Proteksionisme
Oleh : Syamsul Ardiansyah Institute for National and Democratic Studies Baru-baru ini, isu proteksionisme berhembus kian kencang pasca keput...
https://www.infogsbi.or.id/2009/02/proteksionisme.html
Oleh :
Syamsul Ardiansyah
Institute for National and Democratic Studies
Baru-baru ini, isu proteksionisme berhembus kian kencang pasca keputusan pengesahan American Recovery and Reinvestment Act oleh Kongres AS. Undang-undang tersebut tidak hanya menjadi payung hukum paket stimulus ekonomi Amerika Serikat sebesar US$825, melainkan juga memuat jurus-jurus tertentu yang ditujukan untuk melindungi industri Amerika Serikat yang terancam rontok digerogoti krisis..
Berdasarkan UU tersebut, Pemerintah AS akan mengalokasikan pengeluaran pemerintah untuk membeli baja dan produk-produk manufaktur lainnya yang diproduksi oleh Amerika sendiri serta pengenaan berbagai hambatan terhadap barang-barang impor. Amerika Serikat telah mengambil langkah mundur dalam kancah perdagangan bebas dunia.
Bukan Hal Baru
Proteksionisme adalah kebijakan ekonomi yang ditujukan untuk melindungi industri dalam negeri dengan cara membatasi masuknya komoditi-komoditi dari luar negeri. Proteksionisme bisa terwujud dalam berbagai bentuk. Bentuk utama proteksionisme adalah pembatasan impor melalui pemberlakuan tariff, kuota, atau sanksi dagang.
Selain itu, terdapat pula kebijakan-kebijakan proteksionisme yang disebut dengan hambatan non-tariff (non-tariff barriers), seperti pemberlakuan ketentuan anti-dumping, standar keamanan (safety standard) produk, pemberian insentif atau subsidi atas kegiatan produksi maupun distribusi, dan lain-lain.
Mayoritas ekonom menentang praktik proteksionisme. Selain mengingatkan pada pengalaman buruk perang dagang dan krisis Malaise tahun 1930an, proteksionisme juga dianggap menyebabkan naiknya harga-harga komoditi yang tentu saja akan merugikan konsumen maupun produsen. Pada situasi sekarang, proteksionisme dianggap akan kian memperburuk krisis ekonomi.
Namun, kekhawatiran para pemimpin negara-negara maju atas proteksionisme sesungguhnya hal yang aneh. Sebab, gejala proteksionisme sesungguhnya tidak pernah mati, bahkan justru kian menguat. Gejala tersebut terlihat dari masih adanya pemberlakuan subsidi, khususnya di sektor pertanian, yang diterapkan negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, dan Australia.
Liberalisasi perdagangan di sektor pertanian adalah ambisi terbesar WTO. Pasalnya, sektor ini merupakan basis ekonomi, tidak hanya bagi Negara-negara berkembang, melainkan juga bagi negara-negara maju. Akan tetapi, justru pada isu inilah negara-negara anggota WTO tidak mampu menghasilkan suatu kesepakatan paripurna. Bahkan, dalam isu inilah negara-negara anggota WTO terpecah dalam berbagai blok-blok kepentingan.
Penyebabnya tidak lain selain karena adanya berbagai bentuk proteksionisme. Negara-negara maju, seperti AS, Jepang, Uni Eropa, dan Australia bersikukuh mempertahankan subsidi ekspor, dukungan domestik, dan menerapkan kebijakan tariff dan berbagai hambatan non-tarif yang berlapis. Dengan kebijakan-kebijakan tersebut, sektor pertanian negara-negara maju menjadi sangat kuat dan tidak akan mampu ditandingi oleh sektor pertanian negara-negara berkembang.
Padahal, hal sebaliknya sudah hampir diterapkan sepenuhnya oleh Negara-negara berkembang. Sebab, di bawah tekanan utang luar negeri, defisit anggaran, dan kebijakan penyesuaian struktural (SAP) Bank Dunia, ADB, dan lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya, negara-negara berkembang semakin tidak mampu menghindari penerapan seluruh dalil-dalil perdagangan bebas, mulai dari pembukaan akses pasar, pencabutan dukungan domestik, dan pencabutan subsidi ekspor.
Di tengah situasi itu, yang bisa dilakukan negara-negara berkembang, khususnya oleh G20 yang dipimpin Brasil dan China, tidak lebih dari menuntut negara-negara maju untuk mematuhi seluruh ketentuan WTO. Sebagian lainnya, seperti posisi yang diambil Indonesia dan Filipina yang memimpin Negara-negara G-33, menuntut pemberlakuan special product dan special safeguard mechanism, yakni perlindungan atas produk-produk tertentu yang selain memiliki fungsi ekonomi juga memiliki fungsi sosial bagi masyarakat Indonesia. Tuntutan Indonesia dan Negara-negara G33 sudah pasti merupakan salah satu bentuk dari proteksionisme.
Pada saat ini, fenomena subsidi yang merupakan bentuk proteksionisme yang paling umum, tidak hanya terbatas pada sektor pertanian, melainkan telah merambah hingga sektor industri dan jasa. Padahal, mengutip tulisan Martin Khor (The Jakarta Post, 11/02), subsidi bagi sektor industri merupakan hal yang diharamkan oleh WTO.
Perlu juga dicatat, kebijakan ini tidak hanya dilakukan oleh Amerika Serikat, melainkan juga oleh negara-negara maju lainnya. Perancis misalnya, Presiden Nicolas Sarkozy secara khusus meminta komitmen dari Peugeot dan Renault untuk membeli komponen-komponen yang diproduksi di dalam negerinya sebagai imbalan dari pemberian bantuan lunak dan jaminan pinjaman pemerintah bagi kedua industri tersebut.
Demikian pula di Swedia, pemerintah setempat telah menyediakan dana sebesar US$3,4 miliar untuk sebagai jaminan pinjaman bagi Volvo dan Saab serta untuk mendukung proyek pengembangan industri tersebut. Hal serupa diambil juga oleh Jerman yang menyatakan akan mengimbangi kebijakan AS dengan memberikan subsidi bagi industri otomotif Jerman. Di sektor jasa, tanpa injeksi dana yang cukup besar bagi AIG dan Citigroup (AS), UBS (Swiss), dan Royal Bank of Scotland (Inggris), kemungkinan perusahaan-perusahaan tersebut akan mengalami gulung tikar dihantam krisis saat ini.
Singkatnya, proteksionisme adalah suatu kenyataan ekonomi yang senantiasa hidup hingga hari ini. Sebagaimana kebijakan-kebijakan proteksionisme di sektor pertanian, kebijakan-kebijakan kali ini ditempuh sebagai antisipasi atas memburuknya krisis ekonomi yang dialami negara-negara maju. Penyebabnya beraneka rupa, namun yang paling esensial adalah adanya krisis overproduksi. Slogan ‘buy American’ sebagaimana diluncurkan Presiden Obama, adalah bentuk konkret atas krisis tersebut. Krisis ini bukan semata-mata karena produksi barang yang berlebih, melainkan dan yang paling utama adalah akibat merosotnya daya beli akibat kesenjangan pendapatan di mana upah secara riil mengalami penurunan dan kekayaan mengalami pemusatan di tangan segelintir.
Krisis ini kian menajam ketika kebijakan-kebijakan ekonomi yang ditempuh saat ini, seperti bailout yang diambil pemerintah Amerika Serikat atau kebijakan buyback yang dilakukan pemerintah Indonesia, justru lebih banyak mengalirkan dana bagi kaum kaya dan tidak kepada kaum buruh yang terus dihimpit kemiskinan. Krisis inilah yang mempertinggi ketegangan-ketegangan politik, yang menyulut berbagai aksi protes kaum buruh di berbagai negara, termasuk negara-negara maju. Salah satunya diperlihatkan dalam aksi pemogokan umum buruh-buruh di Perancis pada 29 Januari 2009 yang lalu.
Bagaimana dengan Indonesia?
Secara umum, proteksionisme yang diterapkan negara-negara maju telah memperburuk krisis ekonomi di negara-negara berkembang. Hal ini tidak semata karena negara-negara berkembang tidak memiliki kecukupan dana untuk membentengi perekonomian dalam negerinya, melainkan karena secara umum negara-negara berkembang mengalami krisis kronis akibat rendahnya kemampuan ekonomi guna mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Sebagian besar industri adalah industri perakitan ringan yang bergantung pada komponen impor yang umumnya, termasuk agro-industri, sangat bergantung pada ekspor. Dengan mengacu pada paket stimulus ekonomi AS, industri di Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia akan melahirkan dua tekanan sekaligus. Pertama, semakin mahalnya biaya pengadaan bahan baku industri yang harus diimpor, khususnya yang berasal dari Negara-negara maju karena akan diprioritaskan di dalam negerinya. Kedua, semakin sulitnya akses pasar bagi industri negara-negara berkembang. Persoalan ini tentunya akan semakin melebar dan mempengaruhi sektor-sektor ekonomi lainnya. Sudah bisa diprediksi, tingkat kesulitan yang dihadapi akan semakin berat dan kompleks.
Pemerintah memang telah sepertinya berusaha mengantisipasi dampak krisis saat ini melalui berbagai kebijakan, termasuk kebijakan stimulus ekonomi pemerintah SBY-JK sebesar Rp 71,3 triliun (setara dengan US$6.31 miliar). Pertanyaannya, sanggupkah kebijakan tersebut membendung badai krisis yang kian kencang?
Syamsul Ardiansyah
Program Manager - Institute for National and Democratic Studies
http://putarbumi.wordpress.com, http://indies.my-php.net/
Syamsul Ardiansyah
Institute for National and Democratic Studies
Baru-baru ini, isu proteksionisme berhembus kian kencang pasca keputusan pengesahan American Recovery and Reinvestment Act oleh Kongres AS. Undang-undang tersebut tidak hanya menjadi payung hukum paket stimulus ekonomi Amerika Serikat sebesar US$825, melainkan juga memuat jurus-jurus tertentu yang ditujukan untuk melindungi industri Amerika Serikat yang terancam rontok digerogoti krisis..
Berdasarkan UU tersebut, Pemerintah AS akan mengalokasikan pengeluaran pemerintah untuk membeli baja dan produk-produk manufaktur lainnya yang diproduksi oleh Amerika sendiri serta pengenaan berbagai hambatan terhadap barang-barang impor. Amerika Serikat telah mengambil langkah mundur dalam kancah perdagangan bebas dunia.
Bukan Hal Baru
Proteksionisme adalah kebijakan ekonomi yang ditujukan untuk melindungi industri dalam negeri dengan cara membatasi masuknya komoditi-komoditi dari luar negeri. Proteksionisme bisa terwujud dalam berbagai bentuk. Bentuk utama proteksionisme adalah pembatasan impor melalui pemberlakuan tariff, kuota, atau sanksi dagang.
Selain itu, terdapat pula kebijakan-kebijakan proteksionisme yang disebut dengan hambatan non-tariff (non-tariff barriers), seperti pemberlakuan ketentuan anti-dumping, standar keamanan (safety standard) produk, pemberian insentif atau subsidi atas kegiatan produksi maupun distribusi, dan lain-lain.
Mayoritas ekonom menentang praktik proteksionisme. Selain mengingatkan pada pengalaman buruk perang dagang dan krisis Malaise tahun 1930an, proteksionisme juga dianggap menyebabkan naiknya harga-harga komoditi yang tentu saja akan merugikan konsumen maupun produsen. Pada situasi sekarang, proteksionisme dianggap akan kian memperburuk krisis ekonomi.
Namun, kekhawatiran para pemimpin negara-negara maju atas proteksionisme sesungguhnya hal yang aneh. Sebab, gejala proteksionisme sesungguhnya tidak pernah mati, bahkan justru kian menguat. Gejala tersebut terlihat dari masih adanya pemberlakuan subsidi, khususnya di sektor pertanian, yang diterapkan negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, dan Australia.
Liberalisasi perdagangan di sektor pertanian adalah ambisi terbesar WTO. Pasalnya, sektor ini merupakan basis ekonomi, tidak hanya bagi Negara-negara berkembang, melainkan juga bagi negara-negara maju. Akan tetapi, justru pada isu inilah negara-negara anggota WTO tidak mampu menghasilkan suatu kesepakatan paripurna. Bahkan, dalam isu inilah negara-negara anggota WTO terpecah dalam berbagai blok-blok kepentingan.
Penyebabnya tidak lain selain karena adanya berbagai bentuk proteksionisme. Negara-negara maju, seperti AS, Jepang, Uni Eropa, dan Australia bersikukuh mempertahankan subsidi ekspor, dukungan domestik, dan menerapkan kebijakan tariff dan berbagai hambatan non-tarif yang berlapis. Dengan kebijakan-kebijakan tersebut, sektor pertanian negara-negara maju menjadi sangat kuat dan tidak akan mampu ditandingi oleh sektor pertanian negara-negara berkembang.
Padahal, hal sebaliknya sudah hampir diterapkan sepenuhnya oleh Negara-negara berkembang. Sebab, di bawah tekanan utang luar negeri, defisit anggaran, dan kebijakan penyesuaian struktural (SAP) Bank Dunia, ADB, dan lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya, negara-negara berkembang semakin tidak mampu menghindari penerapan seluruh dalil-dalil perdagangan bebas, mulai dari pembukaan akses pasar, pencabutan dukungan domestik, dan pencabutan subsidi ekspor.
Di tengah situasi itu, yang bisa dilakukan negara-negara berkembang, khususnya oleh G20 yang dipimpin Brasil dan China, tidak lebih dari menuntut negara-negara maju untuk mematuhi seluruh ketentuan WTO. Sebagian lainnya, seperti posisi yang diambil Indonesia dan Filipina yang memimpin Negara-negara G-33, menuntut pemberlakuan special product dan special safeguard mechanism, yakni perlindungan atas produk-produk tertentu yang selain memiliki fungsi ekonomi juga memiliki fungsi sosial bagi masyarakat Indonesia. Tuntutan Indonesia dan Negara-negara G33 sudah pasti merupakan salah satu bentuk dari proteksionisme.
Pada saat ini, fenomena subsidi yang merupakan bentuk proteksionisme yang paling umum, tidak hanya terbatas pada sektor pertanian, melainkan telah merambah hingga sektor industri dan jasa. Padahal, mengutip tulisan Martin Khor (The Jakarta Post, 11/02), subsidi bagi sektor industri merupakan hal yang diharamkan oleh WTO.
Perlu juga dicatat, kebijakan ini tidak hanya dilakukan oleh Amerika Serikat, melainkan juga oleh negara-negara maju lainnya. Perancis misalnya, Presiden Nicolas Sarkozy secara khusus meminta komitmen dari Peugeot dan Renault untuk membeli komponen-komponen yang diproduksi di dalam negerinya sebagai imbalan dari pemberian bantuan lunak dan jaminan pinjaman pemerintah bagi kedua industri tersebut.
Demikian pula di Swedia, pemerintah setempat telah menyediakan dana sebesar US$3,4 miliar untuk sebagai jaminan pinjaman bagi Volvo dan Saab serta untuk mendukung proyek pengembangan industri tersebut. Hal serupa diambil juga oleh Jerman yang menyatakan akan mengimbangi kebijakan AS dengan memberikan subsidi bagi industri otomotif Jerman. Di sektor jasa, tanpa injeksi dana yang cukup besar bagi AIG dan Citigroup (AS), UBS (Swiss), dan Royal Bank of Scotland (Inggris), kemungkinan perusahaan-perusahaan tersebut akan mengalami gulung tikar dihantam krisis saat ini.
Singkatnya, proteksionisme adalah suatu kenyataan ekonomi yang senantiasa hidup hingga hari ini. Sebagaimana kebijakan-kebijakan proteksionisme di sektor pertanian, kebijakan-kebijakan kali ini ditempuh sebagai antisipasi atas memburuknya krisis ekonomi yang dialami negara-negara maju. Penyebabnya beraneka rupa, namun yang paling esensial adalah adanya krisis overproduksi. Slogan ‘buy American’ sebagaimana diluncurkan Presiden Obama, adalah bentuk konkret atas krisis tersebut. Krisis ini bukan semata-mata karena produksi barang yang berlebih, melainkan dan yang paling utama adalah akibat merosotnya daya beli akibat kesenjangan pendapatan di mana upah secara riil mengalami penurunan dan kekayaan mengalami pemusatan di tangan segelintir.
Krisis ini kian menajam ketika kebijakan-kebijakan ekonomi yang ditempuh saat ini, seperti bailout yang diambil pemerintah Amerika Serikat atau kebijakan buyback yang dilakukan pemerintah Indonesia, justru lebih banyak mengalirkan dana bagi kaum kaya dan tidak kepada kaum buruh yang terus dihimpit kemiskinan. Krisis inilah yang mempertinggi ketegangan-ketegangan politik, yang menyulut berbagai aksi protes kaum buruh di berbagai negara, termasuk negara-negara maju. Salah satunya diperlihatkan dalam aksi pemogokan umum buruh-buruh di Perancis pada 29 Januari 2009 yang lalu.
Bagaimana dengan Indonesia?
Secara umum, proteksionisme yang diterapkan negara-negara maju telah memperburuk krisis ekonomi di negara-negara berkembang. Hal ini tidak semata karena negara-negara berkembang tidak memiliki kecukupan dana untuk membentengi perekonomian dalam negerinya, melainkan karena secara umum negara-negara berkembang mengalami krisis kronis akibat rendahnya kemampuan ekonomi guna mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Sebagian besar industri adalah industri perakitan ringan yang bergantung pada komponen impor yang umumnya, termasuk agro-industri, sangat bergantung pada ekspor. Dengan mengacu pada paket stimulus ekonomi AS, industri di Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia akan melahirkan dua tekanan sekaligus. Pertama, semakin mahalnya biaya pengadaan bahan baku industri yang harus diimpor, khususnya yang berasal dari Negara-negara maju karena akan diprioritaskan di dalam negerinya. Kedua, semakin sulitnya akses pasar bagi industri negara-negara berkembang. Persoalan ini tentunya akan semakin melebar dan mempengaruhi sektor-sektor ekonomi lainnya. Sudah bisa diprediksi, tingkat kesulitan yang dihadapi akan semakin berat dan kompleks.
Pemerintah memang telah sepertinya berusaha mengantisipasi dampak krisis saat ini melalui berbagai kebijakan, termasuk kebijakan stimulus ekonomi pemerintah SBY-JK sebesar Rp 71,3 triliun (setara dengan US$6.31 miliar). Pertanyaannya, sanggupkah kebijakan tersebut membendung badai krisis yang kian kencang?
Syamsul Ardiansyah
Program Manager - Institute for National and Democratic Studies
http://putarbumi.wordpress.com, http://indies.my-php.net/