Garuda Indonesia Terlilit Sengketa Ketenagakerjaan
Disinyalir ada tindakan penghalang-halangan kebebasan berserikat. Kamis, 04 November 2010/ : Tomy Tampati tak habis pikir. Pengabdiannya ...
https://www.infogsbi.or.id/2010/11/disinyalir-ada-tindakan-penghalang.html?m=0
Kamis, 04 November 2010/ : Tomy Tampati tak habis pikir. Pengabdiannya selama lebih dari 20 tahun di PT Garuda Indonesia (Persero) diganjar pemutusan hubungan kerja sepihak. Soalnya, ia dianggap melanggar ketentuan peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama. Kini, perusahaan sedang menggugat PHK Tomy di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta.
Kepada hukumonline Tomy menuturkan, pemecatan yang ia alami diduga terkait dengan aktivitasnya di Serikat Karyawan PT Garuda Indonesia (Sekarga). “Mulai dari aktivitas kami membongkar dugaan korupsi di tubuh perusahaan sampai memperjuangkan kesejahteraan karyawan lewat perundingan Perjanjian Kerja Bersama (PKB),” kata Tomy di gedung PHI Jakarta, Kamis (4/11).
Sengketa antara Tomy dan perusahaan ini terjadi ketika pada Januari 2008 perusahaan mengeluarkan SK PHK terhadap Tomy mulai hari itu juga. “Padahal saat itu saya sedang melakukan perundingan PKB,” kata Tomy yang juga Ketua Bidang Humas dan Ketua Tim Advokasi Hubungan Industrial Sekarga.
Tak lama berselang, lanjut Tomy, perusahaan mengeluarkan surat skorsing yang memberhentikan sementara Tomy sejak Februari 2008 hingga batas waktu yang tak ditentukan. “Gugatan PHI baru dilayangkan manajemen pada Agustus 2010 lalu.”
Atas alasan apa dirinya dipecat, Tomy menceritakan peristiwa yang terjadi pada Mei 2007. Saat itu ia selaku panitia deklarasi Sekretariat Bersama (Sekber) Serikat Karyawan PT Garuda Indonesia berkirim surat kepada manajemen untuk perizinan lokasi pelaksanaan deklarasi Sekber. Awalnya pihak manajemen memberi izin, tapi kemudian dibatalkan. Tapi hal itu tak menyurutkan pendeklarasian Sekber.
Dua minggu setelah pendeklarasian, tepatnya pada 23 Mei 2007, pihak manajemen menerbitkan surat pemberitahuan mutasi atas nama Tomy. Dalam surat itu Tomy dipindahkan ke kantor perwakilan Pontianak. “Posisinya masih sama, yaitu sebagai staf. Buat saya, ini penurunan jabatan karena sebelumnya saya berada pada posisi itu di kantor perwakilan Jakarta.”
Tomy tak menghiraukan surat pemberitahuan itu. “Sebab sampai saat ini tak ada surat keputusan pemindahan saya dari kantor perwakilan Jakarta dan pengangkatan di kantor perwakilan Pontianak.”
Tomy lantas membandingkan ketika dulu pertama kali bekerja di perusahaan pelat merah itu pada 1991. “Awalnya saya bekerja di kantor pusat Garuda, lalu dipindahkan ke kantor perwakilan Jakarta pada 1995. Saat itu ada surat keputusan pemindahan saya dari kantor pusat ke kantor perwakilan Jakarta, kenapa sekarang tak ada?”
Bagi Tomy, kebijakan memindahkan dirinya ke Pontianak adalah upaya membungkam kebebasan berserikat di PT Garuda Indonesia. “Selain saya, ada dua pengurus Sekarga yang juga dimutasi ke daerah. Satu orang adalah Sekjen Sekarga, yang lainnya juga pengurus Sekarga.”
Menduga ada upaya penghalang-halangan kebebasan berserikat, Tomy lalu melaporkan manajemen ke Polda Metro Jaya atas tuduhan pelanggaran UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja pada 26 Juli 2007. Namun setelah lebih dari tiga tahun dilaporkan, nasib kasus itu malah tak jelas.
Puncaknya, lanjut Tomy, terjadi ketika ia sedang berunding dengan manajemen menyusun PKB pada 18 Januari 2008. Pihak manajemen malah mengeluarkan surat keputusan PHK disusul dengan surat skorsing beberapa pekan kemudian. Lebih dari dua tahun kemudian perusahaan baru mengajukan gugatan PHK ke PHI.
“Sebelum ke PHI, kasus ini mampir ke mediator yang menganjurkan putus hubungan kerja dengan pesangon. Yang saya kejar dalam perkara ini bukan pesangon, tapi lebih pada penghormatan hak karyawan untuk berserikat dalam membantu mencari solusi demi kelangsungan PT Garuda Indonesia,” tutup Tamy.
Dihubungi terpisah, kuasa hukum perusahaan, Tony Aries belum mau berkomentar banyak soal kasus ini. Ia mengaku butuh persetujuan terlebih dulu dari pihak perusahaan untuk membeberkan masalah sebenarnya.
sumber: hukumonline.com