SIARAN PERS ATKI-HK : BMI di Hong Kong Menuntut Biaya Penempatan Segera diTurunkan
SIARAN PERS ATKI-HK BMI di Hong Kong menuntut biaya penempatan segera diturunkan dan menghentik...
https://www.infogsbi.or.id/2010/02/siaran-pers-atki-hk-bmi-di-hong-kong.html?m=0
SIARAN PERS ATKI-HK
BMI di Hong Kong menuntut biaya penempatan segera diturunkan dan menghentikan pungutan biaya lebih dari 10% serta peningkatan pelayanan Konsulat Indonesia di Hong Kong.
Hongkong; Hari ini walaupun hujan mengguyur begitu deras, namun tidak mematahkan semangat sekitar 250 Buruh Migran Indonesia di Hong Kong yang tergabung di Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia di HK (ATKI-HK), Persatuan BMI Tolak Overcharging (PILAR) dan Gabungan Migran Muslim Indonesia (GAMMI) berdemontrasi di depan kantor Konsulat Indonesia di Hong Kong. Aksi yang merupakan aksi lanjutan dari aksi peringatan 100 hari SBY-Budiono ini berlangsung selama satu jam, dari pukul 13:00 – 14:00, menuntut pemerintah Indonesia untuk segera menghentikan perampasan upah terhadap BMI di Hong Kong.
“Pemerintah harus segera mengkongkretkan penurunan biaya penempatan dan menghentikan pungutan biaya lebih dari HK$358 yang dikenakan agen-agen HK terhadap BMI di HK. Semua peraturan yang mengesahkan perampasan upah melalui biaya tingginya biaya penempatan dan memaksa BMI untuk masuk PJTKI/agen harus segera dicabut jika ingin BMI sejahtera” kata Karsiwen di tengah-tengah orasinya di depan kantor Konsulat Indonesia.
Karsiwen mengecam pemerintah Indonesia atas ketidakadaan niat pemerintah untuk memperbaiki kondisi BMI diluar negeri dan meningkatkan perlindungan sebagai agenda utama pemerintah di program 100 hari program SBY Budiono dan Menakertrans Muhaemin Iskandar. Meski Menakertrans mengakui biaya penempatan yang dikenakan terhadap BMI di Hong Kong terlalu tinggi, tapi tidak ada upaya sama sekali untuk menurunkannya.
“Dua kali sudah pemerintah mengeluarkan peraturan yang menurunkan biaya penempatan tapi tidak pernah dijalankan. Di tahun 2004 keluar SK 653 yang menetapkan biaya sebesar HK$9.000 dan tahun 2008 keluar SK 186 yang menurunkan menjadi HK$15.000. lalu buat apa kami disebut pahlawan devisa jika menerapkan peraturan yang seperti ini saja pemerintah tidak sanggup?” jelas Karsiwen.
Menurut Karsiwen, meski pihaknya sudah berkali-kali mengingatkan pemerintah Indonesia untuk menerapkan penurunan biaya penempatan, namun tuntutan ini selalu direspon dengan dingin.
Karsiwen menambahkan perampasan upah tersebut bukan hanya menimpa BMI pendatang baru, tapi juga BMI yang sudah di HK selama bertahun-tahun. Umumnya BMI dikenakan biaya antara HK$1.500 – HK$15.000 untuk memprosesan kontrak baru mereka oleh agen-agen Hong Kong, padahal hukum Hong Kong membatasi komisi yang berhak diambil agen-agen Hong Kong ini yaitu tidak lebih dari 10% gaji bulan pertama (HK$358).
“Kondisi ini lahir karena sikap pemerintah yang memaksa kami untuk masuk PJTKI dan agen luar negeri meski setelah kami diluar negeri dengan dalih perlindungan. Jika memang kami dilindungi, mengapa upah kami terus-terusan dirampas dan paspor kami ditahan? Pemerintah harus menghentikan sikap memaksa ini dan menghormati hak mutlak BMI untuk memilih apakah masuk agen atau proses kontrak sendiri (kontrak mandiri)” tegas Karsiwen.
Menurut Karsiwen, program pengiriman TKI keluar negeri dengan sistim one door exit only ini disengaja agar pemerintah tidak usah repot-repot mengurusi dan melindungi rakyatnya dan hanya memikirkan berapa untung yang akan didapat. Kenapa itu sampai hari ini pemerintah tidak mau meninjau ulang UUPPTKILN No. 39/2004 yang jelas lebih membela kaum pembisnis daripada BMI itu sendiri. Hal ini juga menjelaskan mengapa pemerintah menolak merativikasi Konvesi PBB tahun 1990 tentang perlindungan buruh migran dan keluarganya.
Sehubungan dengan rencana pemerintah untuk membebaskan BMI khusus dari Hong Kong dan Taiwan untuk tidak masuk Terminal Khusus TKI di Jakarta, menurut Karsiwen adalah salah satu kemenangan perjuangan BMI di Hong Kong yang selama ini menuntut pembubaran Terminal khusus TKI. Meskipun demikian Karsiwen menyayangkan bahwa pembebasan ini hanya berlaku untuk dua Negara dan bukan untuk semua padahal semua menjadi korban pemerasan ketika masuk Terminal khusus ini.
“Selama pemerintah Indonesia tidak sungguh-sungguh ingin menjawab persoalan mendasar yang dialami BMI di HK, kami tidak akan menyerah dan terus berjuang. Kami yakin selama BMI di HK bersatu dan tidak lelah menyerukan tuntutan-tuntutan kami, perbaikan atas kondisi kami yang semakin parah ini pasti bisa terjadi” tutup Karsiwen.
************ ********* ********* ********* ********* *******
Karsiwen,Wakil Ketua ATKI-HK Tel: (+852)91405357)
ATKI-HK
Assosiasi Tenaga Kerja Indonesia-Hong Kong
G/F Jordan Road No. 2, Kowloon, Hong Kong SAR
Phone: +852 23147316 Fax: +852 27354559
www.atki-indonesia. org
BMI di Hong Kong menuntut biaya penempatan segera diturunkan dan menghentikan pungutan biaya lebih dari 10% serta peningkatan pelayanan Konsulat Indonesia di Hong Kong.
Hongkong; Hari ini walaupun hujan mengguyur begitu deras, namun tidak mematahkan semangat sekitar 250 Buruh Migran Indonesia di Hong Kong yang tergabung di Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia di HK (ATKI-HK), Persatuan BMI Tolak Overcharging (PILAR) dan Gabungan Migran Muslim Indonesia (GAMMI) berdemontrasi di depan kantor Konsulat Indonesia di Hong Kong. Aksi yang merupakan aksi lanjutan dari aksi peringatan 100 hari SBY-Budiono ini berlangsung selama satu jam, dari pukul 13:00 – 14:00, menuntut pemerintah Indonesia untuk segera menghentikan perampasan upah terhadap BMI di Hong Kong.
“Pemerintah harus segera mengkongkretkan penurunan biaya penempatan dan menghentikan pungutan biaya lebih dari HK$358 yang dikenakan agen-agen HK terhadap BMI di HK. Semua peraturan yang mengesahkan perampasan upah melalui biaya tingginya biaya penempatan dan memaksa BMI untuk masuk PJTKI/agen harus segera dicabut jika ingin BMI sejahtera” kata Karsiwen di tengah-tengah orasinya di depan kantor Konsulat Indonesia.
Karsiwen mengecam pemerintah Indonesia atas ketidakadaan niat pemerintah untuk memperbaiki kondisi BMI diluar negeri dan meningkatkan perlindungan sebagai agenda utama pemerintah di program 100 hari program SBY Budiono dan Menakertrans Muhaemin Iskandar. Meski Menakertrans mengakui biaya penempatan yang dikenakan terhadap BMI di Hong Kong terlalu tinggi, tapi tidak ada upaya sama sekali untuk menurunkannya.
“Dua kali sudah pemerintah mengeluarkan peraturan yang menurunkan biaya penempatan tapi tidak pernah dijalankan. Di tahun 2004 keluar SK 653 yang menetapkan biaya sebesar HK$9.000 dan tahun 2008 keluar SK 186 yang menurunkan menjadi HK$15.000. lalu buat apa kami disebut pahlawan devisa jika menerapkan peraturan yang seperti ini saja pemerintah tidak sanggup?” jelas Karsiwen.
Menurut Karsiwen, meski pihaknya sudah berkali-kali mengingatkan pemerintah Indonesia untuk menerapkan penurunan biaya penempatan, namun tuntutan ini selalu direspon dengan dingin.
Karsiwen menambahkan perampasan upah tersebut bukan hanya menimpa BMI pendatang baru, tapi juga BMI yang sudah di HK selama bertahun-tahun. Umumnya BMI dikenakan biaya antara HK$1.500 – HK$15.000 untuk memprosesan kontrak baru mereka oleh agen-agen Hong Kong, padahal hukum Hong Kong membatasi komisi yang berhak diambil agen-agen Hong Kong ini yaitu tidak lebih dari 10% gaji bulan pertama (HK$358).
“Kondisi ini lahir karena sikap pemerintah yang memaksa kami untuk masuk PJTKI dan agen luar negeri meski setelah kami diluar negeri dengan dalih perlindungan. Jika memang kami dilindungi, mengapa upah kami terus-terusan dirampas dan paspor kami ditahan? Pemerintah harus menghentikan sikap memaksa ini dan menghormati hak mutlak BMI untuk memilih apakah masuk agen atau proses kontrak sendiri (kontrak mandiri)” tegas Karsiwen.
Menurut Karsiwen, program pengiriman TKI keluar negeri dengan sistim one door exit only ini disengaja agar pemerintah tidak usah repot-repot mengurusi dan melindungi rakyatnya dan hanya memikirkan berapa untung yang akan didapat. Kenapa itu sampai hari ini pemerintah tidak mau meninjau ulang UUPPTKILN No. 39/2004 yang jelas lebih membela kaum pembisnis daripada BMI itu sendiri. Hal ini juga menjelaskan mengapa pemerintah menolak merativikasi Konvesi PBB tahun 1990 tentang perlindungan buruh migran dan keluarganya.
Sehubungan dengan rencana pemerintah untuk membebaskan BMI khusus dari Hong Kong dan Taiwan untuk tidak masuk Terminal Khusus TKI di Jakarta, menurut Karsiwen adalah salah satu kemenangan perjuangan BMI di Hong Kong yang selama ini menuntut pembubaran Terminal khusus TKI. Meskipun demikian Karsiwen menyayangkan bahwa pembebasan ini hanya berlaku untuk dua Negara dan bukan untuk semua padahal semua menjadi korban pemerasan ketika masuk Terminal khusus ini.
“Selama pemerintah Indonesia tidak sungguh-sungguh ingin menjawab persoalan mendasar yang dialami BMI di HK, kami tidak akan menyerah dan terus berjuang. Kami yakin selama BMI di HK bersatu dan tidak lelah menyerukan tuntutan-tuntutan kami, perbaikan atas kondisi kami yang semakin parah ini pasti bisa terjadi” tutup Karsiwen.
************ ********* ********* ********* ********* *******
Karsiwen,Wakil Ketua ATKI-HK Tel: (+852)91405357)
ATKI-HK
Assosiasi Tenaga Kerja Indonesia-Hong Kong
G/F Jordan Road No. 2, Kowloon, Hong Kong SAR
Phone: +852 23147316 Fax: +852 27354559
www.atki-indonesia. org