PANDANGAN PENDIRIAN DAN SIKAP POLITIK GABUNGAN SERIKAT BURUH INDEPENDEN TENTANG KENAIKAN UMK/UMP 2010
Salam Perjuangan!!! GSBI berpandangan bahwa Krisis Umum Imperialisme akibat dari terjadinya Over Produksi terutama barang-barang bertehnolo...
https://www.infogsbi.or.id/2010/01/pandangan-pendirian-dan-sikap-politik.html?m=0
Salam Perjuangan!!!
GSBI berpandangan bahwa Krisis Umum Imperialisme akibat dari terjadinya Over Produksi terutama barang-barang bertehnologi tinggi dan persenjataan militer akan terus berlangsung dan akan semakin memburuk dan kronis, situasi ini tentu akan berdampak pada perekonomian bangsa Indonesia, sebab Indonesia adalah merupakan bagian utuh didalam arus pusarannya. Artinya sudah menjadi satu keniscayaan karena negara Indonesia sampai saat ini adalah merupakan negeri setengah jajahan dan setengah feodal, negeri yang masih terbelakang dan tergantung dengan negara-negara maju Imperialis. Untuk mengatasi krisis ekonomi, Imperialisme telah memindahkan beban krisis kepada rakyat tertindas dan terhisap di negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan seperti Indonesia. Mereka dengan berkedok membangun kerja sama baik bilateral maupun multilateral telah dapat memaksakan negara-negara tergantung dan terbelakang agar bersedia menanggung beban krisis yang mereka hadapi.
Rezim yang berkuasa hari ini Susilo Bambang Yudoyono (SBY) seolah tidak berdaya akibat beban krisis, justru memberikan beban yang lebih berlipat-lipat ganda kepada kaum buruh dan seluruh rakyat Indonesia. Di sektor buruh, atas nama krisis, klas buruh diharuskan berkorban untuk menekan kenaikan upahnya serendah mungkin. Permintaan yang bersifat memaksa itupun di legalisasi oleh pemerintah dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri pada bulan Oktober 2008 tentang “Pemeliharaan Momentum Pertumbuhan Ekonomi Nasional Dalam Mengantisipasi Perkembangan Perekonomian Global”, yang salah satu isinya mengatur agar “kenaikan upah minimum klas buruh tidak boleh melebihi dari angka pertumbuhan ekonomi nasional”. Sedangkan, angka pertumbuhan ekonomi nasional berada dibawah angka inflasi (terlebih didalam situasi krisis). Artinya, kenaikan upah buruh harus dibawah rata-rata angka inflasi.
GSBI berpandangan bahwa Indonesia adalah merupakan negeri setengah jajahan-setengah feodal, tentu saja fungsi upah minimum memiliki perbedaan dengan negeri imperialisme yang menjadi tuannya. Negeri Indonesia merupakan sumber utama dari super-laba (super-profit) yang dihisap dan dikeruk oleh imperialisme. Mereka adalah sumber tenaga kerja murah serta penyedia bahan baku murah namun berlimpah. Kaum buruh dan rakyat di Indonesia, bukanlah tujuan pasar utama dari barang dagangan milik para kapitalis monopoli. Tetapi kaum buruh dan rakyat tertindas di negeri Indonesia, hanya merupakan penampung terbesar dari berbagai barang dagangan yang tidak terserap (terjual) di pasar imperialisme akibat dari over-produksi. Maka, fungsi upah minimum di negeri jajahan dan negeri setengah-jajahan bukanlah sebagai ukuran dari daya beli (konsumsi) apalagi perlindungan bagi kaum buruh. Konsep upah minimum di Indonesia hanyalah berfungsi untuk mempertahankan Politik Upah Murah. Karena itulah, mengapa di negeri Indonesia, level upahnya sangat jauh dibawah upah kaum buruh di negeri imperialisme. Sehingga, perbedaan ini akan terus berlangsung, sepanjang Indonesia tetap berada dibawah dominasi Imperialisme secara ekonomi maupun politik. Khususnya di negeri Indonesia, seluruh proses diatas dapat berjalan dengan sangat lancar, karena dibantu oleh rezim boneka sebagai penguasa dalam negeri yang menjadi kaki-tangan imperialisme, serta merupakan penyokong utama dari sistem Setengah Jajahan-Setengah Feodal.
GSBI telah membuktikan bahwa Politik Upah Murah tetap dipertahankan sejak masa kolonialisme Belanda hingga sekarang, bahkan pada pereode-pereode mendatang Politik Upah Murah akan tetus berlangsung selama sistem Setengah Jajahan-Setengah Feodal tetap dipertahankan. Beberapa bukti nyata tersebut diantaranya adalah:
Pertama; Upah Minimum Hanya Ditujukan Bagi Buruh Lajang, Dasar penetapan upah minimum di Indonesia adalah Kebutuhan Hidup Layak, yang nilainya diperoleh melalui Survei Harga. Secara normatif, yang dimaksud dengan Hidup Layak adalah standar kebutuhan hidup seorang buruh baik secara fisik, non-fisik, maupun sosial untuk satu bulan. Namun pada kenyataannya kebutuhan hidup yang menjadi dasar dari survei harga itu, hanya ditentukan berdasarkan pada Kebutuhan Hidup Buruh Lajang. Artinya, kebutuhan hidup bagi para buruh yang berkeluarga, tentu saja tidak akan pernah masuk dalam hitungan (untuk kebutuhan makan keluarga sajapun tak masuk hitungan, apalagi bagi pendidikan anak). Istilah layak telah dimanipulasi sedemikian rupa sehingga seolah-olah rezim hari ini telah memberikan satu perhatian terhadap upah kaum buruh, akan semakin terang apabila melihat pada Daftar Barang dan Jasa yang menjadi panduan survei. Ia diatur dalam Lampiran Permenaker No. 17 Thn. 2005 tentang “Komponen Kebutuhan Hidup Layak Untuk Pekerja Lajang”.
Kedua; “Kebutuhan Hidup Layak” adalah merupakan ilusi semata, Tahun 2005, pada saat rezim SBY jilid-I, melalui Permenaker No. 17 Thn. 2005 tentang “Komponen Kebutuhan Hidup Layak Untuk Pekerja Lajang”, pemerintah mengubah standar kebutuhan yang menjadi dasar dalam penetapan upah minimum, yaitu dari Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) menjadi Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Perbedaan yang utama, ada penambahan 3 komponen dari 43 komponen yang diatur dalam KHM menjadi 46 komponen didalam KHL. Namun, sesuatu yang tidak pernah berubah (baik KHM maupun KHL) adalah dasar penghitungannya tetap saja Buruh Lajang. Dengan Dasar Pengertian dan Fungsi Upah Minimum maka istilah KHL terlihat secara jelas sisi manipulatifnya. Sebab, upah minimum sifatnya adalah jaring pengaman. Ia (seharusnya) merupakan bentuk perlindungan kepada Kaum buruh, yang upahnya sangat rentan berhadapan dengan pasar tenaga kerja serta inflasi (kenaikan rata-rata harga barang dan jasa). Maka, pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang meliputi kebutuhan fisik, non-fisik, maupun sosial, haruslah dijamin oleh pemerintah sebagai standar kualitas hidup klas buruh. Ukuran dari standar kebutuhan hidup itulah yang telah di manipulasi. Karena pada kenyataannya, jangankan kebutuhan sosial klas buruh (dengan dasar penghitungan buruh lajang), kebutuhan fisik dan non-fisik klas buruh pun tidak terpenuhi didalam penghitungan KHL. Maka dapat kita simpulkan bahwa UMK/UMP yang di hitung berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak, adalah merupakan penipuan.
Ketiga; tentang pelaksanaan Survei Harga. Survei yang menjadi dasar penetapan KHL, dilakukan pada saat situasi harga dan pasokan masih stabil, yaitu di sekitar pertengahan tahun. Tetapi, lonjakan kenaikan harga secara umum malahan terjadi di penghujung tahun. Hal itulah yang menjadi selubung dari dasar alasan mengapa Upah Minimum Provinsi selambat-lambatnya harus ditetapkan 60 hari sebelum tanggal berlakunya upah minimum (yaitu setiap tanggal 1 Januari) dan upah minimum Kota/Kabupaten adalah 40 hari sebelumnya. Penentuan waktu survei itu, secara gamblang menggambarkan bahwa berapapun kenaikan upah minimum klas buruh tentunya akan terlibas dengan laju inflasi. Begitu juga dengan tempat survei yang dipilih di pasar-pasar induk atau tradisional, yang tentu saja harganya akan jauh lebih rendah dari harga di tingkat retail, dimana rantai perdagangannya masih pendek. Padahal kenyataannya kaum buruh selama ini berbelanja barang di toko-toko kelontong serta di warung-warung yang berada di sekitar tempat tinggalnya! Dimana harganya sudah jauh melambung disebabkan panjangnya rantai perdagangan. Artinya, dengan dasar komponen barang survei yang terbatas dan itupun kuantitas serta kualitasnya rendah, penentuan waktu serta tempat survei semakin menenggelamkan hasil dari nilai KHL yang akan dicapai.
Keempat; Tentang Dasar Penetapan Upah Minimum, Situasinya semakin bertambah jelas, ketika KHL serta Survei yang sudah sangat bermasalah diatas ternyata hanya digunakan sebagai Salah Satu Bahan Pertimbangan dalam penetapan upah minimum. Sebab, secara normatif ada pertimbangan lainnya dalam penetapan upah minimum, yaitu : Produktivitas (hasil perbandingan antara jumlah Produk Domestik Regional Bruto [PDRB] dengan jumlah tenaga kerja pada periode yang sama); Pertumbuhan Ekonomi (merupakan pertumbuhan nilai PDRB), serta Usaha Yang Paling Tidak Mampu (marjinal). Tentu saja hal ini merupakan kekejian tersendiri yang secara vulgar menghancurkan dasar pengertian dari upah minimum.
Kelima; Persoalan lainnya didalam penentuan upah adalah tentang Konspirasi Jahat Dibalik Penetapan Upah Minimum di Dewan Pengupahan, karena meskipun komposisi dari Dewan pengupahan adalah tipartit yaitu perwakilan dari Buruh, Pengusaha dan Pemerintah tetapi tetap saja yang paling menentukan didalam penentuan upah adalah Kepala daerah (Bupati, Wali Kota dan Gubernur), sedangkan dewan pengupahan hanya mengusulkan berdasarkan hasil survei, sehingga berapapun usulan yang di ajukan oleh dewan pengupahan Kepala daerah yang berhak menentukan.
Keenam; Tidak Adanya Kepastian Hukum Atas Upah Minimum. Hal ini mendasarkan pada satu kenyataan bahwa tidak ada tidak adanya jaminan atas diterpkannya UMK/UMP di perusahaan. Sebab dengan alasan tidak mampu perusahaan-perusahaan dapat saja melakukan penangguhan upah. Bahkan Dalam prakteknya, banyak pengusaha yang tidak memberikan upah klas buruh sesuai dengan standar upah minimum, bahkan tanpa izin “penangguhan”-nya sekalipun. Sedangkan, tindakan itu merupakan Tindak Pidana Kejahatan yang sanksinya adalah penjara (paling singkat adalah 1 tahun) atau denda (paling sedikit Rp. 100.000.000). Tidak ada satupun tindakan aktif yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja atau Kepolisian terhadap hal tersebut selama ini. Situasi itu baru dapat tersingkap apabila kenaikan perjuangan kaum buruh di suatu pabrik. Itupun, belum ada jaminan bahwa pengusaha tersebut akan dipidanakan, dengan seribu satu dalih yang pastinya akan diutarakan oleh para pihak berwenang serta proses yang sangat berliku-liku.
Berdasarkan uraian itulah maka kami menyimpulkan bahwa fungsi upah minimum yang di terapkan di Indonesia bukanlah ditujukan bagi perlindungan terhadap kaum buruh, namun untuk mempertahankan Politik Upah Murah. Dengan dalih menarik investor pemerintah telah melakukan kejahatan yang bersifat sistemik terhadap upah buruh. Dan semakin meneguhkan pendirian kami bahwa pemerintah hari ini adalah merupakan rezim anti buruh, anti rakyat dan pelayan setia kaum Imperialis.
Atas dasar uraian, pandangan serta pendirian diatas maka kami DEWAN PIMPINAN PUSAT GABUNGAN SERIKAT BURUH INDEPENDEN (DPP-GSBI) menuntut pemerintah:
1. Berikan Upah sesuai dengan Kebutuhan Hidup Layak
2. Hentikan perampasan Upah Buruh sera menolak dengan tegas diterapkannya Politik Upah Murah.
3. Sanksi Hukum dan tindak tehas bagi pengusaha yang tidak memberikan upah minimum.
4. Hentikan PHK sepihak dalam bentuk apapun, serta hapuskan sistem kerja kontrak dan Outsourcing.
5. Buka Lapangan Pekerjaan seluas-luasnya dan Berikan Jamin kebebasan Berserikat buruh Buruh.
Jakarta, 20 Desember 2009
Dewan Pimpinan Pusat
Gabungan Serikat Buruh Independen
Rudi HB Daman
Ketua Umum
Emelia Yanti MD Siahaan
Sekretaris Jenderal
GSBI berpandangan bahwa Krisis Umum Imperialisme akibat dari terjadinya Over Produksi terutama barang-barang bertehnologi tinggi dan persenjataan militer akan terus berlangsung dan akan semakin memburuk dan kronis, situasi ini tentu akan berdampak pada perekonomian bangsa Indonesia, sebab Indonesia adalah merupakan bagian utuh didalam arus pusarannya. Artinya sudah menjadi satu keniscayaan karena negara Indonesia sampai saat ini adalah merupakan negeri setengah jajahan dan setengah feodal, negeri yang masih terbelakang dan tergantung dengan negara-negara maju Imperialis. Untuk mengatasi krisis ekonomi, Imperialisme telah memindahkan beban krisis kepada rakyat tertindas dan terhisap di negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan seperti Indonesia. Mereka dengan berkedok membangun kerja sama baik bilateral maupun multilateral telah dapat memaksakan negara-negara tergantung dan terbelakang agar bersedia menanggung beban krisis yang mereka hadapi.
Rezim yang berkuasa hari ini Susilo Bambang Yudoyono (SBY) seolah tidak berdaya akibat beban krisis, justru memberikan beban yang lebih berlipat-lipat ganda kepada kaum buruh dan seluruh rakyat Indonesia. Di sektor buruh, atas nama krisis, klas buruh diharuskan berkorban untuk menekan kenaikan upahnya serendah mungkin. Permintaan yang bersifat memaksa itupun di legalisasi oleh pemerintah dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri pada bulan Oktober 2008 tentang “Pemeliharaan Momentum Pertumbuhan Ekonomi Nasional Dalam Mengantisipasi Perkembangan Perekonomian Global”, yang salah satu isinya mengatur agar “kenaikan upah minimum klas buruh tidak boleh melebihi dari angka pertumbuhan ekonomi nasional”. Sedangkan, angka pertumbuhan ekonomi nasional berada dibawah angka inflasi (terlebih didalam situasi krisis). Artinya, kenaikan upah buruh harus dibawah rata-rata angka inflasi.
GSBI berpandangan bahwa Indonesia adalah merupakan negeri setengah jajahan-setengah feodal, tentu saja fungsi upah minimum memiliki perbedaan dengan negeri imperialisme yang menjadi tuannya. Negeri Indonesia merupakan sumber utama dari super-laba (super-profit) yang dihisap dan dikeruk oleh imperialisme. Mereka adalah sumber tenaga kerja murah serta penyedia bahan baku murah namun berlimpah. Kaum buruh dan rakyat di Indonesia, bukanlah tujuan pasar utama dari barang dagangan milik para kapitalis monopoli. Tetapi kaum buruh dan rakyat tertindas di negeri Indonesia, hanya merupakan penampung terbesar dari berbagai barang dagangan yang tidak terserap (terjual) di pasar imperialisme akibat dari over-produksi. Maka, fungsi upah minimum di negeri jajahan dan negeri setengah-jajahan bukanlah sebagai ukuran dari daya beli (konsumsi) apalagi perlindungan bagi kaum buruh. Konsep upah minimum di Indonesia hanyalah berfungsi untuk mempertahankan Politik Upah Murah. Karena itulah, mengapa di negeri Indonesia, level upahnya sangat jauh dibawah upah kaum buruh di negeri imperialisme. Sehingga, perbedaan ini akan terus berlangsung, sepanjang Indonesia tetap berada dibawah dominasi Imperialisme secara ekonomi maupun politik. Khususnya di negeri Indonesia, seluruh proses diatas dapat berjalan dengan sangat lancar, karena dibantu oleh rezim boneka sebagai penguasa dalam negeri yang menjadi kaki-tangan imperialisme, serta merupakan penyokong utama dari sistem Setengah Jajahan-Setengah Feodal.
GSBI telah membuktikan bahwa Politik Upah Murah tetap dipertahankan sejak masa kolonialisme Belanda hingga sekarang, bahkan pada pereode-pereode mendatang Politik Upah Murah akan tetus berlangsung selama sistem Setengah Jajahan-Setengah Feodal tetap dipertahankan. Beberapa bukti nyata tersebut diantaranya adalah:
Pertama; Upah Minimum Hanya Ditujukan Bagi Buruh Lajang, Dasar penetapan upah minimum di Indonesia adalah Kebutuhan Hidup Layak, yang nilainya diperoleh melalui Survei Harga. Secara normatif, yang dimaksud dengan Hidup Layak adalah standar kebutuhan hidup seorang buruh baik secara fisik, non-fisik, maupun sosial untuk satu bulan. Namun pada kenyataannya kebutuhan hidup yang menjadi dasar dari survei harga itu, hanya ditentukan berdasarkan pada Kebutuhan Hidup Buruh Lajang. Artinya, kebutuhan hidup bagi para buruh yang berkeluarga, tentu saja tidak akan pernah masuk dalam hitungan (untuk kebutuhan makan keluarga sajapun tak masuk hitungan, apalagi bagi pendidikan anak). Istilah layak telah dimanipulasi sedemikian rupa sehingga seolah-olah rezim hari ini telah memberikan satu perhatian terhadap upah kaum buruh, akan semakin terang apabila melihat pada Daftar Barang dan Jasa yang menjadi panduan survei. Ia diatur dalam Lampiran Permenaker No. 17 Thn. 2005 tentang “Komponen Kebutuhan Hidup Layak Untuk Pekerja Lajang”.
Kedua; “Kebutuhan Hidup Layak” adalah merupakan ilusi semata, Tahun 2005, pada saat rezim SBY jilid-I, melalui Permenaker No. 17 Thn. 2005 tentang “Komponen Kebutuhan Hidup Layak Untuk Pekerja Lajang”, pemerintah mengubah standar kebutuhan yang menjadi dasar dalam penetapan upah minimum, yaitu dari Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) menjadi Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Perbedaan yang utama, ada penambahan 3 komponen dari 43 komponen yang diatur dalam KHM menjadi 46 komponen didalam KHL. Namun, sesuatu yang tidak pernah berubah (baik KHM maupun KHL) adalah dasar penghitungannya tetap saja Buruh Lajang. Dengan Dasar Pengertian dan Fungsi Upah Minimum maka istilah KHL terlihat secara jelas sisi manipulatifnya. Sebab, upah minimum sifatnya adalah jaring pengaman. Ia (seharusnya) merupakan bentuk perlindungan kepada Kaum buruh, yang upahnya sangat rentan berhadapan dengan pasar tenaga kerja serta inflasi (kenaikan rata-rata harga barang dan jasa). Maka, pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang meliputi kebutuhan fisik, non-fisik, maupun sosial, haruslah dijamin oleh pemerintah sebagai standar kualitas hidup klas buruh. Ukuran dari standar kebutuhan hidup itulah yang telah di manipulasi. Karena pada kenyataannya, jangankan kebutuhan sosial klas buruh (dengan dasar penghitungan buruh lajang), kebutuhan fisik dan non-fisik klas buruh pun tidak terpenuhi didalam penghitungan KHL. Maka dapat kita simpulkan bahwa UMK/UMP yang di hitung berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak, adalah merupakan penipuan.
Ketiga; tentang pelaksanaan Survei Harga. Survei yang menjadi dasar penetapan KHL, dilakukan pada saat situasi harga dan pasokan masih stabil, yaitu di sekitar pertengahan tahun. Tetapi, lonjakan kenaikan harga secara umum malahan terjadi di penghujung tahun. Hal itulah yang menjadi selubung dari dasar alasan mengapa Upah Minimum Provinsi selambat-lambatnya harus ditetapkan 60 hari sebelum tanggal berlakunya upah minimum (yaitu setiap tanggal 1 Januari) dan upah minimum Kota/Kabupaten adalah 40 hari sebelumnya. Penentuan waktu survei itu, secara gamblang menggambarkan bahwa berapapun kenaikan upah minimum klas buruh tentunya akan terlibas dengan laju inflasi. Begitu juga dengan tempat survei yang dipilih di pasar-pasar induk atau tradisional, yang tentu saja harganya akan jauh lebih rendah dari harga di tingkat retail, dimana rantai perdagangannya masih pendek. Padahal kenyataannya kaum buruh selama ini berbelanja barang di toko-toko kelontong serta di warung-warung yang berada di sekitar tempat tinggalnya! Dimana harganya sudah jauh melambung disebabkan panjangnya rantai perdagangan. Artinya, dengan dasar komponen barang survei yang terbatas dan itupun kuantitas serta kualitasnya rendah, penentuan waktu serta tempat survei semakin menenggelamkan hasil dari nilai KHL yang akan dicapai.
Keempat; Tentang Dasar Penetapan Upah Minimum, Situasinya semakin bertambah jelas, ketika KHL serta Survei yang sudah sangat bermasalah diatas ternyata hanya digunakan sebagai Salah Satu Bahan Pertimbangan dalam penetapan upah minimum. Sebab, secara normatif ada pertimbangan lainnya dalam penetapan upah minimum, yaitu : Produktivitas (hasil perbandingan antara jumlah Produk Domestik Regional Bruto [PDRB] dengan jumlah tenaga kerja pada periode yang sama); Pertumbuhan Ekonomi (merupakan pertumbuhan nilai PDRB), serta Usaha Yang Paling Tidak Mampu (marjinal). Tentu saja hal ini merupakan kekejian tersendiri yang secara vulgar menghancurkan dasar pengertian dari upah minimum.
Kelima; Persoalan lainnya didalam penentuan upah adalah tentang Konspirasi Jahat Dibalik Penetapan Upah Minimum di Dewan Pengupahan, karena meskipun komposisi dari Dewan pengupahan adalah tipartit yaitu perwakilan dari Buruh, Pengusaha dan Pemerintah tetapi tetap saja yang paling menentukan didalam penentuan upah adalah Kepala daerah (Bupati, Wali Kota dan Gubernur), sedangkan dewan pengupahan hanya mengusulkan berdasarkan hasil survei, sehingga berapapun usulan yang di ajukan oleh dewan pengupahan Kepala daerah yang berhak menentukan.
Keenam; Tidak Adanya Kepastian Hukum Atas Upah Minimum. Hal ini mendasarkan pada satu kenyataan bahwa tidak ada tidak adanya jaminan atas diterpkannya UMK/UMP di perusahaan. Sebab dengan alasan tidak mampu perusahaan-perusahaan dapat saja melakukan penangguhan upah. Bahkan Dalam prakteknya, banyak pengusaha yang tidak memberikan upah klas buruh sesuai dengan standar upah minimum, bahkan tanpa izin “penangguhan”-nya sekalipun. Sedangkan, tindakan itu merupakan Tindak Pidana Kejahatan yang sanksinya adalah penjara (paling singkat adalah 1 tahun) atau denda (paling sedikit Rp. 100.000.000). Tidak ada satupun tindakan aktif yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja atau Kepolisian terhadap hal tersebut selama ini. Situasi itu baru dapat tersingkap apabila kenaikan perjuangan kaum buruh di suatu pabrik. Itupun, belum ada jaminan bahwa pengusaha tersebut akan dipidanakan, dengan seribu satu dalih yang pastinya akan diutarakan oleh para pihak berwenang serta proses yang sangat berliku-liku.
Berdasarkan uraian itulah maka kami menyimpulkan bahwa fungsi upah minimum yang di terapkan di Indonesia bukanlah ditujukan bagi perlindungan terhadap kaum buruh, namun untuk mempertahankan Politik Upah Murah. Dengan dalih menarik investor pemerintah telah melakukan kejahatan yang bersifat sistemik terhadap upah buruh. Dan semakin meneguhkan pendirian kami bahwa pemerintah hari ini adalah merupakan rezim anti buruh, anti rakyat dan pelayan setia kaum Imperialis.
Atas dasar uraian, pandangan serta pendirian diatas maka kami DEWAN PIMPINAN PUSAT GABUNGAN SERIKAT BURUH INDEPENDEN (DPP-GSBI) menuntut pemerintah:
1. Berikan Upah sesuai dengan Kebutuhan Hidup Layak
2. Hentikan perampasan Upah Buruh sera menolak dengan tegas diterapkannya Politik Upah Murah.
3. Sanksi Hukum dan tindak tehas bagi pengusaha yang tidak memberikan upah minimum.
4. Hentikan PHK sepihak dalam bentuk apapun, serta hapuskan sistem kerja kontrak dan Outsourcing.
5. Buka Lapangan Pekerjaan seluas-luasnya dan Berikan Jamin kebebasan Berserikat buruh Buruh.
Jakarta, 20 Desember 2009
Dewan Pimpinan Pusat
Gabungan Serikat Buruh Independen
Rudi HB Daman
Ketua Umum
Emelia Yanti MD Siahaan
Sekretaris Jenderal