TKI Butuh Ketegasan
KOMPAS/B JOSIE SUSILO HARDIANTO Fatima (kanan), buruh migran asal Mataram, Nusa Tenggara Barat, Rabu (10/6), menunggu barang miliknya di Ged...
https://www.infogsbi.or.id/2009/06/tki-butuh-ketegasan.html?m=0
KOMPAS/B JOSIE SUSILO HARDIANTO
Fatima (kanan), buruh migran asal Mataram, Nusa Tenggara Barat, Rabu (10/6), menunggu barang miliknya di Gedung Pendataan Kepulangan TKI di Tangerang. Selama ini ia bekerja di Arab Saudi dan tidak akan kembali lagi ke negara tersebut.
Selasa, 16 Juni 2009 | 03:01 WIB
Jakarta, Kompas - Pemerintah tidak boleh lagi bersikap normatif dalam melindungi tenaga kerja Indonesia di negara penempatan. Para penyumbang devisa Rp 82 triliun pada tahun 2008 ini menuntut ketegasan pemerintah membela mereka dari pelanggaran hak asasi manusia oleh pemakai jasa di luar negeri.
Pemerintah harus beraksi menuntaskan berbagai pelanggaran yang menimpa TKI. Jumlah TKI yang mencapai enam juta orang tidak boleh menjadi dalih mengecilkan kasus pelanggaran HAM kepada TKI.
Analis kebijakan Migrant CARE Wahyu Susilo di Jakarta, Senin (15/6), mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengirimkan nota protes kerap terjadinya pelanggaran HAM terhadap TKI kepada Pemerintah Malaysia dan mendesak mereka merundingkan kembali nota kesepahaman perlindungan TKI pekerja rumah tangga.
”Selama masa perundingan, Indonesia bisa menghentikan pengiriman TKI ke Malaysia. Kita butuh gerakan politik tegas dari Presiden asal jangan menjadi bagian kampanye,” ujar Wahyu.
Sedikitnya 700 TKI meninggal di Malaysia tahun 2008. Jumlah ini belum termasuk mereka yang meninggal di Timur Tengah dan Asia Pasifik. Menurut catatan Migrant CARE, hingga kini 175 TKI terancam hukuman mati.
Pemerintah harus segera meninggalkan pendekatan diplomasi negeri serumpun dengan Malaysia. Setiap masalah TKI harus diselesaikan secara rasional melalui proses hukum.
”Apabila Pemerintah Malaysia tetap bertahan dengan kemauan mereka sendiri, Indonesia harus meminta tekanan dari ASEAN. Ada banyak jalur yang bisa ditempuh pemerintah demi menyelamatkan TKI. Jangan memandang masalah TKI sebagai hal yang biasa,” ujar Wahyu.
Secara terpisah, anggota Badan Pengarah Organisasi Buruh Internasional (ILO) Geneva Rekson Silaban di Jakarta, menyatakan, standar internasional ILO melarang diskriminasi hukum dan upah antara buruh domestik dan migran. Buruh migran berhak atas perlindungan.
Rekson mendesak Pemerintah Indonesia menuntut Malaysia mengizinkan TKI berserikat. ”Berserikat dapat menyatukan TKI sehingga majikan tidak bisa lagi seenaknya memperlakukan mereka,” kata Rekson.
Kondisi TKI di Hongkong dan Taiwan jauh lebih baik dibandingkan di Malaysia dan Timur Tengah karena mereka sudah berserikat. Hal ini diakui Ketua Umum Indonesian Migrant Workers Union (IMWU) Sringatin.
Tim negosiasi
IMWU merupakan wadah ribuan TKI yang bekerja di Hongkong. Ada 120.000 TKI bekerja di Hongkong dengan gaji Rp 2,5 juta hingga RP 4 juta per bulan. ”Pemerintah jangan menghamba kepada negara majikan demi mengurangi pengangguran. Sikap ini membuat TKI diperlakukan sewenang-wenang,” ujar Sringatin di Hongkong.
Di Jakarta, Direktur Eksekutif Migrant CARE Anis Hidayah menambahkan, pemerintah juga harus menyusun tim negosiasi yang lebih kuat dalam berunding dengan Malaysia. Tim tersebut harus memahami penderitaan TKI selama ini akibat penyusunan nota kesepahaman (MoU) yang sangat memihak Malaysia.
Kewenangan majikan menahan paspor TKI, tidak ada libur bagi pembantu rumah tangga, dan gaji yang rendah cukup membuat TKI menderita. Anis meminta pemerintah berhati-hati dalam perundingan kali ini.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno menegaskan, pemerintah akan segera memperbaiki MoU perlindungan TKI dengan Malaysia. Tim kecil di antara kedua negara bakal segera dibentuk pekan ini.
Calon pemimpin
Para calon pemimpin berjanji segera memperbaiki penempatan dan perlindungan TKI jika terpilih. Di Binjai, Sumatera Utara, calon wakil presiden Wiranto menargetkan pembenahan masalah TKI selama tiga bulan pertama masa jabatan. Untuk jangka panjang, Wiranto menjanjikan perbaikan kualitas TKI.
”Kami prihatin dengan banyaknya masalah yang menimpa TKI kita yang bekerja di luar negeri. Harus ada perbaikan segera,” tutur Wiranto seusai kampanye di Binjai.
Di Jakarta, calon wakil presiden Boediono menegaskan, penempatan dan perlindungan TKI harus ada peninjauan ulang terhadap semua proses penempatan dan perlindungan TKI. Seluruh proses harus diperbaiki.
Anggota Tim Kampanye SBY-Boediono, Muhammad Chatib Basri, mengatakan, kualitas TKI perlu ditingkatkan sehingga dapat lebih banyak terserap di sektor usaha formal di luar negeri. ”Tetapi peningkatan kualitas TKI bukan program yang bisa dilakukan cepat,” katanya.
Di tempat terpisah, Sekretaris Umum Tim Kampanye Nasional Megawati-Prabowo, Fadli Zon, menegaskan perlunya perombakan besar-besaran terkait penanganan serta pelayanan terhadap TKI di luar negeri oleh pemerintah, yang selama ini masih dinilai sangat bermasalah.
Perombakan menurut Fadli harus dilakukan, antara lain terkait kinerja birokrasi terkait serta kerja sama dan saling koordinasi antarinstansi, seperti Departemen Luar Negeri dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, yang sampai sekarang dinilai tidak maksimal.
Menurut dia, Deplu seharusnya berperan besar dalam mendata, melayani, serta melindungi semua warga negaranya di mana pun mereka berada.
”Apalagi mereka, kan, menghasilkan devisa bagi negara. Harus diingat banyak TKI kita berasal dari pedesaan dengan kemampuan dan pengetahuan terbatas. Kewajiban negaralah, dalam hal ini Deplu, melindungi mereka,” ujar Fadli. (aha/day/dwa/ham)
Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2009/06/16/03012088/tki.butuh.ketegasan
Fatima (kanan), buruh migran asal Mataram, Nusa Tenggara Barat, Rabu (10/6), menunggu barang miliknya di Gedung Pendataan Kepulangan TKI di Tangerang. Selama ini ia bekerja di Arab Saudi dan tidak akan kembali lagi ke negara tersebut.
Selasa, 16 Juni 2009 | 03:01 WIB
Jakarta, Kompas - Pemerintah tidak boleh lagi bersikap normatif dalam melindungi tenaga kerja Indonesia di negara penempatan. Para penyumbang devisa Rp 82 triliun pada tahun 2008 ini menuntut ketegasan pemerintah membela mereka dari pelanggaran hak asasi manusia oleh pemakai jasa di luar negeri.
Pemerintah harus beraksi menuntaskan berbagai pelanggaran yang menimpa TKI. Jumlah TKI yang mencapai enam juta orang tidak boleh menjadi dalih mengecilkan kasus pelanggaran HAM kepada TKI.
Analis kebijakan Migrant CARE Wahyu Susilo di Jakarta, Senin (15/6), mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengirimkan nota protes kerap terjadinya pelanggaran HAM terhadap TKI kepada Pemerintah Malaysia dan mendesak mereka merundingkan kembali nota kesepahaman perlindungan TKI pekerja rumah tangga.
”Selama masa perundingan, Indonesia bisa menghentikan pengiriman TKI ke Malaysia. Kita butuh gerakan politik tegas dari Presiden asal jangan menjadi bagian kampanye,” ujar Wahyu.
Sedikitnya 700 TKI meninggal di Malaysia tahun 2008. Jumlah ini belum termasuk mereka yang meninggal di Timur Tengah dan Asia Pasifik. Menurut catatan Migrant CARE, hingga kini 175 TKI terancam hukuman mati.
Pemerintah harus segera meninggalkan pendekatan diplomasi negeri serumpun dengan Malaysia. Setiap masalah TKI harus diselesaikan secara rasional melalui proses hukum.
”Apabila Pemerintah Malaysia tetap bertahan dengan kemauan mereka sendiri, Indonesia harus meminta tekanan dari ASEAN. Ada banyak jalur yang bisa ditempuh pemerintah demi menyelamatkan TKI. Jangan memandang masalah TKI sebagai hal yang biasa,” ujar Wahyu.
Secara terpisah, anggota Badan Pengarah Organisasi Buruh Internasional (ILO) Geneva Rekson Silaban di Jakarta, menyatakan, standar internasional ILO melarang diskriminasi hukum dan upah antara buruh domestik dan migran. Buruh migran berhak atas perlindungan.
Rekson mendesak Pemerintah Indonesia menuntut Malaysia mengizinkan TKI berserikat. ”Berserikat dapat menyatukan TKI sehingga majikan tidak bisa lagi seenaknya memperlakukan mereka,” kata Rekson.
Kondisi TKI di Hongkong dan Taiwan jauh lebih baik dibandingkan di Malaysia dan Timur Tengah karena mereka sudah berserikat. Hal ini diakui Ketua Umum Indonesian Migrant Workers Union (IMWU) Sringatin.
Tim negosiasi
IMWU merupakan wadah ribuan TKI yang bekerja di Hongkong. Ada 120.000 TKI bekerja di Hongkong dengan gaji Rp 2,5 juta hingga RP 4 juta per bulan. ”Pemerintah jangan menghamba kepada negara majikan demi mengurangi pengangguran. Sikap ini membuat TKI diperlakukan sewenang-wenang,” ujar Sringatin di Hongkong.
Di Jakarta, Direktur Eksekutif Migrant CARE Anis Hidayah menambahkan, pemerintah juga harus menyusun tim negosiasi yang lebih kuat dalam berunding dengan Malaysia. Tim tersebut harus memahami penderitaan TKI selama ini akibat penyusunan nota kesepahaman (MoU) yang sangat memihak Malaysia.
Kewenangan majikan menahan paspor TKI, tidak ada libur bagi pembantu rumah tangga, dan gaji yang rendah cukup membuat TKI menderita. Anis meminta pemerintah berhati-hati dalam perundingan kali ini.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno menegaskan, pemerintah akan segera memperbaiki MoU perlindungan TKI dengan Malaysia. Tim kecil di antara kedua negara bakal segera dibentuk pekan ini.
Calon pemimpin
Para calon pemimpin berjanji segera memperbaiki penempatan dan perlindungan TKI jika terpilih. Di Binjai, Sumatera Utara, calon wakil presiden Wiranto menargetkan pembenahan masalah TKI selama tiga bulan pertama masa jabatan. Untuk jangka panjang, Wiranto menjanjikan perbaikan kualitas TKI.
”Kami prihatin dengan banyaknya masalah yang menimpa TKI kita yang bekerja di luar negeri. Harus ada perbaikan segera,” tutur Wiranto seusai kampanye di Binjai.
Di Jakarta, calon wakil presiden Boediono menegaskan, penempatan dan perlindungan TKI harus ada peninjauan ulang terhadap semua proses penempatan dan perlindungan TKI. Seluruh proses harus diperbaiki.
Anggota Tim Kampanye SBY-Boediono, Muhammad Chatib Basri, mengatakan, kualitas TKI perlu ditingkatkan sehingga dapat lebih banyak terserap di sektor usaha formal di luar negeri. ”Tetapi peningkatan kualitas TKI bukan program yang bisa dilakukan cepat,” katanya.
Di tempat terpisah, Sekretaris Umum Tim Kampanye Nasional Megawati-Prabowo, Fadli Zon, menegaskan perlunya perombakan besar-besaran terkait penanganan serta pelayanan terhadap TKI di luar negeri oleh pemerintah, yang selama ini masih dinilai sangat bermasalah.
Perombakan menurut Fadli harus dilakukan, antara lain terkait kinerja birokrasi terkait serta kerja sama dan saling koordinasi antarinstansi, seperti Departemen Luar Negeri dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, yang sampai sekarang dinilai tidak maksimal.
Menurut dia, Deplu seharusnya berperan besar dalam mendata, melayani, serta melindungi semua warga negaranya di mana pun mereka berada.
”Apalagi mereka, kan, menghasilkan devisa bagi negara. Harus diingat banyak TKI kita berasal dari pedesaan dengan kemampuan dan pengetahuan terbatas. Kewajiban negaralah, dalam hal ini Deplu, melindungi mereka,” ujar Fadli. (aha/day/dwa/ham)
Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2009/06/16/03012088/tki.butuh.ketegasan