Statement : Front Perjuangan Rakyat (FPR)`Stop Overcharging, Hentikan Biaya Penempatan yang Berlebihan
Statement :Front Perjuangan Rakyat(FPR) Sekretariat : Jl. Mampang Prapatan XIII, No. 3, RT/RW 03/03, Tegalparang, Mampang Prapatan, Jakarta ...
https://www.infogsbi.or.id/2009/08/statement-front-perjuangan-rakyat.html
Statement :Front Perjuangan Rakyat(FPR)
Sekretariat : Jl. Mampang Prapatan XIII, No. 3, RT/RW 03/03, Tegalparang, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan Phone/Fax: 021-7986468.
E-mail: fpr1mei@gmail.com // www.fprsatumei.wordpress.com/
Saat ini, sekitar 6 juta rakyat Indonesia bekerja diluar negeri sebagai Buruh Migran Indonesia (BMI). Tingginya angka jumlah BMI ini disebabkan kegagalan pemerintah menyediakan lapangan kerja yang layak bagi rakyat Indonesia, dimana sekitar 9 juta penduduk Indonesia berstatus pengangguran terbuka dan sekitar 40 juta penduduk menjadi para pengangguran terselubung.
Angka ini akan semakin bertambah seiring dengan kebijakan pemerintah yang tidak pernah berpihak kepada BMI. Dari beberapa peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia, tidak satupun menunjukkan adanya bentuk perlindungan ataupun pemenuhan terhadap hak-hak buruh migran. Sebaliknya, pengiriman BMI ke luar negeri oleh pemerintah dianggap sebagai salah satu jalan keluar dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Bagi pemerintah, pengiriman BMI selain mengurangi pengangguran, disisi lain juga menjadi pemasok penerimaan bagi negara. Jumlah penerimaan devisa dari sektor ini menunjukkan angka peningkatan yang signifikan setiap tahunnya, Dari 35 trilliun (2006), 44 trilliun (2007), 86 trilliun (2008) dan ditargetkan mencapai angka 125 trilliun pada tahun 2009.
Ketidakpedulian pemerintah terhadap BMI tercermin dari kebijakan yang dipilih untuk dijalankan. Hingga hari ini, pemerintah Indonesia belum mau meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang “Perlindungan Hak-hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya”, yang merupakan instrument hukum internasional sebagai payung perlindungan terhadap buruh migrant dan keluarganya. Keengganan ini menjadi bukti nyata bahwa pemerintah Indonesia tidak mempunyai persfektif perlindungan terhadap BMI. Indikasi lainnya adalah, pemerintah dinilai telah menolak mengadopsi Konvensi ILO tentang Pembantu/Penatalaksana Rumah Tangga (PRT). Dari hasil kuesioner yang dibagikan ILO ke beberapa negara, terlihat bahwa Depnakertrans menolak penerbitan konvensi tapi hanya mendukung dalam bentuk rekomendasi.
Kebijakan lain adalah aturan tentang biaya penempatan yang tidak diatur dengan tegas sehingga menciptakan syarat bagi terciptanya penghisapan terhadap BMI. Undang Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PTKILN) pada kenyataannya lebih banyak menekankan aspek penempatannya saja, dan hanya sedikit bahkan tidak sama sekali memberikan fokus perhatian terhadap aspek perlindungan.
Dalam UU ini dimandatkan bahwa penempatan BMI diluar negeri hanya boleh dilakukan oleh Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Artinya, orang perseorangan tidak diperbolehkan untuk menempatkan warga negara Indonesia untuk bekerja diluar negeri. Dampak dari peraturan ini adalah, lahirnya training centre (TC) yang dibuat oleh PJTKI sebagai alasan untuk memberikan pendidikan pelatihan bagi BMI sebelum berangkat keluar negeri. Akan tetapi dalam kenyataannya TC hanyalah dalih yang digunakan untuk menarik biaya besar dari calon BMI.
UU 39/2004 juga menyatakan bahwa biaya penempatan secara lebih detail akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan/Keputusan Menteri (Kepmen), dengan transparan dan memenuhi asas akuntabilitas. Artinya, mandat dari UU ini adalah pemerintah melalui Menteri berkewajiban mengatur dan menetapkan komponen biaya penempatan diseluruh negara tujuan BMI. Faktanya, aturan ini juga tidak dijalankan secara konsisten oleh pemerintah. Hampir diseluruh negara penempatan, tidak terdapat kebijakan yang mengatur tentang komponen biaya penempatan.
BMI tentu saja menjadi pihak yang paling dirugikan dari tidak jelasnya pengaturan tentang kebijakan biaya penempatan. Di Hong Kong, meskipun telah diatur melalui SK Dirjen Binapenta sampai dua kali pada tahun 2004 sebesar Rp. 9,123,000 dan tahun 2008 sebesar Rp. 15,550,000 + US$ 15, namun seluruh keputusan tersebut juga tidak dijalankan. Hingga saat ini BMI Hong Kong masih diwajibkan membayar HK$ 21,000 kepada agen penempatan melalui potongan gaji selama 7 (tujuh) bulan.
Pun demikian dengan di Taiwan, untuk BMI kategori formal (buruh pabrik, nelayan dan panti jompo), mereka wajib menyetorkan uang kepada PJTKI dan PJTKA antara Rp. 97,000,000 hingga Rp. 112,000,000 melalui setoran tunai sebelum berangkat (Rp. 30,000,000 s/d 70,000,000) dan potongan gaji bulanan selama 36 bulan kerja. Sedangkan untuk BMI kategori informal (pembantu rumah tangga) mereka wajib menyetor antara Rp. 56,000,000 hingga Rp. 74,000,000 melalui setoran tunai sebelum berangkat (Rp. 2 juta-Rp. 20 juta) dan potongan gaji bulanan selama 36 bulan kerja.
Kenyataan diatas menjadi bukti yang nyata, bahwa tingginya biaya penempatan yang sangat memberatkan adalah akibat dari kebijakan pemerintah yang hanya menginginkan berjalannya program pengiriman tenaga kerja ke luar negeri sebanyak mungkin untuk mendapatkan keuntungan yang juga semakin besar dalam bentuk devisa, tanpa pernah memperhatikan aspek perlindungan dan pemenuhan hak BMI. Untuk itu kami manuntut :
1. Stop Overcharging, Hentikan Biaya Penempatan yang Berlebihan
2. Tetapkan Biaya Penempatan Maksimal 1 (satu) bulan gaji
3. Tetapkan Keputusan Menteri untuk mengatur biaya penempatan diseluruh negara penempatan
4. Tindak tegas Agen/PJTKI yang melakukan pemerasan terhadap calon BMI dan BMI
Jakarta, 27 Agustus 2009
Fron Perjuangan Rakyat (FPR)
Koordinator
Rudi Hb Daman
(Hp. 0818-08974078)
Tiada kata seindah lawan! soal cara, silakan pilih! ml ^_^
BalasHapus