Buruh Anak Dieksploitasi
Cirebon, Kompas - Hasil sementara sidang kedua kasus buruh anak yang dipekerjakan di sebuah pabrik teh di Kecamatan Kedawung, Kabupaten Cire...
https://www.infogsbi.or.id/2010/08/buruh-anak-dieksploitasi.html?m=0
Cirebon, Kompas - Hasil sementara sidang kedua kasus buruh anak yang dipekerjakan di sebuah pabrik teh di Kecamatan Kedawung, Kabupaten Cirebon, memperlihatkan minimnya perhatian pemerintah daerah kepada anak-anak dan pekerja. Anak-anak itu dieksploitasi secara ekonomi, tetapi mereka tidak menyadarinya.
Sidang kedua kasus buruh anak ini, yang dipimpin hakim ketua Sulasdiyanto, Kamis (12/8), menghadirkan tujuh dari 21 anak yang terbukti bekerja di pabrik teh di Jalan Ki Ageng Tirtayasa, salah seorang mandor (Wiwid), dan pemilik pabrik (Johan Sugiharto). Tujuh anak yang berusia di bawah 18 tahun itu ditanya soal alasan bekerja, upah yang diperoleh, dan lama bekerja.
Mayoritas mengatakan sudah hampir setahun bekerja, dengan 9 jam kerja per hari, 6 hari kerja seminggu, dan upah Rp 60.000-Rp 90.000 per minggu. Mereka mengaku bekerja atas kemauan sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Kebanyakan mereka adalah anak buruh dan kuli.
Menurut Wiwid, awalnya anak-anak bekerja karena mengikuti kakaknya yang bekerja sebagai buruh di pabrik. Meski ditolak, mereka tetap datang lagi. Akhirnya, mereka dipekerjakan. Dia mengaku tidak pernah ada sosialisasi atau larangan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Cirebon tentang pekerja anak.
Dalam kasus ini jaksa dari Kejaksaan Negeri Sumber menuntut pemilik pabrik dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Salah satunya tentang jam kerja yang berlebih dan upah rendah, dengan ancaman hukuman satu tahun penjara.
Namun, tuntutan itu ditentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang diwakili Rizki Nasution. Menurut KPAI, anak-anak itu dieksploitasi ekonomi oleh pabrik sehingga pabrik telah melanggar UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 21/2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU Ketenagakerjaan. Anak-anak dirugikan karena kehilangan kesempatan sosial dan pendidikan.
Kepala Kejari Sumber Happy Hadiastuty menjelaskan, ini hanya pelanggaran UU Ketenagakerjaan. Anak-anak bekerja atas izin orangtua, bahkan dengan surat persetujuan dari kepala desa. (THT)
http://cetak.kompas.com/
Sidang kedua kasus buruh anak ini, yang dipimpin hakim ketua Sulasdiyanto, Kamis (12/8), menghadirkan tujuh dari 21 anak yang terbukti bekerja di pabrik teh di Jalan Ki Ageng Tirtayasa, salah seorang mandor (Wiwid), dan pemilik pabrik (Johan Sugiharto). Tujuh anak yang berusia di bawah 18 tahun itu ditanya soal alasan bekerja, upah yang diperoleh, dan lama bekerja.
Mayoritas mengatakan sudah hampir setahun bekerja, dengan 9 jam kerja per hari, 6 hari kerja seminggu, dan upah Rp 60.000-Rp 90.000 per minggu. Mereka mengaku bekerja atas kemauan sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Kebanyakan mereka adalah anak buruh dan kuli.
Menurut Wiwid, awalnya anak-anak bekerja karena mengikuti kakaknya yang bekerja sebagai buruh di pabrik. Meski ditolak, mereka tetap datang lagi. Akhirnya, mereka dipekerjakan. Dia mengaku tidak pernah ada sosialisasi atau larangan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Cirebon tentang pekerja anak.
Dalam kasus ini jaksa dari Kejaksaan Negeri Sumber menuntut pemilik pabrik dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Salah satunya tentang jam kerja yang berlebih dan upah rendah, dengan ancaman hukuman satu tahun penjara.
Namun, tuntutan itu ditentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang diwakili Rizki Nasution. Menurut KPAI, anak-anak itu dieksploitasi ekonomi oleh pabrik sehingga pabrik telah melanggar UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 21/2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU Ketenagakerjaan. Anak-anak dirugikan karena kehilangan kesempatan sosial dan pendidikan.
Kepala Kejari Sumber Happy Hadiastuty menjelaskan, ini hanya pelanggaran UU Ketenagakerjaan. Anak-anak bekerja atas izin orangtua, bahkan dengan surat persetujuan dari kepala desa. (THT)
http://cetak.kompas.com/
ini adalah gambaran kemiskinan negara kita.Jangan salahkan pengusaha yang sudah mau memberikan pekerjaan dan imbalan walaupun tidak sesuai dengan keinginan kita yang melek hukum.
BalasHapusdari pada kita kita ini melihat anak anak yang ada di lampu merah bekasi,jakarta dan lainnya yang hanya meminta,ini sangat merusak mental/anak anak yang metalnya didik yang kurang baik.
Mari kita ciptakan lapangan kerja seluas luasnya agar indonesia menjadi makmur.Mohon maaf bila kurang berkenan
wassalam
nanang sugistiono