Mafia Berkeley di Pintu Istana
Boediono dikhawatirkan jadi pintu masuk kepentingan ekonomi Amerika-Yahudi di Indonesia. Melabrak UUD 45. SAAT awal-awal berkuasa, Soeharto ...
https://www.infogsbi.or.id/2009/05/mafia-berkeley-di-pintu-istana.html
Boediono dikhawatirkan jadi pintu masuk kepentingan ekonomi Amerika-Yahudi di Indonesia. Melabrak UUD 45.
SAAT awal-awal berkuasa, Soeharto dikerumuni tim khusus bidang ekonomi jebolan Universitas Berkeley, California, AS. Mereka, seperti Prof Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, Soebroto, Moh Sadli, JB Soemarlin, dan Adrianus Mooy, bertugas menyusun sistem perekonomian di Indonesia.
Saking besarnya dominasi mereka dalam menerapkan konsep ekonomi liberal gaya AS, tim ini akhirnya mendapat julukan miring: mafia Berkeley. Bahkan, tak hanya doktor ekonomi lulusan Berkeley yang masuk dalam jaringan ini, tapi beberapa alumni universitas papan atas di AS juga dituding ikut membawa misi hegemoni AS di Indonesia.
Kini, meski Soeharto dan Orba-nya telah tumbang, jaringan mafia Berkeley tetap bercokol. Beberapa doktor ekonomi yang dituding masuk jaringan ini antara lain Sri Mulyani, Moh Ikhsan, Chatib Basri, dan Boediono. Makanya, ketika SBY memilih Boediono sebagai cawapresnya, lontaran penolakan langsung menggema. Doktor ekonomi jebolan Universitas Pennsylvania, AS itu dikhawatirkan membawa kepentingan ekonomi Amerika.
“Kita bertahun-tahun mengkhawatirkan tim ekonomi kita lagi-lagi dikuasai oleh Mafia Barkeley dengan paradigma ekonomi neoliberalnya. Ternyata sekarang SBY tidak hanya melanggengkan praktik ekonomi neoliberal dengan cara memilih tim ekonomi di kabinetnya saja, tapi malah menunjuk cawapresnya, Boediono yang sudah jelas-jelas garis ekonominya neoliberal,” cetus ekonom Indef (Institute for Development of Economics and Finance), Hendri Saparini kepada Indonesia Monitor, Sabtu (16/5).
Kekhawatiran Hendri cukup beralasan. Sebab, runtuhnya perekonomian nasional tak bisa dilepaskan dari peran mereka. Di sisi lain, Amerika akan menghalalkan berbagai cara untuk mengamankan kepentingannnya di Indonesia dengan power ekonomi Yahudi-nya yang dikenal ambisius itu. Presiden AS Barrack Obama yang memiliki ayah tiri orang Indonesia, juga tak menjamin negerinya tidak akan mencapuri urusan dalam negeri Indonesia.
Bahkan, awal Mei lalu, saat mendeklarasikan bulan Mei sebagai bulan Yahudi-Amerika (May Jewish American Heritage Month), Obama secara implisit mengakui bahwa negara AS adalah negara Yahudi. Ia mengatakan bahwa, “AS tidak akan menjadi negara yang kita kenal sekarang tanpa keberhasilan yang diraih kaum Yahudi Amerika.”
Meski warga Yahudi di AS kurang dari tiga persen, tapi dominasinya sangat luar biasa. Terbukti, dengan populasi sekecil itu, mereka berhasil memenangkan 25 persen hadiah nobel. Selain itu, bangsa Yahudi menguasai 20 persen eksekutif di AS dan 22 persen anggota mahasiswa jenius di AS adalah Yahudi.
Apakah tangan-tangan mereka ikut “bermain” di Pilpres 2009 dengan mendukung terpilihnya Boediono sebagai tandem SBY? “Kita juga khawatirkan itu,” ujar Hendri.
Namun, di mata pengamat hukum tatanegara Irman Putra Sidin, yang perlu dikhawatirkan justru komposisi caprescawapres yang mengabaikan keterwakilan Jawa dan non-Jawa. Padahal, UUD 45 mengisyaratkan perlunya komposisi yang adil dalam pemerintahan. “Soal Jawa non-Jawa, itu memang ada konstitusional base-nya. Dalam pasal 6a ayat 3 UUD, disebutkan bahwa presiden yang terpilih, yang dilantik sebagai pasangan calon presiden, dia harus menang 50 persen lebih,” kata Irman Putra Sidin kepada Indonesia Monitor, Jumat (15/5).
Bahkan, menurut Irman, tidak cukup 50 persen lebih. Ke depan, lanjut Irman, jika ada dua pasangan calon presiden, orang berpikir hanya satu kali putaran, padahal belum tentu. “Dia harus menang di lebih dari 50 persen provinsi di seluruh Indonesia. Dan minimal dia mendapatkan suara 20 persen di setiap provinsi. Dalam konteks ini, Jawa luar Jawa menjadi penting. Sebab mereka harus mendapat legitimasi di 33 provinsi, sehingga mitos Jawa luar Jawa sebenarnya memang memiliki basis konstitusional,” paparnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi, mengatakan, Boediono diperkirakan sulit menjalankan tugas wakil presiden karena memiliki sifat tertutup. Sifat ini akan menghambat koordinasi menteri di kabinet mendatang bila SBY terpilih lagi sebagai presiden.
“Boediono memang pintar dan menguasai ekonomi. Tapi dia akan kesulitan untuk melakukan koordinasi dengan menteri-menteri lainnya,” ujar Sofjan Wanandi, Senin (11/5).
■ Moh Anshari, Sri Widodo
http://www.indonesiamonitor.com/main/index.phpoption=com_content&task=view&id=2201&Itemid=33
SAAT awal-awal berkuasa, Soeharto dikerumuni tim khusus bidang ekonomi jebolan Universitas Berkeley, California, AS. Mereka, seperti Prof Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, Soebroto, Moh Sadli, JB Soemarlin, dan Adrianus Mooy, bertugas menyusun sistem perekonomian di Indonesia.
Saking besarnya dominasi mereka dalam menerapkan konsep ekonomi liberal gaya AS, tim ini akhirnya mendapat julukan miring: mafia Berkeley. Bahkan, tak hanya doktor ekonomi lulusan Berkeley yang masuk dalam jaringan ini, tapi beberapa alumni universitas papan atas di AS juga dituding ikut membawa misi hegemoni AS di Indonesia.
Kini, meski Soeharto dan Orba-nya telah tumbang, jaringan mafia Berkeley tetap bercokol. Beberapa doktor ekonomi yang dituding masuk jaringan ini antara lain Sri Mulyani, Moh Ikhsan, Chatib Basri, dan Boediono. Makanya, ketika SBY memilih Boediono sebagai cawapresnya, lontaran penolakan langsung menggema. Doktor ekonomi jebolan Universitas Pennsylvania, AS itu dikhawatirkan membawa kepentingan ekonomi Amerika.
“Kita bertahun-tahun mengkhawatirkan tim ekonomi kita lagi-lagi dikuasai oleh Mafia Barkeley dengan paradigma ekonomi neoliberalnya. Ternyata sekarang SBY tidak hanya melanggengkan praktik ekonomi neoliberal dengan cara memilih tim ekonomi di kabinetnya saja, tapi malah menunjuk cawapresnya, Boediono yang sudah jelas-jelas garis ekonominya neoliberal,” cetus ekonom Indef (Institute for Development of Economics and Finance), Hendri Saparini kepada Indonesia Monitor, Sabtu (16/5).
Kekhawatiran Hendri cukup beralasan. Sebab, runtuhnya perekonomian nasional tak bisa dilepaskan dari peran mereka. Di sisi lain, Amerika akan menghalalkan berbagai cara untuk mengamankan kepentingannnya di Indonesia dengan power ekonomi Yahudi-nya yang dikenal ambisius itu. Presiden AS Barrack Obama yang memiliki ayah tiri orang Indonesia, juga tak menjamin negerinya tidak akan mencapuri urusan dalam negeri Indonesia.
Bahkan, awal Mei lalu, saat mendeklarasikan bulan Mei sebagai bulan Yahudi-Amerika (May Jewish American Heritage Month), Obama secara implisit mengakui bahwa negara AS adalah negara Yahudi. Ia mengatakan bahwa, “AS tidak akan menjadi negara yang kita kenal sekarang tanpa keberhasilan yang diraih kaum Yahudi Amerika.”
Meski warga Yahudi di AS kurang dari tiga persen, tapi dominasinya sangat luar biasa. Terbukti, dengan populasi sekecil itu, mereka berhasil memenangkan 25 persen hadiah nobel. Selain itu, bangsa Yahudi menguasai 20 persen eksekutif di AS dan 22 persen anggota mahasiswa jenius di AS adalah Yahudi.
Apakah tangan-tangan mereka ikut “bermain” di Pilpres 2009 dengan mendukung terpilihnya Boediono sebagai tandem SBY? “Kita juga khawatirkan itu,” ujar Hendri.
Namun, di mata pengamat hukum tatanegara Irman Putra Sidin, yang perlu dikhawatirkan justru komposisi caprescawapres yang mengabaikan keterwakilan Jawa dan non-Jawa. Padahal, UUD 45 mengisyaratkan perlunya komposisi yang adil dalam pemerintahan. “Soal Jawa non-Jawa, itu memang ada konstitusional base-nya. Dalam pasal 6a ayat 3 UUD, disebutkan bahwa presiden yang terpilih, yang dilantik sebagai pasangan calon presiden, dia harus menang 50 persen lebih,” kata Irman Putra Sidin kepada Indonesia Monitor, Jumat (15/5).
Bahkan, menurut Irman, tidak cukup 50 persen lebih. Ke depan, lanjut Irman, jika ada dua pasangan calon presiden, orang berpikir hanya satu kali putaran, padahal belum tentu. “Dia harus menang di lebih dari 50 persen provinsi di seluruh Indonesia. Dan minimal dia mendapatkan suara 20 persen di setiap provinsi. Dalam konteks ini, Jawa luar Jawa menjadi penting. Sebab mereka harus mendapat legitimasi di 33 provinsi, sehingga mitos Jawa luar Jawa sebenarnya memang memiliki basis konstitusional,” paparnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi, mengatakan, Boediono diperkirakan sulit menjalankan tugas wakil presiden karena memiliki sifat tertutup. Sifat ini akan menghambat koordinasi menteri di kabinet mendatang bila SBY terpilih lagi sebagai presiden.
“Boediono memang pintar dan menguasai ekonomi. Tapi dia akan kesulitan untuk melakukan koordinasi dengan menteri-menteri lainnya,” ujar Sofjan Wanandi, Senin (11/5).
■ Moh Anshari, Sri Widodo
http://www.indonesiamonitor.com/main/index.phpoption=com_content&task=view&id=2201&Itemid=33