TKI: “Terpaksa” atau “Sukarela”?
Jika kita bertanya, sejak kapan manusia bermigrasi? Jawabnya, sejak manusia pertama hidup di bumi. Migrasi adalah kisah yang selalu ada dala...
https://www.infogsbi.or.id/2011/02/tki-terpaksa-atau-sukarela.html?m=0
Jika kita bertanya, sejak kapan manusia bermigrasi? Jawabnya, sejak manusia pertama hidup di bumi. Migrasi adalah kisah yang selalu ada dalam setiap perkembangan peradaban manusia.
Jika pertanyaannya kita geser, mengapa manusia bermigrasi? Jawabannya panjang. Yang intinya, barangkali dari manusia bermigrasi dengan berbagai motivasi. Katakanlah, sekarang ada kurang lebih 6 juta TKI di berbagai negara. Dengan begitu, bisa jadi, ada 6 juta alasan orang Indonesia bermigrasi.
Dari berjuta alasan manusia bermigrasi, para pengamat migrasi, umumnya membagi ke dalam dua kelompok besar. Kelompok yang pertama, migrasi secara sukarela (voluntary migration) dan kedua migrasi karena terpaksa (“forced migration” atau “involuntary migration”).
Apa yang dimaksud dengan migrasi secara sukarela? Migrasi secara sukarela adalah tindakan seseorang atau sekelompok orang yang secara sukarela (tanpa dipaksa oleh keadaan) melakukan migrasi ke tempat yang dianggap lebih baik. Pilihan ini dilakukan oleh orang-orang yang sebenarnya memiliki pilihan untuk tetap tinggal di tempat asalnya, namun memilih untuk bermigrasi untuk mengembangkan diri.
Contohnya ada di Indonesia. Beberapa waktu lalu, wakil Ketua Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional, Dr Arif Satria, seperti dirilis situs berita ANTARA memberitakan tentang ratusan ahli dan ilmuwan Indonesia yang menduduki berbagai posisi penting di luar negeri.
Menurut Dr Arif Satria, “dari sekitar 800 ilmuwan Indonesia di luar negeri, 400 diantaranya bekerja di lembaga riset dan penelitian yang cukup bergengsi. Bahkan, ada juga yang menduduki posisi penting”.
Sekarang, apa yang dimaksud dengan migrasi karena paksaan (“forced migration” atau “involuntary migration”)? Forced migration adalah fenomena yang mengalami peningkatan signifikan saat ini. Fenomena disebabkan karena semakin lebarnya kesenjangan kaya-miskin baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional.
Dalam fenomena kesenjangan ini, pihak yang kaya yang minoritas, memiliki keleluasaan dan banyak pilihan (space of flows) untuk bepergian. Sementara di sisi lain, mayoritas yang miskin dipaksa untuk bersiap mengambil resiko yang luar biasa besar untuk melarikan diri dari “ketidaknyamanan kondisi asal” (“the discomforts of localised existence”).
Perbedaan secara konseptual tentang “Forced Migration” dengan “Voluntary Migration” bisa disimak dari paper Conceptualising Forced Migration yang ditulis David Turton dari Refugees Studies Center.
Dalam kenyataan sehari-hari, barangkali kita akan menemukan fenomena yang barangkali sedikit membingungkan. Misalnya, ketika kita melihat seorang perempuan miskin dari pelosok desa yang menyatakan dengan sukarela ingin bermigrasi menjadi TKI ke luar negeri meski tidak memiliki keahlian atau pendidikan yang memadai.
Meskipun perempuan miskin itu menyatakan bahwa dengan kemauannya sendiri dia ingin (bermigrasi) menjadi TKI, namun hal itu tidak lantas bisa disimpulkan jika fenomena perempuan tadi tergolong sebagai “voluntary migration”. Apalagi jika perempuan tersebut menyatakan bahwa keinginan dirinya itu disebabkan karena kemiskinan dan ketiadaan lapangan pekerjaan.
David Turton dalam paper yang saya sampaikan di atas memberikan penjelasan bahwa “those ‘discomforts’, of course, can include anything from threats to life and liberty to lack of educational and employment opportunities”.
Sebaliknya, misalnya, kita membaca sebuah berita tentang seorang ilmuwan yang menyatakan diri terpaksa ke luar negeri karena lembaga-lembaga penelitian di Indonesia tidak mendapatkan sokongan dana yang memadai dari pemerintah. Meskipun secara eksplisit dia menyatakan “terpaksa”, namun keterpaksaan seperti itu tidak lantas bisa disimpulkan bahwa kepergiaannya ke luar negeri sebagai bentuk “forced migration”.
Sebab, seterpaksa-apapun itu, dia tetap saja merupakan seseorang yang memiliki kapasitas untuk menentukan pilihan; apakah kapasitas itu akan digunakan di dalam negeri atau di luar negeri dengan segala resiko-resikonya. Kapasitas untuk menentukan pilihan itulah yang membedakan migrasi seorang atau sekelompok ilmuwan disebut sebagai “voluntary migration”.
Dari perspektif hak asasi manusia, baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak sosial, ekonomi, dan kebudayaan, forced migration adalah fenomena yang lahir akibat adanya pelanggaran hak asasi. Pelanggaran itu bisa berupa pelanggaran hak untuk mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak (right to decent job), bisa jadi pelanggaran-pelanggaran hak-hak sipil, misalnya karena adanya pengusiran paksa oleh negara terhadap seseorang atau sekelompok orang (biasanya kalangan minoritas).
Pembagian pengertian antara “forced migration” dengan “voluntary migration” bukan sebuah pembedaan yang dibuat mengada-ngada. Perbedaan ini memberi dampak hukum internasional yang berbeda, yang mana berdasarkan pengertian itu kita tidak menyebut bule-bule yang bekerja di perusahaan-perusahaan yang ada di kawasan Thamrin, Sudirman, Kuningan, dan lain-lain itu sebagai “buruh migran”, melainkan “ekspatriat”.
Pembedaan ini pulalah yang secara esensi memberikan pengertian bahwa mereka yang bermigrasi karena kemiskinan, ketiadaan lapangan pekerjaan, tanpa akses terhadap pendidikan, bencana, konflik sosial, dan lain-lain, adalah korban pelanggaran hak asasi manusia yang menjadikannya rentan dan membutuhkan perlindungan.
Terakhir, pertanyaan untuk kita semua, di manakah posisi TKI? “Forced migration” atau “voluntary migration”?
di tulis oleh; Syamsul Ardiansyah
dimuat dihttp://sosbud.kompasiana.com/2011/02/28/
Jika pertanyaannya kita geser, mengapa manusia bermigrasi? Jawabannya panjang. Yang intinya, barangkali dari manusia bermigrasi dengan berbagai motivasi. Katakanlah, sekarang ada kurang lebih 6 juta TKI di berbagai negara. Dengan begitu, bisa jadi, ada 6 juta alasan orang Indonesia bermigrasi.
Dari berjuta alasan manusia bermigrasi, para pengamat migrasi, umumnya membagi ke dalam dua kelompok besar. Kelompok yang pertama, migrasi secara sukarela (voluntary migration) dan kedua migrasi karena terpaksa (“forced migration” atau “involuntary migration”).
Apa yang dimaksud dengan migrasi secara sukarela? Migrasi secara sukarela adalah tindakan seseorang atau sekelompok orang yang secara sukarela (tanpa dipaksa oleh keadaan) melakukan migrasi ke tempat yang dianggap lebih baik. Pilihan ini dilakukan oleh orang-orang yang sebenarnya memiliki pilihan untuk tetap tinggal di tempat asalnya, namun memilih untuk bermigrasi untuk mengembangkan diri.
Contohnya ada di Indonesia. Beberapa waktu lalu, wakil Ketua Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional, Dr Arif Satria, seperti dirilis situs berita ANTARA memberitakan tentang ratusan ahli dan ilmuwan Indonesia yang menduduki berbagai posisi penting di luar negeri.
Menurut Dr Arif Satria, “dari sekitar 800 ilmuwan Indonesia di luar negeri, 400 diantaranya bekerja di lembaga riset dan penelitian yang cukup bergengsi. Bahkan, ada juga yang menduduki posisi penting”.
Sekarang, apa yang dimaksud dengan migrasi karena paksaan (“forced migration” atau “involuntary migration”)? Forced migration adalah fenomena yang mengalami peningkatan signifikan saat ini. Fenomena disebabkan karena semakin lebarnya kesenjangan kaya-miskin baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional.
Dalam fenomena kesenjangan ini, pihak yang kaya yang minoritas, memiliki keleluasaan dan banyak pilihan (space of flows) untuk bepergian. Sementara di sisi lain, mayoritas yang miskin dipaksa untuk bersiap mengambil resiko yang luar biasa besar untuk melarikan diri dari “ketidaknyamanan kondisi asal” (“the discomforts of localised existence”).
Perbedaan secara konseptual tentang “Forced Migration” dengan “Voluntary Migration” bisa disimak dari paper Conceptualising Forced Migration yang ditulis David Turton dari Refugees Studies Center.
Dalam kenyataan sehari-hari, barangkali kita akan menemukan fenomena yang barangkali sedikit membingungkan. Misalnya, ketika kita melihat seorang perempuan miskin dari pelosok desa yang menyatakan dengan sukarela ingin bermigrasi menjadi TKI ke luar negeri meski tidak memiliki keahlian atau pendidikan yang memadai.
Meskipun perempuan miskin itu menyatakan bahwa dengan kemauannya sendiri dia ingin (bermigrasi) menjadi TKI, namun hal itu tidak lantas bisa disimpulkan jika fenomena perempuan tadi tergolong sebagai “voluntary migration”. Apalagi jika perempuan tersebut menyatakan bahwa keinginan dirinya itu disebabkan karena kemiskinan dan ketiadaan lapangan pekerjaan.
David Turton dalam paper yang saya sampaikan di atas memberikan penjelasan bahwa “those ‘discomforts’, of course, can include anything from threats to life and liberty to lack of educational and employment opportunities”.
Sebaliknya, misalnya, kita membaca sebuah berita tentang seorang ilmuwan yang menyatakan diri terpaksa ke luar negeri karena lembaga-lembaga penelitian di Indonesia tidak mendapatkan sokongan dana yang memadai dari pemerintah. Meskipun secara eksplisit dia menyatakan “terpaksa”, namun keterpaksaan seperti itu tidak lantas bisa disimpulkan bahwa kepergiaannya ke luar negeri sebagai bentuk “forced migration”.
Sebab, seterpaksa-apapun itu, dia tetap saja merupakan seseorang yang memiliki kapasitas untuk menentukan pilihan; apakah kapasitas itu akan digunakan di dalam negeri atau di luar negeri dengan segala resiko-resikonya. Kapasitas untuk menentukan pilihan itulah yang membedakan migrasi seorang atau sekelompok ilmuwan disebut sebagai “voluntary migration”.
Dari perspektif hak asasi manusia, baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak sosial, ekonomi, dan kebudayaan, forced migration adalah fenomena yang lahir akibat adanya pelanggaran hak asasi. Pelanggaran itu bisa berupa pelanggaran hak untuk mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak (right to decent job), bisa jadi pelanggaran-pelanggaran hak-hak sipil, misalnya karena adanya pengusiran paksa oleh negara terhadap seseorang atau sekelompok orang (biasanya kalangan minoritas).
Pembagian pengertian antara “forced migration” dengan “voluntary migration” bukan sebuah pembedaan yang dibuat mengada-ngada. Perbedaan ini memberi dampak hukum internasional yang berbeda, yang mana berdasarkan pengertian itu kita tidak menyebut bule-bule yang bekerja di perusahaan-perusahaan yang ada di kawasan Thamrin, Sudirman, Kuningan, dan lain-lain itu sebagai “buruh migran”, melainkan “ekspatriat”.
Pembedaan ini pulalah yang secara esensi memberikan pengertian bahwa mereka yang bermigrasi karena kemiskinan, ketiadaan lapangan pekerjaan, tanpa akses terhadap pendidikan, bencana, konflik sosial, dan lain-lain, adalah korban pelanggaran hak asasi manusia yang menjadikannya rentan dan membutuhkan perlindungan.
Terakhir, pertanyaan untuk kita semua, di manakah posisi TKI? “Forced migration” atau “voluntary migration”?
di tulis oleh; Syamsul Ardiansyah
dimuat dihttp://sosbud.kompasiana.com/2011/02/28/