Upah Minimum, Kenaikan TDL dan Nasib Kaum Buruh
Upah Minimum, Kenaikan TDL dan Nasib Kaum Buruh Oleh; M. Ali Dampak kenaikan TDL berakibat cukup b...
https://www.infogsbi.or.id/2010/10/upah-minimum-kenaikan-tdl-dan-nasib.html?m=0
Upah Minimum, Kenaikan TDL dan Nasib Kaum Buruh
Oleh; M. Ali
Dampak kenaikan TDL berakibat cukup besar terhadap bangkrutnya pengusaha kecil menengah (UKM), serta semakin memburuknya penghidupan kaum buruh karena upah yang diterima tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan hidup dan kaum buruh terus dibayangi ancaman PHK.
Kebangkrutan ekonomi di negeri imperialis terutama di Amerika Serikat akibat krisis berkepanjangan terus berusaha untuk dipulihkan, dengan berbagai cara, salah satunya memindahkan beban krisis dipundak Negeri-Negeri Jajahan, Setengah Jajahan dan Setengah Feodal dengan cara memperkuat dominasi ekonomi, politik, militer dan budaya dengan terus menebarkan teror dengan mengatasnamakan perdamaian, mengatasnamakan perang terhadap terorisme.
Imperialisme yang di komandoi AS dalam memperkuat dominasinya di negeri yang tidak tunduk terhadap skema ekonomi dan politik yang dibangunnya, tidak segan-segan melancarkan agresi dan okupasi. sedangkan di Negeri Setangah Jajahan Setengah Feodal seperti Indonesia, dengan jalan memperkuat Rezim boneka untuk meningkatkan eksploitasi sumberdaya alam, meningkatkan penindasan dan penghisapan terhadap rakyat, menempatkan Indonesia sebagai pasar yang potensial untuk menyerap hasil produksi perusahaan milik Imperilis setidaknya begitulah skema Imperialisme dalam menyelesaikan krisisnya.
Indonesia dibawah kekuasaan rezim SBY-Boediono sebagai representatif klas borjuis besar komperador, tuan tanah, serta kapitalis birokrasi, sebagai pemegang kekuasaan didalam negeri, tidak diragukan lagi segala kebijakan dan aspirasinya sepenuhnya diabdikan untuk penyelesaian krisis yang dialami majikannya dan untuk kepentingan klasnya serta sebagai upaya untuk tetap melanggengkan kekuasaannya, hanya dengan langkah demikian SBY akan mendapat dukungan dari Imperialisme.
SBY-Boediono Rezim perampas Upah dan Kerja Klas buruh Indonesia.
Perlahan tetapi pasti rezim boneka Imperialisme terus menanggalkan topeng yang berusaha dipakai untuk mengelabuhi rakyat, kebijakan-kebijakan yang menindas akan membuka dan menelanjangi watak aslinya sebagai rezim boneka, rezim anti rakyat dan anti terhadap klas buruh Indonesia. Politik upah murah akan terus menjadi kebijakan Rezim komperador, politik upah murah akan terus berlaku didalam negeri setengah jajahan setengah feodal, sebagai negeri penopang Imperialisme, sebagai negeri penyedia tenagakerja murah, sebagai Negeri penyedia sumber bahan mentah Industry Imperialis, dan sebagai pasar untuk menyerap hasil produksi perusahaan-perusahaan Imperialis.
Penetapan kenaikan upah buruh tiap tahun dalam bentuk UMK/UMP hanyalah upaya Rezim komperador SBY-Boediono untuk mengelabuhi klas buruh Indonesia, sebab upah selama ini sesungguhnya tidak pernah mengalami kenaikan secara kwalitatif (Nilai), karena kenaikan upah buruh tidak otomatis kemudian mampu meningkatkan daya beli klas buruh, justru sebaliknya meskipun buruh mengalami kenaikan upah, tetapi dari tahun-ketahun justeru kaum buruh mengalami kemrosotan penghidupan.
Kenaikan upah tahun 2010 yang hanya rata-rata 6,19%, dimana mayoritas kenaikannya dibawah kebutuhan Hidup Layak (KHL) berdasarkan hasil survai dewan pengupahan, meskipun survey yang dilakukan oleh dewan pengupahan sendiri tidak riil, penuh manipulasi.
Kenaikan upah tahunan dalam bentuk UMK/P bukti nyata politik upah murah menjadi kebijakan rezim komperador SBY-Boediono, misal UMP DKI Jakarta tahun 2009 sebesar Rp. 1.069.856, UMP tahun 2010 sebesar Rp. 1.118.009 (sekitar 4,5%), sedangkan survey KHL dewan pengupahan sebesar Rp. 1.465.000,- dengan mendasarkan atas kebutuhan hidup buruh Lajang, contoh lain adalah UMP Jawa Tengah tahun 2009 sebesar Rp. 575.000 dan pada tahun 2010 sebesar Rp. 660.000 (14,78%) sedangkan survai KHL dewan pengupahan sebesar Rp. 850.000,-.
Dari uraian contoh diatas, terang kiranya bahwa penetapan Upah oleh Rezim SBY Boediono ditujukan untuk menyediakan tenagakerja murah, sebab penetapan UMP tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan hidup meskipun bagi buruh lajang sekalipun, upah bagi klas buruh hanyalah diperuntukkan agar si buruh tetap hidup dan kembali dapat bekerja diesok harinya untuk di hisap oleh kapitalis. Karena berdasarkan data dari hasil survai dewan pengupahan untuk memenuhi kebutuhan buruh lajang di DKI Jakarta sebesar Rp. 1.465.000, tetapi buruh hanya diupah Rp. 1.118.009 artinya buruh lajang di DKI Jakarta harus mencari tambahan sebesar Rp. 346.991 atau 31% untuk hanya bisa hidup minimum, belum lagi banyak perusahaan yang tidak memberlakukan upah sesuai dengan ketetapan UMP. Lalu bagaimana dengan buruh yang sudah berkeluarga dan memiliki anak?
Beban kekurangan pendapatan klas buruh akibat dari politik upah murah bukanlah satu-satunya yang ditanggung oleh klas buruh Indonesia. Tetapi masih banyak kebijakan rezim yang merampas upah, memperparah dan memperdalam penderitaan klas buruh Indonesia diantaranya; kebijakan tetang PPHI 21 (pajak penghasilan); buruh harus di potong penghasilanya sebesar 5-6% belum lagi potongan-potongan lain yang harus dibayar oleh buruh seperti asuransi Jaminan sosial dan dana pensiun, diberlakukannya undang-undang No. 40 tahun 2004 tentang SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) dan rancangan undang-undang BPJS (Badan penyelenggara Jaminan Sosial) serta Rencana Amandemen Undang-undang JAMSOSTEK. Setidaknya buruh saat ini mengalami perampasan upah sebesar 9,34% dalam setiap bulannya bagi buruh lajang dan 12,24% bagi buruh yang berkeluarga. Jika amandemen Undnag-undnag JAMSOSTEK diberlakukan perampasan akan mangalami peningkatan sebesar 40,62% untuk buruh lajang dan 45,5% bagi buruh berkeluarga.
Dari data tersebut sudah cukup terang dan jelas bagaimana pemerintah telah berusaha meningkatkan perampasan upah buruh yang sudah sangat minim. Lebih lanjut, perampasan upah yang dilakukan oleh rezim komperador SBY-Boediono terhadap klas buruh Indonesia tidak berhenti disitu saja, kebijakan lain yang juga merampas upah buruh bahkan hingga ketitik nol pendapatannya akibat PHK adalah kebijakan menaikan harga GAS dan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang efektif berlaku pada Juli 2010 lalu.
Kenaikan TDL Memperhebat perampasan Upah dan Kerja Klas buruh Indonesia.
Orientasi pemenuhan GAS untuk Chevron Pasifik Indonesia berimbas atas ketidak mampuan Badan pelaksana kegiatan Hulu Minyak dan GAS bumi untuk memenuhi pasokan sebesar 100 juta kaki perhari untuk pembangkit Listrik Tenaga GAS Uap Muara tawar hingga tahun ini, Menurut Sulistia Hastuti Wahyu yang dilangsir salah satu media elektronik pada 25 Maret 2010, “Bahwa kekurangan gas baru dapat dipenuhi pada September 2011, hal ini kemudian mendorong terjadinya kekurangan pasokan listrik dalam negeri”. Tragisnya penyelesaian atas krisis Listrik oleh rezim Komerador di jawab dengan menaikan TDL.
Sementara direktur Keuangan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero Setio Anggoro Dewo mengungkapkan; “Kenaikan tarif dasar listrik (TDL) tidak memberi pengaruh positif terhadap keuangan perseroan. Dengan demikian sangat meragukan bahwa jika kenaikan TDL yang di berlakukan pada 1 Juli mampu menjawab persolan Listrik Negara, yang pasti bahwa atas kenaikan TDL tersebut rakyat yang paling dirugikan, pengurangan subsidi terhadap rakyat terus dilakukan oleh Pemerintah untuk menarik para investor menguasai perlistrikan Nasional”.
Kenaikan TDL yang telah ditetapkan 6-16%, atau rata-rata 10% memiliki dampak yang tidak main-main, meskipun pemerintah menyatakan telah menyiapkan instrumen penangkal gejolak harga, sebuah pernyataan yang membual, omong kosong dan mengelabuhi rakyat, sebab pernyatan SBY tersebut juga tidak bisa dijaminya olehnya sendiri. Fakta yang terjadi, sebelum efektif pemberlakukan kenaikan TDL harga kebutuhan pokok sudah mengalami kenaikan, satu contoh dalam nulan Juni harga beras sudah mengalami kenaikan sebesar 28,5%, sungguh kebijakan yang membunuh rakyat, lebih sialnya adalah atas kebijaknnya menaikan TDL, SBY meminta rakyat untuk mengerti, sebuah ucapan yang tak tahu malu.
Dampak kenaikan TDL juga di resahkan oleh para pengusaha, beberapa asosiasi pengusaha menyatakan bahwa kenaikan TDL akan memaksa perusahaan untuk melakukan efisiensi, dan pilihan lain adalah menaikan harga produknya hingga PHK. Lalu siapa sesungguhnya yang paling diuntungkan dalam kebijakan kenaikan TDL dan siapa yang dirugikan?
Buruh Indonesia selain harus menanggung atas dampak langsung kanaikan TDL sebesar 16% = Rp. 795,- per KWH, ini merupakan kenaikan paling tinggi sebab buruh mayoritas mengontrak di kontrakan yang menggunakan Listrik 1.300 VA belum lagi jika pemilik kontrakan menaikan harga sewanya, di waktu yang bersamaan tentu buruh akan mengalami perampasan Upah berlipat dengan naiknya harga barang dan jasa. Bahkan tidak sedikit buruh yang akan mengalami perampasan upah ketitik nadir karena PHK. Sebagimana di sampaikan oleh beberapa Asosiasi pengusaha akibat kenaikan GAS dan TDL setidaknya diperkirakan 70.000 buruh di Jawa Barat terancam PHK, belum di Jawa Tengah dan daerah-daerah lainnya. Artinya akibat kenaikan TDL buruhlah yang tetap paling dirugikan, sebab kenaikan TDL sudah pasti memperhebat perampasan Upah dan Kerja klas buruh Indonesia.
Jika di periksa lebih dalam kenaikan TDL sesungguhnya usaha rezim untuk menarik para Investor asing melirik sektor ini. Usaha ini nampaknya tidak sia-sia, sebab dalam waktu yang hampir bersamaan AS akan segera melanjutkan untuk pembiayaan proyek pembangunan 10.000 MW tahap II, yang nilainya 9 triliun dengan total pembiayaan 19 triliun.
Nasib Industry Nasional akibat kenaikan TDL?
Banyak pernyataan bahwa akibat dari kenaikan TDL Indusry Nasional akan mengalami Kebangkrutan (statemen organisasi-organisasi pengusaha), terlepas benar atau tidak atas pernyataan tersebut, jauh lebih penting untuk dijawab adalah sebuah pertanyaan apakah Indonesia memiliki Industry Nasional, apakah Mungkin bisa di bangun Industry nasional di sebuah Negeri dengan sistem masyarakatnya Setengah Jajahan Setengah Feodal ?
Mungkin ada benarnya bahwa dampak kenaikan TDL dan GAS berakibat cukup besar terhadap pengusaha, terutama adalah pengusaha kecil menengah (UKM), tetapi apakah akan berdampak terhadap Industry Nasional, Industri nasional yang seperti apa yang terkena dampak kenaikan TDL maupun kenaikan GAS, maka penting terlebih dahulu untuk dijawab pertanyaan yang dikemukakan diatas?
Industry Nasional adalah sebuah Industry yang memiliki kemandirian secara penuh dan diorentasikan sepenuhnya untuk mencukupi kebutuhan Dalam Negeri, pertanyaan lebih lanjut adalah apakah ada Industry semacam Ini di Indonesia, jika kita melakukan penyelidikan lebih mendalam bahwa Indutry di Indonesia adalah Industry yang serba tergantung, industry yang ada hanyalah Industry rakitan, Industry setengah jadi dan Industry pengolahan, selain itu Industry yang ada juga sangat tergantung dengan Industry milik kapitalis monopoli, baik terhadap modal, ketergantungannya atas Teknologi, tergantung terhadap bahan baku, dan tergantung atas pesanan sebab industry Indonesia diorentasikan untuk pasar luar negeri. Dengan demikian sesungguhnya tidak ada Industry Nasional di Indonesia, dan tidak mungkin akan dibangun Industry Nasional di Indonesia.
Mengapa pembangunan Industry Nasional tidak mungkin di Indonesia ?
Secara obyektif Indonesia adalah sebuah Negeri yang besar dan kaya akan suber daya alam, Indonesia merupakan negara kepulauan dan memiliki garis pantai terpanjang didunia sehinga kaya akan sumber daya agraria dan maritim, selain itu juga memiliki banyak gunung besar yang mengandung vulkanik, Indonesia memiliki penduduk 234,2 Juta Jiwa (BPS Juni 2010) memiliki peringkat ketiga terbesar di Asia setelah Cina dan India, dengan demikian Indonesia memiliki jumlah tenaga produktif yang cukup besar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki syarat Obyektif untuk membangun sebuah Industry yang kuat, membangun sebuah Industry nasional yang tangguh untuk kesejahteraan rakyat.
Kenyataanya Indonesia tidak memiliki Indistry Nasional, meskipun terdapat Industry yang di kelola oleh negara (BUMN), tetapi hampir mayoritas terdapat kepemilikan saham oleh Modal asing, Orentasi dari BUMN tidaklah sepenuhnya diperuntukkan pemenuhan dalam Negeri, tetapi untuk penenuhan kebutuhan pasar Internasional (orientasi ekspor), selain itu Indonesia tidak memiliki Industry yang melakukan produksi dari bahan mentah sampai produksi Jadi.
Bagaimana Industry Nasional dapat di bangun di Indonesia?
Persoalan tidak terbangunnya Industri nasional di Indonesia hingga saat ini tidak dapat dilepaskan atas neo-Koloni yang di lakukan oleh kapitalis monopoli Internasional menyababkan kedudukan bangsa kita yang demikian Indonesia tidak bisa membangun Industri Nasional yang kuat.
Industri nasional hanya mampu dibangun dengan kemandirian, baik atas modal, teknologi, maupun orentasi dari Industri itu sendiri dan ini adalah syarat utama pembanguna Industri Nasional, jika itu merupakan syarat utama dalam pembangunan Industry Nasional maka tidak ada jalan lain kecuali bangasa ini harus mandiri, mandiri atas Ekonomi, politik, budaya, maupun Militer, dengan kata lain Industri Nasional hanya mampu kita bangun jika monopoli tanah (merupakan hubungan produki Feodalistik) dan sumberdaya alam oleh Imperialis dapat dihapus dan dikuasi oleh bangsa kita sebagai fondasi pembangunan Industri Nasional. Lebih lanjut kemudian Industri-industri dasar (baja, bahan kimia dasar) harus dibangun, kemudian tahap-demi tahap dikembangkan untuk pemenuhan kebutuhan dalam Negeri dan kemakmuran bangsa kita. Pendek kata Industri nasional hanya dapat dibangun jika Noe-Koloni oleh Imperialisme, dan hubungan produksi setengah Feodal dapat dilenyapkan. Kenyataan obyektif sebagai syarat terbangunnya Industri nasional yang kuat untuk kemakmuran bangsa sangat terpenuhi di Indonesia, sumberdaya alam dan tenaga produktif yang ada sangat mencukupi untuk terbangunya sebuah Industri Nasional. # #
keterangan:
M. Ali adalah wakil Kepala Dept. Organisasi DPP.GSBI.
Tulisan ini di publikasikan di rubrik OPINI Suara Independen (edisi, July Agustus 2010)
buruh bukan sapi perah pengusaha!!!
BalasHapus