Press Release IPA: Indonesia Butuh Arah Baru Dalam Pembangunan!
Press Release Indonesia Peoples Alliance (IPA) di terbitkan dalam Konferesni pers pada Jumat 15 Maret 2013 Pada pekan terakhir M...
https://www.infogsbi.or.id/2013/03/press-release-ipa-indonesia-butuh-arah.html?m=0
Press Release Indonesia
Peoples Alliance (IPA)
di terbitkan dalam Konferesni pers pada Jumat 15 Maret 2013
Pada
pekan terakhir Maret 2013, Indonesia akan menjadi tuan rumah bagi High Level
Panel (HLP) of Post-2015 Development
Goals. Selain
itu, di tahun ini ada pula kegiatan APEC Summit dan 9th Ministerial Meeting. HLP dimaksudkan untuk menyusun roadmap
baru bagi agenda pembangunan dunia pascaberakhirnya
Millenium Development Goals (MDGs). Di Indonesia, organisasi-organisasi massa yang berhimpun dalam aliansi
luas yaitu Indonesian Peoples Alliance (IPA) akan menyikapi pertemuan tersebut dalam rangkaian kegiatan IPA. IPA juga akan merespon APEC Summit dan 9th WTO Ministerial Meeting.
Di tengah semakin dekatnya batas akhir MDGs, penyelenggaraan HLP Post 2015 Development Goals pemerintah berusaha memberikan impresi positif kepada khayalak
dunia terkait pencapaian-pencapaian MDGs. Ario Adityo dari Institute for
National and Democracy Studies, menilai sikap positif ini merupakan pelecehan
terhadap rakyat dunia, karena yang sesungguhnya
terjadi dari
implementasi MDGs di setiap negeri, terutama Dunia Ketiga berhenti pada gejala-gejala. Implementasi tersebut jauh dari akar persoalan yang
menjadi sebab program-program yang dirumuskan dalam MDGs..
“Saya membayangkan bahwa pimpinan dunia hari ini telah secara diam-diam
bersepakat bahwa MDGs telah dicapai secara signifikan melalui program-program
karitatifnya. Padahal diperlukan sebuah roadmap
baru bagi agenda pembangunan pasca-2015. Karena optimisme
mereka ini berkebalikan dengan laporan Sekjen PBB terkait MDGs, yang menyatakan
bahwa pelaksanaan dan pencapaian MDGs adalah mixed. Laporan tersebut justru
memperlihatkan bahwa perumusan MDGs memang hanya pada gejala, belum menyasar
pada akar masalahnya. Jadi, sesungguhnya MDGs tidak lebih dari sebuah institusionalisasi pelecehan terhadap
rakyat oleh pemerintahnya melalui program-program karitatif.”
Perlu ada evaluasi
serius terhadap metode yang dipakai dalam pelaksanaan MDGs yaitu Global
Partnership for Development. Hal ini pada praktiknya justru muncul sebagai
usaha untuk memperkuat hubungan dependensi antara Dunia Pertama dan Dunia
Ketiga, yang kental dengan kolonialisasi. Syarif Arifin dari LIPS (Lembaga
Informasi Perburuhan Sedane) mengatakan bahwa metode yang dipakai dalam pelaksanaan MDGs justru
melegitimasi praktik penghisapan terhadap negeri-negeri Dunia Ketiga
“Menurut perkiraan
PBB, sejak tahun 2000 negara-negara terbelakang telah mengirim sumber daya
untuk negara-negara industri pada tingkat rata-rata hampir 500 miliar dolar AS
per tahun. Angka tersebut mencapai puncaknya pada 2008 menjadi 891 miliar dolar
AS pada 2008. Ini bukan Global Partnership for Development melainkan Global
Partnership for Colonialization”
Global
Partnership for Development pelaksanaanya di Indonesia
diterjemahkan dalam mega proyek Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi
Indonesia atau MP3EI. Proyek MP3EI adalah salah satu proyek ambisius untuk
mengatasi kemiskinan dan mengatasi pengangguran. Proyek ini akan terdiri dari
tiga komponen: (i) mengembangkan enam koridor ekonomi (Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Bali-Nusa Tenggara); (ii) memperkuat konektivitas
nasional yang terintegrasi; dan (iii) memperkuat kemampuan SDM dan iptek
nasional.
Konsep clustering MP3EI dipastikan akan rakus
tanah dalam ekspansinya yang dahsyat untuk koridor-koridor yang diorientasikan
untuk pengembangan pangan dan energi. Modal besar yang menyokong perkebunan
besar kelapa sawit dan karet di Sumatra, kelapa sawit dan perkayuan di
Kalimantan dan juga pembangunan food
estate di Papua, dipastikan akan menyisihkan banyak orang dari tempat
tinggal dan mata pencaharian sebelumnya, sekaligus memaksa masyarakat sekitar
menjadi cadangan tenaga kerja di perusahaan-perusahaan asing. Rahmat dari
Aliansi Gerakan Reforma Agraria mengatakan bahwa praktik land grabbing ini telah menjadi poros utama dalam pembangunan di
Indonesia.
“Dalam catatan AGRA
2010-2011, land grabbing di sektor
perkebunan kayu senantiasa naik sebesar 15% atau 1,6 juta Ha per tahun. Di sektor
perkebunan tebu sebesar 500.000 Ha. Di sektor taman nasional 27, 87 juta Ha.
Untuk MIFFE 1.1 juta Ha. Data ini belum memasukan di sektor pertambangan, yang
juga semakin masif. Inilah sandaran pembangunan di Indonesia, pemiskinan
mayoritas rakyat Indonesia yaitu kaum tani”
Darto dari
Serikat Petani Kelapa Sawit menambahkan, bahwa praktik land grabbing disertai dengan kriminalisasi terhadap kaum tani,
seperti yang terjadi di sektor perkebunan kelapa sawit.
“ Catatan
SPKS tahun 2010, terdapat 148 petani kelapa sawit di tangkap aparat kepolisian
dan 1 orang perempuan meninggal tertembak di kebun sawit. Tahun 2011 meningkat
lagi menjadi 152 petani di kriminalisasi dan tahun 2012 meningkat lagi menjadi
161 petani sawit yang di kriminalisasi”
Pemerintah memberikan keleluasaan dan kemudahan bagi
investasi asing untuk merampas tanah rakyat. Tanah tersebut dialihfungsikan
menjadi perusahaan-perusahaan manufaktur, pertambangan, dan perkebunan, yang
memasok kebutuhan industri-industri maju.
Meluasnya land grabbing di pedesaan merupakan faktor
utama dari meluasnya pengangguran di kawasan pedesaan. Ditengah kemiskinan
tersebut, pemerintah juga memanfaatkan luasnya cadangan tenaga produktif itu
dengan penerapan labor export policy, yaitu pengiriman warga negara Indonesia
ke luar negeri untuk menjadi buruh migran. Retno dari Asosiasi Tenaga Kerja
Indonesia (ATKI-Indonesia) mengatakan pemerintah Indonesia memakai program
tersebut untuk membiayai program pembangunan, seperti komitmen pemerintah dalam
Global Forum on Migration and Development (GFMD)
“Besarnya peran swasta (Pelaksana Penempatan Tenaga
Kerja Indonesia Swasta/PPTKIS) dilegalisasi dalam UU Nomor 39 Tahun 2004 telah
memperkuat skema migrasi dengan biaya tinggi yang mengakibatkan buruh migran terjerat utang secara sistematis. Melalui skema ekspor
tenaga kerja, setiap tahunnya Indonesia mengekspor lebih dari 800.000 tenaga
kerja murah yang mayoritas adalah perempuan-perempuan dari perdesaan. skema
migrasi terpaksa ini menghasilkan remitansi lebih dari Rp 100 triliun setiap
tahunnya.”
Kemiskinan pun melanda kalangan buruh di berbagai sektor. Di buruh
manufaktur-formal, meski terjadi kenaikan pendapatan upah minimum,
ancaman kemiskinan muncul akibat tindakan permisif pemerintah dalam
menangguhkan upah, berbagai pungutan pajak dan meningkatnya harga barang dan
jasa. Akibatnya, pendapatan buruh manufaktur-formal hanya memenuhi 42 persen
kebutuhan hidup buruh. Di kalangan buruh nelayan, buruh tani, dan buruh
pertambangan keadaannya lebih parah. Mereka di upah di bawah upah minimum dan
bekerja lebih dari 8 jam kerja dengan ancaman pemecatan sepihak. Rudy HB Daman,
dari Gabungan Serikat Buruh Independen mengatakan, bahwa kemiskinan yang
dialami oleh kaum buruh, merupakan situasi yang dikondisikan untuk menjaga
tingkat upah serta suplai buruh murah. Buruh-buruh di Indonesia menghadapi
ketidakpastian pendapatan dan kehancuran masa depan pekerjaan. Per 2012, hampir
70 industri di Indonesia mempekerjakan buruh kontrak jangka pendek, yang
direkrut langsung maupun melalui agen outsourcing.
“Praktik outsourcing dan buruh
kontrak merupakan elemen dasar dari fleksibilitas pasar tenaga kerja yang
memang dijadikan proses akumulasi super profit dari industri-industri di
Indonesia yang bergantung terhadap modal asing, dan ini difasilitasi oleh pemerintahan
Indonesia
Dalam isu
lingkungan, Abed Nego Tarigan, Eksekutif Nasional Walhi, mengatakan bahwa
investasi oleh perusahaan multi nasional dan juga perusahaan nasional yang menjadi supplier bahan mentah telah merusak
lingkungan dan mendorong indoensia kejurang bencana ekologis.
“Sebagai
contoh, ekstraksi nikel dan mineral di Bangka, Belitung yang telah memasok 60
persen dari mayoritas perangkat elektronik dunia, telah menjadikan Bangka rusak
ekosistemnya, hal ini justru bertentangan dengan apa yang selalu
digemabar-gemborkan oleh pemerintah tentang pembangunan yang berkelanjutan”
Sikap IPA
Arah pembangunan yang disetir oleh negara-negara maju diduga
kuat merupakan ‘neo-politik etis’ untuk memaksimalkan program privatisasi,
liberalisasi, dan deregulasi sistem perekonomian negeri Dunia Ketiga. Hal ini sejalan dengan skema
perdagangan bebas yang sedang didesakkan oleh World Trade Organization (WTO)
dan juga formasi-formasi kerjasama internasional dan regional seperti Asia
Pacific Economic Cooperation (APEC)
dan berbagai kerjasama bilateral. Semua kerjasama tersebut menempatkan negeri
Dunia Ketiga sebagai penopang krisis negara-negara maju. Setiap rakyat
miskin di Dunia Ketiga, termasuk Indonesia sedang dipaksa menalangi krisis yang
sedang dialami oleh perusahaan-perusahaan raksasa di dunia.
Implementasi MDGs selama ini harus menjadi catatan kritis
dalam usaha formulasi pembuatan agenda pembangunan pasca-2015, setidaknya
haruslah disandarkan pada kedaulatan guna terbebasnya kerjasama global dari
relasi kolonial dan neokolonial. Untuk itu, penting untuk mengubah paradigma pembangunan yang
dipakai dalam formulasi MDGs. Paradigma pembangunan yang bersandarkan pada
bantuan dan perdagangan harus ditinggalkan, dan diganti dengan program-program
demokratis nasional. Menjalankan reforma agraria yang didasarkan pada kehendak
masyarakat tani merupakan jalan utama untuk dijadikan dasar bagi pembanguan
industri nasional yang kuat. Pembiayaan sosial dapat diperoleh dari pajak
transaksi finansial, yang selama ini dianulir karena perlombaan untuk menjadi
negara tax haven, guna menarik
investasi. Pasar dalam negeri pun akan tetap tumbu subur dengan meningkatkan
upah dan mengontrol harga-harga kebutuhan dasar.
Pembangunan
yang berorientasi ekspor dan menarik investasi asing,
sudah berulangkali gagal. Sebagai gantinya pembukaan keran investasi asing
harus disertai dengan beberapa kewajiban, seperti, transfer teknologi,
penetapan batas maksimum capital flight, self sufficient oriented market, serta
pencegahan kebocoran pajak. Konferensi Asia Afrika 1955 merupakan salah satu
pengalaman dapat dijadikan teladan bahwa kerjasama luar negeri dapat dilakukan
tanpa saling mendominasi dan menghisap.
Pasca-2015, agenda pembangungan dan formulasi setidaknya harus menempatkan
tuntutan-tuntutan rakyat yang selama ini diperjuangakan dan menjadi masalah
pokok di negeri-negeri Dunia Ketiga. Hal demikian untuk menghindari agar tidak
terjebak pada formulasi yang hanya mengidentifikasi masalah-masalah pada
tingkat permukaan saja dan melupakan akar masalah dari problem tersebut.
Kedaulatan dan dan kerjasama yang saling menguntungkan antarnegeri haruslah
menjadi platform bersama yang dapat memandu hubungan internasional di masa
depan.#