Mereka yang Tergadai
Selasa, 16 Juni 2009 | 02:59 WIB Kami semakin teruk (susah). Gaji terus turun dan sekarang tinggal 300 ringgit (sekitar Rp 1 juta). Kala...
Selasa, 16 Juni 2009 | 02:59 WIB Kami semakin teruk (susah). Gaji terus turun dan sekarang tinggal 300 ringgit (sekitar Rp 1 juta). Kalau tahu begini, sejak awal saya tak mau pergi ke
Ia bekerja di pabrik elektronik sejak tiba di Pelabuhan Klang, 18 Desember 2007, menggunakan kapal kayu dari Tanjung Balai, Sumatera Utara. Elvida tak menyangka, ia berangkat lewat jalur ilegal walau sejak awal karyawan PT Rahmat Mandiri di Medan meyakinkan mereka akan bekerja secara resmi di Malaysia.
Setiba di Malaysia, Elvida dan ratusan TKI dari
Tetapi siapa sangka janji manis agen pengirim kini bagai pil pahit yang ditelan. Pergi bekerja ke
”
Saya bertemu dengan dia di Restoran Tar Sidomampir yang berlokasi di ujung tangga stasiun monorel Chow Kit,
Mardiati (18) asal Mataram, Nusa Tenggara Barat, juga bernasib serupa. Dia dan kakaknya, Supriani (23), terbang ke
Saat krisis global menghantam, Supriani terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Agen lalu memindahkan Supriani dan beberapa rekannya menjadi penjaga gerai pusat perbelanjaan Mydin di Malaka. Mereka bekerja 14 jam sehari dengan gaji 300 ringgit per bulan.
JR Joint merupakan salah satu perusahaan pemasok pekerja asing ( outsourcing) terbesar milik warga negara Banglades di Malaysia. JR Joint memasok TKI, pekerja asal Banglades, dan negara lain ke beberapa perusahaan di
Diskriminasi gaji
Letak geografis yang berdekatan membuat
Para TKI ilegal ini dieksploitasi bekerja lebih dari delapan jam sehari dengan upah rendah dan terkadang tanpa libur. Mereka menerima gaji 300 ringgit-450 ringgit (sekitar Rp 900.000-Rp 1,3 juta) per bulan.
”Kalau orang tempatan (lokal) yang bekerja seperti Supriani bisa bergaji minimal 700 ringgit (sekitar Rp 2,1 juta) per bulan. Bisa apa TKI? Mau telepon ke kampung pun tak bisa,” ujar Alex geram.
Posisi mereka pun lemah. Saat mereka menuntut dipulangkan, agen malah meminta ganti rugi sedikitnya 7.000 ringgit (Rp 21 juta) per orang tanpa bersedia membayar ongkos pulang TKI. Akhirnya, TKI pun terpuruk di asrama mereka karena kerap agen tak lagi memberi mereka pekerjaan.
Wakil Duta Besar RI untuk Malaysia Tatang B Razak mengungkapkan, persoalan yang kerap muncul selama krisis adalah perusahaan outsourcing memaksa korban PHK bertahan menunggu ditempatkan di perusahaan yang baru.
”Kami sudah memanggil perusahaan-perusahaan itu dan meminta mereka memperlakukan TKI yang bertahan dengan layak. Bagi TKI korban PHK yang mau pulang, perusahaan harus membiayai karena ini kondisi di luar kemauan pekerja,” kata Tatang.
Jenazah pun ditahan
Perjuangan TKI mendapat pekerjaan dan kesejahteraan yang layak memang tidak mudah. Sejak Yanti Iriyanti dihukum tembak karena dituduh mencuri dan membunuh majikannya di Arab Saudi, 11 Januari 2008, sampai kini keluarga belum menerima jenazah.
Suami Yanti, Sugino, dan kelima anaknya sangat ingin mengubur Yanti di dekat rumahnya di Cianjur, Jawa Barat.
”Neng Widi, selalu menanyakan kapan mamanya pulang? Ia kerap mengatakan, mengapa mama teman-temannya sudah pulang, tetapi mamanya kok hingga sekarang belum juga pulang,” ujar Sugino.
Demi aliran devisa puluhan triliun setiap tahun ke Tanah Air, TKI harus menggadaikan jiwa. Sayang, mereka belum juga mendapat perlindungan yang berarti.
(Hamzirwan/B Josie Susilo Hardianto)
Dapatkan artikel ini di URL http://entertainment.kompas.com/read/xml/2009/06/16/02594361/mereka.yang.tergada