PERSATUAN BMI TOLAK OVERCHARGING (PILAR)
PERNYATAAN SIKAP PERSATUAN BMI TOLAK OVERCHARGING (PILAR) Rayakan Hari Perempuan Internasional Dengan Terus Berjuang Membela Pekerjaan, Upah...
https://www.infogsbi.or.id/2009/03/persatuan-bmi-tolak-overcharging-pilar.html?m=0
PERNYATAAN SIKAP
PERSATUAN BMI TOLAK OVERCHARGING (PILAR)
Rayakan Hari Perempuan Internasional
Dengan Terus Berjuang Membela Pekerjaan, Upah dan Hak-Hak Kita
Dari Serangan Pemerintah Hong Kong dan Indonesia
Hari ini, 8 Maret, perempuan pekerja diseluruh dunia, termasuk Buruh Migran Indonesia yang mayoritas perempuan merayakan Hari Perempuan Internasional (HPI). Sejak diresmikannya sebagai Hari Perempuan Internasional pada tahun 1917, setiap tanggal 8 Maret kaum perempuan di semua negeri berbondong-bondong turun ke jalan menyerukan tuntutan-tuntutanny a untuk perbaikan kondisi kerja dan pengakuan terhadap hak-hak perempuan. Semangat perubahan inilah yang terus digelorakan sepanjang tahun dan abad oleh kaum perempuan pekerja untuk melawan belenggu ketertindasan dan penghisapan terhadap mereka.
Namun perayaan kali ini menjadi sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya sebab terjadi ditengah-tengah krisis keuangan dunia. Krisis yang awalnya terjadi di Amerika Serikat, kini telah merembet ke seluruh penjuru dunia dan menghancurkan sendi-sendi ekonomi rakyat di semua negeri. Krisis kali ini bukan hanya memporak-porandakan kestabilan sistem globalisasi pasar bebas yang selama ini dipuja-puja oleh imperialis (negara-negara adikuasa) serta para pengikutnya, termasuk pemerintah Indonesia dan Hong Kong, tapi juga mengikis kepercayaan rakyat dunia tentang sistem kapitalis itu sendiri.
Sejak terjadinya krisis, jutaan buruh lokal maupun migran telah di-PHK massal, dirumahkan dan jutaan lainnya terancam PHK. Tapi sayangnya, bukannya membela rakyat sendiri, para pemerintah penganut sistem kapitalis (modal) justru menalangi bisnis-bisnis yang bangkrut. Di Hong Kong, kita saksikan sendiri PHK massal yang menimpa ratusan buruh lokal dari perbankan atau perusahaan jasa lainnya, sementara bisnis banyak yang sudah gulung tikar.
Sebagai buruh migran yang bekerja di Hong Kong dan mayoritas adalah perempuan, kita patut bersiaga. Ketika krisis menghantam Hong Kong di tahun 2002, pemerintah Hong Kong terbukti tidak segan-segan memotong upah para buruh biasa termasuk PRT asing sebanyak HK$400 dan kemudian menerapkan pajak sebesar HK$400 pula dari majikan yang mempekerjakan PRT asing. Tahun-tahun setelah itu ketika ekonomi Hong Kong membaik, pemerintah sama sekali tidak menaikan upah kita secara memadai, sementara buruh lain sudah menikmati kenaikan upah. Di saat krisis semacam ini, pemerintah seharusnya mengutamakan perlindungan terhadap buruh-buruh di Hong Kong termasuk PRT asing yang menerima upah paling rendah dibanding pekerja lainnya. Maka, tidak salah apabila di saat krisis kita meneruskan tuntutan untuk menaikan upah kita. Selain itu, pajak yang hanya ditunda 5 tahun tetap ancaman bagi kita, maka tuntutan penghapusan pajak selamanya tetap harus kita kobarkan.
Sejak akhir tahun kemarin saja, beberapa BMI sudah mengadu menjadi korban PHK karena majikan kena PHK atau bangkrut, sementara yang lainnya terpaksa harus tidak diberi libur setiap hari minggu karena majikan harus bekerja tambahan di hari tersebut. Berdasarkan laporan shelter, fenomena pemukulan terhadap buruh migran pun semakin meningkat khususnya sejak awal tahun ini sebagai akibat dari krisis. Tapi disisi lain, menggunakan kebijakan New Condition of Stay (NCS) atau two weeks rule atau aturan 2 minggu visa ini, pemerintah Hong Kong melarang PRT asing untuk langsung ganti majikan jika alasan PHK bukan karena majikan meninggal, pindah keluar negeri, mengalami kesulitan keuangan atau menjadi korban penganiayaan atau pelanggaran kontrak. Maka kali ini, kita harus memperkencang tuntutan penghapusan two weeks rule atau minimal pemerintah Hong Kong harus menunda penerapan two weeks rule dengan mengijinkan PRT asing yang di-PHK dengan alasan apapun di masa krisis ini untuk mencari majikan baru tanpa harus membatasi visa mereka hanya 14 hari dan memproses kontrak baru tanpa harus keluar Hong Kong. Minimal dengan cara ini, beban kita akan sedikit terkurangi. Meski dampak belum begitu menonjol tapi krisis akan terus memburuk dan akan menyerang rakyat Hong Kong termasuk kita para buruh migran.
Kondisi Ketenagakerjaan BMI di Hong Kong
Di Hong Kong sendiri, BMI yang mayoritas adalah perempuan mengalami kondisi kerja yang mengenaskan. BMI menjadi korban tingginya biaya penempatan sebesar HK$21.000 dengan cara memotong gaji selama 5-7 bulan berturut-turut. Jika menolak membayar, pasti diteror dan diyakinkan akan di-PHK. Untuk menjamin BMI membayar, paspor dan kontrak kerja BMI ditahan oleh agency atau majikan. Sementara sebagai PRT asing, BMI mengalami berbagai pelanggaran kontrak kerja seperti peniadaan hak libur, penganiayaan, pelecehan seksual, pemerkosaan, kerja ilegal, akomodasi dan makanan tidak memadai, perlakuan tidak manusiawi, dan lain sebagainya. Selain itu, peningkatan jumlah BMI di Hong Kong tidak disertai dengan peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan bagi BMI oleh Konsulat Indonesia. Sampai hari ini tuntutan agar Konsulat Indonesia buka penuh di hari minggu di Hong Kong dan Macau belum dipenuhi.
Meskipun tuntutan-tuntutan untuk perbaikan kondisi kerja telah diserukan oleh organisasi-organisa si BMI tapi pemerintah Indonesia sama sekali tidak mau merespon dan cenderung pura-pura tidak mendengar.
Program ekspor TKI adalah program penjualan perempuan
PHK massal sebagai akibat krisis sudah dirasakan oleh buruh migran khususnya yang bekerja di perusahaan-perusaha an manufaktur. Ribuan BMI di Malaysia, Taiwan, Korea, yang mayoritas perempuan, dideportasi setelah pabriknya bangkrut bahkan banyak yang tidak diupah dan diganti rugi. Mereka yang menolak dipulangkan dan masih ingin mencari sumber penghidupan di negara tersebut terpaksa menjadi tidak berdokumen atau overstay.
Lalu apa tindakan pemerintah Indonesia menyikapi kondisi ini? Pemerintah Indonesia bukannya memperjuangkan BMI ini agar tidak dideportasi dan hak-haknya diberikan, tapi malah sibuk mengejar target pengiriman TKI keluar negeri sebanyak 1-2 juta orang per tahun. Krisis dan kemiskinan di tanah air dijadikan alasan pemerintah untuk mengintensifkan program ekspor TKI, yang hakekatnya adalah ekspor kaum perempuan, yang seakan-akan dilihat sebagai satu-satunya jalan keluar dari persoalan yang melilit rakyat hari ini. Target-target lowongan diluar negeri antara lain perawat, pekerja hiburan, PRT, buruh pabrik, dsb yang mayoritas menuntut perempuan sebagai tenaga kerja utamanya. Sementara disisi lain, pemerintah tidak mau bertanggung jawab atas perlindungan dan keselamatan rakyatnya yang bekerja diluar negeri.
Jika pemerintah begitu berambisi mengekspor TKI, itu karena tiga alasan utama yaitu sebagai sumber devisa, mengurangi pengangguran dan meminimalkan dampak sosial akibat kemiskinan massal di tanah air. Julukan pahlawan devisa tidak lebih dari pujian kosong untuk mendorong rakyatnya agar mau diekspor. Untuk menjalankan program ini, pemerintah bekerjasama dengan PJTKI/PPTKIS swasta dan menyerahkan semua urusan pengiriman ke mereka yang bertujuan tidak lain kecuali mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari keringat BMI.
Tahun 2004, Pemerintah mengesahkan UUPPTKILN No. 39 yang mengatur penempatan TKI keluar negeri. Di UU 39 ditegaskan bahwa PJTKI/PPTKIS adalah kaki tangan pemerintah dan semua pengiriman TKI keluar negeri harus melalui agen swasta ini, jika tidak maka TKI tersebut dianggap ilegal. Aturan inilah yang kemudian meniadakan hak BMI untuk melakukan kontrak mandiri. UU 39 tidak mengatur komisi PJTKI yang seharusnya hanya 1 bulan gaji dan biaya-biaya lain yang harus dibayar BMI dan hanya diserahkan ke menteri yang korup, akhirnya BMI jadi korban biaya penempatan yang amat tinggi dan gajinya harus direlakan untuk dipotong berbulan-bulan lamanya. UU 39 menjamin PJTKI/PPTKIS bebas hukum meski sebesar apapun ”dosa” mereka terhadap BMI, tapi disisi lain BMI tidak akan pernah bisa memejahijaukan PJTKI/PPTKIS.
Meski pemerintah sudah menandatangani Konvensi (kesepakatan) PBB tentang perlindungan buruh migran dan keluarganya, tapi sampai hari ini pemerintah menolak merubah undang-undang TKI selaras dengan isi Konvensi tersebut. Pemerintah Indonesia sendirilah yang sengaja melanggar hak-hak asasi BMI dan keluarganya.
Tapi BMI tidak akan tinggal diam dalam penindasan. Perjuangan akan terus kita kobarkan sampai tuntutan-tuntutan BMI untuk perubahan kondisi kerja dan perlindungan terpenuhi. Menyikapi pencabutan UU 39, BMI di Hong Kong kini bersatu membentuk Aliansi BMI-HK Cabut UU 39 yang akan semakin menguatkan dan memperbesar persatuan diantara BMI.
Maka dari itu, di Hari Perempuan Internasional kali ini, Persatuan BMI Tolak Overcharging (PILAR) menuntut kepada:
Pemerintah Indonesia
- Hapus Biaya Traning! Tetapkan 1 bulan Gaji sebagai Biaya Penempatan!
- Cabut UU No.39/ 2004 Tentang PPTKILN! Segera rativikasi Konvensi PBB Tahun 1990
- Libatkan organisasi BMI dalam pembuatan kebijakan tentang buruh migran guna menjamin terwakilinya kepentingan BMI dalam setiap kebijakan Pemerintah.
- Berikan Pelayanan Penuh Bagi BMI di Hari Minggu.
- Bubarkan Terminal Khusus TKI.
- Berikan Hak Kontrak Mandiri untuk semua BMI.
- Berikan Hak Perpanjangan Paspor Bagi BMI Berkasus di Hong Kong.
Pemerintah Hong Kong
- Naikan upah sekarang juga! Legislate minimum wage.
- Lindungi pekerjaan kami! Hapus 2 Weeks Rule.
- Hentikan kekerasan terhadap PRT Asing.
- Hapus pajak selamanya.
Hidup BMI! Hidup Perempuan Indonesia!
Hidup Buruh Migran! Hidup Solidaritas Internasional!
8 Maret 2009
Heni (64441898), Kipty (91415126), Retno (95875206), Rosy (96098490), Rendy (62216714)
Anggota PILAR: Akhwat Gaul, Alexa Dancer, Al Fattah, Al Hikmah, Al Istiqomah Internasional Muslim Society, Al Ikhlas, Arrohmah, Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI-HK), Birul Walidain, Blueberry, Dance in Freedom (DIF), Forum Muslimah Al Fadhilah (FMA-HK), Ikatan Wanita Muslim Indramayu Cirebon (IWAMIC), Kenzho, Nur Muslimah Shatín, Speed Dancers, Shine Dancers, Terali Dancer, Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI), Wanodya Indonesian Club
************ ********* ********* ********* ********* *******
ATKI-HK
Assosiasi Tenaga Kerja Indonesia-Hong Kong
G/F Jordan Road No. 2, Kowloon, Hong Kong SAR
Phone: +852 23147316 Fax: +852 27354559
www.atki-indonesia. org
PERSATUAN BMI TOLAK OVERCHARGING (PILAR)
Rayakan Hari Perempuan Internasional
Dengan Terus Berjuang Membela Pekerjaan, Upah dan Hak-Hak Kita
Dari Serangan Pemerintah Hong Kong dan Indonesia
Hari ini, 8 Maret, perempuan pekerja diseluruh dunia, termasuk Buruh Migran Indonesia yang mayoritas perempuan merayakan Hari Perempuan Internasional (HPI). Sejak diresmikannya sebagai Hari Perempuan Internasional pada tahun 1917, setiap tanggal 8 Maret kaum perempuan di semua negeri berbondong-bondong turun ke jalan menyerukan tuntutan-tuntutanny a untuk perbaikan kondisi kerja dan pengakuan terhadap hak-hak perempuan. Semangat perubahan inilah yang terus digelorakan sepanjang tahun dan abad oleh kaum perempuan pekerja untuk melawan belenggu ketertindasan dan penghisapan terhadap mereka.
Namun perayaan kali ini menjadi sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya sebab terjadi ditengah-tengah krisis keuangan dunia. Krisis yang awalnya terjadi di Amerika Serikat, kini telah merembet ke seluruh penjuru dunia dan menghancurkan sendi-sendi ekonomi rakyat di semua negeri. Krisis kali ini bukan hanya memporak-porandakan kestabilan sistem globalisasi pasar bebas yang selama ini dipuja-puja oleh imperialis (negara-negara adikuasa) serta para pengikutnya, termasuk pemerintah Indonesia dan Hong Kong, tapi juga mengikis kepercayaan rakyat dunia tentang sistem kapitalis itu sendiri.
Sejak terjadinya krisis, jutaan buruh lokal maupun migran telah di-PHK massal, dirumahkan dan jutaan lainnya terancam PHK. Tapi sayangnya, bukannya membela rakyat sendiri, para pemerintah penganut sistem kapitalis (modal) justru menalangi bisnis-bisnis yang bangkrut. Di Hong Kong, kita saksikan sendiri PHK massal yang menimpa ratusan buruh lokal dari perbankan atau perusahaan jasa lainnya, sementara bisnis banyak yang sudah gulung tikar.
Sebagai buruh migran yang bekerja di Hong Kong dan mayoritas adalah perempuan, kita patut bersiaga. Ketika krisis menghantam Hong Kong di tahun 2002, pemerintah Hong Kong terbukti tidak segan-segan memotong upah para buruh biasa termasuk PRT asing sebanyak HK$400 dan kemudian menerapkan pajak sebesar HK$400 pula dari majikan yang mempekerjakan PRT asing. Tahun-tahun setelah itu ketika ekonomi Hong Kong membaik, pemerintah sama sekali tidak menaikan upah kita secara memadai, sementara buruh lain sudah menikmati kenaikan upah. Di saat krisis semacam ini, pemerintah seharusnya mengutamakan perlindungan terhadap buruh-buruh di Hong Kong termasuk PRT asing yang menerima upah paling rendah dibanding pekerja lainnya. Maka, tidak salah apabila di saat krisis kita meneruskan tuntutan untuk menaikan upah kita. Selain itu, pajak yang hanya ditunda 5 tahun tetap ancaman bagi kita, maka tuntutan penghapusan pajak selamanya tetap harus kita kobarkan.
Sejak akhir tahun kemarin saja, beberapa BMI sudah mengadu menjadi korban PHK karena majikan kena PHK atau bangkrut, sementara yang lainnya terpaksa harus tidak diberi libur setiap hari minggu karena majikan harus bekerja tambahan di hari tersebut. Berdasarkan laporan shelter, fenomena pemukulan terhadap buruh migran pun semakin meningkat khususnya sejak awal tahun ini sebagai akibat dari krisis. Tapi disisi lain, menggunakan kebijakan New Condition of Stay (NCS) atau two weeks rule atau aturan 2 minggu visa ini, pemerintah Hong Kong melarang PRT asing untuk langsung ganti majikan jika alasan PHK bukan karena majikan meninggal, pindah keluar negeri, mengalami kesulitan keuangan atau menjadi korban penganiayaan atau pelanggaran kontrak. Maka kali ini, kita harus memperkencang tuntutan penghapusan two weeks rule atau minimal pemerintah Hong Kong harus menunda penerapan two weeks rule dengan mengijinkan PRT asing yang di-PHK dengan alasan apapun di masa krisis ini untuk mencari majikan baru tanpa harus membatasi visa mereka hanya 14 hari dan memproses kontrak baru tanpa harus keluar Hong Kong. Minimal dengan cara ini, beban kita akan sedikit terkurangi. Meski dampak belum begitu menonjol tapi krisis akan terus memburuk dan akan menyerang rakyat Hong Kong termasuk kita para buruh migran.
Kondisi Ketenagakerjaan BMI di Hong Kong
Di Hong Kong sendiri, BMI yang mayoritas adalah perempuan mengalami kondisi kerja yang mengenaskan. BMI menjadi korban tingginya biaya penempatan sebesar HK$21.000 dengan cara memotong gaji selama 5-7 bulan berturut-turut. Jika menolak membayar, pasti diteror dan diyakinkan akan di-PHK. Untuk menjamin BMI membayar, paspor dan kontrak kerja BMI ditahan oleh agency atau majikan. Sementara sebagai PRT asing, BMI mengalami berbagai pelanggaran kontrak kerja seperti peniadaan hak libur, penganiayaan, pelecehan seksual, pemerkosaan, kerja ilegal, akomodasi dan makanan tidak memadai, perlakuan tidak manusiawi, dan lain sebagainya. Selain itu, peningkatan jumlah BMI di Hong Kong tidak disertai dengan peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan bagi BMI oleh Konsulat Indonesia. Sampai hari ini tuntutan agar Konsulat Indonesia buka penuh di hari minggu di Hong Kong dan Macau belum dipenuhi.
Meskipun tuntutan-tuntutan untuk perbaikan kondisi kerja telah diserukan oleh organisasi-organisa si BMI tapi pemerintah Indonesia sama sekali tidak mau merespon dan cenderung pura-pura tidak mendengar.
Program ekspor TKI adalah program penjualan perempuan
PHK massal sebagai akibat krisis sudah dirasakan oleh buruh migran khususnya yang bekerja di perusahaan-perusaha an manufaktur. Ribuan BMI di Malaysia, Taiwan, Korea, yang mayoritas perempuan, dideportasi setelah pabriknya bangkrut bahkan banyak yang tidak diupah dan diganti rugi. Mereka yang menolak dipulangkan dan masih ingin mencari sumber penghidupan di negara tersebut terpaksa menjadi tidak berdokumen atau overstay.
Lalu apa tindakan pemerintah Indonesia menyikapi kondisi ini? Pemerintah Indonesia bukannya memperjuangkan BMI ini agar tidak dideportasi dan hak-haknya diberikan, tapi malah sibuk mengejar target pengiriman TKI keluar negeri sebanyak 1-2 juta orang per tahun. Krisis dan kemiskinan di tanah air dijadikan alasan pemerintah untuk mengintensifkan program ekspor TKI, yang hakekatnya adalah ekspor kaum perempuan, yang seakan-akan dilihat sebagai satu-satunya jalan keluar dari persoalan yang melilit rakyat hari ini. Target-target lowongan diluar negeri antara lain perawat, pekerja hiburan, PRT, buruh pabrik, dsb yang mayoritas menuntut perempuan sebagai tenaga kerja utamanya. Sementara disisi lain, pemerintah tidak mau bertanggung jawab atas perlindungan dan keselamatan rakyatnya yang bekerja diluar negeri.
Jika pemerintah begitu berambisi mengekspor TKI, itu karena tiga alasan utama yaitu sebagai sumber devisa, mengurangi pengangguran dan meminimalkan dampak sosial akibat kemiskinan massal di tanah air. Julukan pahlawan devisa tidak lebih dari pujian kosong untuk mendorong rakyatnya agar mau diekspor. Untuk menjalankan program ini, pemerintah bekerjasama dengan PJTKI/PPTKIS swasta dan menyerahkan semua urusan pengiriman ke mereka yang bertujuan tidak lain kecuali mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari keringat BMI.
Tahun 2004, Pemerintah mengesahkan UUPPTKILN No. 39 yang mengatur penempatan TKI keluar negeri. Di UU 39 ditegaskan bahwa PJTKI/PPTKIS adalah kaki tangan pemerintah dan semua pengiriman TKI keluar negeri harus melalui agen swasta ini, jika tidak maka TKI tersebut dianggap ilegal. Aturan inilah yang kemudian meniadakan hak BMI untuk melakukan kontrak mandiri. UU 39 tidak mengatur komisi PJTKI yang seharusnya hanya 1 bulan gaji dan biaya-biaya lain yang harus dibayar BMI dan hanya diserahkan ke menteri yang korup, akhirnya BMI jadi korban biaya penempatan yang amat tinggi dan gajinya harus direlakan untuk dipotong berbulan-bulan lamanya. UU 39 menjamin PJTKI/PPTKIS bebas hukum meski sebesar apapun ”dosa” mereka terhadap BMI, tapi disisi lain BMI tidak akan pernah bisa memejahijaukan PJTKI/PPTKIS.
Meski pemerintah sudah menandatangani Konvensi (kesepakatan) PBB tentang perlindungan buruh migran dan keluarganya, tapi sampai hari ini pemerintah menolak merubah undang-undang TKI selaras dengan isi Konvensi tersebut. Pemerintah Indonesia sendirilah yang sengaja melanggar hak-hak asasi BMI dan keluarganya.
Tapi BMI tidak akan tinggal diam dalam penindasan. Perjuangan akan terus kita kobarkan sampai tuntutan-tuntutan BMI untuk perubahan kondisi kerja dan perlindungan terpenuhi. Menyikapi pencabutan UU 39, BMI di Hong Kong kini bersatu membentuk Aliansi BMI-HK Cabut UU 39 yang akan semakin menguatkan dan memperbesar persatuan diantara BMI.
Maka dari itu, di Hari Perempuan Internasional kali ini, Persatuan BMI Tolak Overcharging (PILAR) menuntut kepada:
Pemerintah Indonesia
- Hapus Biaya Traning! Tetapkan 1 bulan Gaji sebagai Biaya Penempatan!
- Cabut UU No.39/ 2004 Tentang PPTKILN! Segera rativikasi Konvensi PBB Tahun 1990
- Libatkan organisasi BMI dalam pembuatan kebijakan tentang buruh migran guna menjamin terwakilinya kepentingan BMI dalam setiap kebijakan Pemerintah.
- Berikan Pelayanan Penuh Bagi BMI di Hari Minggu.
- Bubarkan Terminal Khusus TKI.
- Berikan Hak Kontrak Mandiri untuk semua BMI.
- Berikan Hak Perpanjangan Paspor Bagi BMI Berkasus di Hong Kong.
Pemerintah Hong Kong
- Naikan upah sekarang juga! Legislate minimum wage.
- Lindungi pekerjaan kami! Hapus 2 Weeks Rule.
- Hentikan kekerasan terhadap PRT Asing.
- Hapus pajak selamanya.
Hidup BMI! Hidup Perempuan Indonesia!
Hidup Buruh Migran! Hidup Solidaritas Internasional!
8 Maret 2009
Heni (64441898), Kipty (91415126), Retno (95875206), Rosy (96098490), Rendy (62216714)
Anggota PILAR: Akhwat Gaul, Alexa Dancer, Al Fattah, Al Hikmah, Al Istiqomah Internasional Muslim Society, Al Ikhlas, Arrohmah, Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI-HK), Birul Walidain, Blueberry, Dance in Freedom (DIF), Forum Muslimah Al Fadhilah (FMA-HK), Ikatan Wanita Muslim Indramayu Cirebon (IWAMIC), Kenzho, Nur Muslimah Shatín, Speed Dancers, Shine Dancers, Terali Dancer, Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI), Wanodya Indonesian Club
************ ********* ********* ********* ********* *******
ATKI-HK
Assosiasi Tenaga Kerja Indonesia-Hong Kong
G/F Jordan Road No. 2, Kowloon, Hong Kong SAR
Phone: +852 23147316 Fax: +852 27354559
www.atki-indonesia. org