Inilah Alasan UU BPJS Harus Ditolak
Bermula dari Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan tentang pentingnya pengembangan Konsep Sistem Jamin...
https://www.infogsbi.or.id/2014/05/inilah-alasan-uu-bpjs-harus-ditolak.html
Bermula dari
Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan tentang
pentingnya pengembangan Konsep Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Pernyataan Presiden (Alm) Gus Dur itupun kemudian
direalisasikan melalui upaya penyusunan konsep (rancangan) tentang
Undang-Undang Jaminan Sosial (UU JS) oleh Kantor Menko Kesra (Kep. Menko Kesra
dan Taskin No. 25KEP/MENKO/KESRA/VIII/2000, tanggal 3 Agustus 2000, tentang
Pembentukan Tim Penyempurnaan Sistem Jaminan Sosial Nasional).
Sejalan dengan pernyataan Presiden ke 4 Indonesia tersebut,
DPA-RI melalui Pertimbangan DPA RI No. 30/DPA/2000, tanggal 11 Oktober 2000,
menyatakan perlu segera dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera.
Dalam Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi
Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 (Ketetapan MPR RI No. X/MPR-RI
Tahun 2001 butir 5.E.2) dihasilkan Putusan Pembahasan MPR-RI yang menugaskan
Presiden RI “Membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan
perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu”.
Pada 2001, Wapres Megawati Soekarnoputri mengarahkan
Sekretarisnya untuk membentuk Kelompok Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional
(Pokja SJSN - Kepseswapres, No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001 jo. Kepseswapres,
No. 8 Tahun 2001, 11 Juli 2001) yang diketuai Prof. Dr. Yaumil C. Agoes Achir
dan pada Desember 2001 telah menghasilkan naskah awal dari Naskah Akademik (NA)
SJSN.
Kemudian pada perkembangannya Presiden RI yang pada saat itu
Megawati Soekarnoputri meningkatkan status Pokja SJSN menjadi Tim Sistem
Jaminan Sosial Nasional (Tim SJSN-Keppres No. 20 Tahun 2002, 10 April 2002).
“NA SJSN merupakan langkah awal dirintisnya penyusunan
Rancangan Undang-undang (RUU) SJSN. Setelah mengalami perubahan dan
penyempurnaan hingga 8 (delapan) kali, dihasilkan sebuah naskah terakhir NA
SJSN pada tanggal 26 Januari 2004. NA SJSN selanjutnya dituangkan dalam RUU
SJSN,” ujar Sulastomo, salah satu TIM Penyusun UU SJSN pada saat itu.
Konsep pertama RUU SJSN, 9 Februari 2003, hingga Konsep
terakhir RUU SJSN, 14 Januari 2004, yang diserahkan oleh Tim SJSN kepada
Pemerintah, telah mengalami 52 (lima puluh dua) kali perubahan dan
penyempurnaan. Kemudian setelah dilakukan reformulasi beberapa pasal pada
Konsep terakhir RUU SJSN tersebut, Pemerintah menyerahkan RUU SJSN kepada
DPR-RI pada tanggal 26 Januari 2004.
Selama pembahasan Tim Pemerintah dengan Pansus RUU SJSN DPR-RI
hingga diterbitkannya UU SJSN telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan. Sehingga
dalam perjalanannya, Konsep RUU SJSN hingga diterbitkan menjadi UU SJSN telah
mengalami perubahan dan penyempurnaan sebanyak 56 kali. Hingga Presiden
Megawati pun akhirnya mensahkan UU No. 40/2004 tentang SJSN di detik-detik
akhir jabatannya, yakni pada 19 Oktober 2004.
Dan ketika itu, rakyat tentu saja terasa akan menemukan
“mata air di gurun”. Sekaligus dengan UU SJSN ini diyakini akan menghapus
pandangan miring mata dunia selama ini kepada Indonesia sebagai ”negara tanpa
jaminan sosial”.
Sejak disahkan dan diundangkan UU SJSN telah melalui proses
yang panjang, dari tahun 2000 hingga tanggal 19 Oktober 2004. Dengan demikian
proses penyusunan UU SJSN memakan waktu 3 (tiga) tahun 7 (tujuh) bulan dan 17
(tujuh belas) hari sejak Kepseswapres No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001.
Namun apakah “nyawa” UU SJSN ini sudah langsung dapat
menghidupi dan memberi jaminan sosial kepada rakyat..???BELUMM….!!!! Sebab,
sekitar 3 bulan perjalanan penguasa baru (Pemerintahan SBY) atau pada Januari
2005, UU SJSN kembali terusik. Sebab kebijakan ASKESKIN (Asuransi Kesehatan
Keluarga Miskin) mengantar beberapa daerah ke MK untuk menguji UU SJSN terhadap
UUD Negara RI Tahun 1945. Penetapan 4
BUMN sebagai BPJS dipahami sebagai monopoli dan menutup kesempatan daerah untuk
menyelenggarakan jaminan sosial.
Selanjutnya, pada 31 Agustus 2005, MK menganulir 4 ayat
dalam Pasal 5 yang mengatur penetapan 4 BUMN tersebut dan memberi peluang bagi
daerah untuk membentuk BPJS Daerah (BPJSD).
Putusan MK dinilai makin memperumit penyelenggaraan jaminan
sosial di masa transisi. Pembangunan kelembagaan SJSN yang semula diatur dalam
satu paket peraturan dalam UU SJSN, kini harus diatur dengan UU BPJS. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pun
akhirnya baru terbentuk. Pemerintah secara resmi membentuk DJSN lewat Keputusan
Presiden (Keppres) Nomor 110 tahun 2008 tentang pengangkatan anggota DJSN
tertanggal 24 September 2008.
Pembahasan RUU BPJS berjalan alot. Namun dua Pembantu
Presiden yang telah membentuk Tim Kerja, yakni Menko Kesra Meneg BUMN tidak
menghasilkan titik temu. RUU BPJS tidak selesai dirumuskan hingga tenggat
peralihan UU SJSN pada 19 Oktober 2009 terlewati.
Perhatian pun tertumpah pada RUU BPJS sehingga perintah dari
21 pasal yang mendelegasikan peraturan pelaksanaan terabaikan. Hasilnya, penyelenggaraan jaminan sosial
Indonesia gagal menaati semua ketentuan UU SJSN yaitu 5 tahun.
Tahun berganti, namun “air di gurun” itu tak kunjung
terlihat. Kondisi ini kemudian memaksa para tokoh pejuang sosial seperti DR.
Rizal Ramli, Rieke Diah Pitaloka, Prof. Hasbullah Thabrany, Mudasir dan lainnya
bersama kalangan buruh dan sejumlah aktivis LSM mendesak dengan melakukan aksi
demo berkali-kali. Bahkan Ketua Umum KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja
Indonesia) Ir. Said Iqbal begitu sangat militan menggerakkan para Buruh tanpa
lelah di lapangan mendesak pemerintah agar RUU BPJS segera disahkan demi
menjalankan UU SJSN kepada seluruh rakyat Indonesia.
DPR lalu mengambil alih perancangan RUU BPJS pada 2010.
Perdebatan konsep BPJS kembali mencuat ke permukaan sejak DPR mengajukan RUU
BPJS inisiatif DPR kepada Pemerintah pada Juli 2010. Bahkan zona perdebatan
bertambah lebar, selain bentuk badan hukum, Pemerintah dan DPR tarik-menarik
menentukan siapa BPJS dan berapa jumlah BPJS.
Dikotomi BPJS multi dan BPJS tunggal pun diperdebatkan dengan sengit.
Setelah melalui proses panjang dan melelahkan, puluhan kali
rapat yang setidaknya dilakukan tak kurang dari 50 kali pertemuan di tingkat Pansus,
Panja, hingga proses formal lainnya. Termasuk di kalangan lingkup empat BUMN
penyelenggara program jaminan sosial, yakni PT Jamsostek, PT Taspen, Asabri,
dan PT Askes.Yang di dalamnya semuanya terdapat pro dan kontra seputar BPJS.
Namun pada 29 Oktober 2011, DPR-RI akhirnya sepakat mengesahkannya menjadi UU
No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS.
Meski bukan sesuatu yang mudah, namun keberadaan BPJS mutlak
ada sebagai implementasi dari UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN tersebut, yang
sepatutnya telah harus dijalankan sejak 9 Oktober 2009.
Lalu, apakah “nadi” UU SJSN ini sudah dapat berdenyut tanda
dimulainya dilaksanakan Jaminan Sosial bagi seluruh Rakyat
Indonesia..???LAGI-LAGI BELUMMM…!!!! Sebab, meski BPJS telah diterbitkan dalam
sebuah UU formal, jalan terjal nan berkelok di depan ternyata masih harus
dilalui. Segunung pekerjaan rumah (PR) masih harus dibenahi demi terpenuhinya
hak rakyat atas jaminan sosial.
PR tersebut seperti, Dewan Komisaris dan Direksi PT Askes
(Persero) dan PT Jamsostek (Persero) ditekankan oleh UU BPJS untuk menyiapkan
berbagai hal yang diperlukan untuk berjalannya proses tranformasi atau
perubahan dari Persero menjadi BPJS dengan status badan hukum publik. Perubahan
tersebut mencakup struktur, mekanisme kerja dan juga kultur kelembagaan.
Mengubah struktur, mekanisme kerja dan kultur kelembagaan
yang lama, yang sudah mengakar dan dirasakan nyaman, sering menjadi kendala
bagi penerimaan struktur, mekanisme kerja dan kultur kelembagaan yang baru,
meskipun hal tersebut ditentukan dalam Undang-Undang.
Pada Pasal 62 ayat (1) UU BPJS: “PT Jamsostek (Persero)
berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan pada tanggal 1 Januari 2014”. Dan BPJS
Ketenagakerjaan ini menurut Pasal 64 mulai beroperasi paling lambat tanggal 1
Juli 2015.
Dan dalam waktu dekat ini Pasal 60 ayat (1) akan segera
dilaksanakan, yakni: “BPJS Kesehatan
mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan kesehatan pada tanggal 1
Januari 2014”Namun apakah rakyat dengan hati riang gembira akan menyambut
pemberlakuan BPJS Kesehatan tanggal 1
Januari 2014 tersebut....????
Heiitt… tunggu dulu..!!! Mari kita tengok, mengapa kemudian
banyak kalangan yang menolak SJSN dan BPJS ini?
Pertama UU SJSN dan BPJS ini menurut saya tidak memenuhi
unsur dan rasa keadilan bagi seluruh Rakyat Indonesia. Sebab, menjelang BPJS
Kesehatan beroperasi dalam menyelenggarakan program jaminan kesehatan tanggal 1
Januari 2014, Presiden SBY pada 16 Desember 2013 ternyata telah menandatangai
dua Perpres. Yakni Perpres No.105 Tahun 2013 dan Perpres No.106 Tahun 2013.
Perpres No.105 Tahun 2013, SBY sebagai presiden menetapkan
dan memutuskan untuk memberikan pelayanan kesehatan paripurna (lengkap dan
penuh) melalui mekanisme asuransi kesehatan buat Menteri dan Pejabat Tertentu.
Yakni yang disebut Menteri adalah menteri yang memimpin kementerian dan pejabat
yang diberi kedudukan atau hak keuangan dan fasilitas setingkat menteri.
Sedangkan Pejabat Tertentu adalah pejabat yang memimpin lembaga pemerintah non
kementerian, pejabat eselon I, dan pejabat yang diberikan kedudukan atau hak
keuangan dan fasilitas setingkat eselon I.
Sedangkan Perpres No. 106/2013 tentang Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan adalah bagi pimpinan lembaga negara, yang meliputi Ketua, Wakil Ketua
dan Anggota DPR-RI; Dewan Perwakilan Daerah (DPD); Badan Pemeriksaan Keuangan
(BPK); Komisi Yudisial (KY); Hakim Mahkamah Konstitusi (MK); dan Hakim Agung
Mahkamah Agung.
“Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPR-RI; Dewan Perwakilan
Daerah (DPD); Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK); Komisi Yudisial (KY); Hakim
Mahkamah Konstitusi (MK); dan Hakim Agung Mahkamah Agung diberikan pelayanan
kesehatan paripurna melalui mekanisme asuransi kesehatan, yang merupakan
peningkatan manfaat pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Kesehatan,” bunyi Pasal 2 Perpres No. 106/2013 itu. Seperti
dilansir dalam laman setkab.
Perpres tersebut diterbitkan, sebab pemerintah
mempertimbangkan risiko dan beban tugas para pejabat negara tersebut untuk
perlu mendapatkan sinkronisasi pengaturan penyelenggaraan jaminan pemeliharaan
diri.
Dalam Perpres disebutkan para menteri dan pejabat berhak
memperoleh pelayanan kesehatan paripurna atau pensiun. Hal ini termasuk
pelayanan kesehatan rumah sakit di luar negeri yang dilakukan dengan mekanisme
penggantian biaya.
“Pelayanan kesehatan juga diberikan kepada keluarga menteri
dan pejabat tertentu, dan keluarga ketua, wakil ketua dan anggota DPR, Dewan
Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksaan Keuangan, Komisi Yudisial, Hakim Mahkamah
Konstitusi, dan Hakim Agung,” demikian bunyi perpres yang dirilis laman resmi
Sekretariat Kabinet RI, Senin (23/12).
Anggaran penyelenggaraan pelayanan kesehatan paripurna bagi
para pejabat tersebut akan dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja
negara (APBN). Adapun, untuk pejabat daerah di bebankan kepada anggaran
pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Woww…sungguh amat senang tiada tara jadi pejabat negara!?!
Gaji dan penghasilannya sudah tinggi malah di-plus..plus..plus dan plus lagi
dengan fulus negara yang seharusnya masih bisa dibiayai sendiri oleh para
pejabat tersebut. Padahal, sejauh ini mereka disumpah untuk lebih mengutamakan
kepentingan rakyat, tapi kenyataannya justru seakan lebih mendahulukan
kepentingannya sendiri.
Sementara itu, perusahaan asuransi yang memenangi tender
jaminan kesehatan untuk pejabat tinggi adalah PT Asuransi Jasa Indonesia
(Jasindo). Masa pertanggungan berlaku selama 1 tahun, dimulai sejak 1 Januari
2014.
Dihubungi terpisah, Direktur Operasi Ritel Jasindo Sahata L.
Tobing, dilansir bisnisindonesia, mengatakan nilai premi yang didapat adalah
sebesar Rp112 miliar untuk sekitar 5.500 pejabat. Nilai premi per orang
rata-rata mencapai Rp20 juta pertahun.
Alasan kedua, mengapa SJSN dan BPJS merasa patut ditolak
adalah karena adanya pembebanan iuran. Koordinator Lapangan Aksi Serikat
Pekerja Nasional, Asep Saefuloh, seperti dilansir Poskota, menilai SJSN dan
BPJS tidak mengatur prinsip-prinsip jaminan sosial, akan tetapi lebih berorientasi pada kepentingan bisnis
semata. Buktinya, dalam UU No 40 tahun 2004 tentang SJSN, pasal 17 menegaskan
setiap peserta wajib membayar iuran. “Artinya di sini rakyat dimandirikan dan
negara melepaskan tanggung jawab untuk memberikan jaminan sosial kepada rakyat.
Rakyat disuruh membayar iuran, nah tanggung jawab negara di mana?,” tuturnya.
Dan saat ini, Pemerintah telah menyepakati besaran iuran
premi kepesertaan BPJS Kesehatan pekerja informal, yaitu Rp25.500 per bulan
untuk layanan rawat inap kelas III, Rp42.500 untuk kelas II dan Rp59.500 untuk
kelas I. Seperti dikutip metrotvnews.
Celakanya, rakyat sebagai peserta BPJS Kesehatan apabila
tidak membayar iuran akan dikenakan sanksi (hukuman). Yakni Pasal 11 UU BPJS:
"Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, BPJS
berwenang untuk": huruf (f): “mengenakan sanksi administratif kepada
Peserta atau Pemberi Kerja yang tidak memenuhi kewajibannya;” serta huruf (g):
“melaporkan Pemberi Kerja kepada instansi yang berwenang mengenai
ketidakpatuhannya dalam membayar Iuran atau dalam memenuhi kewajiban lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;..”
Selanjutnya Pasal 16 ayat (1) UU BPJS: “Setiap orang, selain
Pemberi Kerja, Pekerja, dan penerima Bantuan Iuran, yang memenuhi persyaratan
kepesertaan dalam program Jaminan Sosial wajib mendaftarkan dirinya dan anggota
keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS, sesuai dengan program Jaminan Sosial
yang diikuti.”Pasal 17 ayat (1) UU BPJS: “Pemberi Kerja selain penyelenggara
negara yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
ayat (1) dan ayat (2), dan setiap orang yang tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dikenai sanksi administratif.” Kemudian
ayat (2): “Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa: a. teguran tertulis; b. denda; dan/atau c. tidak mendapat pelayanan
publik tertentu."
Coba simak Pasal ada 19 ayat (1) UU BPJS: “Pemberi Kerja
wajib memungut Iuran yang menjadi beban Peserta dari Pekerjanya dan
menyetorkannya kepada BPJS.” Dan ayat (2): “Pemberi Kerja wajib membayar dan
menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS.”Pasal 19 ayat 1 dan
2 di atas adalah boleh dikata sebagai pasal “PEMAKSAAN DAN PENCENGKERAMAN”,
karena diikuti dengan KETENTUAN PIDANA. Yakni Pasal 55:“Pemberi Kerja yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) atau ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Mengetahui adanya KEWAJIBAN besaran iuran seperti itu, tentu
saja istilah “Jaminan Sosial” tidak terpenuhi, bahkan boleh dikata yang ada
hanyalah PENINDASAN dan PENGKHIANATAN terhadap rakyat. Sebab, harusnya UU
“Jaminan Sosial” disusun dan diterbitkan untuk supaya TIDAK MENAMBAHK KESUSAHAN
RAKYAT.
Olehnya itu, UU SJSN dan BPJS ini patut diduga istilah: “Jaminan
Sosial” hanya sebagai kedok pemerintahan SBY untuk bisa lebih leluasa menghisap
uang rakyat agar kiranya mungkin dapat digunakan dalam Pemilu 2014, dengan
mungkin menjadikan BPJS sebagai "penampungnya". Boleh jadi kan…???
Dan jika ini yang terjadi…maka BPJS boleh jadi juga = (sama dengan) Badan
Pembantu Jaring Suara (pada Pemilu).
Sehingga itu SJSN ini ibarat hanya sebagai fatamorgana, dan
BPJS cuma seakan sama dengan (=) Badan Pengkhianat Jaminan Sosial.
Jika begitu, maka lebih baik rakyat menggunakan uang mereka
untuk keperluan yang lebih mendesak, misalnya beli tempe, bayar rekening PLN,
PAM, bayar cicilan motor, atau bahkan lebih baik ditabung sendiri untuk diputar
sebagai modal usaha kecil-kecilan, daripada harus disetor ke BPJS (yang nota bene
bukan lagi BUMN) yang boleh jadi pada akhirnya hanya menjadi ladang korupsi
bagi para koruptor.
“Dulu pada nggak setuju (mengulur-ulur waktu). Begitu jadi
Undang-undang, (malah) ditunggangi pejabat (untuk kepentingannya).
Sadis..!!??!!” ujar Rizal Ramli kepada penulis via BlackBerry Massenger, Kamis
(26/12).
Kasihan negeri ini. Apa iya pemerintah yang sedang berkuasa
saat ini dipikirannya cuma selalu ingin membodoh-bodohi dan mengkhianati
rakyatnya…????
Penulis: Pengamat Sosial Abdul Muis Syam.
Sukardjito - tulisan ini di ambil jadi Jum'at, 27-12-2013 08:45 dari Aktual.co/