Mengurai Kebijakan Perampasan Upah Rezim SBY
Rejim SBY : Melanggengkan Politik Upah Murah di Indonesia SBY menggunakan dalih investasi dan sekarang krisis untuk merampas hak-hak ...
https://www.infogsbi.or.id/2013/01/mengurai-kebijakan-perampasan-upah.html?m=0
SBY
menggunakan dalih investasi dan sekarang krisis untuk merampas hak-hak
demokratis klas buruh dan berbagai jaminan. Klas buruh terus mengalami
perampasan upah dan pemberangusan serikat buruh di kota-kota besar yang menjadi
komplek industri berorientasi ekspor utama seperti Batam, Medan, Jabodetabek,
Gerbangketasusila, Makasar, dan Denpasar. Tindasan dalam berbagai bentuk
berlangsung semakin intensif di perusahaan pertambangan besar milik imperialis,
borjuasi besar komprador dan tambang besar milik negara seperti Freeport,
Chevron, Exxonmobile Oil, Inco, Newmont, Bumi Resources, Pertamina dan Aneka
Tambang. Upah buruh nasional dan sektoral jauh dari tingkat kebutuhan klas
buruh untuk sekedar bertahan hidup bersama keluarganya. Upah yang sangat
terbatas tersebut terus dirampas borjuasi besar monopoli dan kaki tangannya
dengan mengontrol harga kebutuhan pokok. Pemerintah SBY terus berusaha
menghabisi kebebasan klas buruh untuk berorganisasi dan berpendapat di dalam
pabrik dengan berbagai aturan tambahan dengan kedok menjaga iklim investasi.
Pemerintah
(SBY-Budiono) sukses mempertahankan skema politik upah murah bagi buruh
Indonesia, konsepsi upah minimum yang di jalankan oleh rezim sejak masa
kolonialisme Belanda hingga sekarang sama sekali tidak didasarkan pada
pemenuhan kebutuhan riil buruh beserta keluarganya, hal ini dapat dilihat dari
kebijakan negara yang mengatur tentang penetapan upah minimum provinsi (UMP)
atau Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) yaitu permen nomor 13 tahun 2012,
Peraturan yang baru saja di sahkan oleh rezim SBY ini hakekatnya masih sama
dengan permen sebelumnya yaitu permenaker nomor 17 tahun 2005 dimana upah hanya
didasarkan pada pemenuhan hidup fisik minimum bagi buruh lajang, meskipun didalamnya
ada penambahan 14 komponen kebutuhan hidup buruh.
Bukti
lain yang menjelaskan bahwa rezim SBY tidak pernah serius berusaha meningkatkan
kesejahteraan buruh adalah penangguhan pelaksanaan upah minimum, Kebijakan negara
untuk melegalkan penangguhan upah minimum ini telah di atur dalam Undang-undang
Ketenagakerjaan nomor 13 Tahun 2003 yaitu didalam pasal 90 ayat 2 dan 3 yang
berbunyi “ (Ayat 2) Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan. Tata cara penangguhan pembayaran
upah minimum ini diatur dalam Keputusan Menteri nomor 231 Tahun 2003.
Skema
penangguhan pelaksanaan upah minimum yang di legalkan oleh rezim SBY ini adalah
merupakan bentuk nyata dari perampasan upah, tujuannya tak lain adalah untuk
memenuhi kepentingan dari tuannya yaitu Imperialisme agar upah buruh dapat di
tekan serendah mungkin sehingga dapat memperoleh keuntungan yang besar. Atas
desakan para pengusaha-pengusaha komperador dan imperialis yang tidak bersedia
dengan adanya kenaikan upah di tahun 2013 rezim SBY telah mengeluarkan
kebijakan yang di tujukan kepeda pemerintah provinsi agar mempermudah bagi
pengusaha yang mengajukan penangguhan kenaikan upah. Hal ini semakin
membuktikan bahwa rezim SBY adalah merupakan rezim yang anti rakyat pengabdi
setia bojuasi komperador.
Dengan
berkedok untuk mengantisipasi dampak kelangsungan usaha di industri padat karya
(usaha tekstil, alas kaki dan indutri mainan) akibat kenaikan upah minimum 2013
rezim SBY melaui Menteri Tenagakerja dan Transmigrasi pada tanggal 17 Desember
2012 telah mengeluarkan Surat edaran No. 248/Men/PHIJSK-PJS/XII/2012 yang
ditujukan kepada 33 Gubernur di seluruh Indonesia, akibatnya adalah sekitar
2000 perusahaan di Indonesia mengajukan penangguhan kenaikan upah, dengan
liciknya Apindo menebar teror dengan mengancam akan mem-PHK jutasn buruh
apabila penangguhannya tidak di penuhi. Hal ini dapat disimpulkan bahwa ada
perlawanan sistematis yang dilakukan oleh pengusaha dan rezim yang berkuasa
untuk merampas upah buruh.
Dengan
kenaikan upah buruh yang rata-rata secara nasional hanya sekitar 18,32% akan di
rampas kembali oleh pengusaha, padahal sebenarnya kenaikan upah tahun 2013
adalah merupakan konsekwensi dari kenaikan harga-harga kebutuhan pokok rakyat
yang setiap saat dan setiap tahunnya selalu mengalami kenaikan. Sehingga jika
upah tidak naik sudah pasti penghidupan klas buruh semakin merosot dari
waktu-kewaktu. Beban penghidupan klas buruh akan semakin berat jika di tambah
dengan dampak dari kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) di tahun 2013 sebesar
15%. Lalu bagaimana dengan upah buruh yang tidak mengalami kenaikan akibat
adanya penangguhan keanikan upah minimum?, tentu saja kondisi demikian akan
semakin memerosotkan tingkat penghidupan dari klas buruh.
Gerakan
penangguhan pelaksanaan upah minimum yang dimotori oleh Apindo dan Kadin ini di
jawab dengan berbagai perlawanan buruh terutama di dalam pabrik, selain dengan
cara-cara damai (negsiasi yang keras) aksi protes dan mogok kerja spontan juga
dilakukan oleh klas buruh yang tidak terima karena rencana penangguhan kenaikan
upah yang dilakukan oleh pengusaha, perlawanan klas buruh semakin meningkat dan
banyak terjadi terutama di perusahaan-perusahaan besar komperador yang
berorientasi eksport, seperti mogok kerja spontan buruh yang terjadi di
perusahaan garment PT Jaba Garmindo yang memperkerjakan sekitar 5.500 buruh dan
perusahaan Tekstile PT Shinta Group yang memperkerjakan sekitar 2.000 buruh.
Pemogokan buruh di berbagi tempat serta
aksi demonstrasi terus dilakukan oleh klas buruh, akan tetapi
perlawanan-perlawanan tersebut masih bersifat spontan sehingga dapat di redam
oleh pengusaha maupun pemerintah.
Menghadapi
perlawanan klas buruh pengusaha yang bekerja sama dengan aparat pemerintah terus
menekan dan mengancam akan menutup perusahaan apabila buruh tetap tidak
bersedia menyetujui penangguhan kenaikan upah 2013, melaui struktur management
mereka selalu menebar propaganda bohong bahwa kenaikan upah 2013 sangat
memberatkan bagi kelangsungan usaha dan apabila upah dipaksakan naik sesuai
dengan ketetapan pemerintah maka perusahaan akan tutup dan akan merelokasi ke
daerah lain yang upahnya lebih rendah seperti di Majalengka atau Indramayu yang
UMK nya hanya sekitar Rp 850.000,-,
Selain
dengan cara-cara kasar yang fasis dilakukan terhadap para pimpinan dan anggota
serikat buruh yang berusaha berjuang mendapatkan hak-haknya, seperti intimidasi,
mutasi, PHK bahkan kriminalisasi juga dengan cara yang halus yaitu dengan
menyuap para pimpinan serikat buruh agar mendukung kebijakannya cara-cara demikian
adalah merupakan cara keji yang selalu dilakukan oleh pengusaha untuk memecah-belah
kekuatan klas buruh dan untuk meredam gejolak perlawanan dari klas buruh.
Dengan
adanya aturan yang membolehkan penangguhan pelaksanaan upah minimum ini klas
borjuasi komperador serta borjuasi asing Imperialis adalah merupakan klas yang
paling di untungkan, sebab mereka selain memiliki modal yang sangat besar dan
mendapatkan berbagai fasilitas yang diberikan oleh pemerintah SBY mereka juga
memiliki menguasai pasar yang besar dan luas baik pasar dalam negeri maupun
pasar internasional.
Untuk
meningkatkan penghisapan nilai lebih, selain dengan melakukan upaya penangguhan
pembayaran upah minimum, pengusaha sering berkedok krisis ekonomi sebagai
alasan menggenjot produktifitas dengan penambahan beban kerja, diantaranya
adalah meningkatkan target produksi yang dibebankan kepada klas buruh, sehingga
banyak sekali perusahaan-perusahaan padat karya terutama di sektor Garment,
Tekstil, Alas kaki, Rokok, Makanan dan Minuman, klas buruh harus bekerja lebih
keras lagi agar mencapai target yang di tetapkan secara sepihak oleh pengusaha,
dan dan apabila tidak memenuhi target maka seringkali buruh harus bekerja
melebihi jam kerja tanpa mendapatkan upah lembur.
Massifnya
pelaksanaan sistem kontrak juga menjadikan klas buruh semakin menderita, karena
hanya menerima upah pokok saja. Sistem itu telah menguntungkan pengusaha karena
mampu menurunkan biaya tenaga kerja hingga 20%, yang berarti melipatgandakan
perampasan nilai lebih. Keadaan itu tidak lepas hubungannya dengan pelaksanaan
prinsip fleksibilitas dalam ketenagakerjaan, seperti massifnya penerapan sistem
kontrak pendek dan outsourcing (alih daya). Sistem ini telah membatasi masa
kerja hanya menjadi enam bulan sampai dua tahun serta mempersempit peluang
kerja di industri.
Meningkatnya
beban kerja yang dialami oleh klas buruh tanpa di imbangi dengan peningkatan
kesejahteraan mengakibatkan kondisi penghidupan klas buruh Indonesia semakin
merosot dari waktu-kewaktu, sedangkan sisi yang lain harga-harga semakin naik
akibat berbagai kebijakan pencabutan subsidi bagi rakyat telah mengakibatkan
semakin rendahnya daya beli klas buruh.#