Beberapa Masalah dalam Permenaker 17 tahun 2005
Cabut Permenaker 17 Tahun 2005 Adalah Keharusan Bagi Buruh Indonesia. Secara umum dasar pengupahan di Indonesia diatur dalam Undang-unda...
https://www.infogsbi.or.id/2011/12/beberapa-masalah-dalam-permenaker-17.html
Cabut Permenaker 17 Tahun 2005 Adalah Keharusan Bagi Buruh Indonesia.
Secara umum dasar pengupahan di Indonesia diatur dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 yang terdapat dalam pasal 88 dan pasal 89 serta Peraturan Menteri Tenagakerja No. 17 tahun 2005 tentang Komponen dan pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak dan dijadikan landasan dalam menentukan upah.
Kenapa Permenaker 17 Tahun 2005 yang mengatur tentang KOMPONEN DAN PELAKSANAAN TAHAPAN PENCAPAIAN KEBUTUHAN HIDUP LAYAK harus segera di CABUT? Karena :
1. Didalam Permen 17 Thn 2005 Upah Minimum Hanya Ditujukan Bagi Buruh Lajang;
Dasar penetapan upah minimum di Indonesia adalah Kebutuhan Hidup Layak, yang nilainya diperoleh melalui Survei Harga. Secara normatif, yang dimaksud dengan Hidup Layak adalah standar kebutuhan hidup seorang buruh baik secara fisik, non-fisik, maupun sosial untuk satu bulan.
Namun dalam Permen 17 tahun 2005 ini, kebutuhan hidup yang menjadi dasar survei harga hanyalah untuk Kebutuhan Hidup Buruh Lajang. Artinya, kebutuhan hidup bagi para buruh yang sudah berkeluarga, samapi sejauh ini tidak masuk dalam hitungan. Sebagaimana di jelaskan dalam Peraturan Menteri ini di pasal 1 ayat 1 yang dimaksud dengan : Kebutuhan Hidup Layak yang selanjutnya disingkat KHL adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secara fisik, non fisik dan sosial, untuk kebutuhan 1 (satu) bulan.
2. “Kebutuhan Hidup Layak” di Dalam Permen No 17 Tahun 2005 Hanyalah Merupakan Ilusi Bagi Buruh;
Sejak tahun 2005, melalui Permen 17 tahun 2005 Pemerintah telah mengubah standar kebutuhan yang menjadi dasar penghitungan dan penetapan upah minimum, yaitu dari Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) menjadi Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Perbedaan yang utama, hanya ada penambahan 3 komponen dari 43 komponen yang diatur dalam KHM menjadi 46 komponen didalam KHL.
Tapi salah satu hal yang tidak pernah berubah adalah standar barang dan jasanya serta kualitasnya sehingga permen 17 thn 2005 sangat jelas mengatakan bahwa buruh Indonesia, tidak boleh berkeluarga, buruh Indonesia tidak boleh tinggal ditempat yang lebih baik dan buruh di Indonesia juga tidak boleh memiliki rumah dan lain sebagainya semua barang dan jasa yang menjadi dasar perhitungan adalah barang dan jasa kelas 3 atau dalam lampiran tersebut disebutkan kualitas sedang satu kata yang sangat sumir.
Hal lain adalah dasar penghitungannya tetap saja Buruh Lajang baik di KHM ataupun KHL. Sudah begitu pencapaian KHL juga dilaksanakan secara bertahap sebagaimana bunyi dari Pasal 5 Permen 17 thn 2005 : (1) Pencapaian KHL dalam penetapan upah minimum dilaksanakan secara bertahap. (2) Tahapan pencapaian KHL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur. (3) Dalam menetapkan tahapan pencapaian KHL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Gubernur memperhatikan kondisi pasar kerja, usaha yang paling tidak mampu (marginal) di Provinsi/Kabupaten/Kota/serta saran dan pertimbangan dari Dewan Pengupahan Provinsi/Kabupaten/Kota.
Selain itu beberapa komponen dalam KHL secara kwalitas justru mengalami penurunan seperti terlihat pada bagan di bawah ini.
Perbandingan NilaI Kwalitas dan Kwantitas KHM dengan KHL
NO | KEPERLUAN | MUTU JENIS KHM | KONSUMSI SEBULAN KHM | MUTU JENISI KHL | KONSUMSI SEBULAN KHL |
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. | Beras Sumberkarbohidrat The Kopi Sewa Runah Tempat Tidur Kasur danBantal Meja danKursi Gelas Minum Bolam | Kw sedang Kw sedang Kw sedang Kw sedang Type 21 Nomor 3polos Kain strip KwSedang KwSedang Philips 30 Watt / 25 | 12 Kg 6 Kg 0,3 Kg 0,5 Kg 1/12 1/36 1/24 1/36 4/12 6/12 | Kw sedang Kw sedang Teh celup 4 Bungkus @75 Gram Kamar Sederhana Busa KwSedang KwSedang 25 Watt/15 | 10 Kg 3 Kg 25 Buah 300 Gram 1 Bulan 1/48 1/48 1/48 3/12 6/12 |
Istilah KHL terlihat secara jelas sisi manipulatifnya. Sebab, upah minimum sifatnya adalah jaring pengaman yang seharusnya merupakan bentuk perlindungan dasar kepada buruh, yang upahnya sangat rentan berhadapan dengan pasar tenaga kerja serta kenaikan rata-rata harga barang dan jasa. Maka, pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang meliputi kebutuhan fisik, non-fisik, maupun sosial, haruslah dijamin oleh pemerintah sebagai standar kualitas hidup buruh.
hal itu sama sekali tidak membawa perubahan terhadap peningkatan atau perbaikan kesejahteraan kaum buruh. Ini karena perubahan tersebut tidak menyentuh substansi, tetapi hanya bersifat formal. Hanya sekedar berubah nama saja.
3. Survei Harga di dalam Permenaker 17 Tahun 2005 Tidak Mendasarkan Atas Situasi Objektif
Survei Harga yang dilakukan oleh tim yang terdiri dari unsur tripartit (buruh, pengusaha dan pemerintah) di Dewan Pengupahan, tidak berdasar pada situasi objektif, Sebab, pemilihan atas Waktu dan Tempat survei, nyatanya memiliki persoalan tersendiri pula. Survei yang menjadi dasar penetapan nilai KHL, dilakukan pada saat situasi harga dan pasokan masih stabil, yaitu di sekitar pertengahan tahun. Tetapi, lonjakan kenaikan harga secara umum malahan terjadi di penghujung tahun (khususnya di 3 bulan terakhir penghujung tahun). Hal itulah yang menjadi selubung dari dasar alasan mengapa Upah Minimum Provinsi selambat-lambatnya harus ditetapkan 60 hari sebelum tanggal berlakunya upah minimum (yaitu setiap tanggal 1 Januari) dan upah minimum Kota/Kabupaten adalah 40 hari sebelumnya. Penentuan waktu survei itu, secara gamblang menggambarkan bahwa berapapun kenaikan upah minimum buruh tentunya akan terlibas dengan laju kenaikan harga-harga kebutuhan pokok tahun berikutnya.
Begitu juga dengan tempat survei yang dipilih di pasar-pasar induk atau tradisional, yang tentu saja harganya akan jauh lebih rendah dari harga di tingkat retail, dimana rantai perdagangannya masih pendek. Padahal kenyataannya buruh selama ini berbelanja barang di toko-toko kelontong serta di warung-warung yang berada di sekitar perkampungannya! Dimana harganya sudah jauh melambung disebabkan panjangnya rantai perdagangan. Artinya, dengan dasar komponen barang survei yang terbatas dan itupun kuantitas serta kualitasnya rendah, penentuan waktu serta tempat survei semakin menenggelamkan hasil dari nilai KHL yang akan dicapai.
4. Hasil Surve KHL Tidak Otomatis Menjadi Dasar Penetapan Upah Minimum
Mekanisme survei KHL yang sudah sangat bermasalah diatas ternyata hanya digunakan sebagai Salah Satu Bahan Pertimbangan dalam penetapan upah minimum. Sebab, secara normatif ada bahan pertimbangan lainnya dalam penetapan upah minimum, yaitu : Produktivitas (hasil perbandingan antara jumlah Produk Domestik Regional Bruto [PDRB] dengan jumlah tenaga kerja pada periode yang sama); Pertumbuhan Ekonomi (merupakan pertumbuhan nilai PDRB), serta Usaha Yang Paling Tidak Mampu (marjinal).
Tentu saja hal ini merupakan kekejian tersendiri yang secara vulgar menghancurkan dasar pengertian dari upah minimum. Sebab, fungsi upah minimum (seharusnya) adalah perlindungan buruh dari kejamnya pasar tenaga kerja serta laju inflasi akibat hukum pasar. Nyatanya (berdasarkan ketentuan normatif diatas) dalam pertimbangan Produktivitas, buruh malahan diberikan beban atas persoalan pengangguran yang terjadi (pasar tenaga kerja). Padahal, melonjaknya angka pengangguran disebabkan oleh kebijakan rezim SBY. Maraknya perampasan tanah kaum tani dan berbagai penggusuran tanah bagi kepentingan pembangunan infrastruktur, pembukaan perkebunan serta pertambangan besar, secara jelas dimana kaum tani tidak hanya kehilangan satu-satunya alat produksi yang mereka miliki yaitu tanah, tetapi juga pekerjaannya.
Belum pula PHK massal yang terjadi selama ini di Indonesia sebagai dampak dari Krisis Imperialisme, yang sebab-musababnya sangatlah terang, karena terintegrasinya sistem ekonomi Indonesia dengan sistem imperialisme dunia (kebijakan Pasar Bebas). Belum juga, akibat penjualan aset-aset negara kepada imperialisme serta kaki-tangannya yang berlindung dibawah nama Privatisasi, yang memberikan sumbangan juga terhadap tingginya angka PHK. Ditambah lagi dengan semakin maraknya penggusuran-penggusuran Pedagang Kaki Lima selama ini, dsbnya.
Pengangguran pun semakin melonjak tajam, dan kemiskinan juga bertebaran dimana-mana. Kelaparan telah menjadi santapan sehari-hari rakyat. Namun, rezim SBY malah menuding buruh untuk bertanggung-jawab atas peningkatan angka pengangguran, yang semestinya merupakan tanggung-jawab dari Pemerintah. Ketika berhadapan dengan perjuangan buruh dalam menuntut kenaikan upah minimum, secara gamblang bahkan salah satu pernyataan mereka adalah “buruh harus memperhatikan pula atas pengangguran”.
Rezim SBY tidak hanya telah mengorbankan buruh, akan tetapi juga telah mengadu-domba rakyat, yaitu antara buruh dengan rakyat yang menganggur. Disisi lainnya, rezim SBY masih pula menambahkan pertimbangan-pertimbangan lainnya, yaitu Usaha Yang Tidak Mampu (marjinal). Juga, tidak jarang ditambah dengan perkiraan inflasi tahun kedepan, yang sifatnya tentu saja perkiraan.
Pada hakikatnya, survei harga barang dan jasa sebagai dasar penetapan nilai KHL telah mewakili akan inflasi itu sendiri. Tetapi, dengan dasar konsepsi kebutuhan hidup buruh yang sangat bermasalah (yang katanya “layak” itu), dimana komponen barang yang di survei sangat terbatas ditambah dengan kuantitas serta kualitas barang yang rendah, ditambah lagi dengan penentuan waktu serta tempat survei yang juga bermasalah, tentu saja nilai KHL yang dihasilkan tidak akan dapat mewakili inflasi yang ada. Itupun, nilai KHL yang dihasilkan ternyata merupakan salah satu bahan pertimbangan! Sangat bertubi-tubi dan sistematis upaya untuk menjaga upah minimum buruh agar tetap rendah. Karena, jangankan upah minimum yang tidak sesuai KHL, yang sesuai KHL sekalipun sudah rendah dan bermasalah.
5. Adanya Kepastian Hukum Atas Upah Minimum
Upah rendah adalah merupakan hasil dari keseluruhan proses diatas. Namun, proses perampasan upah buruh semakin terang dan jelas dengan tidak adanya kepastian hukum atas di jalankannya UMK/UMP yang sudah ditetapkan melalui Surat Keputusan (SK) yang di keluarkan oleh Gubernur.
Karena pada kenyataannya secara normatif, pengusaha masih diberikan peluang untuk tidak membayar upah buruhnya sesuai dengan kenaikan upah minimum, atas nama penangguhan pelaksanaan melalui Peraturan Menteri Tenagakerja No. 1 tahun 1999 tentang penangguhan pelaksanaan upah.
Dalam prakteknya, memang banyak pengusaha yang tidak memberikan upah buruh sesuai dengan standar upah minimum, bahkan tanpa izin “penangguhan”-nya sekalipun. Tahun 2010 misalnya terjadi peningkatan yang luar biasa besar terhadap penangguhan pelaksanaan upah yang dilakukan oleh pengusaha. Seperti di Jawa Barat misalkan ada 40 perusahaan di Jawa Tengah ada 33 perusahaan dan masih banyak di daerah-daerah lainnya.
Lalu, apa kegunaan dari salah satu pertimbangan bagi penetapan upah minimum, yaitu “usaha yang tidak mampu (marjinal)”? Tentu saja, akan menjadi omong kosong belaka. Padahal, berbagai bahan pertimbangan selain nilai KHL, telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam memerosotkan nominal kenaikan upah minimum.
Sedangkan, tindakan itu merupakan Tindak Pidana Kejahatan yang sanksinya adalah penjara (paling singkat adalah 1 tahun) atau denda (paling sedikit Rp. 100.000.000). Tidak ada satupun tindakan aktif yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja atau Kepolisian terhadap hal tersebut selama ini. Situasi itu baru dapat tersingkap apabila kenaikan perjuangan buruh di suatu pabrik. Itupun, belum ada jaminan bahwa pengusaha tersebut akan dipidanakan, dengan seribu satu dalih yang pastinya akan diutarakan oleh para pihak berwenang serta proses yang sangat berliku-liku.
Tidak berjalanya aparat pemerintah dalam menjalankan fungsinya (pengawasan) diberbagai daerah dan tempat dalam memastikan bahwa pengusaha menjalankan kebijakan pengupahan yang telah ditetapkan oleh pemerintah disisi lain menjadi persoalan tersendiri. ##