GSBI MENUNTUT MENTERI TENAGAKERJA DAN TRANSMIGRASI UNTUK MEMBERIKAN PERLINDUNGAN DAN KEPASTIAN HUKUM KEPADA SELURUH BURUH INDONESIA AGAR MENDAPATKAN TUNJANGAN HARI RAYA (THR)
PERNYATAAN SIKAP DEWAN PIMPINAN PUSAT GABUNGAN SERIKAT BURUH INDEPENDEN DPP.GSBI No : 02 3 -PER.SIKAP/DPP.GSBI/JKT/VIII/2011 MENUNTU...
https://www.infogsbi.or.id/2011/08/gsbi-menuntut-menteri-tenagakerja-dan.html?m=0
PERNYATAAN SIKAP
DEWAN PIMPINAN PUSAT
GABUNGAN SERIKAT BURUH INDEPENDEN
DPP.GSBI
No : 023-PER.SIKAP/DPP.GSBI/JKT/VIII/2011
MENUNTUT MENTERI TENAGAKERJA DAN TRANSMIGRASI UNTUK MEMBERIKAN PERLINDUNGAN DAN KEPASTIAN HUKUM KEPADA SELURUH BURUH INDONESIA AGAR MENDAPATKAN TUNJANGAN HARI RAYA (THR)
DAN MENINDAK TEGAS PENGUSAHA YANG TIDAK MEMBERIKAN THR SESUAI DENGAN KETENTUAN
Salam Solidaritas,
Dalam waktu dekat ini umat Muslim di Indonesia akan menyambut Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1432 H, dan tentu saja sebagian besar dari umat Muslim yang merayakan Hari Raya Besar keagamaan tersebut adalah kaum buruh. Sudah menjadi ketentuan peraturan yang ada bahwa setiap menjelang Hari Raya Keagamaan setiap perusahaan diwajibkan untuk membayarkan Tunjangan Hari Raya (THR) bagi seluruh buruh/pekerja. Tunjangan Hari Raya Keagamaan atau yang biasa disebut THR, sangat diharapkan oleh kaum buruh dan keluarganya guna meringankan beban biaya ekonomi dan sosial yang dibutuhkan saat menjelang perayaan Hari Raya Lebaran. Bagaimana tidak jika setiap menjelang hari raya keagamaan seperti Lebaran/Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru, selalu diiringi dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, belum lagi dengan biaya transportasi yang juga ikut naik mencapai 30 hingga 80 persen dari harga normal.
Sampai saat ini pelaksanaan THR masih mengacu pada Peraturan Menteri Tenagakerja Nomor. 04/Men/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Bagi Pekerja Di Perusahaan/. Menurut Peraturan Menteri (Permen) No.04/1994, THR adalah pendapatan buruh yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja menjelang hari rayat keagamaan yang berupa uang atau bentuk lain. Banyak orang salah mengartikan bahwa THR merupakan pendapatan tambahan, sehingga banyak orang menyebutnya dengan istilah “gaji ke-13”. Hak atas THR akibat dari rendahnya upah dan sifat kerja yang bersifat tidak tetap demikian juga dengan upah. Maka THR sebenarnya kedudukannya sama dengan insentif atas masa kerja atau waktu kerja. Hak ini konkrit menjadi tuntutan kebutuhan hidup kaum buruh beserta keluarganya di tengah situasi ekonomi yang semakin terpuruk saat ini, dimana harga-harga kebutuhan hidup semakin tinggi akibat dari kebijakan pemerintah yang kurang memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat luas. Sementara itu, upah buruh yang sangat minim/rendah, lihat saja 46 item dari komponen dalam konsep penyusunan upah dalam Permen No.17/Men/2005, selain hanya dihitung berdasarkan kebutuhan hidup minimum bagi buruh lajang, kebutuhan biaya untuk merayakan Hari Raya Keagamaan tidak dimasukan dalam kompenen kebutuhan hidup. Sehingga sudah semestinya kaum buruh mendapatkan hak atas Tunjangan Hari Raya Keagamaan (THR).
Bahwa meskipun peraturan mengenai THR sudah ada yaitu Peraturan Menteri (Permen) 04/1994, akan tetapi pada kenyataannya buruh tidak secara otomatis bisa mendapatkan apa yang semestinya menjadi haknya, karena pada kenyataan banyak pengusaha yang tidak memberikan hak atas THR kepada buruhnya sesuai dengan ketentuan peraturan yang ada. Kami menemukan banyak penyimpangan dan berbagai cara ditempuh oleh pihak pengusaha untuk menghindar dari kewajibannya untuk membayar THR, serta banyak cara yang dilakukan untuk melipat-gandakan jam kerja menjelang hari raya untuk menjaga stok barang. Termasuk membeli hari libur dan lembur dengan upah yang rendah. Beberapa praktek yang umum dilakukan oleh pengusaha diantaranya adalah :
Pertama menggunakan alasan yang sangat lazim dan umum dilakukan oleh para pengusaha yaitu perusahaan tidak mampu memberikan THR sesuai ketentuan, sehingga dengan alasan tersebut pengusaha hanya memberikan THR atas dasar kemampuan dan kemauan dari pengusaha saja padahal semua majikan/pengusaha selama ini tidak pernah terbuka soal keadaan perusahaan yang sebenarnya dan berapa keuntungan perusahaan dari proses produksinya selama ini. Bagaimana tidak jika dalam pasal 7 Permen No.4 Tahun 1994 memberi celah/peluang bagi pengusaha untuk menyimpang dalam membayarkan THR sesuai dengan ketentuan. Padahal apabila memeriksa keadaan produktivitas perusahaan, hampir setiap menejlang hari raya, pesanan atau produksi secara umum pasti meningkat. Jadi sebenarnya tidak ada alasan bagi pengusaha untuk tidak membayarkan THR bagi buruh sesuai dengan ketentuan peraturan yang ada.
Kedua menggunakan tenaga kerja buruh kontrak dan outsourcing, sehingga dengan status tersebut banyak pengusaha tidak bersedia memberikan THR pada buruhnya meskipun sudah bekerja bertahun tahun bahkan puluhan tahun sekalipun, padahal Menurut Pasal 2 Permen 04/1994, pengusaha wajib membayar buruh yang sudah bekerja secara berturut-turut selama 3 bulan atau lebih. Peraturan ini tidak membedakan status kerja buruh, apakah tetap, kontrak/outsourcing, ataupun paruh waktu. Setiap buruh yang telah bekerja selama 3 bulan berturut-turut, ia berhak atas THR. Dan meskipun sudah ada peraturan yang mengatur tentang ketentuan ini, namun pada kenyataannya banyak pengusaha yang tidak tunduk pada peraturan tersebut. Belum lagi ketika buruh mulai memahami haknya atas Tunjangan Hari Raya, maka pengusaha segera melakukan pemutusan hubungan kontrak kerja sebelum masa waktu pelaksanaan THR . Hal ini tentu saja dipengaruhi dari Pasal 6 ayat (2) Permen No.4 Tahun 1994. Semua itu pada intinya adalah cara yang dilakukan pengusaha untuk menghindari kewajibannya untuk membayarkan THR bagi buruh.
Ketiga cara lain yang juga dilakukan oleh pengusaha untuk menghindari tanggungjawabnya membayar THR adalah dengan memanfaatkan ketidaktahuan buruh tentang hak atas THR, yaitu dengan memberikan berupa bingkisan seperti, pakaian, makanan/buah-buahan dan sedikit uang, padahal apabila dihitung total dari pemberian bingkisan hari raya tersebut ternyata kurang bahkan jauh dari ketentuan yang seharusnya didapat oleh buruh. Pajak dengan natura atau barang memang dibenarkan max 25% dari THR. Akan tetapi mengingat harga barang yang berubah-ubah dan maka secara prinsip buruh kehilangan 25 persen dari nilai THR yang seharusnya diterima apabila diganti dalam bentuk barang/bingkisan.
Peraturan lain yang sangat merugikan buruh adalah ketentuan peraturan perundang-undangan tentang Pajak yang menempatkan THR sebagai objek dari pajak penghasilan atau PPh 21. Tentu saja kebijakan pemerintah dalam UU Perpajakan tersebut sangat merugikan buruh, karena di tengah tingginya biaya ekonomi dan sosial yang harus dikeluarkan oleh buruh dan keluarganya pada saat menjelang hari raya keagamaan. Tunjangan Hari Raya yang nilainya tidak lebih dari sebesar upah sebulan yang diterima oleh buruh dan menjadi satu-satunya harapan untuk mengurangi beban ekonomi dan sosial, justru masih harus dipotong pajak sebesar 5 persen hingga 15 persen. Sementara buruh yang telah bekerja selama 12 bulan berturut-turut bahkan lebih, telah memberikan keuntungan bagi perusahaan termasuk bagi negara dari pajak produksi dan pajak pertambahan nilai yang diterima negara dari perusahaan.
Berdasarkan uraian keadaan objektif di atas, dan dalam rangka memperjuangkan hak buruh dan keluarganya untuk dapat melaksanakan hari raya keagamaan dengan tenang tanpa terbebani dengan pelanggaran atas hak untuk mendapatkan THR serta beban potongan pajak penghasilan. Maka dengan ini kami dari Dewan Pimpinan Pusat Gabungan Serikat Buruh Independen (DPP.GSBI), menyampaikan sikap dan tuntutan kepada Menteri Tenagakerja dan Transmigrasi. RI, selaku Menteri yang membidangi ketenagakerjaan, yaitu :
- Mendesak Menakertrans.RI, untuk melakukan desakan dihapuskan potongan pajak penghasilan atas Tunjangan Hari Raya;
- Mendesak Menakertrans.RI, untuk melakukan Revisi Permenaker Nomor: 4/Men/1994 tentang Tunjangan Hari Raya khususnya berkaitan dengan pasal-pasal pengecualian seperti pasal 6 ayat (2) dan pasal 7;
- Mendesak Menakertras RI untuk segera melakukan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan dalam hal pelaksanaan pembayaran THR secara sungguh-sungguh dan menindak tegas serta memberikan sanksi kepada pengusaha-pengusaha yang tidak membayarkan THR kepada buruhnya ataupun memberikan THR yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- 4. Mendesak kepada seluruh pengusaha untuk memberikan hak THR kepada seluruh buruhnya, baik yang masih aktif bekerja maupun yang sedang dalam proses perselisihan termasuk juga bagi buruh yang berstatus kontrak ataupun outsourcing;
- Mengecam keras para pengusaha yang telah mengabaikan, menelantarkan dan berupaya menghindar dengan berbagai macam alasan dan alibi untuk tidak membayarkan hak atas THR bagi kaum buruhnya;
- Menyatakan dukungan dan solidaritas perjuangan yang tinggi dan sedalam-dalamnya bagi kaum buruh dimanapun berada yang saat ini sedang berjuang dengan penuh semangat dan gegap gempita dengan berbagai macam cara untuk mempertahankan dan merebut hak THR nya dan juga hak-hak demokratis lainnya dari pengusaha;
Kami menyerukan kepada seluruh kaum buruh dan juga organisasi-organsasi kaum buruh untuk memperkuat persatuan dan secara bersama-sama memperjuangkan hak THR bagi kaum buruh yang saat ini tidak mendapatkannya (THR nya) tidak di berikan oleh pengusaha;
Selanjutnya bagi kaum buruh yang saat ini mengalami masalah soal hak THR dan hak-hak demokratis lainnya yang tidak diberikan oleh pihak pengusaha, GSBI selaku organisasi serikat buruh telah mendirikan Posko pengaduan THR untuk menerima pengaduan dan keluhan bagi siapun yang mengalami masalah dalam soal hak THR, dimana kawan-kawan buruh bisa datang ke kantor pusat GSBI atau menghubungi/telepon di (021) 4223824 atau bisa melalui kirim Email ke : gsbi_pusat@yahoo.com
Demikian Pernyataan Sikap dan Tuntutan dalam rangka Perayaan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1432 H, kami sampaikan dengan harapan dapat diperhatian dan ditindaklanjuti oleh Kementerian Tenagakerja dan Transmigrasi.RI.
Hormat kami,
Dewan Pimpinan Pusat
Gabungan Serikat Buruh Independen
(DPP.GSBI)
Rudy Hb. Daman Emelia Yanti MD. Siahaan
Ketua Umum Sekretaris Jenderal