Keliru Pakai Undang-Undang “PHK” Guru LIA
Hakim Terapkan UU Guru dan Dosen kepada pengajar LIA. Padahal,UU Guru dan Dosen hanya berlaku bagi tenaga pendidikan yang bekerja di sektor ...
https://www.infogsbi.or.id/2009/11/keliru-pakai-undang-undang-phk-guru-lia.html
Hakim Terapkan UU Guru dan Dosen kepada pengajar LIA. Padahal,UU Guru dan Dosen hanya berlaku bagi tenaga pendidikan yang bekerja di sektor formal.“Kacau” teriak Suparman, Ketua Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) di Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta, Selasa ( 14/4 ). Guru sebuah SMA Negeri di Jakarta ini terheran-heran dengan keputusan hakim.“ kok Hakim memakai Undang-Undang Guru dan Dosen dalam kasus ini?”
Suparman memang mengaku kecewa. Namun yang merasa didzolimin, atas putusan hakim ini adalah Stephanus Haris Winarto. pasalnya yang bersengketa di PHI Jakarta ini bukan Suparman, melainkan Stephanus Haris Winarto, Haris demikian di sapa, menggugat Yayasan LIA, sebuah lembaga pendidikan non-formal yang fokus dalam bahasa asing.
Haris bekerja sebagai guru bahasa Inggris di Yayasan LIA sejak Juni 2001. Saat kontraknya berakhir Desember 2006, Yayasan tak mau memperpanjangnya. Haris meradang. Ia pun menggugat yayasan untuk mempekerjakannya kembali sebagai pekerja tetap. Bukan lagi pekerja Kontrak.
Haris tak asal tuntut.. Ia punya “senjata” Surat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tertanggal 15 mei 2001 yang menolak permohonan ijin penyimpangan pelaksanaan sistem kerja kontrak yang di ajukan Ketua Dewan Pengurus Yayasan LIA. selain menuntut dipekerjakan kembali, didalam gugatannya Haris juga menuntut haknya berupa sisa upah, Tunjangan Hari Raya (2007 dan 2008), bonus tahunan 2007 dan 2008, tunjangan kesejahteraan, biaya obat dan perawatan dan biaya berobat jalan. totalnya mencapai 66,6 juta.
Sayangnya, majelis hakim yang diketuai Lexsi Mamonto-beranggotakan Sri Razziaty Ischaya dan Saut C Manalu-punya senjata lain untuk menolak gugatan Haris, yaitu UUGuru dan Dosen No. 14 tahun 2005
Dalam pertimbangan hukumnya, hakim menemukan fakta haris bekerja sebagai pekerja kontrak selama 5 tahun. dalam surat tugas Haris, hakim juga menemukan fakta bahwa jam kerja Haris kurang dari 20 jam tiap pekan.
Hakim menyitir ketentuan Pasal 35 ayat 2 UU Guru dan Dosen yang menyatakan beban kerja guru adalah sekurang-kurangnya 24 jam dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka dalam 1 minggu. Lantaran jam kerja Haris tak sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat 2 UU Guru dan Dosen, hakim menganggap pekerjaan yang dilakoni Haris bukanlah pekerjaan yang bersifat tetap. Sehingga tergugat (Yayasan LIA, red) dimungkinkan untuk mempekerjakan penggugat (Haris) sebagai pekerja tidak tetap, urai hakim Saut saat membacakan putusan. dengan kata lain hakim mengakui sistem kerja kontrak kepada pengajar LIA, khususnya Haris
Alhasil ketika kontrak berakhir pada Desember 2006, hakim menganggap hubungan kerja haris dengan yayasan telah berakhir. sehingga penggugat tidak memiliki alasan hukum menuntut untuk dipekerjakan kembali danjuga meminta hak-haknya pada 2007 dan 2008, simpul hakim. hakim menyimpulkan, oleh karenanya sangat beralasan untuk menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya.
Ditemui usai persidangan Haris menyesalkan tindakan hakim yang menggunakan UU Guru dan Dosen untuk mengadili perkaranya. sangat tidak tepat kalau hakim menggunakan UU Guru dan Dosen, katanya.
Suparman, Ketua FGII yang sengaja hadir ke persidangan menimpali “UU Guru dan Dosen itu diberlakukan untuk pendidikan formal seperti SD, SMP, SMA dan Perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. bukan untuk pendidikan non formal seperti di yayasan LIA, hakim keliru besar
Berdasarkan penelusuran hukumonline, UU Guru dan Dosen sudah menyebutkan secara gamblang bahwa guru adalah pendidik profesional pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. ketentuan ini tertuang dalam Pasal 1 angka 1 UU Guru dan Dosen
Pasal 1 angka 5 UU Guru dan Dosen lebih tegas lagi dengan menyatakan penyelenggara pendidikan adalah pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan formal
Lampaui Kewenangan?
Saya heran hakim kok memaksakan menggunakan UU Guru dan Dosen. padahal saya maupun tergugat sama sekali tak menyinggung Undang-Undang itu didalam berkas kami masing-masing, Hagus bingung
Terobosan hakim dalam menerapkan suatu undang-undang yang sama sekali tak didalilkan para pihak di persidangan sebenarnya bukan perbuatan haram. setidaknya demikian pandangan pengajar hukum acara perdata Universitas Indonesia, Yoni A Setyono. Prinsipnya ius curia novit, artinya hakim dianggap tahu hukum, kata dia lewat telepon
Namun begitu, secara pribadi Yoni menyatakan UU Guru dan Dosen sebenarnya memang diberlakukan untuk pendidikan jalur formal. hakim juga manusia, kadang bisa khilaf. kalau ada yang tak puas dengan penerapan hukum oleh hakim, silakan diuji di pengadilan tingkat banding, sarannya
Seolah mengetahui saran Yoni, Haris mantap mengajukan upaya hukum kasasi atas putusan ini. mungkin saya juga akan melapor ke Komisi Yudisial atau Badan Pengawasan Mahkamah Agung atas perilaku hakim yang menggunakan undang-undang yang keliru dalam memutus perkara ini (ISM/SI/sumber www.hukumonline.com)
Suparman memang mengaku kecewa. Namun yang merasa didzolimin, atas putusan hakim ini adalah Stephanus Haris Winarto. pasalnya yang bersengketa di PHI Jakarta ini bukan Suparman, melainkan Stephanus Haris Winarto, Haris demikian di sapa, menggugat Yayasan LIA, sebuah lembaga pendidikan non-formal yang fokus dalam bahasa asing.
Haris bekerja sebagai guru bahasa Inggris di Yayasan LIA sejak Juni 2001. Saat kontraknya berakhir Desember 2006, Yayasan tak mau memperpanjangnya. Haris meradang. Ia pun menggugat yayasan untuk mempekerjakannya kembali sebagai pekerja tetap. Bukan lagi pekerja Kontrak.
Haris tak asal tuntut.. Ia punya “senjata” Surat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tertanggal 15 mei 2001 yang menolak permohonan ijin penyimpangan pelaksanaan sistem kerja kontrak yang di ajukan Ketua Dewan Pengurus Yayasan LIA. selain menuntut dipekerjakan kembali, didalam gugatannya Haris juga menuntut haknya berupa sisa upah, Tunjangan Hari Raya (2007 dan 2008), bonus tahunan 2007 dan 2008, tunjangan kesejahteraan, biaya obat dan perawatan dan biaya berobat jalan. totalnya mencapai 66,6 juta.
Sayangnya, majelis hakim yang diketuai Lexsi Mamonto-beranggotakan Sri Razziaty Ischaya dan Saut C Manalu-punya senjata lain untuk menolak gugatan Haris, yaitu UUGuru dan Dosen No. 14 tahun 2005
Dalam pertimbangan hukumnya, hakim menemukan fakta haris bekerja sebagai pekerja kontrak selama 5 tahun. dalam surat tugas Haris, hakim juga menemukan fakta bahwa jam kerja Haris kurang dari 20 jam tiap pekan.
Hakim menyitir ketentuan Pasal 35 ayat 2 UU Guru dan Dosen yang menyatakan beban kerja guru adalah sekurang-kurangnya 24 jam dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka dalam 1 minggu. Lantaran jam kerja Haris tak sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat 2 UU Guru dan Dosen, hakim menganggap pekerjaan yang dilakoni Haris bukanlah pekerjaan yang bersifat tetap. Sehingga tergugat (Yayasan LIA, red) dimungkinkan untuk mempekerjakan penggugat (Haris) sebagai pekerja tidak tetap, urai hakim Saut saat membacakan putusan. dengan kata lain hakim mengakui sistem kerja kontrak kepada pengajar LIA, khususnya Haris
Alhasil ketika kontrak berakhir pada Desember 2006, hakim menganggap hubungan kerja haris dengan yayasan telah berakhir. sehingga penggugat tidak memiliki alasan hukum menuntut untuk dipekerjakan kembali danjuga meminta hak-haknya pada 2007 dan 2008, simpul hakim. hakim menyimpulkan, oleh karenanya sangat beralasan untuk menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya.
Ditemui usai persidangan Haris menyesalkan tindakan hakim yang menggunakan UU Guru dan Dosen untuk mengadili perkaranya. sangat tidak tepat kalau hakim menggunakan UU Guru dan Dosen, katanya.
Suparman, Ketua FGII yang sengaja hadir ke persidangan menimpali “UU Guru dan Dosen itu diberlakukan untuk pendidikan formal seperti SD, SMP, SMA dan Perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. bukan untuk pendidikan non formal seperti di yayasan LIA, hakim keliru besar
Berdasarkan penelusuran hukumonline, UU Guru dan Dosen sudah menyebutkan secara gamblang bahwa guru adalah pendidik profesional pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. ketentuan ini tertuang dalam Pasal 1 angka 1 UU Guru dan Dosen
Pasal 1 angka 5 UU Guru dan Dosen lebih tegas lagi dengan menyatakan penyelenggara pendidikan adalah pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan formal
Lampaui Kewenangan?
Saya heran hakim kok memaksakan menggunakan UU Guru dan Dosen. padahal saya maupun tergugat sama sekali tak menyinggung Undang-Undang itu didalam berkas kami masing-masing, Hagus bingung
Terobosan hakim dalam menerapkan suatu undang-undang yang sama sekali tak didalilkan para pihak di persidangan sebenarnya bukan perbuatan haram. setidaknya demikian pandangan pengajar hukum acara perdata Universitas Indonesia, Yoni A Setyono. Prinsipnya ius curia novit, artinya hakim dianggap tahu hukum, kata dia lewat telepon
Namun begitu, secara pribadi Yoni menyatakan UU Guru dan Dosen sebenarnya memang diberlakukan untuk pendidikan jalur formal. hakim juga manusia, kadang bisa khilaf. kalau ada yang tak puas dengan penerapan hukum oleh hakim, silakan diuji di pengadilan tingkat banding, sarannya
Seolah mengetahui saran Yoni, Haris mantap mengajukan upaya hukum kasasi atas putusan ini. mungkin saya juga akan melapor ke Komisi Yudisial atau Badan Pengawasan Mahkamah Agung atas perilaku hakim yang menggunakan undang-undang yang keliru dalam memutus perkara ini (ISM/SI/sumber www.hukumonline.com)