Orasi Budaya Rieke Diah Pitaloka _ Ratifikasi Konvensi PBB 1990
Pada Tanggal 12 Oktober 2009 bertempat kantor Komnas Perempuan di langsungkan acara dalam rangka kampanye untuk Perlindungan Buruh Migran I...
https://www.infogsbi.or.id/2009/10/orasi-budaya-rieke-diah-pitaloka.html?m=0
Pada Tanggal 12 Oktober 2009 bertempat kantor Komnas Perempuan di langsungkan acara dalam rangka kampanye untuk Perlindungan Buruh Migran Indonesia (BMI) dan Keluarganya, yaitu mendesakkan pada pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi PBB 1990.
Dalam acara ini Rieke Diah "ONENG" Pitaloka selaku Duta Buruh Migrant Indonesia menyampaikan Orasi Budaya dalam rangka dukungannya pada ratifikasi Konvensi PBB 1990.
Berikut adalah naskah Orasi yang di sampaikan Oleh Rieke Diah "ONENG" Pitaloka, Orasi budaya ini dengan menggunakan judul : RATIFIKASI KONVENSI TENTANG PERLINDUNGAN HAK SEMUA PEKERJA MIGRAN DAN ANGGOTA KELUARGANYA. Selamat membaca...........
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
RATIFIKASI KONVENSI TENTANG PERLINDUNGAN HAK SEMUA PEKERJA MIGRAN
DAN ANGGOTA KELUARGANYA!
Orasi Budaya, disampaikan di Komnas Perempuan, 12 Oktober 2009 dalam rangka dukungan pada Ratifikasi Konvensi PBB 1990
Jauh sebelum standar hukum yang telah ditetapkan dalam mengatur perlindungan HAM, sebagai manusia yang dilahirkan untuk bisa saling berbagi dan saling melindungi, kita sepakat bahwa penghilangan segala bentuk hak yang melekat pada seseorang adalah sebuah kejahatan terhadap kedaulatan manusia. Hari ini, berapa puluh kali kita menjadi saksi betapa penghilangan hak-hak pekerja migran menjadi santapan tak terelakan lagi. Fenomena itu sungguh teramat ironis mengingat bahwa Indonesia merupakan salah satu negara pengirim pekerja migran terbesar di dunia, dan sudah barang tentu, memberikan manfaat finansial bagi negara. Pada tahun 2008 misalnya, diperkirakan terdapat lebih dari 200 juta pekerja migrant di dunia, dimana 6 juta dari jumlah tersebut berasal dari Indonesia dengan rincian 80% nya adalah perempuan dan 70% dari jumlah tersebut bekerja sebagai PRT (SP 2009).
Dengan melihat besarnya populasi TKI, tentunya memiliki keuntungan tersendiri bagi negara, bagaimana tidak, pada tahun 2006, pekerja migran berkontribusi memberikan keuntungan pada negara sebesar Rp. 55,8 Trilyun. Lebih mencengangkan lagi, nilainya meningkat tajam pada 2008 dengan memberikan keuntungan pada negara sebesar Rp. 82,4 Trilyun.(Data BI)
Berbicara masalah finansial dalam ruang lingkup pekerja migran Indonesia memang sangat menggiurkan. Namun,l jika kita melihatnya dari kehidupan para pekerja migran, justru berada pada posisi sebaliknya.Persoalan-persoalan yang menimpa saudara-saudara kita yang menjadi buruh migran seperti tiada habis-habisnya. Dari persoalan yang sangat teknis hingga tindak kekerasan fisik, phsikis, dan ekonomi. Bukan cerita baru kita mendengar, membaca, menyaksikan duka yang tertancap pada perempuan-perempuan yang berniat membantu perekonomian keluarganya, yang berarti juga membantu pemerintah dalam mengatasi keterpurukan ekonomi, berakhir dengan kisah tragis. Tak sedikit dari mereka disiksa, diperkosa, bahkan pulang tak bernyawa, bahkan ada yang tak pernah pulang tanpa ada kabar berita. Duka tidak hanya bagi para korban, tapi juga keluarganya. Duka yang menyengat para pejuang-pejuang kemanusiaan, yang seharusnya juga menggugah hati para pemimpin bangsa. Mereka yang kita anggap sebagai representasi dari negara.
Konstitusi Negara Republik Indonesia sesungguhnya secara transparan mengakui, menghormati dan memperjuangkan keberlangsungan Hak-Hak Asasi Manusia. Dalam Pembukaan UUD 1945 “... penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.” Kemudian pada pasal 28A dinyatakan, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Dipertegas dalam pasal 28B hingga 28H, dan pada 28I yang mengatakan,”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak utk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, ...adalah hak azasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
Pertanyaannya siapa yang akan melindungi hak-hak warga negara tersebut? Secara gamblang dalam pembukaan UUD 1945 dikatakan “....Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.....” Kita perlu mengaris bawahi kata melindungi, yang harus dilindungi adalah segenap bangsa Indonesia, dimana pun mereka berada, apapun profesi mereka, termasuk saudara-saudara kita yang menjadi buruh migran, harus dilindungi oleh negara! Perangkat hukum yang dikeluarkan oleh negara, tentu saja menjadi alat yang semestinya mampu memberikan perlindungan untuk mencapai cita-cita kemerdekaan bangsa ini.
Dalam konteks perangkat hukum terkait persoalan buruh migran, diakui atau tidak, dengan semakin banyak kasus kekerasan yang menimpa para buruh migran, secara tegas saya katakan dalam forum ini. Perangkat hukum negara Republik Indonesia belum, bahkan sebagian justru tidak melindungi buruh migran, bahkan ketika mereka masih berada di dalam negeri! Tengok saja UU no 39 tahun 2004, banyak persoalan-persoalan yang tidak terselesaikan. Dalam arti kata kita memang butuh perangkat hukum, payung hukum lain, agar perlindungan yang diberikan bisa maksimal. Kebutuhan kita akan perangkat hukum tersebut sebetulnya bisa terpenuhi jika pemerintah segera meratifikasi Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Konvensi ini memang sudah ditandatangani pemerintah Indonesia yang direncanakan akan disahkan pada tahun ketiga RANHAM Indonesia 1998-2003. Lalu dicantumkan lagi sebagai salah satu dari dua belas instrumen HAM, yang dijanjikan akan disahkan pada RANHAM Indonesia 2004-2009. Tapi, disisa dua bulan terakhir 2009 ini, jangankan pengesahan, prosesnya pun belum juga dimulai oleh pemerintah. Di sisi lain, kita justru dikejutkan dengan penolakan pemerintah yang disampaikan melalui Menakertrans, adalah sebuah kemunduran yang patut kita pertanyakan.
Argumen-argumen penolakan yang dikemukakan pemerintah terkesan mengada-ngada dan justru memperlihatkan sikap yang asal-asalan dalam melihat fenomena kasus-kasus kemanusiaan yang menimpa para buruh migran kita. Saya secara justru menilai penolakan ini karena paradigma berfikir sebagian besar petinggi negara dalam melihat persoalan buruh migran hanya dalam kaca mata tata niaga, untung rugi seperti dalam neraca perdagangan. Buruh migran diakui karena devisa semata, sebatas angka, bukan sebagai manusia yang juga punya hak yang harus dilindungi oleh negara.
Diratifikasinya konvensi Pekerja Migran 1990, sejujurnya akan memperlihatkan pada mata dunia bahwa bangsa ini bersungguh-sungguh dalam melindungi dan memperjuangkan hak-hak azasi manusia. Pasal 1 ayat 2 konvensi ini menetapkan bahwa konvensi berlaku bagi seluruh proses migrasi pekerja migran dan keluarganya yang meliputi: persiapan migrasi, keberangkatan, transit, keseluruhan masa tinggal dan kegiatan yang berupah di negara tempat bekerja, dan kembali (mereka) ke negara asal atau negara dimana (mereka) biasanya bertempat tinggal.”
Adanya alasan bahwa konvensi ini akan membuka pintu seluas-luasnya bagi tenaga asing untuk menguasai berbagai lapangan pekerjaan di Indonesia dapat kita sanggah apabila kita kaji secara seksama konvensi pasal 79, pasal 26 ayat 2, pasal 39 ayat 2, pasal 40 ayat 2, Negara Republik Indonesia tetap berwenang melakukan pembatasan hak tertentu bagi pekerja yang berada di Indonesia berdasarkan alasan keamanan nasional, ketertiban umum, atau perlindungan hak dan kebebasan orang lain.
Kita tentu berharap bahwa pemerintah yang baru kelak memberikan ketegasan sikap untuk meratifikasi konvensi Pekerja Migran 1990. Memang konvensi ini bukan perjanjian internasional mengenai kerjasama ekonomi, teknik, keuangan atau sejenisnya. Memang keuntungan yang diperoleh dengan meratifikasi ini tidak menitikberatkan pada sisi keuntungan materiil. Konvensi Pekerja Migran 1990 adalah instrumen HAM internasional. Penting artinya bagi penghormatan, perlindungan, penegakan, dan pemenuhan HAM di tataran nasional. Penting artinya bagi negara dan bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia dalam hubungan internasional.
Penting artinya sebagai bukti keseriusan pemerintah yang bersetia terhadap konstitusi, pemerintah yang bersetia pada Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah yang menjalankan amanat UUD 1945, kembali saya ulangi diakhir penyampaian sikap saya dalam mendukung disahkannya Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota keluarganya. Ratifikasi konvensi tersebut adalah bukti nyata Pemerintah negara Indonesia memang secara bersungguh-sungguh bekerja untuk:
• Melindungi segenap bangsa bangsa Indonesia,
• Melindungi seluruh tumpah darah Indonesia,
• Memajukan kesejahteraan umum,
• Mencerdaskan kehidupan bangsa
Akhir kata, saya, Rieke Diah Pitaloka, Duta Buruh Migran Indonesia, mengajak saudara-saudara yang hadir disini untuk merapatkan barisan, bergandeng tangan untuk perjuangan kemanusian, mendesak pemerintah untuk segera merativikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.
We walk hand in hand
We walk hand in hand
We walk han in hand today
How deep in my heart I do belive
We walk hand in hand today
Jakarta, 12 0ktober 2009
RIEKE DIAH PITALOKA
Duta Buruh Migran Indonesia
Dalam acara ini Rieke Diah "ONENG" Pitaloka selaku Duta Buruh Migrant Indonesia menyampaikan Orasi Budaya dalam rangka dukungannya pada ratifikasi Konvensi PBB 1990.
Berikut adalah naskah Orasi yang di sampaikan Oleh Rieke Diah "ONENG" Pitaloka, Orasi budaya ini dengan menggunakan judul : RATIFIKASI KONVENSI TENTANG PERLINDUNGAN HAK SEMUA PEKERJA MIGRAN DAN ANGGOTA KELUARGANYA. Selamat membaca...........
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
RATIFIKASI KONVENSI TENTANG PERLINDUNGAN HAK SEMUA PEKERJA MIGRAN
DAN ANGGOTA KELUARGANYA!
Orasi Budaya, disampaikan di Komnas Perempuan, 12 Oktober 2009 dalam rangka dukungan pada Ratifikasi Konvensi PBB 1990
Jauh sebelum standar hukum yang telah ditetapkan dalam mengatur perlindungan HAM, sebagai manusia yang dilahirkan untuk bisa saling berbagi dan saling melindungi, kita sepakat bahwa penghilangan segala bentuk hak yang melekat pada seseorang adalah sebuah kejahatan terhadap kedaulatan manusia. Hari ini, berapa puluh kali kita menjadi saksi betapa penghilangan hak-hak pekerja migran menjadi santapan tak terelakan lagi. Fenomena itu sungguh teramat ironis mengingat bahwa Indonesia merupakan salah satu negara pengirim pekerja migran terbesar di dunia, dan sudah barang tentu, memberikan manfaat finansial bagi negara. Pada tahun 2008 misalnya, diperkirakan terdapat lebih dari 200 juta pekerja migrant di dunia, dimana 6 juta dari jumlah tersebut berasal dari Indonesia dengan rincian 80% nya adalah perempuan dan 70% dari jumlah tersebut bekerja sebagai PRT (SP 2009).
Dengan melihat besarnya populasi TKI, tentunya memiliki keuntungan tersendiri bagi negara, bagaimana tidak, pada tahun 2006, pekerja migran berkontribusi memberikan keuntungan pada negara sebesar Rp. 55,8 Trilyun. Lebih mencengangkan lagi, nilainya meningkat tajam pada 2008 dengan memberikan keuntungan pada negara sebesar Rp. 82,4 Trilyun.(Data BI)
Berbicara masalah finansial dalam ruang lingkup pekerja migran Indonesia memang sangat menggiurkan. Namun,l jika kita melihatnya dari kehidupan para pekerja migran, justru berada pada posisi sebaliknya.Persoalan-persoalan yang menimpa saudara-saudara kita yang menjadi buruh migran seperti tiada habis-habisnya. Dari persoalan yang sangat teknis hingga tindak kekerasan fisik, phsikis, dan ekonomi. Bukan cerita baru kita mendengar, membaca, menyaksikan duka yang tertancap pada perempuan-perempuan yang berniat membantu perekonomian keluarganya, yang berarti juga membantu pemerintah dalam mengatasi keterpurukan ekonomi, berakhir dengan kisah tragis. Tak sedikit dari mereka disiksa, diperkosa, bahkan pulang tak bernyawa, bahkan ada yang tak pernah pulang tanpa ada kabar berita. Duka tidak hanya bagi para korban, tapi juga keluarganya. Duka yang menyengat para pejuang-pejuang kemanusiaan, yang seharusnya juga menggugah hati para pemimpin bangsa. Mereka yang kita anggap sebagai representasi dari negara.
Konstitusi Negara Republik Indonesia sesungguhnya secara transparan mengakui, menghormati dan memperjuangkan keberlangsungan Hak-Hak Asasi Manusia. Dalam Pembukaan UUD 1945 “... penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.” Kemudian pada pasal 28A dinyatakan, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Dipertegas dalam pasal 28B hingga 28H, dan pada 28I yang mengatakan,”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak utk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, ...adalah hak azasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
Pertanyaannya siapa yang akan melindungi hak-hak warga negara tersebut? Secara gamblang dalam pembukaan UUD 1945 dikatakan “....Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.....” Kita perlu mengaris bawahi kata melindungi, yang harus dilindungi adalah segenap bangsa Indonesia, dimana pun mereka berada, apapun profesi mereka, termasuk saudara-saudara kita yang menjadi buruh migran, harus dilindungi oleh negara! Perangkat hukum yang dikeluarkan oleh negara, tentu saja menjadi alat yang semestinya mampu memberikan perlindungan untuk mencapai cita-cita kemerdekaan bangsa ini.
Dalam konteks perangkat hukum terkait persoalan buruh migran, diakui atau tidak, dengan semakin banyak kasus kekerasan yang menimpa para buruh migran, secara tegas saya katakan dalam forum ini. Perangkat hukum negara Republik Indonesia belum, bahkan sebagian justru tidak melindungi buruh migran, bahkan ketika mereka masih berada di dalam negeri! Tengok saja UU no 39 tahun 2004, banyak persoalan-persoalan yang tidak terselesaikan. Dalam arti kata kita memang butuh perangkat hukum, payung hukum lain, agar perlindungan yang diberikan bisa maksimal. Kebutuhan kita akan perangkat hukum tersebut sebetulnya bisa terpenuhi jika pemerintah segera meratifikasi Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Konvensi ini memang sudah ditandatangani pemerintah Indonesia yang direncanakan akan disahkan pada tahun ketiga RANHAM Indonesia 1998-2003. Lalu dicantumkan lagi sebagai salah satu dari dua belas instrumen HAM, yang dijanjikan akan disahkan pada RANHAM Indonesia 2004-2009. Tapi, disisa dua bulan terakhir 2009 ini, jangankan pengesahan, prosesnya pun belum juga dimulai oleh pemerintah. Di sisi lain, kita justru dikejutkan dengan penolakan pemerintah yang disampaikan melalui Menakertrans, adalah sebuah kemunduran yang patut kita pertanyakan.
Argumen-argumen penolakan yang dikemukakan pemerintah terkesan mengada-ngada dan justru memperlihatkan sikap yang asal-asalan dalam melihat fenomena kasus-kasus kemanusiaan yang menimpa para buruh migran kita. Saya secara justru menilai penolakan ini karena paradigma berfikir sebagian besar petinggi negara dalam melihat persoalan buruh migran hanya dalam kaca mata tata niaga, untung rugi seperti dalam neraca perdagangan. Buruh migran diakui karena devisa semata, sebatas angka, bukan sebagai manusia yang juga punya hak yang harus dilindungi oleh negara.
Diratifikasinya konvensi Pekerja Migran 1990, sejujurnya akan memperlihatkan pada mata dunia bahwa bangsa ini bersungguh-sungguh dalam melindungi dan memperjuangkan hak-hak azasi manusia. Pasal 1 ayat 2 konvensi ini menetapkan bahwa konvensi berlaku bagi seluruh proses migrasi pekerja migran dan keluarganya yang meliputi: persiapan migrasi, keberangkatan, transit, keseluruhan masa tinggal dan kegiatan yang berupah di negara tempat bekerja, dan kembali (mereka) ke negara asal atau negara dimana (mereka) biasanya bertempat tinggal.”
Adanya alasan bahwa konvensi ini akan membuka pintu seluas-luasnya bagi tenaga asing untuk menguasai berbagai lapangan pekerjaan di Indonesia dapat kita sanggah apabila kita kaji secara seksama konvensi pasal 79, pasal 26 ayat 2, pasal 39 ayat 2, pasal 40 ayat 2, Negara Republik Indonesia tetap berwenang melakukan pembatasan hak tertentu bagi pekerja yang berada di Indonesia berdasarkan alasan keamanan nasional, ketertiban umum, atau perlindungan hak dan kebebasan orang lain.
Kita tentu berharap bahwa pemerintah yang baru kelak memberikan ketegasan sikap untuk meratifikasi konvensi Pekerja Migran 1990. Memang konvensi ini bukan perjanjian internasional mengenai kerjasama ekonomi, teknik, keuangan atau sejenisnya. Memang keuntungan yang diperoleh dengan meratifikasi ini tidak menitikberatkan pada sisi keuntungan materiil. Konvensi Pekerja Migran 1990 adalah instrumen HAM internasional. Penting artinya bagi penghormatan, perlindungan, penegakan, dan pemenuhan HAM di tataran nasional. Penting artinya bagi negara dan bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia dalam hubungan internasional.
Penting artinya sebagai bukti keseriusan pemerintah yang bersetia terhadap konstitusi, pemerintah yang bersetia pada Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah yang menjalankan amanat UUD 1945, kembali saya ulangi diakhir penyampaian sikap saya dalam mendukung disahkannya Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota keluarganya. Ratifikasi konvensi tersebut adalah bukti nyata Pemerintah negara Indonesia memang secara bersungguh-sungguh bekerja untuk:
• Melindungi segenap bangsa bangsa Indonesia,
• Melindungi seluruh tumpah darah Indonesia,
• Memajukan kesejahteraan umum,
• Mencerdaskan kehidupan bangsa
Akhir kata, saya, Rieke Diah Pitaloka, Duta Buruh Migran Indonesia, mengajak saudara-saudara yang hadir disini untuk merapatkan barisan, bergandeng tangan untuk perjuangan kemanusian, mendesak pemerintah untuk segera merativikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.
We walk hand in hand
We walk hand in hand
We walk han in hand today
How deep in my heart I do belive
We walk hand in hand today
Jakarta, 12 0ktober 2009
RIEKE DIAH PITALOKA
Duta Buruh Migran Indonesia