PRT dan Pemahaman Publik yang Dangkal
Oleh : Aliyah Purwati (Zando Aurelia) B eberapa waktu yang lalu seorang kawan di Facebook mengajakku ngobrol. Dia bertanya banyak tentang a...
https://www.infogsbi.or.id/2009/12/prt-dan-pemahaman-publik-yang-dangkal.html
Oleh :Aliyah Purwati (Zando Aurelia)
Beberapa waktu yang lalu seorang kawan di Facebook mengajakku ngobrol. Dia bertanya banyak tentang aku. Dari mulai profesiku, pendidikanku sampai latar belakangku. Sebelumnya sudah aku katakan berkali-kali bahwa aku seorang buruh migran Indonesia (BMI) di Hong Kong, atau orang biasa menyebutnya Tenaga Kerja Wanita (TKW) atau yang lebih lazim adalah pembantu rumah tangga (PRT). Aku katakan juga bahwa pendidikanku sebatas Sekolah Menengah Atas (SMA). Namun dia tidak percaya dan selalu mengulangi pertanyaan yang sama.
“Masak cantik-cantik kamu mau jadi pembantu? Dan mana mungkin seorang pembantu bisa berfikir cerdas, bisa menggunakan computer dan selalu saja tahu tentang perkembangan isu-isu yang terjadi di negara kita?,” kira-kira begitu rentetan pertanyaan yang diajukan kawanku kepadaku waktu itu. Dan bukan hanya seorang dua orang saja yang bertanya seperti itu padaku. Dan aku yakin kawan-kawan BMI lainya pasti juga sering mengalami hal serupa.
Apa sih yang salah? Dan kenapa orang menjadi heran ketika melihat seorang PRT menenteng laptop ke sana kemari, keluar masuk perpustakaan membaca buku, mengasilkan tulisan, karya sastra bahkan sebuah buku, serta berbicara mengenai politik.
Bukan hanya orang awam saja yang seperti itu. Aku sering ketika dulu menghadiri acara-acara organisasi BMI di Hong Kong dan bertemu dengan banyak artis, penilaian mereka juga masih sama. Bahwa BMI masih dianggap sebagai manusia yang tidak tahu apa-apa, dan selama ini hanya berorientasi pada pekerjaan dengan majikan saja.
Dari situ aku kembali mengingat kisahku beberapa tahun lalu di rumah majikanku yang lama. Awalnya aku hanya diberi libur dua kali dalam sebulan. Sedangkan yang dua kali aku harus tetap bekerja dan tanpa kompensasi pula. Itu jauh sebelum aku mengenal organisasi serta hukum perburuhan di Hong Kong. Setelah aku tahu bahwa di Hong Kong semua PRT asing diberi kebebasan untuk berserikat dan berkumpul, aku pun bergabung dan aktif di serikat buruh. Aku mulai tahu bahwa di Hong Kong ada hukum perburuhan yang jelas, dari mulai gaji, hari libur, cuti dan sebagainya. Dan aku sadar bahwa hakku selama ini telah dirampas oleh agen dan majikan. Aku pun menanyakan semua hak liburku yang selama ini hanya diberikan sebagian padaku.
Majikanku waktu itu mulai bertanya apa kegiatanku saat libur, dan aku bicara apa adanya kepada mereka. Mereka sempat kaget, dan aku bisa mengambil kesimpulan mengapa selama ini agen dan majikan berkonspirasi untuk melanggar aturan hukum di Hong Kong termasuk tentang pemberian hak libur. Intinya mereka tidak mau PRT tahu dunia luar, berorganisasi kemudian menjadi cerdas, pintar sehingga tidak mudah untuk mereka bodohi lagi. Bahkan waktu itu majikanku sempat membatasi tempat yang bisa aku kunjungi saat libur, seperti hanya nongkrong saja di agen. Tapi aku tolak mentah-mentah waktu itu, karena aku juga punya hak sendiri untuk menentukan aktifitas selama libur asalkan itu adalah sesuatu yang positif. Aku sempat emosi waktu itu karena ternyata aku tak lebih dianggap sebagai”robot” yang bisa diatur ke sana kemari seperti yang mereka mau.
Namun yang lebih ironis lagi adalah kondisi PRT di negara-negara tujuan migran lainya serta PRT di negara kita sendiri. Mereka tidak mempunyai hukum perburuhan yang jelas. Dari mulai gaji, hari libur, jam kerja dan sebagainya. Sementara pemerintah kita hingga saat ini tidak bisa memberikan perlindungan yang maksimal.
Terlebih PRT di Indonesia, mereka masih belum diakui sebagai pekerja dan mereka menjadi strata yang sangat marjinal serta benar-benar diperlakukan sebagai”abdi”.
Makanya banyak orang yang datang ke HK dan selalu bilang “ wah, babu di sini keren-keren ya?”. Apakah kita mesti marah ketika mendengar pernyataan tersebut? Kalau tersinggung tentu saja iya. Tapi satu sisi kita mesti memaklumi kawan. Karena pemahaman mereka tentang PRT masih sangat dangkal.
Hong Kong, 28 Desember 2008
Penulis adalah BMI di Hong Kong
Beberapa waktu yang lalu seorang kawan di Facebook mengajakku ngobrol. Dia bertanya banyak tentang aku. Dari mulai profesiku, pendidikanku sampai latar belakangku. Sebelumnya sudah aku katakan berkali-kali bahwa aku seorang buruh migran Indonesia (BMI) di Hong Kong, atau orang biasa menyebutnya Tenaga Kerja Wanita (TKW) atau yang lebih lazim adalah pembantu rumah tangga (PRT). Aku katakan juga bahwa pendidikanku sebatas Sekolah Menengah Atas (SMA). Namun dia tidak percaya dan selalu mengulangi pertanyaan yang sama.
“Masak cantik-cantik kamu mau jadi pembantu? Dan mana mungkin seorang pembantu bisa berfikir cerdas, bisa menggunakan computer dan selalu saja tahu tentang perkembangan isu-isu yang terjadi di negara kita?,” kira-kira begitu rentetan pertanyaan yang diajukan kawanku kepadaku waktu itu. Dan bukan hanya seorang dua orang saja yang bertanya seperti itu padaku. Dan aku yakin kawan-kawan BMI lainya pasti juga sering mengalami hal serupa.
Apa sih yang salah? Dan kenapa orang menjadi heran ketika melihat seorang PRT menenteng laptop ke sana kemari, keluar masuk perpustakaan membaca buku, mengasilkan tulisan, karya sastra bahkan sebuah buku, serta berbicara mengenai politik.
Bukan hanya orang awam saja yang seperti itu. Aku sering ketika dulu menghadiri acara-acara organisasi BMI di Hong Kong dan bertemu dengan banyak artis, penilaian mereka juga masih sama. Bahwa BMI masih dianggap sebagai manusia yang tidak tahu apa-apa, dan selama ini hanya berorientasi pada pekerjaan dengan majikan saja.
Dari situ aku kembali mengingat kisahku beberapa tahun lalu di rumah majikanku yang lama. Awalnya aku hanya diberi libur dua kali dalam sebulan. Sedangkan yang dua kali aku harus tetap bekerja dan tanpa kompensasi pula. Itu jauh sebelum aku mengenal organisasi serta hukum perburuhan di Hong Kong. Setelah aku tahu bahwa di Hong Kong semua PRT asing diberi kebebasan untuk berserikat dan berkumpul, aku pun bergabung dan aktif di serikat buruh. Aku mulai tahu bahwa di Hong Kong ada hukum perburuhan yang jelas, dari mulai gaji, hari libur, cuti dan sebagainya. Dan aku sadar bahwa hakku selama ini telah dirampas oleh agen dan majikan. Aku pun menanyakan semua hak liburku yang selama ini hanya diberikan sebagian padaku.
Majikanku waktu itu mulai bertanya apa kegiatanku saat libur, dan aku bicara apa adanya kepada mereka. Mereka sempat kaget, dan aku bisa mengambil kesimpulan mengapa selama ini agen dan majikan berkonspirasi untuk melanggar aturan hukum di Hong Kong termasuk tentang pemberian hak libur. Intinya mereka tidak mau PRT tahu dunia luar, berorganisasi kemudian menjadi cerdas, pintar sehingga tidak mudah untuk mereka bodohi lagi. Bahkan waktu itu majikanku sempat membatasi tempat yang bisa aku kunjungi saat libur, seperti hanya nongkrong saja di agen. Tapi aku tolak mentah-mentah waktu itu, karena aku juga punya hak sendiri untuk menentukan aktifitas selama libur asalkan itu adalah sesuatu yang positif. Aku sempat emosi waktu itu karena ternyata aku tak lebih dianggap sebagai”robot” yang bisa diatur ke sana kemari seperti yang mereka mau.
Namun yang lebih ironis lagi adalah kondisi PRT di negara-negara tujuan migran lainya serta PRT di negara kita sendiri. Mereka tidak mempunyai hukum perburuhan yang jelas. Dari mulai gaji, hari libur, jam kerja dan sebagainya. Sementara pemerintah kita hingga saat ini tidak bisa memberikan perlindungan yang maksimal.
Terlebih PRT di Indonesia, mereka masih belum diakui sebagai pekerja dan mereka menjadi strata yang sangat marjinal serta benar-benar diperlakukan sebagai”abdi”.
Makanya banyak orang yang datang ke HK dan selalu bilang “ wah, babu di sini keren-keren ya?”. Apakah kita mesti marah ketika mendengar pernyataan tersebut? Kalau tersinggung tentu saja iya. Tapi satu sisi kita mesti memaklumi kawan. Karena pemahaman mereka tentang PRT masih sangat dangkal.
Hong Kong, 28 Desember 2008
Penulis adalah BMI di Hong Kong