Pernyataan Sikap GSBI : Peringatan Hari Tani Nasional dan 50 tahun UUPA No.5 thn 1960.
Pernyataan Sikap Gabungan Serikat Buruh Independen Federation of Independent Trade Union No : 004-SP/DPP.GSBI/JKT/IX/2010 Tanggal : Jum’a...
https://www.infogsbi.or.id/2010/09/pernyataan-sikap-gsbi-peringatan-hari.html?m=0
Pernyataan Sikap
Gabungan Serikat Buruh Independen
Federation of Independent Trade Union
No : 004-SP/DPP.GSBI/JKT/IX/2010
Tanggal : Jum’at, 24 September 2010
Tentang : Peringatan Hari Tani Nasional dan 50 tahun UUPA No.5 thn 1960.
“ HENTIKAN PERAMPASAN TANAH, UPAH DAN KERJA”
Laksanakan Reforma Agraria Sejati, Hentikan Segala Bentuk Kriminalisasi, Kekerasan Pada Kaum Tani dan Berikan Hak Berorganisasi Bagi Rakyat.
Salam solidaritas,
Tanggal 24 September adalah hari bersejarah bagi kaum Tani Indonesia bahkan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dimana Hari tanggal itu adalah hari lahir Undang-Undang Republik Indonesia No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).
MENGAPA dikatakan bersejarah? Karena kelahiran UUPA mengandung dua makna besar bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Pertama, UUPA bermakna sebagai upaya mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 (Naskah Asli), yang menyatakan, "Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Kedua, UUPA bermakna sebagai penjungkirbalikan hukum agraria kolonial dan penemuan hukum agraria nasional yang bersendikan realitas susunan kehidupan rakyat Indonesia.
Adapun yang menjadi tujuan UUPA pada pokoknya meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan, dan meletakkan dasar-dasar kepastian hukum hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat. Semuanya semata-mata untuk mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan, keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam menuju masyarakat adil dan makmur. Sebenarnya apa yang tersurat maupun tersirat dari tujuan UUPA, pada hakikatnya merupakan kesadaran dan jawaban bangsa Indonesia atas keserakahan dan kekejaman hukum agraria kolonial.
Sebagaimana diketahui, hukum agraria kolonial yang tertuang dalam Agrarische Wet 1870, misalnya, menjamin Hak Erfpacht sampai selama 75 tahun, dan menjamin pemegang hak itu untuk menggunakan Hak Eigendom, serta memberi peluang kepada mereka dapat menggunakan tanahnya sebagai agunan kredit.
Lahirnya Agrarische Wet 1870 dipengaruhi dan atas desakan kepentingan pemilik modal swasta Belanda untuk berbisnis perkebunan besar di negeri jajahannya. Sebelumnya, di masa culturrstelsel, mereka hanya dibolehkan sebatas menyewa tanah. Dampak dari hukum kolonial terhadap rakyat tani Indonesia, hanya menghadirkan sejarah kelam kemelaratan, kemiskinan, keterbelakangan dan penindasan.
Dari sini terlihat kuatnya jalinan ikatan "benang merah" antara UUPA dan sejarah kelam rakyat Indonesia. Karena itu, tidak terlalu mengherankan bila Bung Karno menerbitkan Keppres No 169/1963 yang menetapkan tanggal lahir UUPA, 24 September sebagai Hari Tani nasional. Penetapan ini merupakan pemuliaan tertinggi terhadap rakyat tani Indonesia, yang hingga kini tetap merupakan mayoritas warga-bangsa Indonesia. Memuliakan rakyat tani berarti memuliakan bangsa! Membebaskan rakyat tani berarti membebaskan bangsa! Membangun rakyat tani berarti membangun bangsa!
Karena bersejarahnya maka setiap tanggal 24 September selalu diperingatan sebagai Hari Tani Nasional (HTN).
Namun ironis di usianya yang ke 50 tahun nasib UUPA hidup segan mati tak mau dan senyatanya tidak memberikan manfaat utama bagi kaum tani, Karena amanat Pasal 10 UUPA yang lalu menjadi UU No 56 Prp Tahun 1960 mengenai landreform, dalam pelaksanaannya mengalami hambatan dan rintangan berat. Oleh kalangan tertentu, secara picik UUPA dan landreform di-"cap" sebagai produk Komunis.
Padahal bagi suatu bangsa bekas jajahan yang mewarisi belenggu ketidakadilan struktural feodalisme, kolonialisme, imperialisme adalah mustahil dapat membebaskan rakyatnya dari belenggu ketidakadilan tanpa lebih dulu mematahkan belenggu struktural itu.
Dalam kaitan itu, di sini terlihat betapa mendasarnya fungsi pelaksanaan redistribusi aset-aset ekonomi, yang di antaranya melakukan perombakan kepemilikan dan penguasaan tanah. Akhirnya, setelah rezim Soeharto berhasil menduduki singgasana kekuasaan tahun 1967, praktis UUPA dan landreform mengalami proses delegitimasi supaya tidak mengganggu proses pembangunan yang mengabdi pada kepentingan Imperialisme yang ingin dilaksanakan.
Kaum tani adalah populasi yang terbesar di Indonesia yaitu 65% dari 238 Juta Penduduk Indonesia. Dengan jumlah ini, kaum tani adalah kekuatan produktif yang paling besar, lebih besar dibanding buruh manufaktur (12 juta jiwa), buruh niaga (19,4 juta jiwa), jasa (11,3 juta jiwa), dan sektor lainnya 11,8 juta jiwa).
Idealnya, kaum tani Indonesia dengan jumlah mayoritas dan sumber kekayaan Indonesia yang melimpah, mendapatkan kemudahan akses akan sumberdaya tanah, teknologi, modal dan pasar yang menjamin kehidupan petani Indonesia hidup sejahtera dan berkeadilan. Akan tetapi meski menduduki posisi mayoritas, kaum tani Indonesia adalah kalangan yang paling tidak beruntung disebabkan oleh ketimpangan penguasaan agraria atau monopili tanah.
Saat ini penguasaan atau monopoli tanah terutama oleh 10 Perusahaan besar swasta di Indonesia “Sinar Mas, Willmar, Lonsum, Salim Grup, Tanoto, Indofood, Bumi Resources, Bakrie Land” dan lain sebagainya telah mencapai 5,3 Juta Ha. Perusahaan tambang, Khususnya batu bara makin meluas mencapai 84 Juta Ha dalam lima tahun terakhir. Monopoli Tanah juga dilakukan oleh Negara mencapai melalui Taman Nasional 23,3 ribu Ha melalui PTPN: 1, 729 Juta Ha (Diluar Rajawali indonesia), Perhutani (Hutan Lindung dan Produksi): 3,1 Juta Ha (Khusus Untuk Jawa), Sawit 7,5 Juta Ha dan melalui TNI. Saat ini Pemerintah masih memprogramkan perluasan kebun kelapa Sawit sebesar 2 Juta Ha Pertahun. Bahkan pondasi sumber-sumber agraria lainnya juga dimonopoli oleh segelintir pengusaha besar dengan total lebih kurang 4.370 atau 0,01%, dari 51.260.000 usaha di Indonesia,serta terjadinya pengaplingan atas laut melalui UU HP3. (Kompas, 14 Agustus 2010).
Di bawah dominasi imperialism rejim komprador SBY-Budiono pelaksanaan kebijakan neoliberal, hanya kian memperparah keadaan yang telah ada. Lihat kebijakan liberalisasi, demokratisasi, marketisasi, privatisasi, rekapitalisasi, governance, transparansi, dan lain-lain- pada hakikatnya hanya bermuatan kepentingan neoliberalisme. Semua itu tidak mengubah tradisi lama yang membiarkan rakyat tani menghadapi sendiri bencana kekeringan, kemiskinan penindasan dan penghisapan. Bahkan terus memperhebat perampasan atas tanah serta berbagai tingkat kekerasan pada kaum tani ketika mempertahankan hak-haknya yaitu tanah.
Untuk mendukung skema kaum imperialis ini, pemerintah Indonesia telah menerbitkan sejumlah aturan yang terkait dengan pengaturan tanah dan kekayaan alam di Indonesia seperti Undang-Undang (UU) No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), dan UU No.41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Semua aturan terkait perkebunan, pertambangan mineral dan batubara, penanaman modal dan pertanian pangan tersebut mencerminkan watak komprador dari rezim Susilo Bambang Yudhoyono dan Budiono (SBY-Budiono). Karena memberikan fasilitas sedemikian luas kepada modal asing untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia, baik melalui konsesi hak guna usaha, kontrak karya pertambangan maupun kemudahan-kemudahan investasi lainnya bagi investor asing untuk menguasai tanah di Indonesia.
Dalam pandangan GSBI, jelas bahwa aturan-aturan yang disebutkan di atas, memberikan pengesahan atas terjadinya perampasan tanah dalam bentuk perluasan perkebunan skala raksasa dan pertanian pangan skala raksasa (food estates) serta berbagai bentuk kekerasan, yang dilakukan oleh rezim SBY-Budiono.
Politik agraria yang semakin menghisap dan menindas kaum tani, semakin meluas. Inilah yang sedang terjadi saat ini, di mana kaum tani Indonesia dibawah rezim politik SBY-Budiono, terus mengalami perampasan tanah dan tindak kekerasan dalam berbagai bentuk seperti pemenjaraan, penangkapan, penahanan, intimidasi, penganiayaan, penembakan, pembunuhan, dan bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang lain. Sebagai contoh, menurut catatan yang dipublikasikan oleh AGRA (Aliansi Gerakan Reforma Agraria), dalam tiga bulan terakhir pada tahun 2008 saja, rezim anti-rakyat telah menangkap, menahan, dan memenjarakan sekitar 46 orang petani yang berjuang untuk hak-hak atas tanahnya. Selain itu terjadi juga pembunuhan petani perempuan di Kuansing Riau yang memperjuangkan hak-haknya, penangkapan 2 petani dan aktivis di Banggai Sulteng, penangkapan 2 petani Kelompok Tani Anak Nagari Pasaman Barat Sumbar Agustus 2010, penangkapan 20 orang petani dan aktivis oleh Polda Bengkulu yang di barengi dengan pelecehan seksual terhadap petani perempuan sekitar Juli 2010 bertempat di Desa Pring Baru Kecamatan Semidang Alas Maras, Kabupaten Seluma – Bengkulu – ketika konflik dengan PTPN VI menjadi gambaran begitu kerasnya konflik yang dialami oleh petani berhadapan dengan kekuasaan baik kuasa ekonomi maupun kuasa politik.
Masih Ada banyak daftar peristiwa kekerasan dan kriminalisasi sampai terbunuhnya petani di Negeri ini. Konflik di perkebunan kelapa sawit sampai tahun 2009 terjadi lebih 700 konflik yang kesemuanya berakhir dengan penangkapan dan ada pula terbunuhnya petani sepeyi kasus kuansing Riau Juli 2010, di Jawa Timur (2004-2008) tercatat 25 sengketa tanah yang melibatkan masyarakat dan militer. Luas tanah yang disengketakan adalah 15.374 hektar. Jawa Barat terdapat 1.200 kasus sengketa tanah. Ini merupakan watak dan prilaku rejim SBY-BOEDIONO yang mengingatkan kita pada setengah abad yang lalu, bahkan jauh sebelumnya, petani mendapatkan perlakukan serupa atas kekuasaan masa kolonial.
Belum lagi soal Jumlah Tanah Yang Dirampas dan Kaum Tani yang Menderita, Selama periode 2004-2010 saja ada pertambahan dalam jumlah luasan tanah yang dimiliki perkebunan. Dari data yang berhasil dikumpulkan dari Dirjen Perkebunan maupun catatan dari Sawit Watch, ternyata dalam periode 2004-2010 total luas tanah perkebunan yang dikuasai oleh perkebunan swasta besar (PBS) untuk 7 komoditas (sawit, karet, kakao, teh, tebu, kelapa, pulp and paper) adalah 21.267.510 hektar. Sementara total luas perkebunan yang dikuasai oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) untuk lebih dari 7 komoditas di luar Rajawali, adalah sebesar 1.729.251,48 hektar.
Kekerasan yang dialami kaum tanipun mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena perampasan tanah di Indonesia memang merupakan peristiwa yang sehari-hari dihadapi oleh kaum tani Indonesia. Selain itu, fenomena perampasan tanah pada tingkat nasional menunjukkan kembalinya wujud pemerintahan yang berwajah fasis (mengandalkan kekerasan militer dan kepolisian) dalam menyelesaikan konflik-konflik sosial yang ada di dalam masyarakat, khususnya konflik dan sengketa tanah, yang melibatkan kaum tani.
Berbagai tindakan yang dilakukan oleh rezim SBY-Boediono sesungguhnya tidak akan mampu menghentikan perjuangan gerakan rakyat dan kaum tani atas perampasan terhadap tanah, upah dan kerja yang dilakukan oleh rejim boneka imperialisme SBY-Boediono. Bangkitnya gerakan massa tidak akan begitu saja bisa di hentikan, Kenyataan tersebut justeru akan terus melecut perlawanan Rakyat yang semakin besar dalam berbagai bentuk. Hal tersebut menandakan bahwa kaum tani di Indonesia, seperti halnya sektor lainnya telah memahami bahwa akar persoalan yang mendominasi Indonesia tidaklah berbeda, semua penindasan dan penderitaan yang dialami oleh kaum tani berawal dari dominasi Imperialisme dan Feodalisme serta Kapitalisme Birokrat.
Maka setelah melihat realitas penderitaan kehidupan rakyat tani sepanjang sejarah bangsa, ini merupakan kewajiban kita semua untuk mentransformasikan kehidupan dan sistem sosial menuju penghidupan lebih baik dan lebih mulia. Untuk itu, melaksanakan pembaruan agraria sejati berdasar UUPA merupakan jalan keluar paling tepat guna membebaskan rakyat tani dari belenggu ketidakadilan struktural warisan feodalisme, kolonialisme, dan imperialisme.
Oleh karena itu, tugas-tugas terdekat dari gerakan rakyat, termasuk gerakan kaum buruh, buruh migrant, pemuda mahasiswa, perempuan dan gerakan kaum tani dewasa ini adalah mengedepankan kembali gerakan rakyat yang sejati sebagai tenaga penggerak utama perubahan maupun faktor penentu perubahan masyarakat. Dan dengan menggunakan momentum krisis umum imperialisme yang ada saat ini adalah terus memperhebat perjuangan massa untuk menuntut hak-hak sosial ekonomi dan sekaligus meningkatkan perjuangannya ke bentuk-bentuk perjuangan politik yang lebih maju. Inilah saat yang tepat bagi gerakan sosial Indonesia untuk mengambil prakarsa politik memimpin sendiri perjuangannya melawan rezim anti-rakyat.
Melalui perjuangan massa, gerakan tani harus menekankan pentingnya reforma agraria sebagai kesimpulan umum yang semakin tegas pada saat ini. Reforma agraria adalah jawaban utama untuk mengatasi masalah-masalah besar yang dialami bangsa Indonesia. Reforma agraria pun pada akhirnya tidak hanya berbicara tentang peningkatan taraf hidup kaum tani dan upaya-upaya praktis untuk mengangkat kaum tani dari masalah kemiskinan.
Lebih dari itu, reforma agraria akan memberikan fondasi yang paling stabil untuk pembangunan secara menyeluruh menuju terbentuknya sebuah bangsa yang berdaulat secara ekonomi, politik, dan kebudayaan. Secara ekonomi, kemiskinan dan kesengsaraan masyarakat pedesaan yang terkungkung dalam relasi produksi yang berwatak feodalistik menjadi legitimasi historis yang semakin memperkukuh urgensi reforma agraria. Secara politik, naiknya gerakan massa kaum tani di berbagai penjuru negeri dan tingginya kekerasan bersenjata dalam sengketa-sengketa agraria di Indonesia memberikan basis politik yang konkret untuk pelaksanaan reforma agrarian sejati.
Berpijak pada dasar pandangan dan uraian-urain itulah dalam momentum memperingati Hari Tani Nasional (HTN) yang ke – 50 yaitu hari ini Jum,at 24 September 2010, Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI) menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Laksanakan Reforma Agraria Sejati Bagi Kaum Tani Sekarang Juga dan Bangun serta perkuat Industrialisasi Nasional sebagai jawaban atas krisis pangan, kemiskinan, pengangguran yang semakin akut. Maka untuk itu GSBI Menyerukan kepada pemerintah dan segenap jajarannya termasuk seluruh rakyat Indonesia untuk kembali ke semangat awal UUPA No.5 tahun 1960. Bahwa cita-cita kemerdekaan Indonesia yakni memajukan kesejahteraan segenap rakyat Indonesia. Semangat untuk melindungi kaum tani dari ancaman perampasan hak atas tanah dari pihak luar. Semangat untuk membawah bangsa ini menjadi bangsa yang merdeka dan mandiri dari dominasi dan pengaruh kapitalisme dan imprialisme serta feodalisme yang telah terbukti menyengsarakan rakyat Indonesia;
2. Hentikan segera tindak kekerasan, penangkapan dan pengkriminalan terhadap kaum tani dan aktivis tani dan bebaskan segera kaum tani dan aktivis tani (para pimpinan serikat tani) yang di tahan, dimana selama ini dengan adanya konflik-konflik agraria yang terjadi selalu menempatkan para petani dalam posisi sebagai korban baik itu kekerasan maupun kriminalisasi atas perjuangan mereka;
3. Naikkan upah buruh sesuai standar kebutuhan hidup layak (KHL), termasuk buruh tani dan pekerja pertanian di pedesaan serta golongan pekerja rendahan lainnya;
4. Menuntut penyediaan lapangan pekerjaan serta pendidikan gratis bagi anak-anak buruh, buruh tani dan petani miskin serta pendidikan murah bagi seluruh rakyat;
5. Berikan kebebasan berorganisasi dan berpendapat bagi rakyat sesuai yang terkandung didalam UUD 1945 pasal 28;
6. Dalam momentum ini juga kami Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI) berseru kepada segenap kaum tani untuk terus bersatu dan berhimpun dalam wadah-wadah serikat tani/organisasi massa kaum tani yang independen, demokratis, militan dan patriotik serta dari dasar hati secara tulus menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya atas perjuangan kaum tani di Indonesai selama ini. Kepada kaum buruh, buruh migrant dan seluruh rakyat Indonesia terus mari kita rapatkan barisan dan perkuat persatuan kita. Tetap dan teruslah berjuang hingga cita-cita kaum tani tercapai, kita bangun dan perkuat terus persatuan kaum buruh dan tani dibawah kepemimpinan klas buruh.
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan, dan kami segenap pimpinan serta seluruh anggota GSBI menyampaikan SELAMAT HARI TANI NASIONAL YANG KE 50. Dan tetaplah berjuang sampai pada titik kemenangan.
Jaya lah kaum tani..!!
Jaya lah Rakyat Indonesia..!!
Hidup buruh..!!!
Galang Solidaritas Lawan Penindasan
Hormat kami
Dewan Pimpinan Pusat
Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI)
Rudi HB. Daman Emelia Yanti MD Siahaan
Ketua Umum Sekretaris Jenderal
Gabungan Serikat Buruh Independen
Federation of Independent Trade Union
No : 004-SP/DPP.GSBI/JKT/IX/2010
Tanggal : Jum’at, 24 September 2010
Tentang : Peringatan Hari Tani Nasional dan 50 tahun UUPA No.5 thn 1960.
“ HENTIKAN PERAMPASAN TANAH, UPAH DAN KERJA”
Laksanakan Reforma Agraria Sejati, Hentikan Segala Bentuk Kriminalisasi, Kekerasan Pada Kaum Tani dan Berikan Hak Berorganisasi Bagi Rakyat.
Salam solidaritas,
Tanggal 24 September adalah hari bersejarah bagi kaum Tani Indonesia bahkan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dimana Hari tanggal itu adalah hari lahir Undang-Undang Republik Indonesia No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).
MENGAPA dikatakan bersejarah? Karena kelahiran UUPA mengandung dua makna besar bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Pertama, UUPA bermakna sebagai upaya mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 (Naskah Asli), yang menyatakan, "Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Kedua, UUPA bermakna sebagai penjungkirbalikan hukum agraria kolonial dan penemuan hukum agraria nasional yang bersendikan realitas susunan kehidupan rakyat Indonesia.
Adapun yang menjadi tujuan UUPA pada pokoknya meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan, dan meletakkan dasar-dasar kepastian hukum hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat. Semuanya semata-mata untuk mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan, keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam menuju masyarakat adil dan makmur. Sebenarnya apa yang tersurat maupun tersirat dari tujuan UUPA, pada hakikatnya merupakan kesadaran dan jawaban bangsa Indonesia atas keserakahan dan kekejaman hukum agraria kolonial.
Sebagaimana diketahui, hukum agraria kolonial yang tertuang dalam Agrarische Wet 1870, misalnya, menjamin Hak Erfpacht sampai selama 75 tahun, dan menjamin pemegang hak itu untuk menggunakan Hak Eigendom, serta memberi peluang kepada mereka dapat menggunakan tanahnya sebagai agunan kredit.
Lahirnya Agrarische Wet 1870 dipengaruhi dan atas desakan kepentingan pemilik modal swasta Belanda untuk berbisnis perkebunan besar di negeri jajahannya. Sebelumnya, di masa culturrstelsel, mereka hanya dibolehkan sebatas menyewa tanah. Dampak dari hukum kolonial terhadap rakyat tani Indonesia, hanya menghadirkan sejarah kelam kemelaratan, kemiskinan, keterbelakangan dan penindasan.
Dari sini terlihat kuatnya jalinan ikatan "benang merah" antara UUPA dan sejarah kelam rakyat Indonesia. Karena itu, tidak terlalu mengherankan bila Bung Karno menerbitkan Keppres No 169/1963 yang menetapkan tanggal lahir UUPA, 24 September sebagai Hari Tani nasional. Penetapan ini merupakan pemuliaan tertinggi terhadap rakyat tani Indonesia, yang hingga kini tetap merupakan mayoritas warga-bangsa Indonesia. Memuliakan rakyat tani berarti memuliakan bangsa! Membebaskan rakyat tani berarti membebaskan bangsa! Membangun rakyat tani berarti membangun bangsa!
Karena bersejarahnya maka setiap tanggal 24 September selalu diperingatan sebagai Hari Tani Nasional (HTN).
Namun ironis di usianya yang ke 50 tahun nasib UUPA hidup segan mati tak mau dan senyatanya tidak memberikan manfaat utama bagi kaum tani, Karena amanat Pasal 10 UUPA yang lalu menjadi UU No 56 Prp Tahun 1960 mengenai landreform, dalam pelaksanaannya mengalami hambatan dan rintangan berat. Oleh kalangan tertentu, secara picik UUPA dan landreform di-"cap" sebagai produk Komunis.
Padahal bagi suatu bangsa bekas jajahan yang mewarisi belenggu ketidakadilan struktural feodalisme, kolonialisme, imperialisme adalah mustahil dapat membebaskan rakyatnya dari belenggu ketidakadilan tanpa lebih dulu mematahkan belenggu struktural itu.
Dalam kaitan itu, di sini terlihat betapa mendasarnya fungsi pelaksanaan redistribusi aset-aset ekonomi, yang di antaranya melakukan perombakan kepemilikan dan penguasaan tanah. Akhirnya, setelah rezim Soeharto berhasil menduduki singgasana kekuasaan tahun 1967, praktis UUPA dan landreform mengalami proses delegitimasi supaya tidak mengganggu proses pembangunan yang mengabdi pada kepentingan Imperialisme yang ingin dilaksanakan.
Kaum tani adalah populasi yang terbesar di Indonesia yaitu 65% dari 238 Juta Penduduk Indonesia. Dengan jumlah ini, kaum tani adalah kekuatan produktif yang paling besar, lebih besar dibanding buruh manufaktur (12 juta jiwa), buruh niaga (19,4 juta jiwa), jasa (11,3 juta jiwa), dan sektor lainnya 11,8 juta jiwa).
Idealnya, kaum tani Indonesia dengan jumlah mayoritas dan sumber kekayaan Indonesia yang melimpah, mendapatkan kemudahan akses akan sumberdaya tanah, teknologi, modal dan pasar yang menjamin kehidupan petani Indonesia hidup sejahtera dan berkeadilan. Akan tetapi meski menduduki posisi mayoritas, kaum tani Indonesia adalah kalangan yang paling tidak beruntung disebabkan oleh ketimpangan penguasaan agraria atau monopili tanah.
Saat ini penguasaan atau monopoli tanah terutama oleh 10 Perusahaan besar swasta di Indonesia “Sinar Mas, Willmar, Lonsum, Salim Grup, Tanoto, Indofood, Bumi Resources, Bakrie Land” dan lain sebagainya telah mencapai 5,3 Juta Ha. Perusahaan tambang, Khususnya batu bara makin meluas mencapai 84 Juta Ha dalam lima tahun terakhir. Monopoli Tanah juga dilakukan oleh Negara mencapai melalui Taman Nasional 23,3 ribu Ha melalui PTPN: 1, 729 Juta Ha (Diluar Rajawali indonesia), Perhutani (Hutan Lindung dan Produksi): 3,1 Juta Ha (Khusus Untuk Jawa), Sawit 7,5 Juta Ha dan melalui TNI. Saat ini Pemerintah masih memprogramkan perluasan kebun kelapa Sawit sebesar 2 Juta Ha Pertahun. Bahkan pondasi sumber-sumber agraria lainnya juga dimonopoli oleh segelintir pengusaha besar dengan total lebih kurang 4.370 atau 0,01%, dari 51.260.000 usaha di Indonesia,serta terjadinya pengaplingan atas laut melalui UU HP3. (Kompas, 14 Agustus 2010).
Di bawah dominasi imperialism rejim komprador SBY-Budiono pelaksanaan kebijakan neoliberal, hanya kian memperparah keadaan yang telah ada. Lihat kebijakan liberalisasi, demokratisasi, marketisasi, privatisasi, rekapitalisasi, governance, transparansi, dan lain-lain- pada hakikatnya hanya bermuatan kepentingan neoliberalisme. Semua itu tidak mengubah tradisi lama yang membiarkan rakyat tani menghadapi sendiri bencana kekeringan, kemiskinan penindasan dan penghisapan. Bahkan terus memperhebat perampasan atas tanah serta berbagai tingkat kekerasan pada kaum tani ketika mempertahankan hak-haknya yaitu tanah.
Untuk mendukung skema kaum imperialis ini, pemerintah Indonesia telah menerbitkan sejumlah aturan yang terkait dengan pengaturan tanah dan kekayaan alam di Indonesia seperti Undang-Undang (UU) No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), dan UU No.41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Semua aturan terkait perkebunan, pertambangan mineral dan batubara, penanaman modal dan pertanian pangan tersebut mencerminkan watak komprador dari rezim Susilo Bambang Yudhoyono dan Budiono (SBY-Budiono). Karena memberikan fasilitas sedemikian luas kepada modal asing untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia, baik melalui konsesi hak guna usaha, kontrak karya pertambangan maupun kemudahan-kemudahan investasi lainnya bagi investor asing untuk menguasai tanah di Indonesia.
Dalam pandangan GSBI, jelas bahwa aturan-aturan yang disebutkan di atas, memberikan pengesahan atas terjadinya perampasan tanah dalam bentuk perluasan perkebunan skala raksasa dan pertanian pangan skala raksasa (food estates) serta berbagai bentuk kekerasan, yang dilakukan oleh rezim SBY-Budiono.
Politik agraria yang semakin menghisap dan menindas kaum tani, semakin meluas. Inilah yang sedang terjadi saat ini, di mana kaum tani Indonesia dibawah rezim politik SBY-Budiono, terus mengalami perampasan tanah dan tindak kekerasan dalam berbagai bentuk seperti pemenjaraan, penangkapan, penahanan, intimidasi, penganiayaan, penembakan, pembunuhan, dan bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang lain. Sebagai contoh, menurut catatan yang dipublikasikan oleh AGRA (Aliansi Gerakan Reforma Agraria), dalam tiga bulan terakhir pada tahun 2008 saja, rezim anti-rakyat telah menangkap, menahan, dan memenjarakan sekitar 46 orang petani yang berjuang untuk hak-hak atas tanahnya. Selain itu terjadi juga pembunuhan petani perempuan di Kuansing Riau yang memperjuangkan hak-haknya, penangkapan 2 petani dan aktivis di Banggai Sulteng, penangkapan 2 petani Kelompok Tani Anak Nagari Pasaman Barat Sumbar Agustus 2010, penangkapan 20 orang petani dan aktivis oleh Polda Bengkulu yang di barengi dengan pelecehan seksual terhadap petani perempuan sekitar Juli 2010 bertempat di Desa Pring Baru Kecamatan Semidang Alas Maras, Kabupaten Seluma – Bengkulu – ketika konflik dengan PTPN VI menjadi gambaran begitu kerasnya konflik yang dialami oleh petani berhadapan dengan kekuasaan baik kuasa ekonomi maupun kuasa politik.
Masih Ada banyak daftar peristiwa kekerasan dan kriminalisasi sampai terbunuhnya petani di Negeri ini. Konflik di perkebunan kelapa sawit sampai tahun 2009 terjadi lebih 700 konflik yang kesemuanya berakhir dengan penangkapan dan ada pula terbunuhnya petani sepeyi kasus kuansing Riau Juli 2010, di Jawa Timur (2004-2008) tercatat 25 sengketa tanah yang melibatkan masyarakat dan militer. Luas tanah yang disengketakan adalah 15.374 hektar. Jawa Barat terdapat 1.200 kasus sengketa tanah. Ini merupakan watak dan prilaku rejim SBY-BOEDIONO yang mengingatkan kita pada setengah abad yang lalu, bahkan jauh sebelumnya, petani mendapatkan perlakukan serupa atas kekuasaan masa kolonial.
Belum lagi soal Jumlah Tanah Yang Dirampas dan Kaum Tani yang Menderita, Selama periode 2004-2010 saja ada pertambahan dalam jumlah luasan tanah yang dimiliki perkebunan. Dari data yang berhasil dikumpulkan dari Dirjen Perkebunan maupun catatan dari Sawit Watch, ternyata dalam periode 2004-2010 total luas tanah perkebunan yang dikuasai oleh perkebunan swasta besar (PBS) untuk 7 komoditas (sawit, karet, kakao, teh, tebu, kelapa, pulp and paper) adalah 21.267.510 hektar. Sementara total luas perkebunan yang dikuasai oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) untuk lebih dari 7 komoditas di luar Rajawali, adalah sebesar 1.729.251,48 hektar.
Kekerasan yang dialami kaum tanipun mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena perampasan tanah di Indonesia memang merupakan peristiwa yang sehari-hari dihadapi oleh kaum tani Indonesia. Selain itu, fenomena perampasan tanah pada tingkat nasional menunjukkan kembalinya wujud pemerintahan yang berwajah fasis (mengandalkan kekerasan militer dan kepolisian) dalam menyelesaikan konflik-konflik sosial yang ada di dalam masyarakat, khususnya konflik dan sengketa tanah, yang melibatkan kaum tani.
Berbagai tindakan yang dilakukan oleh rezim SBY-Boediono sesungguhnya tidak akan mampu menghentikan perjuangan gerakan rakyat dan kaum tani atas perampasan terhadap tanah, upah dan kerja yang dilakukan oleh rejim boneka imperialisme SBY-Boediono. Bangkitnya gerakan massa tidak akan begitu saja bisa di hentikan, Kenyataan tersebut justeru akan terus melecut perlawanan Rakyat yang semakin besar dalam berbagai bentuk. Hal tersebut menandakan bahwa kaum tani di Indonesia, seperti halnya sektor lainnya telah memahami bahwa akar persoalan yang mendominasi Indonesia tidaklah berbeda, semua penindasan dan penderitaan yang dialami oleh kaum tani berawal dari dominasi Imperialisme dan Feodalisme serta Kapitalisme Birokrat.
Maka setelah melihat realitas penderitaan kehidupan rakyat tani sepanjang sejarah bangsa, ini merupakan kewajiban kita semua untuk mentransformasikan kehidupan dan sistem sosial menuju penghidupan lebih baik dan lebih mulia. Untuk itu, melaksanakan pembaruan agraria sejati berdasar UUPA merupakan jalan keluar paling tepat guna membebaskan rakyat tani dari belenggu ketidakadilan struktural warisan feodalisme, kolonialisme, dan imperialisme.
Oleh karena itu, tugas-tugas terdekat dari gerakan rakyat, termasuk gerakan kaum buruh, buruh migrant, pemuda mahasiswa, perempuan dan gerakan kaum tani dewasa ini adalah mengedepankan kembali gerakan rakyat yang sejati sebagai tenaga penggerak utama perubahan maupun faktor penentu perubahan masyarakat. Dan dengan menggunakan momentum krisis umum imperialisme yang ada saat ini adalah terus memperhebat perjuangan massa untuk menuntut hak-hak sosial ekonomi dan sekaligus meningkatkan perjuangannya ke bentuk-bentuk perjuangan politik yang lebih maju. Inilah saat yang tepat bagi gerakan sosial Indonesia untuk mengambil prakarsa politik memimpin sendiri perjuangannya melawan rezim anti-rakyat.
Melalui perjuangan massa, gerakan tani harus menekankan pentingnya reforma agraria sebagai kesimpulan umum yang semakin tegas pada saat ini. Reforma agraria adalah jawaban utama untuk mengatasi masalah-masalah besar yang dialami bangsa Indonesia. Reforma agraria pun pada akhirnya tidak hanya berbicara tentang peningkatan taraf hidup kaum tani dan upaya-upaya praktis untuk mengangkat kaum tani dari masalah kemiskinan.
Lebih dari itu, reforma agraria akan memberikan fondasi yang paling stabil untuk pembangunan secara menyeluruh menuju terbentuknya sebuah bangsa yang berdaulat secara ekonomi, politik, dan kebudayaan. Secara ekonomi, kemiskinan dan kesengsaraan masyarakat pedesaan yang terkungkung dalam relasi produksi yang berwatak feodalistik menjadi legitimasi historis yang semakin memperkukuh urgensi reforma agraria. Secara politik, naiknya gerakan massa kaum tani di berbagai penjuru negeri dan tingginya kekerasan bersenjata dalam sengketa-sengketa agraria di Indonesia memberikan basis politik yang konkret untuk pelaksanaan reforma agrarian sejati.
Berpijak pada dasar pandangan dan uraian-urain itulah dalam momentum memperingati Hari Tani Nasional (HTN) yang ke – 50 yaitu hari ini Jum,at 24 September 2010, Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI) menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Laksanakan Reforma Agraria Sejati Bagi Kaum Tani Sekarang Juga dan Bangun serta perkuat Industrialisasi Nasional sebagai jawaban atas krisis pangan, kemiskinan, pengangguran yang semakin akut. Maka untuk itu GSBI Menyerukan kepada pemerintah dan segenap jajarannya termasuk seluruh rakyat Indonesia untuk kembali ke semangat awal UUPA No.5 tahun 1960. Bahwa cita-cita kemerdekaan Indonesia yakni memajukan kesejahteraan segenap rakyat Indonesia. Semangat untuk melindungi kaum tani dari ancaman perampasan hak atas tanah dari pihak luar. Semangat untuk membawah bangsa ini menjadi bangsa yang merdeka dan mandiri dari dominasi dan pengaruh kapitalisme dan imprialisme serta feodalisme yang telah terbukti menyengsarakan rakyat Indonesia;
2. Hentikan segera tindak kekerasan, penangkapan dan pengkriminalan terhadap kaum tani dan aktivis tani dan bebaskan segera kaum tani dan aktivis tani (para pimpinan serikat tani) yang di tahan, dimana selama ini dengan adanya konflik-konflik agraria yang terjadi selalu menempatkan para petani dalam posisi sebagai korban baik itu kekerasan maupun kriminalisasi atas perjuangan mereka;
3. Naikkan upah buruh sesuai standar kebutuhan hidup layak (KHL), termasuk buruh tani dan pekerja pertanian di pedesaan serta golongan pekerja rendahan lainnya;
4. Menuntut penyediaan lapangan pekerjaan serta pendidikan gratis bagi anak-anak buruh, buruh tani dan petani miskin serta pendidikan murah bagi seluruh rakyat;
5. Berikan kebebasan berorganisasi dan berpendapat bagi rakyat sesuai yang terkandung didalam UUD 1945 pasal 28;
6. Dalam momentum ini juga kami Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI) berseru kepada segenap kaum tani untuk terus bersatu dan berhimpun dalam wadah-wadah serikat tani/organisasi massa kaum tani yang independen, demokratis, militan dan patriotik serta dari dasar hati secara tulus menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya atas perjuangan kaum tani di Indonesai selama ini. Kepada kaum buruh, buruh migrant dan seluruh rakyat Indonesia terus mari kita rapatkan barisan dan perkuat persatuan kita. Tetap dan teruslah berjuang hingga cita-cita kaum tani tercapai, kita bangun dan perkuat terus persatuan kaum buruh dan tani dibawah kepemimpinan klas buruh.
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan, dan kami segenap pimpinan serta seluruh anggota GSBI menyampaikan SELAMAT HARI TANI NASIONAL YANG KE 50. Dan tetaplah berjuang sampai pada titik kemenangan.
Jaya lah kaum tani..!!
Jaya lah Rakyat Indonesia..!!
Hidup buruh..!!!
Galang Solidaritas Lawan Penindasan
Hormat kami
Dewan Pimpinan Pusat
Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI)
Rudi HB. Daman Emelia Yanti MD Siahaan
Ketua Umum Sekretaris Jenderal