Akibat Krisis American Airlines PHK 1.600 Pekerja, di Malaysia 35.663 orang Telah Jadi Korban PHK.
Dampak dari krisis ekonomi global makin terus di rasakan oleh jutaan kaum buruh di seluruh dunia, gelombang pemecatan karyawan sepertinya be...
https://www.infogsbi.or.id/2009/07/akibat-krisi-american-airlines-phk-1600.html
Dampak dari krisis ekonomi global makin terus di rasakan oleh jutaan kaum buruh di seluruh dunia, gelombang pemecatan karyawan sepertinya belum akan berakhir. Kali ini, American Airlines milik AMR Corp akan memangkas sekitar 1.600 pekerja. Adanya pengurangan tersebut setara dengan 2,4 persen dari total armada, 67.000 unit.
Saat ini, maskapai penerbangan AS mengalami penurunan pendapatan. Pihak maskapai penerbangan berlomba-lomba memangkas tarif untuk menarik konsumen yang kian berkurang sejak terjadinya krisis. Tidak sampai di situ saja, adanya lonjakan harga bahan bakar hingga 31 persen sejak pertengahan Mei kian memberatkan maskapai.“Ini merupakan masa berat bagi maskapai dan perekonomian kita. Resesi telah menggerus pendapatan maskapai dan tidak ada cara yang paling mudah untuk mengumumkan lagi kabar buruk lainnya,” ujar Jeff Brundage, Senior Vice President for Human Resources.
Brundage bilang, American Airlines kemungkinan akan memangkas kembali pekerjanya dalam beberapa tahun ke depan akibat adanya penurunan kapasitas. Tahun lalu, maskapai sudah mengeliminasi sekitar 6.840 pekerja.
Sementara itu, Delta Air Lines Inc bakal memangkas gaji para karyawannya. Delta Air sepertinya juga tengah mempertimbangkan untuk merestrukturisasi jumlah pekerja. Namun, belum diketahui secara pasti, berapa jumlah karyawan yang bakal dipangkas.
Sementara Yahoo! Inc mempersiapkan pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk beberapa ratus pekerja. PHK akan diumumkan ketika Yahoo! melaporkan kondisi keuangannya pada kuartal pertama. PHK di Yahoo! pada putaran sebelumnya terjadi Desember, di bawah mantan CEO dan salah satu pendirinya, Jerry Yang. Perusahaan, yang menjadi penyedia mesin pencari di internet terbesar kedua di AS, sampai 2008 mempekerjakan 13.600 tenaga kerja, turun lebih dari 1.600 tenaga kerja dari kuartal ketiga 2008.
CEO-CEO Perusahaan AS Masih Memecati Karyawan
Hampir tiga perempat dari CEO yang duduk bersama dalam Business Roundtable bakalan memecat pekerjanya dalam enam bulan ke depan lantaran penjualan terus menyusut. Hal ini terungkap dalam survei yang dibeberkan pada hari Selasa (7/4) kemarin. Tentu saja, ini menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja sepertinya masih suram, setidaknya hingga akhir tahun ini.
Sebanyak 71 persen dari CEO mengatakan bahwa mereka masih akan melakukan pemecatan hingga enam bulan ke depan. Jumlah ini naik dari survei yang dilakukan pada November lalu yang menunjukkan sekitar 60 persen CEO menyebutkan hal tersebut. Asal tahu saja, angka tersebut paling tinggi sejak survei dimulai tahun 2002. Sementara itu, 21 persen memprediksikan pengupahan terhadap karyawan tidak akan banyak berubah, dan sisanya sebanyak 7 persen memprediksi akan menambah karyawannya.
Survei ini melibatkan 100 CEO dari perusahaan terbesar di AS yang dilakukan dari 16 Maret hingga 27 Maret lalu. Suramnya outlook untuk pasar tenaga kerja muncul lantaran CEO mulai mengantisipasi menciutnya penjualan dan investasi bisnis dalam enam bulan ke depan. Sebanyak 67 persen menyatakan penjualan mereka akan anjlok, dan 66 persen mengatakan mereka akan memangkas pengeluaran dan kebutuhan yang menggerus modal.
Mereka menghitung PDB AS bakalan anjlok sebesar 1,9 persen tahun ini. Padahal, tahun lalu mereka memperkirakan perekonomian AS tahun ini akan sama dengan tahun lalu alias flat.
Business Roundtable Chairman Harold McGraw, CEO The McGraw-Hill Cos, mengatakan bahwa angka-angka itu merepresentasikan tekanan yang begitu signifikan dalam bisnis di AS. Ia mengharapkan perekonomian akan berputar dan menjadi lebih baik pada akhir tahun ini. "Ini adalah waktu-waktu yang paling buruk yang kita miliki," kata McGraw. Namun, ia yakin akan melihat sejumlah kemajuan dalam beberapa waktu yang akan dayang.
Laporan prediksi oleh CEO ini muncul setelah pemerintah mengumumkan pemangkasan karyawan sejumlah 663.000 orang pada bulan Maret dan adanya pengurangan jam kerja ke level yang cukup rendah.
Tingkat pengangguran bulan lalu mencapai 8,5 persen, naik dari 8,1 persen pada bulan Februari. Angka itu merupakan yang paling tinggi dalam seperempat abad ini.
Di Malaysia:
Lain di Amerika lain di Malaysia, akibat dampak krisis keuangan global. Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah perusahaan di negeri jiran itu ternyata sudah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada 35.663 orang karyawannya.
Counsellor (Labour) Embassy of Malysia, Zaini bin Yaacob, Senin (8/6), di Jakarta mengatakan, hampir semua perusahaan di negaranya terpukul oleh krisis ekonomi global, sehingga perusahaan terpaksa melakukan PHK. "PHK terbesar terjadi pada karyawan asli Malaysia, dan jumlah kedua adalah tenaga kerja asing," kata Zaini.
Ia menjelaskan, dari jumlah tersebut tenaga kerja lokal (Malaysia) mendominasi, yakni sebesar 27.625 orang, sisanya adalah tenaga kerja asing sebanyak 8.038 orang. "Untuk tenaga kerja asing, berasal dari Thailand, Banglades, Filipina, Indonesia, Nepal, Palestina, dan beberapa negara Asia lainnya," jelasnya.
Para tenaga kerja yang di-PHK kata Zaini, telah mendapatkan haknya dari perusahaan tempat mereka bekerja. "Sehingga tidak ada tenaga kerja lokal dan asing yang tidak mendapatkan haknya sesuai undang-undang yang berlaku di Malaysia," kata dia.
Bagi tenaga kerja asing, mereka dipulangkan ke negara masing-masing, seperti Indonesia, Banglades, Fhilipina, Thailand, Nepal, dan Palestina. "Kecuali bagi tenaga kerja yang di PHK kemudian mereka mendapatkan tawaran di perusahaan lain, mereka tidak dipulangkan tetapi langsung bekerja di perusahaan yang baru," katanya. Namun, jumlah tenaga kerja korban PHK yang langsung mendapatkan pekerjaan baru tersebut tidak signifikan.
Dia menambahkan, sebagian besar perusahaan yang melakukan PHK adalah di sektor jasa, konstruksi, perkebunan/pertanian.
Untuk menghindari PHK lebih banyak lagi, pemerintah Malaysia meminta perusahaan agar tidak serta merta melakukan PHK kepada karyawannya di saat kondisi ekonomi sedang menurun. "PHK adalah jalan terakhir bagi pemerintahan kami," katanya.
Menurut Zaini, sebelum PHK diberlakukan, perusahaan diminta mengurangi jam lembur dan agar melakukan penggabungan devisi/bagian di dalam perusahaan. "Karena dengan cara tersebut perusahaan tidak banyak mengeluarkan biaya operasional," katanya.
Sumber : KOMPAS.com
Saat ini, maskapai penerbangan AS mengalami penurunan pendapatan. Pihak maskapai penerbangan berlomba-lomba memangkas tarif untuk menarik konsumen yang kian berkurang sejak terjadinya krisis. Tidak sampai di situ saja, adanya lonjakan harga bahan bakar hingga 31 persen sejak pertengahan Mei kian memberatkan maskapai.“Ini merupakan masa berat bagi maskapai dan perekonomian kita. Resesi telah menggerus pendapatan maskapai dan tidak ada cara yang paling mudah untuk mengumumkan lagi kabar buruk lainnya,” ujar Jeff Brundage, Senior Vice President for Human Resources.
Brundage bilang, American Airlines kemungkinan akan memangkas kembali pekerjanya dalam beberapa tahun ke depan akibat adanya penurunan kapasitas. Tahun lalu, maskapai sudah mengeliminasi sekitar 6.840 pekerja.
Sementara itu, Delta Air Lines Inc bakal memangkas gaji para karyawannya. Delta Air sepertinya juga tengah mempertimbangkan untuk merestrukturisasi jumlah pekerja. Namun, belum diketahui secara pasti, berapa jumlah karyawan yang bakal dipangkas.
Sementara Yahoo! Inc mempersiapkan pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk beberapa ratus pekerja. PHK akan diumumkan ketika Yahoo! melaporkan kondisi keuangannya pada kuartal pertama. PHK di Yahoo! pada putaran sebelumnya terjadi Desember, di bawah mantan CEO dan salah satu pendirinya, Jerry Yang. Perusahaan, yang menjadi penyedia mesin pencari di internet terbesar kedua di AS, sampai 2008 mempekerjakan 13.600 tenaga kerja, turun lebih dari 1.600 tenaga kerja dari kuartal ketiga 2008.
CEO-CEO Perusahaan AS Masih Memecati Karyawan
Hampir tiga perempat dari CEO yang duduk bersama dalam Business Roundtable bakalan memecat pekerjanya dalam enam bulan ke depan lantaran penjualan terus menyusut. Hal ini terungkap dalam survei yang dibeberkan pada hari Selasa (7/4) kemarin. Tentu saja, ini menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja sepertinya masih suram, setidaknya hingga akhir tahun ini.
Sebanyak 71 persen dari CEO mengatakan bahwa mereka masih akan melakukan pemecatan hingga enam bulan ke depan. Jumlah ini naik dari survei yang dilakukan pada November lalu yang menunjukkan sekitar 60 persen CEO menyebutkan hal tersebut. Asal tahu saja, angka tersebut paling tinggi sejak survei dimulai tahun 2002. Sementara itu, 21 persen memprediksikan pengupahan terhadap karyawan tidak akan banyak berubah, dan sisanya sebanyak 7 persen memprediksi akan menambah karyawannya.
Survei ini melibatkan 100 CEO dari perusahaan terbesar di AS yang dilakukan dari 16 Maret hingga 27 Maret lalu. Suramnya outlook untuk pasar tenaga kerja muncul lantaran CEO mulai mengantisipasi menciutnya penjualan dan investasi bisnis dalam enam bulan ke depan. Sebanyak 67 persen menyatakan penjualan mereka akan anjlok, dan 66 persen mengatakan mereka akan memangkas pengeluaran dan kebutuhan yang menggerus modal.
Mereka menghitung PDB AS bakalan anjlok sebesar 1,9 persen tahun ini. Padahal, tahun lalu mereka memperkirakan perekonomian AS tahun ini akan sama dengan tahun lalu alias flat.
Business Roundtable Chairman Harold McGraw, CEO The McGraw-Hill Cos, mengatakan bahwa angka-angka itu merepresentasikan tekanan yang begitu signifikan dalam bisnis di AS. Ia mengharapkan perekonomian akan berputar dan menjadi lebih baik pada akhir tahun ini. "Ini adalah waktu-waktu yang paling buruk yang kita miliki," kata McGraw. Namun, ia yakin akan melihat sejumlah kemajuan dalam beberapa waktu yang akan dayang.
Laporan prediksi oleh CEO ini muncul setelah pemerintah mengumumkan pemangkasan karyawan sejumlah 663.000 orang pada bulan Maret dan adanya pengurangan jam kerja ke level yang cukup rendah.
Tingkat pengangguran bulan lalu mencapai 8,5 persen, naik dari 8,1 persen pada bulan Februari. Angka itu merupakan yang paling tinggi dalam seperempat abad ini.
Di Malaysia:
Lain di Amerika lain di Malaysia, akibat dampak krisis keuangan global. Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah perusahaan di negeri jiran itu ternyata sudah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada 35.663 orang karyawannya.
Counsellor (Labour) Embassy of Malysia, Zaini bin Yaacob, Senin (8/6), di Jakarta mengatakan, hampir semua perusahaan di negaranya terpukul oleh krisis ekonomi global, sehingga perusahaan terpaksa melakukan PHK. "PHK terbesar terjadi pada karyawan asli Malaysia, dan jumlah kedua adalah tenaga kerja asing," kata Zaini.
Ia menjelaskan, dari jumlah tersebut tenaga kerja lokal (Malaysia) mendominasi, yakni sebesar 27.625 orang, sisanya adalah tenaga kerja asing sebanyak 8.038 orang. "Untuk tenaga kerja asing, berasal dari Thailand, Banglades, Filipina, Indonesia, Nepal, Palestina, dan beberapa negara Asia lainnya," jelasnya.
Para tenaga kerja yang di-PHK kata Zaini, telah mendapatkan haknya dari perusahaan tempat mereka bekerja. "Sehingga tidak ada tenaga kerja lokal dan asing yang tidak mendapatkan haknya sesuai undang-undang yang berlaku di Malaysia," kata dia.
Bagi tenaga kerja asing, mereka dipulangkan ke negara masing-masing, seperti Indonesia, Banglades, Fhilipina, Thailand, Nepal, dan Palestina. "Kecuali bagi tenaga kerja yang di PHK kemudian mereka mendapatkan tawaran di perusahaan lain, mereka tidak dipulangkan tetapi langsung bekerja di perusahaan yang baru," katanya. Namun, jumlah tenaga kerja korban PHK yang langsung mendapatkan pekerjaan baru tersebut tidak signifikan.
Dia menambahkan, sebagian besar perusahaan yang melakukan PHK adalah di sektor jasa, konstruksi, perkebunan/pertanian.
Untuk menghindari PHK lebih banyak lagi, pemerintah Malaysia meminta perusahaan agar tidak serta merta melakukan PHK kepada karyawannya di saat kondisi ekonomi sedang menurun. "PHK adalah jalan terakhir bagi pemerintahan kami," katanya.
Menurut Zaini, sebelum PHK diberlakukan, perusahaan diminta mengurangi jam lembur dan agar melakukan penggabungan devisi/bagian di dalam perusahaan. "Karena dengan cara tersebut perusahaan tidak banyak mengeluarkan biaya operasional," katanya.
Sumber : KOMPAS.com