Realese FPR : SETAHUN REZIM SBY BUDIONO MENIPU, SETAHUN RAKYAT MELAWAN
Front Perjuangan Rakyat http://fprsatumei.wordpress.com/ Sekretariat : Jl. Mampang XIII No. o3, RT03/03, Mampang Prapatan, Jakarta ...
https://www.infogsbi.or.id/2010/10/realese-setahun-rezim-sby-budiono.html?m=0
Front Perjuangan Rakyat
Sekretariat : Jl. Mampang XIII No. o3, RT03/03, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.
Telp/Fax: 021-7986468 - HP. 0818-08974078
SETAHUN REZIM MENIPU,
SETAHUN RAKYAT MELAWAN
SBY-Boediono Harus Bertanggungjawab atas Segala Penderitaan Rakyat!
Oleh : Front Perjuangan Rakyat (FPR)
Pada 20 Oktober 2010, genap satu tahun duet SBY-Boediono memimpin Indonesia. Di tanggal dan bulan yang sama tahun lalu, pasangan ini diambil sumpah jabatan setelah sebelumnya ditetapkan sebagai kampiun dalam laga Pilpres dengan mengantongi 73.874.562 suara (60,8 persen), mengalahkan para pesaingnya, pasangan Megawati-Prabowo (32.548.105 suara/26,79 persen) dan pasangan Kalla-Wiranto (15.081.814/12,41 persen).
Dengan mengusung visi “terwujudnya Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur”, duet politisi- ekonom ini memulai debut kepemimpinannya. Pertanyaannya, seberapa dekatkah Indonesia hari ini dengan apa yang mereka cita-citakan? Mari kita diskusikan.
Dengan mengetahui bahwa beban hutang luar negeri RI mencapai Rp 1.688,3 triliun (perkiraan akhir 2010) dan diprediksi meningkat menjadi Rp 1.807,5 triliun pada 2011, dengan mengetahui bahwa 82 persen dari total investasi di Indonesia berbentuk Penanaman Modal Asing (PMA), atau dengan mengetahui bahwa 45 persen (2009) dari total aset perbankan Indonesia di kuasai oleh pihak asing, masihkah kita akan berpikir bahwa Indonesia mandiri?
Kemandirian bangsa memang bukanlah suatu hal yang mustahil untuk diwujudkan. Tetapi sebelumnya, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi, salah satunya adalah kedaulatan pemerintah dalam urusan politik. Kedaulatan politik sangat penting agar bangsa dan negara tidak diombang-ambing oleh berbagai intervensi politik dari luar. Mungkinkah SBY-Boediono mampu mewujudkannya? Nampaknya tidak akan pernah, selama mereka masih membiarkan hutang dan investasi mendikte kepemimpinan mereka. Kondisi ini secara otomatis tidak akan mungkin membawa Indonesia ke pintu gerbang kemajuan dan kemakmuran. Berbagai peningkatan yang ditunjukan grafik pemerintah nampak sebagai akal-akalan untuk menenangkan hati rakyat yang sedang dirudung berbagai kesusahan.
Berbicara keadilan, hukum Indonesia hari ini semakin menunjukan keidakberpihakannya pada rakyat kecil. Sebagai contoh, berbagai kasus pelanggaran HAM baru terus terjadi, sementara yang lama tidak pernah terselesaikan. Berbagai kasus kekerasan, penculikan, penghilangan, pemenjaraan terhadap para aktivis, petani, buruh dan golongan lainnya tidak juga menemui titik terang. Seolah menguatkan kesimpulan di atas, tahun ini publik tanah air dibuat geram dengan pemberitaan seputar mafia hukum atau mafia peradilan, yang tak lain adalah merupakan orang-orang dalam jajaran birokrasi yang hari ini dipimpin oleh SBY-Boediono.
Perekonomian dan Kemiskinan
Di bawah kepemimpinan SBY-Boediono, berbagai kebijakan yang diterbitkan pemerintah masih menggambarkan secara jelas bahwa mereka sangat tunduk terhadap segala ketentuan internasional yang dirumuskan imperium kapitalis di bawah kepemimpinan Amerika (Serikat). Bermacam program yang dijalankan di berbagai sektor secara kuat mengindikasikan komitmennya terhadap kuasa koorporasi untuk menyuguhkan sumberdaya alam yang melimpah, tenaga kerja murah yang melimpah, serta pasar yang luas bagi mereka. Pembukaan area-area perdagangan bebas, perluasan lahan investasi asing, atau penjualan aset-aset BUMN (privatisasi) adalah sejumlah gambaran tentang ekonomi liberal yang dipraktikan pemerintah.
Pada sektor kemiskinan, dalam program aksinya SBY-Boediono menawarkan sejumlah langkah perbaikan, yang di antaranya adalah 1). Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang selama ini efektif dalam mengatasi gejolak yang temporer akan selalu disiagakan untuk dipergunakan setiap waktu, 2). Pemihakan kepada Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi, antara lain dengan pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk memberikan akses modal bagi masyarakat kecil.
Berbagai program tersebut nyatanya tidak bisa memperbaiki kualitas hidup rakyat. BLT menuai banyak kritik dan memicu konflik horisontal di kalangan rakyat. Sementara itu, pada praktiknya KUR menjadi program yang juga dari jangkauan rakyat karena untuk mendapatkannnya dalam jumlah yang mencukupi untuk usaha, rakyat harus memiliki aset sebagai jaminan. Apa yang bisa dijaminkan rakyat yang tidak bermilik?
Secara ekstrim, kita bisa menuding bahwa berbagai program ‘murah hati’ pemerintah tak lebih dari upaya untuk menjaga daya beli minimal rakyat agar kelebihan produksi koorporasi bisa terserap, dan selebihnya adalah upaya untuk meredam resistensi rakyat yang semakin meningkat akibat degradasi kualitas hidup. Kelemahan program SBY-Boediono dan implementasinya di sektor ini secara terang didukung oleh angka kemiskinan masih sangat tinggi, yakni mencapai 31,03 juta orang atau 13, 33 persen (BPS, 2010).
Lapangan Pekerjaan dan Ketenagakerjaan
Pada dua sektor ini, SBY-Boediono memiliki sejumlah program aksi, di antaranya adalah 1). Peningkatan kualitas pekerja baik dilihat dari upah yang diterima, produktivitas dan standar kualifikasinya untuk dapat memperluas peningkatan kesempatan di sektor formal, serta mengurangi jumlah pengangguran terbuka usia muda. 2). Peningkatkan investasi melalui perbaikan iklim investasi baik di pusat maupun di daerah sehingga kesempatan kerja baru dapat tercipta.
Menurut data BPS (Februari, 2010), dari total 116 juta orang angkatan kerja tahun ini, pengangguran tercatat sebesar 8,59 juta orang. Kondisinya hari ini, sekitar 73,6 juta orang (68 persen) bekerja di sektor informal. Mereka adalah orang-orang yang bekerja sebagai tukang parkir, tukang ojeg, pedagang, dan lain sebagainya. Kita bisa membayangkan bagaimana tidak terjaminnya masadepan mereka di tengah krisis global yang tak kunjung usai. Lebih menyedihkan, angka penganguran terdidik (D3 dan S1) terus mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 13,45 persen per tahun. Pada tahun 2009, penangguran lulusan D3 mencapai 486.000 orang, sementara lulusan S1 mencapai 62.000 orang.
Di sektor perburuhan, praktik outsourcing dan Perjanjian Kerja Jangka Pendek (PKWT) semakin mengkhawatirkan. Sebagai contoh, menurut hasil penyelidikan terhadap 17 perusahaan yang tersebar di wilayak Jabodetabek, diketahui bahwa dari 16.227 buruh, lebih dari setengahnya (8.763 buruh) adalah pekerja yang dikontrak dengan jangka pendek. Ketidakseriusan pemerintah dalam menjamin keseahteraan buruh juga bisa disimpulkan dari tidak konsistennya mereka menjalankan berbagai peraturan yang mereka produksi, salah satunya adalah UU No. 20 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Selanjutnya, seolah menguatkan sikap pro-koorporasinya, pemerintah hari ini berencana merevisi UU Ketenagakerjaan (UUK) yang menghendaki pengaturan ulang mekanisme mengenai masa kerja dan pemberian pesangon serta penghapusan standarisasi Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK). Pada perkembangannya, rencana revisi UUK ini juga menghadapi penentangan dari kalangan buruh karena dianggap merugikan mereka. Bagaimanapun bentuknya, hal ini menyiratkan kepentingan koorporasi untuk menekan ongkos produksi di masa krisis.
Kondisi di sektor perburuhan migran lebih ‘menarik’ lagi. Angka kematian tenaga kerja Indonesia (TKI) di 14 negara penempatan selama 2009 mencapai 1.018 orang, di mana 683 orang di antaranya (67%) meninggal di Malaysia. Berbicara investasi, sudah disinggung sebelumnya bahwa hari ini PMA memiliki porsi 82 persen dari total investasi di Indonesia. Artinya adalah bahwa sedari awal SBY-Boediono (dalam bahasa kasar) ingin mengobral murah meriah negeri kaya bernama Indonesia ini.
Reformasi Birokrasi
Di bidang ini, program aksi SBY-Boediono di antaranya adalah “Meneruskan reformasi birokrasi di lembaga-lembaga pemerintah (departemen dan lembaga serta pemerintah daerah) secara bertahap, terukur dan terus dijaga kualitas hasil kinerjanya serta pertangungjawaban publik.”
Hal pertama yang layak kita perbincangkan di sektor ini adalah korupsi. Seberapa banyakpun janji manis SBY-Boediono tentang pemberantasan korupsi, pada praktiknya angka korupsi masih sangat tinggi, dan proses hukum terkait persoalan ini sangatlah lemah. Kita tentu masih ingat isu tentang korupsi yang merebak dalam kepemimpinan SBY-Boediono, yakni kasus Bank Century yang merugikan rakyat mencapai Rp 6,7 triliun atau kasus ‘Gayus’ yang menggasak uang rakyat lewat korupsi pajaknya. Di samping itu, masih banyak persoalan korupsi lainnya yang tidak terselesaikan. Tahu sama tahu sepertinya menjadi ajimat bagi aparat pemerintah untuk saling memaklumi tabiat koruptif masing-masing.
Kesehatan dan Pendidikan
Di bidang kesehatan, salah satu program aksinya adalah “Menyempurnakan dan memantapkan pelaksaan program jaminan kesehatan masyarakat baik dari segi kualitas pelayanan, akses pelayanan, akuntabilitas anggaran, dan penataan administrasi yang transparan dan bersih.”
Dalam persoalan ini, tidak perlu lagi kita memperdebatkan kelemahan pemerintah yang sangat nyata, yang terbukti dengan ketidakmampuan mereka dalam memenuhi program Millennium Development Goals (MDGs). Angka kematian ibu saat melahirkan di Indonesia masih sangat tinggi, yakni 228 per 100.000 kelahiran. Padahal, berdasarkan sasaran pembangunan MDGs, kematian ibu melahirkan ditetapkan pada angka 103 per 100.000 kelahiran. Selain itu, angka kasus gizi buruk juga sangat mengkhawatirkan, yakni mencapai 1,389 juta jiwa (2010).
Kegagalan pemerintah juga bisa kita rasakan saat membayangkan bagaimana akses rakyat miskin atas kesehatan. Privatisasi juga sangat terasa dalam bidang ini, salah satunya dalam persoalan dominasi obat-obatan produk swasta yang harganya bisa sangat jauh dari jangkauan rakyat yang tak bermilik.
Di bidang pendidikan, dua di antara sekian program aksi yang mereka tawarkan adalah 1). Mengurangi kesenjangan dalam akses pendidikan dan kualitas pendidikan, baik pada keluarga berpenghasilan rendah maupun daerah yang tertinggal. Pemberiaan program beasiswa serta pelaksanaan dan perluasan Program Keluarga Harapan (PKH), serta memberikan bantuan tunai kepada rumah tangga miskin dengan syarat mereka mengirimkan anaknya ke bangku sekolah. 2). Perbaikan secara fundamental kualitas kurikulum dan penyediaan buku-buku yang berkualitas agar makin mencerdaskan siswa dan membentuk karakter siswa yang beriman, berilmu, kreatif, inovatif, jujur, dedikatif, bertanggung jawab, dan suka bekerja keras.
Menilik dan membandingkan realita di lapangan dengan misi pemerintah terkait dengan pendidikan di atas, rasanya siapapun pasti sepakat SBY-Boediono tidak mamapu menciptakan perbaikan yang fundamental dalam setahun duet kepemimpinan mereka—atau dalam enam tahun kepemimpinan SBY (empat tahun bersama JK).
Sebelumnya, gagasan mereka tentang privatisasi pendidikan lewat bentuk badan hukum mendapat penentangan yang luar biasa dari rakyat dan harus berujung dengan pencabutan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP). Setelah mengalami penolakan, hari ini pemerintah sedang memutar otak untuk melanjutkan program liberalisasinya, salah satunya adalah dengan menerbitkan regulasi pengganti UU BHP berbentuk PP No 66 tahun 2010.
Persoalan penting dalam dunia adalah semakin meningkatnya biaya pendidikan di bawah kepemimpinan SBY(-Boediono). Dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun ini, anggaran untuk sektor pendidikan tercatat sejumlah Rp.221,4 triliun atau naik Rp.11,9 triliun, dari sebelumnya yang hanya 209,5 triliun. Namun ironisnya, penambahan anggaran ini berbanding terbalik dengan biaya pendidikan yang mengalami kenaikan signifikan.
Menurut data BPS, kenaikan pada bulan Juli 2009 di banding tahun 2000 mencapai 227 persen. Angka ini lebih tinggi dari angka kenaikan harga secara umum yang mencapai 115 persen, dan kenaikan harga pangan yang sebesar 112 persen. Hari ini, biaya masuk PTN sudah menembus angka ratusan juta. Jika kita membandingkan penghasilan buruh tani yang hanya Rp.37.897 per hari atau buruh industri yang tidak lebih dari Rp 1.118.000 per bulan (standar pemerintah 2010), biaya masuk PT tersebut sangatlah tidak realistis.
Lingkungan
Dalam beberapa waktu terakhir, isu yang tidak kalah hangatnya adalah tentang lingkungan dan bencana. Di sektor ini, SBY-Boediono, salah satunya memiliki program aksi: “Memperbaiki lingkungan yang mengalami kerusakan dan mencegah bencana alam dengan melakukan reboisasi, penghutanan kembali, dan perbaikan daerah aliran sungai.”
Dengan membuka pintu investasi bagi koorporasi-koorporasi imperialis yang berwatak eksploitatif dan destruktif terhadap lingkungan, mimpi SBY-Boediono ini terdengar seperti guyonan. Akibat dari rusaknya lingkungan, berbagai bencana alam pun tak bisa lagi dihindari. Kasus terakhir adalah banjir di Wasior, Papua Barat yang menelan korban jiwa hingga 156 orang dan korban hilang mencapai 158 orang (16/10). Pada perkembangannya, SBY-Boediono dinilai sangat tidak tanggap terhadap kasus ini dan menyebabkan semakin menurunnya kepercayaan rakyat terhadap duet pemimpin ini.
Resistensi Rakyat
Buah dari ketidakmampuan SBY-Boediono dalam menghadirkan perubahan adalah meningkatnya resistensi rakyat, yang diekspresikan dengan berbagai cara. Dalam setiap edisi pemberitaan media massa hari ini, tidak pernah terlewatkan warta tentang demonstrasi yang dilakukan oleh berbagai kalangan rakyat. Secara sederhana, hal ini bisa dijadikan tolak ukur kepuasan rakyat terhadap duet SBY-Boediono di tahun pertama kepemimpinan mereka.
Atas sejumlah pendiskusian di atas, kami Front Perjaungan Rakyat menyatakan sikap dan menuntut:
1. Hentikan Komersialisasi Pendidikan!
2. Berikan Kepastian kerja bagi seluruh Rakyat, Hentikan Outsourcing dan Perjanjian Kerja Jangka Pendek!
3. Stop PHK dan Naikkan Upah Buruh!
4. Tolak Rencana Revisi UU Ketenagakerjaan!
5. Wujudkan Reforma Agraria Sejati!
6. Stop Overcharging, Cabut UU 39/2004 dan Rativikasi Konvensi PBB 1990!
7. Hentikan Kekerasan terhadap Buruh dan Tani!
8. Wujudkan Penanganan Bencana yang Responsif dan Komprehensif!
9. Tangkap dan Adili Koruptor!
10. Hentikan Perampasan Upah, Tanah, dan Kerja!
FRONT PERJUANGAN RAKYAT (FPR) :
Jakarta, 20 Oktober 2010
Rudi H. B. Daman
Koordinator FPR