 39/2004 adalah produk kebijakan yang secara material cacat dan tidak legitimate. Maka tidak heran bila seluruh regulasi tersebut pada kenyataannya jauh dari harapan BMI dalam hal perlindungan dan kesejahteraannya.
2. Seluruh regulasi yang ada, maupun berbagai langkah untuk melakukan amandemen atas UU 39/2004, selama tidak melibatkan organisasi massa BMI hanya akan menguntungkan pemerintah dan PJTKI. Hal ini semakin menegaskan bahwa SBY-JK adalah rezim “raja budak” yang selalu melestarikan ‘perbudakan modern’ atas nasib rakyat dan membiarkan tanpa perlindungan dan jaminan atas naiknya kesejahteraan BMI.
Atas dasar pandangan dan kesimpulan tersebut, maka kami menyatakan sikap sebagai berikut;
1. Cabut UU No. 39 tahun 2008 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri;
2. Tolak dan Hentikan komoditisasi buruh migrant dan tolak seluruh kesepakatan yang dicapai melalui GFMD;
3. Menuntut Pemerintah RI untuk segera meratifikasi Konvensi Internasional yang melindungi buruh migran yakni Konvensi Internasional Perlindungan Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of their Families) 1990 dan Beberapa Konvensi ILO terkait seperti Konvensi ILO 143 tentang Pekerja Migran (1975), Konvensi ILO No. 97 tentang Migrasi demi Pekerjaan (ILO Convention No. 97 Concerning Migration for Migration Employment) yang direvisi tahun 1949 dan Konvensi No. 181 tentang Agen Tenaga Kerja Swasta (Convention No. 181 Concerning Private Employment Agencies) yang disahkan tahun 1997;
4. Bubarkan Terminal Khusus TKI, (sekarang menjadi Gedung Pencatatan Kepulangan Tenaga Kerja Indonesia/GPK TKI atau disebut juga dengan Terminal IV);
5. Stop Overcharging!! Menuntut kepada pemerintah untuk menghentikan berbagai biaya lebih penempatan; beban ganda dari pemerintahan yang tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan, sekaligus bekerja sebagai buruh migrant yang harus membayar biaya penempatan dengan komponen biaya yang sangat memeras BMI;
6. Segera akui PRT migran ssebagai pekerja formal yang dilindungi hukum;
7. Selesaikan segera persoalan-persoalan darurat buruh migran diluar negeri; Evakuasi korban trafficking di Irak, Evakuasi Korban Perbudakan seksual di Syiria, selesaikan kasus Ceriyati, dll;
8. Hentikan deportasi massal terhadap Buruh Migran tidak berdokumen dan pengungsi Aceh di Malaysia;
9. Bentuk segera komisi perlindungan TKI;
10. Bentuk Segera Pengadilan Adhock TKI;
11. Penuhi hak politik buruh migran dalam pemilu 2009
12. Menuntut segera di hentikannya berbagai bentuk Perampasan Upah, Kerja dan Tanah;
13. Menentang seluruh kebijakan-kebijakan imperialisme dan rejim SBY-JK yang kian mengintensifkan penindasan dan penghisapan terhadap rakyat dan kaum tertindas serta terhisap di Indonesia ;
14. Menuntut Penyelesaian krisis ekonomi dan keuangan dunia dengan mengedepankan pemihakan terhadap rakyat khususnya kaum buruh dan kaum tani dalam dengan cara; (1) melakukan penaikan upah secara signifikan bagi kaum buruh; (2) melaksanakan land-reform sejati bagi kaum tani; (3) lapangan dan jaminan kerja yang layak bagi seluruh rakyat;
15. Menuntut penghapusan seluruh utang luar negeri, khususnya utang-utang najis dan haram, dan sekaligus menuntut debt-reparation kepada negara-negara imperialis guna memulihkan keadaan sosial, ekonomi,, kebudayaan, dan kedaulatan rakyat Indonesia yang selama berpuluh-puluh tahun dirusak oleh proyek-proyek utang luar negeri ;
16. Menuntut penyelenggaraan pembangunan yang mandiri, berwatak nasional-patriotis, dan demokratis untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
17. Menuntut di cabut dan di hapuskannya PB 4 Menteri ;
18. Menuntut di hentikannya PHK dalam bentuk apapun;
19. Menolak dan hapuskan segera sistem Kekrja Kontrak dan Outsourcing
20. Menuntut di laksanakan dan dilindunginya Kebebasan berpendapat dan berkumpul (kebebaan berorganisasi) bagi kaum buruh dan seluruh rakyat Indonesia;
21. Menuntu pendidikan dan kesehatan murah bagi seluruh rakyat ;
22. Menuntut di cabut UU No. 13 tahun 2008 tentang Ketenagakerjaan sebagai sumber penindasan kaum buruh atas dilegalkanya system kerja kontrak dan outsourcing dan merupakan kebijakan/undang-undang yang cenderung anti Hak Asasi Manusia;
Demikian pernyataan sikap ini kami buat dan sampaikan, atas perhatiannya di ucapkan terimakasih.
Hidup Buruh Migran Indonesia!
Hidup Rakyat Indonesia!
Buruh Migran Bersatu Menuntut Perlindungan dan Kesejahteraan!
Jakarta, 18 Desember 2008
Hormat kami
Panitia Bersama Peringatan Hari Migran Internasional tahun 2008
Untuk Perlindungan Buruh Migran:
Frot Perjuangan Rakyat (FPR) , MIGRANTCARE, ATKI Hongkong, ATKI Jakarta, ATKI Macau, IMWU, GSBI, FSBI, FMN, CGM-UBK, LPB, INFID, INDIES, SARI Solo, Peduli Buruh Migrant, ABK, Komunitas Ciliwung, Operata, Komunitas BMI Indramayu, Komunitas BMI Subang, Komunitas BMI Blitar, Khatulistiwa Indonesia, dan Komunitas Bmi Cianjur.
Anis Hidayah
Migrant Care
(Hp. 0815-78722874)
Rudy HB Daman
Front Perjuangan Rakyat (FPR)
(Hp. 0818-08974078)