Pernyataan Sikap GSBI Soal Pemilu 2014
PERNYATAAN SIKAP : Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI) Pemilu Bukan Jalan Keluar Atas Persoalan Klas Buruh di I...
https://www.infogsbi.or.id/2014/06/pernyataan-sikap-gsbi-soal-pemilu-2014_24.html
PERNYATAAN SIKAP :
Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI)
Pemilu Bukan Jalan Keluar Atas Persoalan Klas Buruh di Indonesia !
Bukan Prabowo-Hatta, Tidak Pula Jokowi-JK!
Menangkan Perjuangan Massa, Kalahkan Hingar Bingar Pemilu !
Bangun, Perkuat serta Perluas Gerakan Buruh
Militan untuk Melawan Rejim
Boneka Baru Imperialis !
Salam Biru,
Independen, Militan Patriotik dan Demokratik.
Sejak
berlangsungnya masa pemilu legislatif 2014 lalu dan Peringatan Hari Buruh
Internasional ”May Day” Satu Mei 2014, GSBI terus mendapat banyak pertanyaan
dari berbagai pihak atas posisi politiknya terhadap pemilu legislatif dan juga
pemilu Capres dan Cawapres 9 Juli 2014 terutama soal dukung-mendukung terhadap
kandidat atau calon presiden yang bertarung memperebutkan kekuasaan untuk
menjadi orang nomor satu di Republik Indonesia ini, mengingat banyaknya
organisasi serikat buruh yang telah deklarasi memberikan dukungan dan ambil
bagian mensukseskan salah satu kandidat dengan berbagai macam cara.
Berdasarkan
hal tersebut, GSBI selaku organisasi pusat perjuangan buruh di Indonesia yang
Independen, militan, patriotik dan demokratik setelah melakukan studi, kajian,
diskusi intensif dikalangan jajaran dan pimpinan organisasi, maka GSBI
memutuskan untuk mengeluarkan pernyataan sikap organisasi atas pemilu dan
masalah dukung-mendukung terhadap capres dan cawapres 2014.
Bagi GSBI, Pemilu adalah Skema Imperialisme Ditengah Krisis yang Terus Menajam
Pemilu pada hakekatnya adalah skema demokrasi
palsu imperialisme, khususnya Amerika Serikat (AS), sebagai sebuah sarana untuk
menancapkan lebih dalam dominasi mereka atas negeri-negeri setengah jajahan dan
setengah feodal seperti Indonesia. Demokrasi palsu ala AS dengan menggunakan
Pemilu sebagai sarananya diciptakan untuk menjawab sekaligus meredam kemarahan
rakyat atas rejim diktator seperti di era Soeharto. Sistem multipartai,
pembentukan lembaga pelaksana Pemilu seperti KPU dan Bawaslu, hingga
pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga pemutus sengketa Pemilu
tidak lebih sebagai upaya kanalisasi aspirasi dengan tujuan meredam aspirasi
maju gerakan rakyat.
Krisis telah memaksa negeri-negeri imperialis
untuk memastikan terciptanya rejim boneka diberbagai belahan penjuru dunia.
Keberadaan rejim boneka akan menjamin eksploitasi sumber daya alam, tenaga
kerja murah sekaligus pasar yang luas bagi industri mereka dapat berlangsung
tanpa ada hambatan, karena rejim boneka dipastikan memiliki kesetiaan lebih
tinggi untuk mengabdi kepada imperialisme dibandingkan jika mereka harus
melayani rakyatnya. Hanya dengan memastikan terbentuknya rejim boneka,
imperialisme sanggup memperpanjang nafas hidupnya ditengah krisis kronis yang
mendera negerinya. Sehingga mempromosikan dan mendukung penyelenggaraan pemilu
sebagai ukuran demokrasi di sebuah negeri akan selalu gencar dilakukan.
Amerika Serikat melalui USAID tidak kurang telah
menggelontorkan dana sebesar 23 juta USD untuk memberikan dukungan terhadap
proses demokrasi di Indonesia, program ini bernama Bantuan dan Penguatan
Inisiatif Proses Demokrasi Pemilu di Indonesia. Hal serupa juga mereka lakukan
di Libya, Irak dan Tunisia. Secara nyata, bentuk dari program ini berupa desain
ulang sistem Pemilu, perbaikan terhadap administrasi dan peralatan pendukung
pemilu, pendidikan bagi pemilih, bantuan pengawas independen dari luar negeri
dan mediasi atau arbitrase paska pemilu sebagai negosiasi diantara
partai-partai politik peserta pemilu untuk berbagi kekuasaan. Dukungan ini
kemudian dialirkan ke berbagai lembaga non pemerintah (LSM) di Indonesia, agar
mereka bersuara dan membangun opini publik bahwa pemilu adalah jalan perubahan
untuk situasi yang lebih baik. Hal yang sama dilakukan oleh media massa di
Indonesia, setiap hari ditampilkan proses pemilu yang demokratis dan menutup
pemberitaan miring terkait pemilu, sehingga memberikan kesan pencitraan bahwa
benar pemilu adalah sarana untuk perubahan.
Perubahan yang dijanjikan oleh pesta demokrasi
bernama Pemilu adalah ilusi. Dari seluruh penyelenggaraan pemilu yang terjadi
di Indonesia, tidak satupun memberikan perubahan yang fundamental terhadap
kehidupan rakyat Indonesia, termasuk klas buruh didalamnya. Pemilu beserta
produk-produk hasil pemilu terbukti gagal menyelesaikan problem-problem utama
rakyat Indonesia, seperti upah buruh yang masih tetap rendah, perampasan tanah yang
terus meningkat, pendidikan yang makin tidak terjangkau, kesehatan yang mahal,
hingga kegagalan menyediakan lapangan pekerjaan yang memaksa jutaaan rakyat
Indonesia harus menjadi buruh migran diluar negeri tanpa ada jaminan
perlindungan yang memadai.
Bagi GSBI, Bukan Prabowo, Tidak Pula Jokowi
Dua capres yang akan bertarung dalam pemilu
presiden 9 Juli nanti bukanlah pilihan terbaik bagi rakyat Indonesia.
Penampilan Prabowo yang meniru gaya Sukarno dalam setiap kehadirannya
ditengah-tengah kampanye tidak lebih dari sebuah sampul untuk menutup karakter
aslinya. Jejak sejarah dalam keluarga Prabowo memberikan keterangan yang jelas
dimana keberpihakan mereka. Sang ayah, Soemitro Djojohadikusumo adalah seorang
ekonom yang sangat berpihak terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi Amerika.
Kepentingan klas sebagai borjuasi besar komprador
yang mengabdi kepada kepentingan asing hingga saat ini masih berlanjut dalam
keluarga Prabowo. Paska dipecat dari kesatuan militer akibat tindak pelanggaran
HAM, Prabowo bersama dengan adiknya Hashim Djojohadikusumo melanjutkan bisnis
mereka dengan mengelola berbagai perusahaan baik diluar maupun dalam negeri.
Saat ini setidaknya 17 perusahaan yang bergerak dibidang tambang, kehutanan,
perkebunan dan jasa menjadi pendulang kekayaan bagi Prabowo. Total aset yang
dimiliki dari seluruh hasil usahanya mencapai Rp. 10,5 triliun. Sementara sang
adik, menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia dari industri tambang yang
dia kelola.
Sejarah keluarga, latar belakang klas serta rekam
jejak di kesatuan militer yang kental dengan pelanggaran HAM, tidak akan pernah
memberikan jaminan keberpihakan kepada rakyat Indonesia, termasuk klas buruh
didalamnya. Seorang borjuasi besar komprador tidak akan pernah mengabdikan
hidupnya kepada rakyat, sebaliknya dia akan mengabdi sepenuhnya kepada
kapitalis monopoli asing sebagaimana tercatat dalam rekaman sejarah
keluarganya. Hal lainnya, sebagai mantan Danjen Kopassus, Prabowo memiliki
barisan jendral yang siap mendukung dan memenangkannya dalam pilpres kali ini,
diantaranya Djoko Santoso, Farouk Muhammad Syechbubakar, M. Yunus
Yosfiah, Syarwan Hamid, Soeharto dan Syamsir Siregar, Freddy Numberi. Dengan mengacu pada kasus pelanggaran HAM dimasa lalu ditambah dengan
barisan jendral yang mendukungnya, maka ketika Prabowo memenangkan pilpres, dapat
dipastikan tendensi fasisme di Indonesia akan semakin meningkat melebihi apa
yang sudah terjadi saat ini.
Lalu, dengan kenyataan Prabowo diatas, apakah
pilihan harus dijatuhkan kepada Jokowi. Jawabannya adalah tidak juga. Kenapa
demikian? Bagaimanapun juga, meskipun memiliki latar belakang klas yang berbeda
dengan Prabowo, Jokowi adalah seorang kapitalis birokrat yang sangat memahami
bagaimana memainkan perannya sebagai pelayan modal disatu sisi, namun
membungkusnya dengan rapi sebagai pemimpin yang memiliki kedekatan dengan
rakyat. Apa yang dilakukan Jokowi dengan pencitraannya tidak lebih adalah
sebagai upaya menutupi berbagai kerjasama dengan imperialisme. Betapa tidak,
jauh sebelum pilpres digelar, Jokowi sudah terlebih dulu bertemu dengan Dubes
AS untuk Indonesia Robert Blake.
Sebagai kapitalis birokrat, Jokowi syarat
pengalaman karena telah melakukannya dalam dalam periode yang panjang ketika
menjabat sebagai walikota Solo. Kemudian di Jakarta, Jokowi sebagai gubernur
baru berbagai terobosan dilakukan, termasuk ketika menetapkan upah di Jakarta
naik lebih dari 30%, dan disisi yang lain memberikan juga ijin penangguhan
upah. Apakah ini berarti Jokowi pro buruh? Jawabannya adalah tidak juga. Jika
di Jakarta upah buruh tahun 2013 sebesar Rp. 2,2 juta itu adalah hasil
kemenangan klas buruh yang berjuang tanpa kenal lelah. Bahkan dalam hitungan
organisasi GSBI, angka kebutuhan hidup buruh ditahun 2013 rata-rata mencapai
Rp. 3,1 juta. Jika kenaikan ditahun tersebut tinggi, hal ini dikarenakan
kenaikan pada tahun-tahun sebelumnya angkanya tidak signifikan. Apakah kemudian
Jokowi konsisten menaikkan upah buruh di Jakarta? Faktanya, untuk tahun 2014
kenaikan upah di Jakarta tidak lebih dari 10%, yang menunjukkan watak sesungguhnya
keberpihakan Jokowi.
Atas pencalonan Jokowi, Ketua Apindo Sofyan
Wanandi juga menunjukkan dukungannya. Alasan dukungan ini diberikan adalah agar
kedepannya proses investasi di Indonesia semakin dipermudah agar menguntungkan
bagi pengusaha, dan Jokowi mempunyai pengalaman yang baik bagaimana mempercepat
investasi ketika masih menjadi walikota Solo. Dapat dipastikan, jika Jokowi
terpilih menjadi presiden, maka kolaborasi dengan borjuasi komprador akan
semakin erat, setelah sebelumnya dia juga memilih Jusuf Kalla sebagai cawapres
yang juga berasal dari kalangan borjuasi komprador. Dari aspek militer, tidak
sedikit pula nama besar yang memberi dukungan kepada Jokowi, diantaranya
Wiranto, Dai Bachtiar, Luhut Panjaitan hingga AM Hendropriyono, bahkan tim sukses
Jokowi mengklaim lebih dari 30 jendral memberi dukungan kepada Jokowi. Artinya, ancaman
fasisme tetap akan dihadapi oleh gerakan buruh dan rakyat Indonesia meskipun
Jokowi yang akan memenangkan kontes pilpres ini jika dilihat dari barisan
jendral militer yang mendukungnya.
Keberadaan para jenderal di dua kubu yang saat ini
bertarung memberikan sinyal yang kuat, bahwa siapapun yang akan memenangkan
kontes pilpres kali ini, barisan tentara yang berada dibelakangnya akan menjadi
alat pemaksa yang efektif untuk menindas rakyat agar selalu tunduk dan patuh
atas kebijakan-kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah.
Bagi GSBI adalah Menangkan Perjuangan Massa, Kalahkan
Hingar Bingar Pemilu
Pemilu tidak akan pernah memberikan angin
perubahan terhadap klas buruh dan rakyat di Indonesia selama dominasi imperialisme
atas sumber-sumber ekonomi, politik, kebudayaan masih terjadi dan hubungan produksi feodalisme
masih bercokol dinegeri ini. Kesejahteraan rakyat Indonesia dapat terwujud
ketika tidak ada lagi monopoli dan perampasan tanah dipedesaan serta dimulainya
proses indutrialisasi nasional di Indonesia sebagai sebuah kesatuan.
Menggantungkan asa perubahan dari proses bernama pemilu sama artinya dengan
berharap sesuatu yang tidak akan pernah terjadi.
Bagi klas buruh, menyerap dan menyimpulkan
pengalaman kemenangan perjuangannya menjadi hal yang jauh lebih penting,
sehingga tidak mudah termobilisasi dalam hingar bingar pemilu dalam berbagai
aktiftasnya. Perjuangan untuk kenaikan upah dipabrik selalu dimenangkan oleh
klas buruh ketika organisasinya sanggup menggerakkan seluruh buruh untuk
menekan pengusaha melalui berbagai cara, perundingan hingga pemogokan. Pun
demikian dilevel yang lebih tinggi, mobilisasi massa untuk mengawal proses
penetapan UMK memberikan peranan penting dan menentukan. Konsistensi perjuangan
yang demikian sesungguhnya mampu memberikan perubahan nyata bagi klas buruh,
tidak hanya janji manis yang diumbar oleh calon presiden dan wakil presiden.
Untuk itu, klas buruh harus tetap memegang teguh
pilihan perjuangan yang nyata memberikan perubahan terhadap kehidupannya.
Menggelorakan perjuangan massa ditingkat pabrik untuk menuntut upah, perbaikan
kondisi kerja, penghapusan sistem kerja kontrak jangka pendek dan outsourcing,
pemberangusan serikat buruh harus terus berkobar dan tidak boleh padam. Pabrik
harus terus diramaikan dengan aksi-aksi perjuangan massa, organisasi harus
memimpin dengan baik pengorganisasian perjuangan tersebut hingga mendapatkan
kemenangannya. Sehingga, kemenangan-kemenangan yang diraih melalui perjuangan
ini langsung dirasakan oleh massa, dan mampu mengalahkan hingar bingar pemilu
yang sudah kita tahu sama sekali tidak berguna bagi rakyat Indonesia.
Karena sesungguhnya kita telah mengetahui dengan
pasti, bahwa siapapun yang akan memenangkan pemilu kali ini, sesungguhnya dia
hanya akan menjadi rejim boneka yang mengabdikan diri sepenuhnya terhadap
kepentingan imperialisme, khususnya AS untuk terus mengintensifkan penindasan
dan penghisapan terhadap rakyat Indonesia. Sehingga konsolidasi gerakan rakyat
yang sudah terbangun harus terus diperkuat dan diperluas untuk menghadapi
kekuatan pemerintahan baru boneka imperialis yang dilahirkan dari proses Pemilu
di Indonesia.
Untuk itu GSBI
menyatakan diri secara tegas dan terbuka bahwa GSBI tidak terlibat dalam
kegiatan dukung mendukung capres-cawapres yang saat ini sedang gigih
berkampanye. Karena pada hakekatnya, GSBI menyadari pemilu bukanlah kepentingan
klas buruh, melainkan kepentingan klas borjuasi untuk berlomba menjadi penguasa
sekaligus pelayan nomor satu bagi kepentingan imperialisme.
GSBI juga
berseru kepada seluruh anggota dan kaum buruh Indonesia untuk bersatu, terus mengorganisasikan kaum buruh dalam
wadah-wadah organisasi serikat buruh sejati dan militan, memperbesar dan
memperluas organisasi serta memperhebat perjuangan massa. Jangan tertipu oleh pemilu dan janji manis dari para kandidat, Terus Gelorakan Perjuangan Massa, Kalahkan Hingar Bingar Pemilu dengan
Kemenangan Perjuangan didalam Pabrik. Bangun, Perkuat serta Perluas Kekuatan untuk
Menghadapi Pemerintahan Boneka Baru Imperialis.
Demikian pernyataan sikap ini kami buat untuk di ketahui oleh khalayak umum.
Jakarta, 20
Juni 2014
Dewan Pimpinan
Pusat
Gabungan
Serikat Buruh Independen (DPP.GSBI)
RUDI HB. DAMAN EMELIA
YANTI MD. SIAHAAN
Ketua Umum Sekretaris
Jenderal