WTO TAK PERLU DI PATUHI
Belum terlambat agar RI meninjau ulang semua perjanjian dengan WTO! Butuh Keputusan Politiktebal Oleh : Bachtiar Effendi's notities Seni...
https://www.infogsbi.or.id/2009/03/wto-tak-perlu-di-patuhi.html?m=0
Belum terlambat agar RI meninjau ulang semua perjanjian dengan WTO!
Butuh Keputusan Politiktebal
Oleh : Bachtiar Effendi's notities
Senin, 23 Februari 2009 om 8:11
Jakarta – Pemerintah Indonesia seharusnya lebih berorientasi terhadap kepentingan- kepentingan dalam negeri dan tidak perlu tunduk mematuhi semua perjanjian pasar bebas (WTO). Keruntuhan kapitalisme internasional menyebabkan semua negara penggagas pasar bebas mulai melakukan proteksi terhadap ekonomi nasionalnya.
”Politik proteksi mereka adalah wajar demi ekonomi nasional masing-masing negara. Yang tidak masuk akal kalau Indonesia membabi buta membela pasar bebas pada saat semua negara sedang memikirkan dirinya masing-masing,” kata peneliti Institute for Global Justice (IGJ) Salamuddin Daeng ketika dihubungi, Senin (16/2).
Menurutnya, semua perjanjian dari WTO, FTA, dan ASEAN Charter yang selama ini dianggap akan mendatangkan kesejahteraan bagi Indonesia, justru tidak lagi menjadi agenda dunia. ”Namun Indonesia justru membuka pasar Indonesia lebar-lebar dengan FTZ sampai kawasan-kawasan khusus di 17 provinsi yang tidak akan produktif bagi perkembangan ekonomi Indonesia,” tegasnya.
Saat dihubungi terpisah, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih menegaskan, aksi proteksionisme negara-negara maju telah melanggar peraturan WTO. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam negosiasi liberalisme pertanian antara negara-negara maju dan berkembang, di mana negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Jepang tidak mau membuka pasarnya dan terus memberikan subsidi bagi sektor pertaniannya.
Pemerintah Gegabah
Untuk itu, WTO tidak perlu lagi mengurus aturan perdagangan dunia, sebab aturan-aturan perdagangan WTO selama ini telah membuat kondisi ekonomi negara-negara miskin dan berkembang terus dieksploitasi oleh negara-negara maju.
”WTO itu harus keluar dari urusan pertanian. Selain itu WTO tidak perlu lagi mengurus aturan perdagangan dunia. Kalaupun ada tidak perlu di bawah WTO,” ujarnya.
Henry mengecam pemerintah Indonesia yang sangat gegabah meratifikasi keanggotaannya ke WTO pada 1995 lalu. Padahal, ekonomi dan industri Indonesia belum siap, ditambah lagi kesepakatan LoI (letter of Intent) dengan IMF yang menerapkan prinsip-prinsip WTO sehingga impor dibuka seluas-luasnya.
Ia mencontohkan di bidang pertanian, bea masuk (BM) kacang kedelai dan susu menjadi nol persen, juga BM bagi impor sapi dan beras diturunkan. ”Negara lain yang ekonominya lebih bagus saja masuk WTO belakangan, seperti China dan Vietnam. Kita korban dari WTO, industri dan ekonomi Indonesia sudah hancur, baru Menteri Perdagangan (Mendag) melarang impor pakaian, sepatu, barang elektronik, dan bahan pangan,” ungkap Henry.
Dampaknya, tandas Henry, neraca perdagangan Indonesia minus dan tetap mengekspor bahan mentah (raw material) seperti karet, kakao, minyak sawit, dan hasil hutan.
Sementara itu, pendapatan negara berasal dari perkebunan, hutan, dan pertambangan, sebab tidak ada lagi produk-produk dalam negeri yang bisa bersaing di pasar internasional. Pasar-pasar tradisional seperti Pasar Tanah Abang telah dikuasai barang impor seperti garmen, sepatu, dan lainnya sehingga produk dalam negeri sulit diperoleh akibat kekurangan bahan baku.
Untuk itu, ia menekankan agar dibuat Undang-Undang (UU) Perlindungan dan Pemajuan Ekonomi Nasional untuk pembatasan produk impor, tidak hanya SKB Menteri. Hal itu karena UU yang dibuat pemerintah sebelumnya telah membuat industri dan perdagangan dalam negeri tidak maju, seperti UU PMA, UU Perkebunan, dan UU Migas yang memprivatisasi perusahaan milik negara.
“Sektor prioritas yang harus dilindungi seperti migas, pertanian, dan air, serta BUMN yang strategis, seperti PT Krakatau Steel dan Pertamina,” jelas Henry. Dia mencontohkan pengusaha UKM lebih dari 95 persen dengan sumbangan terhadap PDB 54 persen, sedangkan usaha besar hanya 0,01 persen, tapi mampu berkontribusi terhadap PDB 46 persen.
Tidak Terlambat
Ekonom UGM Revrisond Baswir berpendapat, tidak ada kata terlambat bagi Indonesia untuk meninjau ulang semua perjanjian WTO agar Indonesia tidak ikut runtuh bersama kapitalisme internasional. “Kalau dulu bolehlah ekonom Indonesia memuja perdagangan bebas sebagai model, dan negara-negara berkembang dipaksa untuk mengikuti kepentingan kapitalisme internasional. Sekarang bukan saatnya lagi,” ujarnya, Senin.
Revrisond mengakui bahwa Indonesia tidak mungkin sendiri dan harus mencari teman. Saat ini sudah cukup jelas siapa yang bisa menjadi kawan seperjuangan Indonesia, yaitu China, India, Brasil, dan Afrika Selatan, yang punya posisi sendiri terhadap WTO. “Kalau dulu Indonesia menjadi agen WTO untuk membujuk agar negara-negara itu mau menerima pasar bebas. Saat ini Indonesia justru harus bersatu dengan negara-negara tersebut untuk ikut memelopori dunia yang lebih adil,” tegasnya.
Kalau lima negara tersebut termasuk Indonesia bersatu, menurut Revrisond akan tercipta sebuah pasar baru yang lebih kuat di tengah keruntuhan pasar kapitalisme global.
“Di sinilah seharusnya Indonesia berperan. Kalau pasar ini berdiri, seluruh negara dunia ketiga akan bangkit bersama-sama membangun pasar baru yang lebih adil,” tegasnya.
Sementara itu, Daniel Indra Kusuma dari Front Anti-Imperialisme meyakini, Indonesia tidak berani meninggalkan WTO karena takut ekspornya dihambat dan tidak bisa berutang lagi. “Politisi elite Indonesia tahu bahwa IMF/WB tetap akan berusaha mencari pinjaman untuk bisa meminjamkan lagi pada negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Tujuannya adalah mempertahankan hegemoni politik ekonomi di dunai ketiga di bawah kepentingan barat,” jelasnya.
Menurutnya, Indonesia hanya bisa meninggalkan WTO dengan cara menjadikannya sebagai keputusan politik yang didukung massa rakyat. Artinya, rakyat menjadi kekuatan penggerak dalam negeri untuk bangkit tanpa utang.
”Dalam sejarah, hal ini pernah berhasil di beberapa negara, walaupun terasa berat bagi kelas menengah pada lima tahun awal, tetapi setelah dijalani menjadi ringan dan justru mempercepat pembangunan dalam negeri sampai mandiri,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa Rusia, China, Kuba, Vietnam, dan Iran sudah melewati masa itu dan kini akan diikuti oleh beberapa negara Amerika Latin.
“Kuncinya adalah mobilisasi rakyat secara sadar di bidang ekonomi dan politik. Hanya saja, tidak akan ada politisi elite yang mampu melakukan ini, karena semuanya enggak berani susah-susah dalam lima tahun pertama,” tegasnya. (eff/web).
Sumber:http://www.facebook.com/note.php?note_id=69746551544#/note.php?note_id=6974655 1544&ref=mf
Butuh Keputusan Politiktebal
Oleh : Bachtiar Effendi's notities
Senin, 23 Februari 2009 om 8:11
Jakarta – Pemerintah Indonesia seharusnya lebih berorientasi terhadap kepentingan- kepentingan dalam negeri dan tidak perlu tunduk mematuhi semua perjanjian pasar bebas (WTO). Keruntuhan kapitalisme internasional menyebabkan semua negara penggagas pasar bebas mulai melakukan proteksi terhadap ekonomi nasionalnya.
”Politik proteksi mereka adalah wajar demi ekonomi nasional masing-masing negara. Yang tidak masuk akal kalau Indonesia membabi buta membela pasar bebas pada saat semua negara sedang memikirkan dirinya masing-masing,” kata peneliti Institute for Global Justice (IGJ) Salamuddin Daeng ketika dihubungi, Senin (16/2).
Menurutnya, semua perjanjian dari WTO, FTA, dan ASEAN Charter yang selama ini dianggap akan mendatangkan kesejahteraan bagi Indonesia, justru tidak lagi menjadi agenda dunia. ”Namun Indonesia justru membuka pasar Indonesia lebar-lebar dengan FTZ sampai kawasan-kawasan khusus di 17 provinsi yang tidak akan produktif bagi perkembangan ekonomi Indonesia,” tegasnya.
Saat dihubungi terpisah, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih menegaskan, aksi proteksionisme negara-negara maju telah melanggar peraturan WTO. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam negosiasi liberalisme pertanian antara negara-negara maju dan berkembang, di mana negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Jepang tidak mau membuka pasarnya dan terus memberikan subsidi bagi sektor pertaniannya.
Pemerintah Gegabah
Untuk itu, WTO tidak perlu lagi mengurus aturan perdagangan dunia, sebab aturan-aturan perdagangan WTO selama ini telah membuat kondisi ekonomi negara-negara miskin dan berkembang terus dieksploitasi oleh negara-negara maju.
”WTO itu harus keluar dari urusan pertanian. Selain itu WTO tidak perlu lagi mengurus aturan perdagangan dunia. Kalaupun ada tidak perlu di bawah WTO,” ujarnya.
Henry mengecam pemerintah Indonesia yang sangat gegabah meratifikasi keanggotaannya ke WTO pada 1995 lalu. Padahal, ekonomi dan industri Indonesia belum siap, ditambah lagi kesepakatan LoI (letter of Intent) dengan IMF yang menerapkan prinsip-prinsip WTO sehingga impor dibuka seluas-luasnya.
Ia mencontohkan di bidang pertanian, bea masuk (BM) kacang kedelai dan susu menjadi nol persen, juga BM bagi impor sapi dan beras diturunkan. ”Negara lain yang ekonominya lebih bagus saja masuk WTO belakangan, seperti China dan Vietnam. Kita korban dari WTO, industri dan ekonomi Indonesia sudah hancur, baru Menteri Perdagangan (Mendag) melarang impor pakaian, sepatu, barang elektronik, dan bahan pangan,” ungkap Henry.
Dampaknya, tandas Henry, neraca perdagangan Indonesia minus dan tetap mengekspor bahan mentah (raw material) seperti karet, kakao, minyak sawit, dan hasil hutan.
Sementara itu, pendapatan negara berasal dari perkebunan, hutan, dan pertambangan, sebab tidak ada lagi produk-produk dalam negeri yang bisa bersaing di pasar internasional. Pasar-pasar tradisional seperti Pasar Tanah Abang telah dikuasai barang impor seperti garmen, sepatu, dan lainnya sehingga produk dalam negeri sulit diperoleh akibat kekurangan bahan baku.
Untuk itu, ia menekankan agar dibuat Undang-Undang (UU) Perlindungan dan Pemajuan Ekonomi Nasional untuk pembatasan produk impor, tidak hanya SKB Menteri. Hal itu karena UU yang dibuat pemerintah sebelumnya telah membuat industri dan perdagangan dalam negeri tidak maju, seperti UU PMA, UU Perkebunan, dan UU Migas yang memprivatisasi perusahaan milik negara.
“Sektor prioritas yang harus dilindungi seperti migas, pertanian, dan air, serta BUMN yang strategis, seperti PT Krakatau Steel dan Pertamina,” jelas Henry. Dia mencontohkan pengusaha UKM lebih dari 95 persen dengan sumbangan terhadap PDB 54 persen, sedangkan usaha besar hanya 0,01 persen, tapi mampu berkontribusi terhadap PDB 46 persen.
Tidak Terlambat
Ekonom UGM Revrisond Baswir berpendapat, tidak ada kata terlambat bagi Indonesia untuk meninjau ulang semua perjanjian WTO agar Indonesia tidak ikut runtuh bersama kapitalisme internasional. “Kalau dulu bolehlah ekonom Indonesia memuja perdagangan bebas sebagai model, dan negara-negara berkembang dipaksa untuk mengikuti kepentingan kapitalisme internasional. Sekarang bukan saatnya lagi,” ujarnya, Senin.
Revrisond mengakui bahwa Indonesia tidak mungkin sendiri dan harus mencari teman. Saat ini sudah cukup jelas siapa yang bisa menjadi kawan seperjuangan Indonesia, yaitu China, India, Brasil, dan Afrika Selatan, yang punya posisi sendiri terhadap WTO. “Kalau dulu Indonesia menjadi agen WTO untuk membujuk agar negara-negara itu mau menerima pasar bebas. Saat ini Indonesia justru harus bersatu dengan negara-negara tersebut untuk ikut memelopori dunia yang lebih adil,” tegasnya.
Kalau lima negara tersebut termasuk Indonesia bersatu, menurut Revrisond akan tercipta sebuah pasar baru yang lebih kuat di tengah keruntuhan pasar kapitalisme global.
“Di sinilah seharusnya Indonesia berperan. Kalau pasar ini berdiri, seluruh negara dunia ketiga akan bangkit bersama-sama membangun pasar baru yang lebih adil,” tegasnya.
Sementara itu, Daniel Indra Kusuma dari Front Anti-Imperialisme meyakini, Indonesia tidak berani meninggalkan WTO karena takut ekspornya dihambat dan tidak bisa berutang lagi. “Politisi elite Indonesia tahu bahwa IMF/WB tetap akan berusaha mencari pinjaman untuk bisa meminjamkan lagi pada negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Tujuannya adalah mempertahankan hegemoni politik ekonomi di dunai ketiga di bawah kepentingan barat,” jelasnya.
Menurutnya, Indonesia hanya bisa meninggalkan WTO dengan cara menjadikannya sebagai keputusan politik yang didukung massa rakyat. Artinya, rakyat menjadi kekuatan penggerak dalam negeri untuk bangkit tanpa utang.
”Dalam sejarah, hal ini pernah berhasil di beberapa negara, walaupun terasa berat bagi kelas menengah pada lima tahun awal, tetapi setelah dijalani menjadi ringan dan justru mempercepat pembangunan dalam negeri sampai mandiri,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa Rusia, China, Kuba, Vietnam, dan Iran sudah melewati masa itu dan kini akan diikuti oleh beberapa negara Amerika Latin.
“Kuncinya adalah mobilisasi rakyat secara sadar di bidang ekonomi dan politik. Hanya saja, tidak akan ada politisi elite yang mampu melakukan ini, karena semuanya enggak berani susah-susah dalam lima tahun pertama,” tegasnya. (eff/web).
Sumber:http://www.facebook.com/note.php?note_id=69746551544#/note.php?note_id=6974655 1544&ref=mf