Pengesahan UU PILKADA Adalah Serangan Terbuka Terhadap Demokrasi dan Perampasan Atas Kedaulatan Hak Politik Rakyat
Oleh : Rudi HB Daman dan M. Harry Sandy AME “Permohonan maaf Partai Demokrat melalui Sekjend-nya (Edy Baskoro Yudhoyono) maupun curhat dan...
https://www.infogsbi.or.id/2014/10/pengesahan-uu-pilkada-adalah-serangan.html?m=0
Oleh : Rudi HB Daman dan M. Harry Sandy AME
“Permohonan maaf Partai Demokrat melalui Sekjend-nya (Edy Baskoro Yudhoyono) maupun curhat dan setiap alasan yang dikemukakan SBY dan partainya, hanyalah omong kosong dan celotehan basi semata. Seluruhnya adalah sampah busuk yang akan terus dan semakin menyakiti hati dan perasan rakyat”.
Demokrasi sesungguhnya sudah menjadi suatu isu yang sangat umum diseluruh negeri, yakni isu yang tidak pernah ada habisnya. Demokrasi harus diakuai sebagai cita-cita yang terus diimpikan seluruh rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab didalam hakekatnya demokrasi telah melekat seluruh aspek social manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik menyangkut pemenuhan hak ekonomi, hak politik dan kebudayaan sebagai salah satu pondasi terwujudnya masyarakat yang sejahtera dan berdaulat. Karenanya, perserikatan bangsa-bangsa (PBB) bahkan telah mendeklarasikan demokrasi sebagai salah satu dari 8 (delapan) program umum pembangunannya yang dikenal dengan program millennium development goals (MDGs) sejak tahun 2010, sebagai haluan garis umum yang harus diterapkan disetiap negara Anggotanya untuk mendorong terwujudnya “Demokrasi dan Pemerintahan yang baik (Good Governance)”.
Secara global, meskipun dengan berbagai perwujudannya terdapat bermacam-macam jenis demokrasi berdasarkan kondisi masyarakat dan situasi umum dalam negeri yang bersangkutan, namun tidak bisa diingkari bahwa secara resmi demokrasi sudah dijadikan dasar pemerintahan bagi sebagian besar Negara-negara di dunia. Namun demikian, meskipun dengan berbagai jenis yang digunakan dalam perwujudannya, penerapan demokrasi tersebut tetap bersandar pada dua asas pokok, yakni: a). Pengakuan partisipasi didalam pemerintahan dan, b). pengakuan harkat dan martabat manusia (HAM).
Di Indonesia sendiri, paska revolusi 1945 dengan semangat untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan berdaulat, maka “Ide” penerapan demokrasi secara utuh-pun diatur jelas dalam asasnya sebagai Negara yang merdeka, yakni UUD 1945 dan Pancasila. Didalamnya (UUD 1945 dan Pancasila) Negara menjelaskan hakekat dari prinsip demokrasi tersebut bahwa: Demokrasi adalah Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan.
Artinya bahwa Kerakyatan adalah kekuasaan tertinggi yang berada di tangan rakyat. Hikmat kebijaksanaan adalah penggunaan akal pikiran atau rasio yang sehat dan bersandarkan pada kenyataan objektif keadaan masyarakat untuk selalu mempertimbangkan hak dan kepentingan rakyat dan, untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa. Sedangkan Permusyawaratan sendiri adalah tata cara khas kepribadian Indonesia dalam merumuskan dan memutuskan sesuatu hal berdasarkan kehendak rakyat sehingga mencapai mufakat. Pembukaan UUD 1945 alinea keempat.
Kemudian dalam menjamin keutuhan pemahaman dan tegaknya penerapan demokrasi di Indonesia yang sesuai dengan amanat Konstitusi dan Pancasila tersebut, khususnya dalam menilai fenomena pengesahan UU PILKADA sekarang ini, setidaknya ada 4 (empat) dari sebelas prinsip kunci yang harus menjadi perhatian, yakni: a). Pemerintah berdasarkan Konstitusi, Artinya pemerintah disetiap tingkatan harus dipilih secara lansung dengan melibatkan rakyat berdasarkan konstitusi. b). Pemilu yang demokratis, Artinya melibatkan seluruh rakyat dan mengakomodir aspirasi dan kepentingan umum rakyat. c). Tersedianya media yang bebas (dalam hal ini media bagi rakyat untuk menyampaikan pandangan, sikap dan pendapat-pendapatnya yang lain secara bebas dan terbuka) dan, d). Dijaminnya pemenuhan Hak setiap kelompok yang berkepentingan (Dalam hal ini, kelompok yang berkepentingan dimaskud adalah pemerintah dan rakyat).
Celakanya, meskipun sudah diatur sedemikian rupa, namun kenyataannya dalam perkembangan sekarang ini, semakin tidak jelas, bagaimana hakekat demokrasi dan sistem politik seperti apa yang sesungguhnya berlaku di Indonesia. Tidak ada kenyataan atas kebebasan rakyat dalam menentukan nasib dan masadepan yang menunjukkan “Kedaulatannya” sebagai bangsa yang merdeka. Tidak ada ruang terbuka ataupun media formil bagi rakyat (selain melalui DPR sebagai wakilnya) untuk terlibat dalam menentukan kebijakan didalam negeri, meskipun sepenuhnya seluruh keputusan tersebut akan dijalankan oleh rakyat, termasuk dampak dari kebijakan tersbeut yang secara lansung akan diterima oleh rakyat. Demikian juga dengan Fenomena Pemilu yang selalu sarat dengan berbagai kecurangan dan manipulasi serta kegagalan dalam melibatkan sepenuhnya penduduk Indonesia. Kenyataannya, bagaimanapun jua usaha keras rakyat Indonesia yang tidak pernah berhenti memperjuangkan kemajuan demokrasi sebagai aspirasi umum untuk kebebasan dan menegakkan prinsip: “Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” terus terkanalisasi (ditumpukkan) di meja legislatif (DPR) kemudian hasilnya selalu tergantung pada Voting.
Kehidupan demokrasi yang masih sangat sempit dan terbatas sekarang ini, bagaimanapun jua tidak boleh dihilangkan begitu saja sebagai hasil perjuangan panjang rakyat selama puluhan tahun melawan kediktatoran orde baru dibawah kuasa rezim otoritarian Soeharto. Perjuangan panjang rakyat atas “Demokrasi” yang berpuncak pada gerakan Mei 1998 silam, sesungguhnya di masa sekarang harus terus diperkuat dan dikembangkan, meskipun harus terus berhadap-hadapan dengan hamparan “Ilusi Demokrasi Palsu” dengan kenyataannya yang sarat berbagai tindak kekerasan dan kriminalisasi, utamanya usaha-usaha pemerintah dalam melakukan pemberangusan serikat dan kebebasan berpendapat, serta usaha-usaha untuk melumpuhkan perjuangan rakyat lainnya.
Pada persoalan akuntabilitas, juga kaitannya dengan penegakan demokrasi di Indonesia, baik untuk mencapai tujuan yang diamanatkan dalam konstitusi dan pancasila, maupun garis umum program umum PBB untuk demokrasi dan upaya mewujudkan pemerintahan yang baik (Good Governance), maka pengesahan UU PILKADA sekarang ini justru merupakan halangan terbesar pelaksanaan prinsip akuntabilitas, demokrasi dan kedaulatan rakyat. Hak rakyat untuk dapat secara langsung terlibat dalam pembuatan dan pemilihan kepala daerah justru terpangkas sudah atas nama efisiensi anggaran sebagai pijakan penyusunan dan pengesahaan UU sesat tersebut.
Jika selama ini, hak demokrasi rakyat hanya dapat dipenuhi melalui Pemilu, maka dengan hadirnya UU PILKADA ini, terang Rakyat tidak lagi memiliki hak demokratis dan syarat keadaulatannya. UU tersebut secara terang-terangan sudah menghilangkan prinsip akuntabilitas sebagai praktek good governance, dimana terjaminnya hak rakyat untuk memilih pemimpin dan terlibat dalam pembuatan kebijakan telah dicampakkan dalam kubangan sampah yang mengalaskan seluruh kepentingan kapitalisme birokrat di Negeri ini. Hak rakyat untuk dapat turut serta dalam pengambilan keputusan negara atau publik yang sudah sangat kecil ini, kembali akan dipaksa bungkam seperti era orde baru. UU anti demokrasi ini, jelas akan semakin merugikan rakyat.
Kenyataanya sekarang, Rakyat baru saja ditontonkan kembali sandiwara Pemerintah dan Legislatif melalui drama pengesahaan RUU PILKADA menjadi UU PILKADA yang diputuskan dengan Voting. UU PILKADA yang telah diwacanakan sejak tahun 2010 tersebut, sesungguhnya telah menuai kritik panjang hingga puncak pengesahannya kemarin (Kamis, 25 September 2014). Tidak terkira berbagai usaha yang dilakukan rakyat untuk menghalau pengesahaan RUU tersebut, mulai dari aksi demonstrasi maupun penggalangan petisi penolakan. Lembaga Survey Indonesia (LSI) bahkan menyebutkan hasil surveynya bahwa terdapat sekitar 80,30% menolak Pemilihan Kepala Daerah melalui DPR (pilkada tidak lansung) dan, hanya sekitar 10,70% yang sepakat Kepala Daerah ditunjuk oleh DPR. Namun demikian, seluruh kritik dan protes, petisi maupun hasil survey tersebut samasekali tidak berarti apapun bagi pemerintah dan DPR yang terus memaksa pengesahaan RUU tersebut.
Lagi-lagi, mereka (Pemerintah dan Legislatif) berusaha membohongi Rakyat dengan bersikap se-olah-olah telah melalui mekanisme yang sangat demokratis. Kenyataannya, pengesahaan RUU tersebut tidak samasekali didasarkan pada pertimbangan atas aspirasi rakyat, maupun dengan kajian mendalam atas substansi dari demokrasi itu sendiri, kedudukan penting PILKADA dan keterlibatan Rakyat, melainkan hanya bergantung pada Voting peserta sidang paripurna DPR. Ironisnya, Anggota DPR (khususnya peserta sidang paripurna) seakan lupa bahwa mereka adalah “Wakil Rakyat” yang akan membawa dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Fenomena perpecahan koalisi sampai pada perbedaan pendapat anggota Fraksi (Anggota Fraksi Partai Golkar dan Partai Demokrat misalnya) samasekali tidak dapat menunjukkan ketegasan sikap dan konsistensinya dalam memperjuangkan aspirasi rakyat “yang katanya mereka wakili”. Sikap tersebut tak ubahnya akal bulus dan adegann tipu-tipu semata.
Sikap Partai Demokrat, bahkan justeru menunjukkan sikap paling mengecewakan (utamanya) bagi rakyat. Statemen SBY maupun Ketua umum Partai Demokrat (PD) jauh hari sebelum Paripurna yang menyatakan sikapnya mendukung Pilkada Lansung tidak ubahnya hanya “pemberi harapan palsu” bagi partai-partai pendukung Pilkada lansung dan rakyat secara luas. Terbukti bahwa apapun yang disampaikan oleh SBY sebagai upaya untuk meredam amarah rakyat hanyalah sampah pemanis politik (a political gimmick) semata, sebagai salah satu skema politik pencitraan dan upaya cuci tangan agar mendapatkan simpati dan penilaian rakyat bahwa Ia (SBY) dan partainya (Demokrat) konsisten memperjuangkan aspirasi rakyat.
Fenomena Walk Out (WO) yang kemudian dipilihnya sebagai sikap akhir dalam sidang paripurna tersebut menunjukkan, betapa partai tersebut (Red. Demokrat) bersama seluruh kadernya (yang ada didalam DPR) samasekali tidak memiliki rasa tanggungjawab. Artinya, sekali lagi partai ini mengecewakan rakyat, sekali lagi partai ini menyakiti hati rakyat dan, sekali lagi partai ini berkhianat dan menjerumuskan rakyat dalam gelapnya demokrasi dan kian terjeratnya syarat-syarat kedaulatan rakyat di negeri ini.
Sekali lagi, mengingat bahwa pemilihan lansung pemerintah daerah oleh rakyat adalah salah satu capain politik rakyat dalam perjuangannya melalui gerakan 1998, sebagai puncak perjuangan panjang gerakan rakyat anti pemerintahan fasis Soeharto yang telah berkobar sepanjang masa orde baru, yakni perjuangan rakyat yang konsisten mengusung aspirasi demokrasi rakyat sebagai syarat politik untuk merebut kebebasan yang lebih maju, agar rakyat bisa leluasa membangun organisasi, menyuarakan pendapat dan memperjuangkan kepentingan dalam memperbaiki kehidupan ekonomi dan memajukan taraf kebudayaannya. Sebab selain kenyataan atas berbagai penderitaan yang dialaminya, rakyat sadar betul bahwa tanpa kebebasan, mustahil seluruh kepentingannya tersebut bisa diperjuangkan.
Partisipasi langsung seluruh rakyat dalam pemilihan umum dan lansung sesungguhnya ialah salah satu jaminan bagi rakyat untuk dapat memilih secara lansung pemerintah yang dipercayainya. Realitas hubungan mengikat yang tidak bisa dipisahkan antara pemerintah dan rakyat tersebut, sekaligus sebagai implementasi masing-masing peran dalam mempertahankan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan prinsip dan pengertian yang paling dasar, khususnya dalam praktek demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat dan, untuk rakyat”. Jadi, dilibatkannya rakyat dalam pemilihan umum dan lansung dalam pemilihan presiden dan kepala daerah selama ini, harus diakui sebagai sedikit capaian perjuangan rakyat dalam periode 10 tahun terakhir ini dalam pelaksanaan pemilihan langsung dengan prinsip praktic “one man-one vote” atau setiap orang memiliki hak pilih secara langsung.
Kini ditengah terus bangkitnya gerakan rakyat dengan sedikit kebebasan yang dicicipinya selama ini, SBY hingga menjelang akhir kekuasaannya masih terus melakukan pemangkasan paksa hak politik dan demokratis rakyat yang selama ini berlansung sejak masa awal pemerintahannya, demi menjamin agar kekuasaan Negara tetap menjadi milik segelintir orang dan golang yang berkuasa semata. Melalui pengesahan UU PILKADA tidak langsung ini, SBY telah secara paksa mengembalikan praktek pemerintahan orde baru yang anti demokrasi dan terbelakang. Mereka yang telah diberi kepercayaan sebagai pemerintah maupun yang menduduki kursi dewan untuk membawa dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat, kenyataannya melalui partai politik (Fraksi) dan koalisinya telah secara terang-terangan berkhianat dengan merampas hak politik rakyat untuk terlibat lansung dalam memilih pemerintahnya melalui pemilihan lansung.
Pengesahaan UU Pilkada tersebut, tidak ubahnya bagai bencana yang akan menghancurkan bangunan demokrasi yang tidak pernah terealisasi di Negeri ini, menghilangkan harta (hak politik) rakyat dan terus menimpakan kerugian demi kerugian bagi rakyat. Dalam hal ini, SBY sebagai penguasa atas nama pemerintah yang bekerjasama dengan koalisinya (KOALISI MERAH PUTIH: GERINDRA, PKS, GOLKAR, PPP, DEMOKRAT dan, PAN) adalah pihak yang paling bertanggungjawab atas perampasan hak politik rakyat ini. Mereka sebagai kelompok yang mengajukan, kemudian secara paksa dan licik terus memaksakan pengesahan UU tersebut melalui adegan sandiwara Voting, sejatinya telah secara terang melakukan serangan terbuka terhadap demokrasi dan merampas kedaulatan rakyat.
Mereka telah dengan semena-mena menanggalkan substansi dan prinsip demokrasi atas nama Penghematan anggaran yang banyak terkuras dalam laga pilkada. Bukankah Anggaran sangat tergantung pada teknis, baik manajemen keuangan (pengelolaan pembiayaan) dan efektifitas system penyelenggaraan pilkada, tanpa harus merampas kedaulatan rakyat dan memutar-balikkan hakekat dari demokrasi itu sendiri? Mereka juga berdalih atas nama “pemberantasan korupsi dan politik uang”. Namun bukankah Korupsi dan politik uang di Indonesia juga lahir akibat system politik yang dijalankan sepenuhnya korup dan tidak transparan, sebagai konsekwensi Negara bergantung dengan pemerintah yang hanya mengabdi kepada kepentingan tuan tanah dan kapitalisme monopoli asing, tanpa berjuang menegakkan kedaulatan dan kemandirian bangsa?
Jadi, Permohonan maaf Partai Demokrat melalui Sekjend-nya (Edy Baskoro Yudhoyono) maupun curhat dan setiap alasan yang dikemukakan SBY dan partainya, hanyalah omong kosong dan celotehan basi semata. Seluruhnya adalah sampah busuk yang akan terus dan semakin menyakiti hati dan perasan rakyat.
Dengan kenyataan demikian, bila saja kita percaya dengan sederet alasan picik mereka (SBY bersama Partai dan Koalisinya) yang sama sekali tidak berdasar, kemudian mengikuti cara berpikir mereka yang terbelakang dan licik, maka sama saja membalikkan system Negara Republik ini kedalam system monarkhi yang feudal dan anti demokrasi, yakni satu system yang secara social sudah sangat lampau masanya. Artinya bahwa, cara berfikir dan pengkhianatan tersebut, tidak hanya tindakan perampasan kedaulatan rakyat dan serangan terbuka atas demokrasi, melainkan juga tindakan melawan laju peradaban yang semakin maju sebagai cermin cara berfikir kolot kaum feudal yang anti perkembangan.
Maka pantas saat ini bagi rakyat untuk mengecam Kebohongan dan Tindakan Picik SBY dengan segenap jajaran pemerintahannya, Partai dan Koalisinya yang telah merampas hak politik rakyat melalui pengesahan UU PILKADA tidak lansung.(2014)#
“Permohonan maaf Partai Demokrat melalui Sekjend-nya (Edy Baskoro Yudhoyono) maupun curhat dan setiap alasan yang dikemukakan SBY dan partainya, hanyalah omong kosong dan celotehan basi semata. Seluruhnya adalah sampah busuk yang akan terus dan semakin menyakiti hati dan perasan rakyat”.
Demokrasi sesungguhnya sudah menjadi suatu isu yang sangat umum diseluruh negeri, yakni isu yang tidak pernah ada habisnya. Demokrasi harus diakuai sebagai cita-cita yang terus diimpikan seluruh rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab didalam hakekatnya demokrasi telah melekat seluruh aspek social manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik menyangkut pemenuhan hak ekonomi, hak politik dan kebudayaan sebagai salah satu pondasi terwujudnya masyarakat yang sejahtera dan berdaulat. Karenanya, perserikatan bangsa-bangsa (PBB) bahkan telah mendeklarasikan demokrasi sebagai salah satu dari 8 (delapan) program umum pembangunannya yang dikenal dengan program millennium development goals (MDGs) sejak tahun 2010, sebagai haluan garis umum yang harus diterapkan disetiap negara Anggotanya untuk mendorong terwujudnya “Demokrasi dan Pemerintahan yang baik (Good Governance)”.
Secara global, meskipun dengan berbagai perwujudannya terdapat bermacam-macam jenis demokrasi berdasarkan kondisi masyarakat dan situasi umum dalam negeri yang bersangkutan, namun tidak bisa diingkari bahwa secara resmi demokrasi sudah dijadikan dasar pemerintahan bagi sebagian besar Negara-negara di dunia. Namun demikian, meskipun dengan berbagai jenis yang digunakan dalam perwujudannya, penerapan demokrasi tersebut tetap bersandar pada dua asas pokok, yakni: a). Pengakuan partisipasi didalam pemerintahan dan, b). pengakuan harkat dan martabat manusia (HAM).
Di Indonesia sendiri, paska revolusi 1945 dengan semangat untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan berdaulat, maka “Ide” penerapan demokrasi secara utuh-pun diatur jelas dalam asasnya sebagai Negara yang merdeka, yakni UUD 1945 dan Pancasila. Didalamnya (UUD 1945 dan Pancasila) Negara menjelaskan hakekat dari prinsip demokrasi tersebut bahwa: Demokrasi adalah Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan.
Artinya bahwa Kerakyatan adalah kekuasaan tertinggi yang berada di tangan rakyat. Hikmat kebijaksanaan adalah penggunaan akal pikiran atau rasio yang sehat dan bersandarkan pada kenyataan objektif keadaan masyarakat untuk selalu mempertimbangkan hak dan kepentingan rakyat dan, untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa. Sedangkan Permusyawaratan sendiri adalah tata cara khas kepribadian Indonesia dalam merumuskan dan memutuskan sesuatu hal berdasarkan kehendak rakyat sehingga mencapai mufakat. Pembukaan UUD 1945 alinea keempat.
Kemudian dalam menjamin keutuhan pemahaman dan tegaknya penerapan demokrasi di Indonesia yang sesuai dengan amanat Konstitusi dan Pancasila tersebut, khususnya dalam menilai fenomena pengesahan UU PILKADA sekarang ini, setidaknya ada 4 (empat) dari sebelas prinsip kunci yang harus menjadi perhatian, yakni: a). Pemerintah berdasarkan Konstitusi, Artinya pemerintah disetiap tingkatan harus dipilih secara lansung dengan melibatkan rakyat berdasarkan konstitusi. b). Pemilu yang demokratis, Artinya melibatkan seluruh rakyat dan mengakomodir aspirasi dan kepentingan umum rakyat. c). Tersedianya media yang bebas (dalam hal ini media bagi rakyat untuk menyampaikan pandangan, sikap dan pendapat-pendapatnya yang lain secara bebas dan terbuka) dan, d). Dijaminnya pemenuhan Hak setiap kelompok yang berkepentingan (Dalam hal ini, kelompok yang berkepentingan dimaskud adalah pemerintah dan rakyat).
Celakanya, meskipun sudah diatur sedemikian rupa, namun kenyataannya dalam perkembangan sekarang ini, semakin tidak jelas, bagaimana hakekat demokrasi dan sistem politik seperti apa yang sesungguhnya berlaku di Indonesia. Tidak ada kenyataan atas kebebasan rakyat dalam menentukan nasib dan masadepan yang menunjukkan “Kedaulatannya” sebagai bangsa yang merdeka. Tidak ada ruang terbuka ataupun media formil bagi rakyat (selain melalui DPR sebagai wakilnya) untuk terlibat dalam menentukan kebijakan didalam negeri, meskipun sepenuhnya seluruh keputusan tersebut akan dijalankan oleh rakyat, termasuk dampak dari kebijakan tersbeut yang secara lansung akan diterima oleh rakyat. Demikian juga dengan Fenomena Pemilu yang selalu sarat dengan berbagai kecurangan dan manipulasi serta kegagalan dalam melibatkan sepenuhnya penduduk Indonesia. Kenyataannya, bagaimanapun jua usaha keras rakyat Indonesia yang tidak pernah berhenti memperjuangkan kemajuan demokrasi sebagai aspirasi umum untuk kebebasan dan menegakkan prinsip: “Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” terus terkanalisasi (ditumpukkan) di meja legislatif (DPR) kemudian hasilnya selalu tergantung pada Voting.
Kehidupan demokrasi yang masih sangat sempit dan terbatas sekarang ini, bagaimanapun jua tidak boleh dihilangkan begitu saja sebagai hasil perjuangan panjang rakyat selama puluhan tahun melawan kediktatoran orde baru dibawah kuasa rezim otoritarian Soeharto. Perjuangan panjang rakyat atas “Demokrasi” yang berpuncak pada gerakan Mei 1998 silam, sesungguhnya di masa sekarang harus terus diperkuat dan dikembangkan, meskipun harus terus berhadap-hadapan dengan hamparan “Ilusi Demokrasi Palsu” dengan kenyataannya yang sarat berbagai tindak kekerasan dan kriminalisasi, utamanya usaha-usaha pemerintah dalam melakukan pemberangusan serikat dan kebebasan berpendapat, serta usaha-usaha untuk melumpuhkan perjuangan rakyat lainnya.
Pada persoalan akuntabilitas, juga kaitannya dengan penegakan demokrasi di Indonesia, baik untuk mencapai tujuan yang diamanatkan dalam konstitusi dan pancasila, maupun garis umum program umum PBB untuk demokrasi dan upaya mewujudkan pemerintahan yang baik (Good Governance), maka pengesahan UU PILKADA sekarang ini justru merupakan halangan terbesar pelaksanaan prinsip akuntabilitas, demokrasi dan kedaulatan rakyat. Hak rakyat untuk dapat secara langsung terlibat dalam pembuatan dan pemilihan kepala daerah justru terpangkas sudah atas nama efisiensi anggaran sebagai pijakan penyusunan dan pengesahaan UU sesat tersebut.
Jika selama ini, hak demokrasi rakyat hanya dapat dipenuhi melalui Pemilu, maka dengan hadirnya UU PILKADA ini, terang Rakyat tidak lagi memiliki hak demokratis dan syarat keadaulatannya. UU tersebut secara terang-terangan sudah menghilangkan prinsip akuntabilitas sebagai praktek good governance, dimana terjaminnya hak rakyat untuk memilih pemimpin dan terlibat dalam pembuatan kebijakan telah dicampakkan dalam kubangan sampah yang mengalaskan seluruh kepentingan kapitalisme birokrat di Negeri ini. Hak rakyat untuk dapat turut serta dalam pengambilan keputusan negara atau publik yang sudah sangat kecil ini, kembali akan dipaksa bungkam seperti era orde baru. UU anti demokrasi ini, jelas akan semakin merugikan rakyat.
Kenyataanya sekarang, Rakyat baru saja ditontonkan kembali sandiwara Pemerintah dan Legislatif melalui drama pengesahaan RUU PILKADA menjadi UU PILKADA yang diputuskan dengan Voting. UU PILKADA yang telah diwacanakan sejak tahun 2010 tersebut, sesungguhnya telah menuai kritik panjang hingga puncak pengesahannya kemarin (Kamis, 25 September 2014). Tidak terkira berbagai usaha yang dilakukan rakyat untuk menghalau pengesahaan RUU tersebut, mulai dari aksi demonstrasi maupun penggalangan petisi penolakan. Lembaga Survey Indonesia (LSI) bahkan menyebutkan hasil surveynya bahwa terdapat sekitar 80,30% menolak Pemilihan Kepala Daerah melalui DPR (pilkada tidak lansung) dan, hanya sekitar 10,70% yang sepakat Kepala Daerah ditunjuk oleh DPR. Namun demikian, seluruh kritik dan protes, petisi maupun hasil survey tersebut samasekali tidak berarti apapun bagi pemerintah dan DPR yang terus memaksa pengesahaan RUU tersebut.
Lagi-lagi, mereka (Pemerintah dan Legislatif) berusaha membohongi Rakyat dengan bersikap se-olah-olah telah melalui mekanisme yang sangat demokratis. Kenyataannya, pengesahaan RUU tersebut tidak samasekali didasarkan pada pertimbangan atas aspirasi rakyat, maupun dengan kajian mendalam atas substansi dari demokrasi itu sendiri, kedudukan penting PILKADA dan keterlibatan Rakyat, melainkan hanya bergantung pada Voting peserta sidang paripurna DPR. Ironisnya, Anggota DPR (khususnya peserta sidang paripurna) seakan lupa bahwa mereka adalah “Wakil Rakyat” yang akan membawa dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Fenomena perpecahan koalisi sampai pada perbedaan pendapat anggota Fraksi (Anggota Fraksi Partai Golkar dan Partai Demokrat misalnya) samasekali tidak dapat menunjukkan ketegasan sikap dan konsistensinya dalam memperjuangkan aspirasi rakyat “yang katanya mereka wakili”. Sikap tersebut tak ubahnya akal bulus dan adegann tipu-tipu semata.
Sikap Partai Demokrat, bahkan justeru menunjukkan sikap paling mengecewakan (utamanya) bagi rakyat. Statemen SBY maupun Ketua umum Partai Demokrat (PD) jauh hari sebelum Paripurna yang menyatakan sikapnya mendukung Pilkada Lansung tidak ubahnya hanya “pemberi harapan palsu” bagi partai-partai pendukung Pilkada lansung dan rakyat secara luas. Terbukti bahwa apapun yang disampaikan oleh SBY sebagai upaya untuk meredam amarah rakyat hanyalah sampah pemanis politik (a political gimmick) semata, sebagai salah satu skema politik pencitraan dan upaya cuci tangan agar mendapatkan simpati dan penilaian rakyat bahwa Ia (SBY) dan partainya (Demokrat) konsisten memperjuangkan aspirasi rakyat.
Fenomena Walk Out (WO) yang kemudian dipilihnya sebagai sikap akhir dalam sidang paripurna tersebut menunjukkan, betapa partai tersebut (Red. Demokrat) bersama seluruh kadernya (yang ada didalam DPR) samasekali tidak memiliki rasa tanggungjawab. Artinya, sekali lagi partai ini mengecewakan rakyat, sekali lagi partai ini menyakiti hati rakyat dan, sekali lagi partai ini berkhianat dan menjerumuskan rakyat dalam gelapnya demokrasi dan kian terjeratnya syarat-syarat kedaulatan rakyat di negeri ini.
Sekali lagi, mengingat bahwa pemilihan lansung pemerintah daerah oleh rakyat adalah salah satu capain politik rakyat dalam perjuangannya melalui gerakan 1998, sebagai puncak perjuangan panjang gerakan rakyat anti pemerintahan fasis Soeharto yang telah berkobar sepanjang masa orde baru, yakni perjuangan rakyat yang konsisten mengusung aspirasi demokrasi rakyat sebagai syarat politik untuk merebut kebebasan yang lebih maju, agar rakyat bisa leluasa membangun organisasi, menyuarakan pendapat dan memperjuangkan kepentingan dalam memperbaiki kehidupan ekonomi dan memajukan taraf kebudayaannya. Sebab selain kenyataan atas berbagai penderitaan yang dialaminya, rakyat sadar betul bahwa tanpa kebebasan, mustahil seluruh kepentingannya tersebut bisa diperjuangkan.
Partisipasi langsung seluruh rakyat dalam pemilihan umum dan lansung sesungguhnya ialah salah satu jaminan bagi rakyat untuk dapat memilih secara lansung pemerintah yang dipercayainya. Realitas hubungan mengikat yang tidak bisa dipisahkan antara pemerintah dan rakyat tersebut, sekaligus sebagai implementasi masing-masing peran dalam mempertahankan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan prinsip dan pengertian yang paling dasar, khususnya dalam praktek demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat dan, untuk rakyat”. Jadi, dilibatkannya rakyat dalam pemilihan umum dan lansung dalam pemilihan presiden dan kepala daerah selama ini, harus diakui sebagai sedikit capaian perjuangan rakyat dalam periode 10 tahun terakhir ini dalam pelaksanaan pemilihan langsung dengan prinsip praktic “one man-one vote” atau setiap orang memiliki hak pilih secara langsung.
Kini ditengah terus bangkitnya gerakan rakyat dengan sedikit kebebasan yang dicicipinya selama ini, SBY hingga menjelang akhir kekuasaannya masih terus melakukan pemangkasan paksa hak politik dan demokratis rakyat yang selama ini berlansung sejak masa awal pemerintahannya, demi menjamin agar kekuasaan Negara tetap menjadi milik segelintir orang dan golang yang berkuasa semata. Melalui pengesahan UU PILKADA tidak langsung ini, SBY telah secara paksa mengembalikan praktek pemerintahan orde baru yang anti demokrasi dan terbelakang. Mereka yang telah diberi kepercayaan sebagai pemerintah maupun yang menduduki kursi dewan untuk membawa dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat, kenyataannya melalui partai politik (Fraksi) dan koalisinya telah secara terang-terangan berkhianat dengan merampas hak politik rakyat untuk terlibat lansung dalam memilih pemerintahnya melalui pemilihan lansung.
Pengesahaan UU Pilkada tersebut, tidak ubahnya bagai bencana yang akan menghancurkan bangunan demokrasi yang tidak pernah terealisasi di Negeri ini, menghilangkan harta (hak politik) rakyat dan terus menimpakan kerugian demi kerugian bagi rakyat. Dalam hal ini, SBY sebagai penguasa atas nama pemerintah yang bekerjasama dengan koalisinya (KOALISI MERAH PUTIH: GERINDRA, PKS, GOLKAR, PPP, DEMOKRAT dan, PAN) adalah pihak yang paling bertanggungjawab atas perampasan hak politik rakyat ini. Mereka sebagai kelompok yang mengajukan, kemudian secara paksa dan licik terus memaksakan pengesahan UU tersebut melalui adegan sandiwara Voting, sejatinya telah secara terang melakukan serangan terbuka terhadap demokrasi dan merampas kedaulatan rakyat.
Mereka telah dengan semena-mena menanggalkan substansi dan prinsip demokrasi atas nama Penghematan anggaran yang banyak terkuras dalam laga pilkada. Bukankah Anggaran sangat tergantung pada teknis, baik manajemen keuangan (pengelolaan pembiayaan) dan efektifitas system penyelenggaraan pilkada, tanpa harus merampas kedaulatan rakyat dan memutar-balikkan hakekat dari demokrasi itu sendiri? Mereka juga berdalih atas nama “pemberantasan korupsi dan politik uang”. Namun bukankah Korupsi dan politik uang di Indonesia juga lahir akibat system politik yang dijalankan sepenuhnya korup dan tidak transparan, sebagai konsekwensi Negara bergantung dengan pemerintah yang hanya mengabdi kepada kepentingan tuan tanah dan kapitalisme monopoli asing, tanpa berjuang menegakkan kedaulatan dan kemandirian bangsa?
Jadi, Permohonan maaf Partai Demokrat melalui Sekjend-nya (Edy Baskoro Yudhoyono) maupun curhat dan setiap alasan yang dikemukakan SBY dan partainya, hanyalah omong kosong dan celotehan basi semata. Seluruhnya adalah sampah busuk yang akan terus dan semakin menyakiti hati dan perasan rakyat.
Dengan kenyataan demikian, bila saja kita percaya dengan sederet alasan picik mereka (SBY bersama Partai dan Koalisinya) yang sama sekali tidak berdasar, kemudian mengikuti cara berpikir mereka yang terbelakang dan licik, maka sama saja membalikkan system Negara Republik ini kedalam system monarkhi yang feudal dan anti demokrasi, yakni satu system yang secara social sudah sangat lampau masanya. Artinya bahwa, cara berfikir dan pengkhianatan tersebut, tidak hanya tindakan perampasan kedaulatan rakyat dan serangan terbuka atas demokrasi, melainkan juga tindakan melawan laju peradaban yang semakin maju sebagai cermin cara berfikir kolot kaum feudal yang anti perkembangan.
Maka pantas saat ini bagi rakyat untuk mengecam Kebohongan dan Tindakan Picik SBY dengan segenap jajaran pemerintahannya, Partai dan Koalisinya yang telah merampas hak politik rakyat melalui pengesahan UU PILKADA tidak lansung.(2014)#