Aksi Mogok Kerja Berbuntut PHK Ratusan Pekerja Wanita
PT Megariamas Sentosa dianggap melanggar Pasal 28 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh terkait tindakan menghalang-halangi kegiatan be...
Aksi mogok kerja karyawan yang berujung pada pemutusan hubungan kerja kembali terjadi. Kali ini menimpa ratusan buruh perempuan di PT Megariamas Sentosa. Tak tanggung-tanggung, jumlahnya mencapai 411 orang. Tidak terima dengan pemecatan itu, para pekerja menggugat perusahaan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta pada awal Maret lalu.
Persidangan perkara ini pada Selasa (28/4) sudah memasuki tahap replik. Ratusan buruh wanita yang menjadi korban PHK itu bahkan menyempatkan hadir ke persidangan. Mereka berharap majelis hakim bisa memberi putusan yang adil.
Ditemui usai sidang, kuasa hukum pekerja, Ngadinah menceritakan kronologis perkara ini. Semua berawal ketika pada Maret 2008 para buruh mendeklarasikan pendirian serikat buruh. Pendirian serikat itu dilanjutkan dengan pencatatan ke Sudinakertrans Jakarta Utara pada April 2008. Belakangan serikat itu terafiliasi dengan Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI). Ngadinah sendiri adalah Kepala Departemen Hukum dan Advokasi di GSBI.
Pendirian serikat di PT Megariamas Sentosa bukannya tanpa alasan. Para buruh menilai perusahaan yang memproduksi pakaian dalam perempuan itu telah melanggar hak normatif buruh seperti pembayaran jaminan kesehatan, sanitasi, cuti, dan lain-lain. “Perusahaan telah melakukan serangkaian tindakan penolakan terhadap pembentukan serikat buruh ini,” ujar perempuan berjilbab ini.
Konflik ‘pertama’ antara serikat dengan perusahaan terjadi ketika manajemen melayangkan surat peringatan kedua kepada ketua umum serikat, Abidin yang dianggap mangkir kerja pada 10-12 Juli 2008. Waktu itu Abidin sedang mengikuti pendidikan paralegal yang diselenggarakan GSBI. “Padahal tujuh hari sebelum pelatihan, serikat telah mengirimkan surat permohonan dispensasi ke perusahaan,” kata Ngadinah. Sebelumnya Abidin pernah mendapat surat peringatan pertama ketika memenuhi panggilan Sudinakertrans Jakarta Utara saat pencatatan pendirian serikat.
Abidin kontan menolak surat peringatan kedua itu. Apes. Gara-gara menolak, manajemen malah mengirim ‘surat cinta’ ketiga. Alhasil Abidin langsung di-PHK. Bagi Abidin, tindakan perusahaan terasa ironis karena UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja memberikan hak kepada pengurus serikat pekerja untuk melakukan aktivitas.
Mendengar sang pemimpin dipecat, ratusan buruh lain langsung menggelar aksi solidaritas. Pada 15-17 Juli 2008 para buruh melakukan mogok kerja. Aksi tersebut sekaligus digunakan untuk memperjuangkan soal jaminan pemeliharaan kesehatan, penyediaan air bersih dan menolak buruh kontrak. “Sayang, tak ada kesepahaman dalam aksi ini. Setelah itu perusahaan mengeluarkan surat agar semua buruh boleh masuk kembali asalkan tidak melakukan intimidasi apapun sebagaimana tertuang dalam persetujuan bersama,” kata Ngadinah.
Perseteruan manajemen dengan serikat kembali terjadi pada 22 Juli 2008 ketika perundingan untuk meminta agar perusahaan mempekerjakan kembali Abidin dan beberapa pengurus serikat lain yang sudah dipecat, menemui jalan buntu. Akhirnya serikat memutuskan untuk kembali menggelar mogok kerja pada 4-8 Agustus 2008. “Kali ini mogok kerja sudah dilakukan sesuai hukum, yaitu akibat gagalnya perundingan dan pemberitahuan kepada perusahaan dan Sudinakertrans sudah dilakukan jauh hari sebelumnya,” Ngadinah menuturkan.
Kali ini tak ada ampun bagi para peserta mogok kerja. Perusahaan memecat mereka semua dengan menyatakan mogok kerja tak sah. Menurut Ngadinah, proses PHK yang dilakukan perusahaan tak hanya melanggar Pasal 151 UU No. 13 tahun 2003 Ketenagakerjaan yakni melalui penetapan PHI terlebih dulu. Tapi juga melanggar Pasal 28 UU No. 21 Tahun 2000 Serikat Buruh terkait tindakan menghalang-halangi kegiatan berserikat dengan cara melakukan PHK. “Tindakan itu pun melanggar Konvensi ILO No. 87, Pasal 3 ayat (1), Pasal 10, Pasal 11 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak berorganisasi,” tegasnya.
Dalam gugatannya, Ngadinah menuntut agar para pekerja dipekerjakan kembali dan membayar hak-haknya selama proses perkara ini berlangsung. “Kami menuntut upah selama proses sejak Agustus 2008 dan pembayaran THR tahun 2008 yang belum dibayar,” imbuhnya.
Mogok tak sah
Di tempat yang sama saat dikonfirmasi hukumonline, kuasa hukum PT Megariamas Sentosa, Maju Simamora tak banyak berkomentar. Ia hanya menjelaskan bahwa inti perkara ini karena aksi mogok kerja yang dilakukan pada 15 Juli 2008 dianggap tidak sah. “Sampai saat ini saya belum mau memberikan jawaban pada pokok perkara karena masih dalam proses persidangan. Jadi terlalu dini kalau saya memberikan jawaban untuk itu,” ujar pengacara dari Maju Simamora and Partners.
Meski begitu, Maju mengatakan bahwa pihaknya mengajukan eksepsi kewenangan relatif karena gugatan yang diajukan para penggugat salah alamat. “PHI Jakarta Pusat tak berwenang mengadili perkara ini karena ada salah satu penggugat berdomisili di wilayah hukum Tangerang, sehingga yang berwenang mengadili PHI Serang,” dalihnya singkat.
Dari berkas jawaban, perusahaan mengaku telah memenuhi tuntutan para pekerja. Diantaranya soal jaminan pemeliharaan kesehatan, kenaikan tunjangan makan, transport, kontrak kerja sesuai Undang-Undang, dan jaminan kebebasan berserikat sebagaimana tertuang dalam persetujuan bersama. Namun perusahaan tak bisa mengabulkan tuntutan mempekerjakan kembali Abidin.