BMI Menuntut Negara Hadir Berikan Perlindungan Sejati
Tidak kurang dari 8 (delapan) juta rakyat Indonesia yang menjadi Buruh Migran yang tersebar di berbagai negera penempatan seperti, Hong Ko...
https://www.infogsbi.or.id/2014/12/bmi-menuntut-negara-hadir-berikan.html?m=0
Tidak kurang dari 8 (delapan) juta rakyat Indonesia yang menjadi Buruh Migran yang tersebar di berbagai negera penempatan seperti, Hong Kong, Taiwan, Malaysia, Singapura, Korea Selatan dan Negera-negara Timur Tengah, Eropa dan Amerika dengan mayoritas adalah perempuan dan bekerja menjadi domestik worker (bekerja di rumah).
Dari tahun ketahun kondisi buruh migran Indonesia tidak semakin baik, sepanjang tahun 2014 saja telah terjadi berbagai kasus BMI di luar negeri dan calon BMI didalam negeri yang menggemparkan dunia yaitu kasus penganiayaan BMI di Hong Kong, yaitu kasus Kartika Puspitasari, Erwiana Sulistyaningsih, Anis Andriyani dan kemudian disusul dengan kasus- kasus yang lain menjadi satu fakta membantah Hong Kong yang selama ini sebagai Negara yang aman bagi BMI.
Kemudian Indonesia kembali digemparkan dengan hukuman pancung yang akan diberikan kepada Satinah, BMI yang bekerja di Arab Saudi. Bukan hanya Satinah, yang terancam hukuman mati, namun sebanyak 428 BMI di berbagai Negara terancam hukuman mati. Kendati, perjuangan menyelamatkan BMI dari hukuman mati bisa mendesak pemerintah untuk membebaskan Satianah namun masih ada 427 BMI yang terncam hukuman mati hingga saat ini. Belum lagi kasus BMI tidak berdokumen di Kandara, Arab Saudi dan juga dibeberapa Negara lain.
Meningkatnya kasus BMI yang meninggal dunia dikarenakan sakit dan kecelakaan kerja dinegara penempatan, semakin menjadi bukti kuat bahwa kebutuhan gizi dan jaminan kesehatan, jaminan keamanan kerja bagi BMI dinegara penempatan tidak terjamin. Jam kerja yang panjang, makanan yang tidak cukup, kondisi kerja yang sangat buruk dan tidak adanya jaminan keamanan kerja di semua sector mengakibatkan banyakanya nyawa yang terengut. Ditahun ini ada empat buruh migran yang meninggal di Macau dikarenakan kebakaran dirumah tinggal mereka. Tidak diberikannya uang akomodasi yang cukup untuk tempat tinggal memaksa buruh migran tinggal bersama-sama ditempat yang tidak layak huni, karena tidak kuat menanggung tinggina sewa rumah di Macau. Di Hong Kong, sesuai dengan pernyataan KJRI Hong Kong tahun ini sudah memulangkan 20 jenazah BMI. Belum lagi di beberapa Negara penempatan yang lain terutama si sector nelayan, bahkan tahun ini terjadi kasus penyiksaan ABK hingga meninggal dunia di Korea.
Belum lagi tingginya biaya penempatan dan mahalanya kebutuhan hidup di tanah air, memaksa banyak BMI berhutang kepada bank perkreditan dan juga rentenir-rentenir.
Bahkan baru-baru ini BMI nekat bunuh diri diduga terlilit hutang dan buruknya kondisi BMI di Negara penempaan, dan pengecualian atas hak social sebagai manusia. Buruh migran tak ubanya diperlakukan seperti budak. Ditambah lagi dengan kebijakann penaikan BBM oleh pemerintah Jokowi pada tanggal 18 Oktober 2014 semakin menyengsarakan keluarga buruh migran dan rakyat pada umumnya. Akibat dari naiknya harga BBM juga memaksa buruh migran harus menambah jumlah kiriman uang dikarenakan kebutuhan pokok sehari-hari keluarga ditanah air semakin meningkat. Sementara sampai saat ini gaji buruh migran tidak ada jaminan perlindungan upah minimum, pemberian gaji dari masing-masing sector diserahkan kepada peraturan/kebijakan Negara penempatan.
Pemerintah Indonesia hanya menyerahkan begitu saja nasib buruh migran kepada Negara penempatan, lemahnya nilai tawar/bargaining pemerintah Indonesia kepada Negara penempatan semakin menunjukan tidak adanya perlindugan dari pemerintah terhadap BMI.
Perlindungan dari negara harus segera hadir
Sejak tahun 1990, perlindungan buruh migran dan keluarganya sudah diakui oleh PBB dengan disahkannya konvensi PBB 1990 tentang perlindungan pekerja migran dan keluarganya, dan pada tanggal 12 April 2012 pemerintah Indonesia sudah meratifikasi konvensi PBB 1990 melalui Undang-Undang No. 6 tahun 2012 yang di undangkan pada tanggal 2 Mei 2012, akan tetapi sampai saat ini kondisi umum buruh migran Indonesia dan keuarganya masih sangat memprihatinkan. BMI dan keluarganya masih harus terus kecewa karena perlindungan sebagaimana di nyatakan dalam Konvensi PBB 1990 tersebut belum diimplemtasikan oleh pemerintah RI. Pemerintah Indonesia hingga saat ini masih menggunakan UU No.39 tahun 2004 tentang PPTKILN. Dimana UU ini isinya hanya mengutamakan pengaturan dan penempatan BMI yang diserahkan sepenuhnya kepada pihak swasta dalam hal ini PPTKIS/Agensi, tanpa ada perlindungan dari negara bagi BMI dan keluarganya. Penyerahan secara menyeluruh terhadap PRTKIS/Agensi inilah yang menciptakan menggunungnya permasalahnya BMI sampai saat ini. Sudah tidak menjadi rahasia lagi jika PPTKIS/Agensi bekerja sama dengan pemerintah hanya meraup keuntungan dari bisnis pegiriman buruh migran. BMI dijadikan alat penghasil uang untuk keuntungan mereka.
Yang lebih memprihatinkan lagi revisi UUPPTKILN yang di agendakan pemerintah yang seharusnya menjadi harapan akan perubahan perbaikann bagi perlindungan BMI dan Keluarganya tidak selesai dibahas oleh DPR RI periode 2009 – 2014. Pembahasan draf RUU baru pada tingkatan judul. Kuatnya keberpihakan kepentingan PPTKIS/Agensi dari pemerintah dan anggota DPR RI di duga kuat membuat pembahasan Revisi UUPPTKILN ini tidak selesai di bahas. Negara dan PPTKIS/Agensi tidak mau berkurang sedikitpun keuntungan yang selama ini sudah di nikmati, terlebih pemerintah yang sangat nampak keberatan dan enggan untuk mengurusi dan memberikan perlindungan sejati bagi BMI mulai rekrutmet, pemberangkatan, penempatan sampai pemulangan.
Maka atas hal itu, Perlindungan langsung dari Negara bagi BMI dan keluarganya harus segera hadir dan dijalankan, tidak bisa ditunda lagi.
Bentuk perlindungan yang di minta selama ini oleh BMI adalah; Pertama, Pemerintah harus segera mencabut UUPPTKILN No. 39 tahun 2004 dan mengganti dengan Undang-Undang perlindungan bagi BMI dan Keluarganya yang mengadopsi ketentuan konvensi PBB 1990 dan Konvensi ILO 189 tentang kerja layak bagi PRT. Pencabutan UU No. 39 tahun 2004 tentang PPTKILN harus segera dijalankan dan pembahasan UU Perlindungan bagi BMI & Keluarganya serta UU Perlindungan PRT untuk Kerja Layak harus masuk kedalam Baleg Prioritas tahun 2015.
Kedua, Pemerintah harus segera meratifikasi Konvensi ILO 189 Tentang keja layak PRT. Prioritas ini harus segera dijalankan, jika memang pemerintah ingin memperbaiki perlindungan terhadap BMI & Keluarganya.
Ketiga, Pemerintah harus segera membuat kontrak kerja standar yang akan diterapkan disemua Negara penempatan. Diplomasi dengan Negara penempatan juga harus ditingkatkan, pemerintah Indonesia harus mengadakan MoA (Memorandum of Agreement) dengan Negara penempatan dimana isi dari memorandum tersebut harus menjamin adanya perlindungan kerja layak/decent work, upah layak, jaminan libur, jaminan bebas berorganisasi, mendapat cuti persalinan & haid, cuti tahunan dll.
Keempat, Pemerintah harus segera menghapuskan overcharging dengan mengijinkan BMI menjalannkan kontrak mandiri, training kepada calon BMI harus diberikann secara gratis dan diadakan oleh pemerintah didesa-desa kantong buruh migran, sehingga calon BMI bisa mengikuti training disiang hari dan dimalam hari calon BMI bisa berkumpul dengan keluarga. Hanya dengan cara inilah BMI bisa terbebas dari tingginya biaya penempatan dan dikurung di penampungan PPTKIS. Calon BMI, BMI dan Keluarganya juga tidak akan lagi dikriminalisasi oleh PPTKIS/Agensi. Kasus Yunny Rahayu yang dipenjara selama 6 bulan dikarenakan tidak bisa menyelesaikan training dikarenakan minta ijin cuti untuk merawat ayahnya yang sakit, menjadi bukti yang kuat bahwa hukum Indonesia sangat tidak berpihak kepada rakyat miskin. Pemerintah harus segera menciptkan mekanisme hukum bagi calon BMI, BMI dan Kelaurganya yang mengalami kerugian dan akan menuntut gant rugi.
Cukup sudah penderitaan yang dialami oleh BMI dan Keluarganya, buruh migran menjadi korban berlipat ganda. Sebagai korban kemiskinan dan tidak mampunya pemerintah menciptakann lapangan pekerjaan dengan memberikan upah yang layak sehingga diperas oleh pemerintah sendiri dan PPTKIS/Agensi dengan kedok biaya penempatan yang tinggi, diekspor keluar negeri dengan upah murah dan tidak ada perlindungan dinegara penempatan, mendapat diskriminasi dari Negara penempatan. ()
Dari tahun ketahun kondisi buruh migran Indonesia tidak semakin baik, sepanjang tahun 2014 saja telah terjadi berbagai kasus BMI di luar negeri dan calon BMI didalam negeri yang menggemparkan dunia yaitu kasus penganiayaan BMI di Hong Kong, yaitu kasus Kartika Puspitasari, Erwiana Sulistyaningsih, Anis Andriyani dan kemudian disusul dengan kasus- kasus yang lain menjadi satu fakta membantah Hong Kong yang selama ini sebagai Negara yang aman bagi BMI.
Kemudian Indonesia kembali digemparkan dengan hukuman pancung yang akan diberikan kepada Satinah, BMI yang bekerja di Arab Saudi. Bukan hanya Satinah, yang terancam hukuman mati, namun sebanyak 428 BMI di berbagai Negara terancam hukuman mati. Kendati, perjuangan menyelamatkan BMI dari hukuman mati bisa mendesak pemerintah untuk membebaskan Satianah namun masih ada 427 BMI yang terncam hukuman mati hingga saat ini. Belum lagi kasus BMI tidak berdokumen di Kandara, Arab Saudi dan juga dibeberapa Negara lain.
Meningkatnya kasus BMI yang meninggal dunia dikarenakan sakit dan kecelakaan kerja dinegara penempatan, semakin menjadi bukti kuat bahwa kebutuhan gizi dan jaminan kesehatan, jaminan keamanan kerja bagi BMI dinegara penempatan tidak terjamin. Jam kerja yang panjang, makanan yang tidak cukup, kondisi kerja yang sangat buruk dan tidak adanya jaminan keamanan kerja di semua sector mengakibatkan banyakanya nyawa yang terengut. Ditahun ini ada empat buruh migran yang meninggal di Macau dikarenakan kebakaran dirumah tinggal mereka. Tidak diberikannya uang akomodasi yang cukup untuk tempat tinggal memaksa buruh migran tinggal bersama-sama ditempat yang tidak layak huni, karena tidak kuat menanggung tinggina sewa rumah di Macau. Di Hong Kong, sesuai dengan pernyataan KJRI Hong Kong tahun ini sudah memulangkan 20 jenazah BMI. Belum lagi di beberapa Negara penempatan yang lain terutama si sector nelayan, bahkan tahun ini terjadi kasus penyiksaan ABK hingga meninggal dunia di Korea.
Belum lagi tingginya biaya penempatan dan mahalanya kebutuhan hidup di tanah air, memaksa banyak BMI berhutang kepada bank perkreditan dan juga rentenir-rentenir.
Bahkan baru-baru ini BMI nekat bunuh diri diduga terlilit hutang dan buruknya kondisi BMI di Negara penempaan, dan pengecualian atas hak social sebagai manusia. Buruh migran tak ubanya diperlakukan seperti budak. Ditambah lagi dengan kebijakann penaikan BBM oleh pemerintah Jokowi pada tanggal 18 Oktober 2014 semakin menyengsarakan keluarga buruh migran dan rakyat pada umumnya. Akibat dari naiknya harga BBM juga memaksa buruh migran harus menambah jumlah kiriman uang dikarenakan kebutuhan pokok sehari-hari keluarga ditanah air semakin meningkat. Sementara sampai saat ini gaji buruh migran tidak ada jaminan perlindungan upah minimum, pemberian gaji dari masing-masing sector diserahkan kepada peraturan/kebijakan Negara penempatan.
Pemerintah Indonesia hanya menyerahkan begitu saja nasib buruh migran kepada Negara penempatan, lemahnya nilai tawar/bargaining pemerintah Indonesia kepada Negara penempatan semakin menunjukan tidak adanya perlindugan dari pemerintah terhadap BMI.
Perlindungan dari negara harus segera hadir
Sejak tahun 1990, perlindungan buruh migran dan keluarganya sudah diakui oleh PBB dengan disahkannya konvensi PBB 1990 tentang perlindungan pekerja migran dan keluarganya, dan pada tanggal 12 April 2012 pemerintah Indonesia sudah meratifikasi konvensi PBB 1990 melalui Undang-Undang No. 6 tahun 2012 yang di undangkan pada tanggal 2 Mei 2012, akan tetapi sampai saat ini kondisi umum buruh migran Indonesia dan keuarganya masih sangat memprihatinkan. BMI dan keluarganya masih harus terus kecewa karena perlindungan sebagaimana di nyatakan dalam Konvensi PBB 1990 tersebut belum diimplemtasikan oleh pemerintah RI. Pemerintah Indonesia hingga saat ini masih menggunakan UU No.39 tahun 2004 tentang PPTKILN. Dimana UU ini isinya hanya mengutamakan pengaturan dan penempatan BMI yang diserahkan sepenuhnya kepada pihak swasta dalam hal ini PPTKIS/Agensi, tanpa ada perlindungan dari negara bagi BMI dan keluarganya. Penyerahan secara menyeluruh terhadap PRTKIS/Agensi inilah yang menciptakan menggunungnya permasalahnya BMI sampai saat ini. Sudah tidak menjadi rahasia lagi jika PPTKIS/Agensi bekerja sama dengan pemerintah hanya meraup keuntungan dari bisnis pegiriman buruh migran. BMI dijadikan alat penghasil uang untuk keuntungan mereka.
Yang lebih memprihatinkan lagi revisi UUPPTKILN yang di agendakan pemerintah yang seharusnya menjadi harapan akan perubahan perbaikann bagi perlindungan BMI dan Keluarganya tidak selesai dibahas oleh DPR RI periode 2009 – 2014. Pembahasan draf RUU baru pada tingkatan judul. Kuatnya keberpihakan kepentingan PPTKIS/Agensi dari pemerintah dan anggota DPR RI di duga kuat membuat pembahasan Revisi UUPPTKILN ini tidak selesai di bahas. Negara dan PPTKIS/Agensi tidak mau berkurang sedikitpun keuntungan yang selama ini sudah di nikmati, terlebih pemerintah yang sangat nampak keberatan dan enggan untuk mengurusi dan memberikan perlindungan sejati bagi BMI mulai rekrutmet, pemberangkatan, penempatan sampai pemulangan.
Maka atas hal itu, Perlindungan langsung dari Negara bagi BMI dan keluarganya harus segera hadir dan dijalankan, tidak bisa ditunda lagi.
Bentuk perlindungan yang di minta selama ini oleh BMI adalah; Pertama, Pemerintah harus segera mencabut UUPPTKILN No. 39 tahun 2004 dan mengganti dengan Undang-Undang perlindungan bagi BMI dan Keluarganya yang mengadopsi ketentuan konvensi PBB 1990 dan Konvensi ILO 189 tentang kerja layak bagi PRT. Pencabutan UU No. 39 tahun 2004 tentang PPTKILN harus segera dijalankan dan pembahasan UU Perlindungan bagi BMI & Keluarganya serta UU Perlindungan PRT untuk Kerja Layak harus masuk kedalam Baleg Prioritas tahun 2015.
Kedua, Pemerintah harus segera meratifikasi Konvensi ILO 189 Tentang keja layak PRT. Prioritas ini harus segera dijalankan, jika memang pemerintah ingin memperbaiki perlindungan terhadap BMI & Keluarganya.
Ketiga, Pemerintah harus segera membuat kontrak kerja standar yang akan diterapkan disemua Negara penempatan. Diplomasi dengan Negara penempatan juga harus ditingkatkan, pemerintah Indonesia harus mengadakan MoA (Memorandum of Agreement) dengan Negara penempatan dimana isi dari memorandum tersebut harus menjamin adanya perlindungan kerja layak/decent work, upah layak, jaminan libur, jaminan bebas berorganisasi, mendapat cuti persalinan & haid, cuti tahunan dll.
Keempat, Pemerintah harus segera menghapuskan overcharging dengan mengijinkan BMI menjalannkan kontrak mandiri, training kepada calon BMI harus diberikann secara gratis dan diadakan oleh pemerintah didesa-desa kantong buruh migran, sehingga calon BMI bisa mengikuti training disiang hari dan dimalam hari calon BMI bisa berkumpul dengan keluarga. Hanya dengan cara inilah BMI bisa terbebas dari tingginya biaya penempatan dan dikurung di penampungan PPTKIS. Calon BMI, BMI dan Keluarganya juga tidak akan lagi dikriminalisasi oleh PPTKIS/Agensi. Kasus Yunny Rahayu yang dipenjara selama 6 bulan dikarenakan tidak bisa menyelesaikan training dikarenakan minta ijin cuti untuk merawat ayahnya yang sakit, menjadi bukti yang kuat bahwa hukum Indonesia sangat tidak berpihak kepada rakyat miskin. Pemerintah harus segera menciptkan mekanisme hukum bagi calon BMI, BMI dan Kelaurganya yang mengalami kerugian dan akan menuntut gant rugi.
Cukup sudah penderitaan yang dialami oleh BMI dan Keluarganya, buruh migran menjadi korban berlipat ganda. Sebagai korban kemiskinan dan tidak mampunya pemerintah menciptakann lapangan pekerjaan dengan memberikan upah yang layak sehingga diperas oleh pemerintah sendiri dan PPTKIS/Agensi dengan kedok biaya penempatan yang tinggi, diekspor keluar negeri dengan upah murah dan tidak ada perlindungan dinegara penempatan, mendapat diskriminasi dari Negara penempatan. ()