PERHUTANI SEBAGAI TUAN TANAH TIPE IV
Oleh. Rahmat Ajiguna (Sekretaris Jenderal Aliansi Gerakan Reforma Agraria /AGRA) Monopoli Tanah yang luas, praktek penghisapan semi-fe...
https://www.infogsbi.or.id/2014/12/perhutani-sebagai-tuan-tanah-tipe-i.html
Oleh. Rahmat Ajiguna
(Sekretaris Jenderal Aliansi Gerakan Reforma Agraria /AGRA)
Monopoli Tanah yang luas, praktek penghisapan semi-feodal melalui sewa tanah yang mencekik serta tindasan FASIS adalah praktek Perhutani sebagai Tuan Tanah Besar.
Tulisan ini merupakan uraian tentang Perhutani sebagai Tuan Tanah tipe IV. Basis analisanya adalah praktek dan sejarah lahirnya Perhutani di Indonesia. Untuk menguraikan bahwa perhutani adalah tuan tanah, pertama kali yang terpenting kita pahami adalah apa itu tuan tanah, bagaimana praktek tuan tanah dan bagaimana perkembangan tuan tanah di Indonesia dewasa ini.
Dengan mendasarkan atas pemahaman tersebut diharapkan kita akan dapat menyimpulkan dengan terang siapa Perhutani dan bagaimana sikap kita sebagai kaum tani dan rakyat Indonesia terhadap keberadaan Perhutani.
Tuan tanah adalah satu kelas atau golongan masyarakat di dalam masyarakat Indonesia yang bersama-sama dengan kelas PENGHISAP DAN penindas lainnya, borjuasi besar komperador dan kapitalis birokrat. Ciri khas semi-feodalisme adalah tuan tanah melakukan monopoli tanah DALAM skala besar dan melakukan monopoli alat kerja pertanian, termasuk monopoli input dan output pertanian, serta monopoli perdagangan hasil produksi pertanian. Mereka tidak ambil bagian dalam produksi, mereka hidup dan tergantung atas monopoli tanah dan monopoli alat kerja, mereka merampas hasil produski pertanian yang merupakan hasil kerja kaum tani.
Dalam sejarah perkembangan masyarakat di Indonesia tuan tanah sebagai satu kelas yang berkuasa dalam sistem semi-feodalisme dewasa ini, tidak pernah dihancurkan sampai ke akarnya sehingga masih eksis hingga saat ini. Sistem semi-feodalisme yang memiliki ciri khas corak produksi monopoli tanah secara luas tetap dipertahankan, sebagai basis sosial bagi Imperialisme untuk mendominasi Indonesia. Hanya saja, di zaman Imperialisme saat ini, tuan tanah yang ada, telah berkembang ke dalam bentuknya yang baru, tidak seperti dalam bentuknya yang lama pada masa feodalisme klasik sebelum lahirnya Imperialisme.
Di zaman Imperialisme saat ini, berdasarkan, hubungan produksi (kepemilikan, partisipasi kerja, distribusi hasil maupun tujuan produksinya—feodal atau setengah feodal) dan hubungannya dengan Imperialisme, tuan tanah yang ada di Indonesia dapat dibedakan ke dalam 4 type tuan tanah, yaitu :
Pertama Tuan Tanah Klasik, yaitu tuan tanah yang melakukan monopoli tanah di pedesaan dimana tanahnya tidak terintegrasi, kecil dan terpisah-pisah. Tuan tanah ini menerapkan sistem produksi feodal lama dengan alat kerja yang sangat sederhana, tradisional dan terbelakang, tujuan utama produksinya untuk mencukupi kebutuhan pangan sendiri dan bukan untuk pasar (tanaman komoditi untuk diperdagangkan). Mereka tidak ikut serta dalam kerja, dan sepenuHnya bergantung hidup dari monopoli tanah, dengan cara merampas surplus produksi (produk lebih) yang diperoleh dari praktek sewa tanah, termasuk menekan upah buruh tani hingga ke titik yang paling rendah.
Kedua Tuan Tanah Tipe Baru-2, yaitu tuan tanah tipe baru yang secara umum memiliki ciri-ciri dasar yang sama seperti tuan tanah pada umumnya, akan tetapi ia juga menjalankan berbagai bentuk penghisapan lainnya, termasuk bentuk-bentuk penghisapan yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan produksi, seperti perdagangan. Di samping mempraktekkan berbagai bentuk sewa tanah, dia juga mempraktekkan berbagai macam peribaaan, baik riba uang maupun monopoli perdagangan atas sarana produksi pertanian dan hasil pertanian (input dan output pertanian). Tuan tanah tipe ini sepenuhnya memproduksi tanaman-tanaman komoditi untuk diperdagangkan. Akan tetapi, karena dia tidak berhubungan langsung dengan Imperialis maka ia juga menjadi kaki tangan dari tuan tanah besar komprador.
Ketiga Tuan Tanah Tipe Baru-3, yaitu tuan tanah yang berhubungan langsung dengan Imperialis. Ciri-cirinya adalah menjalankan praktek monopoli tanah yang sangat luas dan alat produksi pertanian lainnya. Dengan membangun perkebunan skala besar dan kehutanan, mereka memproduksi tanaman-tanaman komoditi seperti sawit, karet, kakao, kayu dll, yang sepenuhnya untuk diperdangkan melalui ekspor dan terintegrasi (terhubung langsung) dengan industri Imperialis. khususnya dalam penyediaan bahan mentah maupun bahan setengah jadi pertanian yang murah bagi industri milik Imperialisme.
Contoh-contoh dari tuan tanah tipe baru-3 ini diantaranya adalah Keluarga William Suryawijaya yang memiliki Astra Agro Lestari, PT. Sinar Mas, Riau Andalas Pulp and Papper, Keluarga Salim pemilik Indofood Agri Resources (INDOAGRI), Prayogo Pangestu pemilik Barito Pasific dan beberapa perkebunan skala besar, Keluarga HM Sampoerna pemilik Sampoerna Agro, Hutan Tanaman Industri, Keluarga Gudang Garam pemilik Matahari Kahuripan Indonesia (Perkebunan Kelapa Sawit), Keluarga Djarum dan Hutan Tanaman Industri, Keluarga Bentoel, keluarga DL Sitorus yang memiliki PT. Wilmar Group dengan perkebunan kelapa sawit, Keluarga HM Yusuf Kalla, Hasyim Joyohadikussumo, Arifin Panigoro, dan Keluarga Moerdaya, Keluarga Abu Rizal Bakrie yang memiliki Bakrie Plantation, dll.
Keempat Tuan Tanah Tipe Baru-4, yaitu Negara sebagai tuan tanah besar kaki tangan Imperialis. Negara RI adalah negara milik tuan tanah dan borjuasi komprador. Negara RI secara langsung memperoleh produk lebih (hasil lebih pertanian, perkebunan dan kehutanan) dalam hubungan produksi semi-feodal dengan cara memungut sewa tanah dalam bentuk pajak dan berbagai iuran lainnya, upah buruh murah dalam perkebunan milik pemerintah. Juga memberlakukan riba secara langsung melalui kredit mikro di pedesaan, dan memaksa sewa tanah serta malakukan perampasan tanah dengan kekuatan bersenjata.
Negara RI sebagai tuan tanah besar pada kenyataannya karena mewarisi kekuasaan monopoli tanah oleh Negara kolonialis Belanda sejak perang feodal kolonial, sistem tanam paksa dan secara resmi berlakunya Agrarische Wet 1870. Prinsip monopoli tanah secara fundamental yang dilegalkan oleh kolonial tidak pernah berubah DAN telah melahirkan berbagai bentuk penghisapan dan penindasan feodal di Indonesia hingga saat ini.
Contoh-contoh tuan tanah tipe baru-4 ini diantaranya adalah Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, perhutani, inhutani, Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN I-XIV).
PERHUTANI Adalah Perusahan Negara Penghisap Dan Penindas Warisan Belanda.
Keberadaan Perhutani tidak bisa dilepaskan dari sejarah pengelolaan hutan di Jawa dan Madura. Tanah-tanah yang dikuasai secara monopoli oleh Perhutani seluruhnya berasal dari tanah milik rakyat.
Sejarah penguasaan tanah terjadi sejak masyarakat Indonesia memasuki masyarakat berklas, kepemilikan budak berlanjut di era feodalisme dan semakin menguat pada masa kolonialisme Belanda hingga pemerintahan SBY saat ini.
Pada masa kolonialisme Belanda keluar Staatsblad Domein Agrarische Van 1870, Staatsblad No 118. Kemudian jawatan kehutanan dibentuk pada tahun 1897 melalui “Reglement voor het beheer der bosschen van den Lande op Java en Madoera”, Staatsblad 1897 nomor 61 (disingkat “Bosreglement”) selain itu terbit pula “Reglement voor den dienst van het Boschwezen op Java en Madoera” disingkat “Dienst Reglement” yang menetapkan aturan tentang organisasi Jawatan Kehutanan, dimana pembentukan Jawatan Kehutanan dengan Gouvernement Besluit (Keputusan Pemerintah) tanggal 9 Februari 1897 nomor 21, termuat dalam Bijblad 5164. Dan hingga saat ini dasar penguasaan tanah oleh perhutani menggunakan PP NO 72 Tahun 2010 tentang perusahaan umum (PERUM) kehutanan Negara.
Pulau Jawa memiliki luas 13.404.500 hektar, dari luas tersebut total kawasan hutannya mencapai 3.315.445,914 hektar dan yang masuk dalam penguasaan dan monopoli oleh Perhutani seluas 2.426.206 hektar atau sekitar 19% dari luas daratan di Jawa, yang terdiri dari Hutan Produksi (HP) seluas 1.750.860 Ha dan hutan lindung seluas 691.241. Tidak termasuk hutan suaka dan hutan wisata.
Sepanjang sejarah penguasaan tanah secara monopoli oleh jawatan kehutanan, mulai dari masa kolonialisme Belanda hingga menjadi Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perhutani) saat ini, sepenuhnya terlantar dan terbelakang. Dari data yang dilaporkan oleh direksi perhutani, dalam kurun waktu 2002-2006 perhutani hanya memberikan kontribusi finansial kepada negara sebesar 500,21 milyar pada tahun 2002, sebesar 508,78 milyar di tahun 2003, untuk tahun 2004 312,54 milyar, pada tahun 2005 sebesar 273,08 milyar, dan pada tahun 2006 sebesar 515,43 milyar. Jika diambil rata-rata dalam kurun 5 tahun tersebut, perhutani hanya sanggup memberikan kontribusi sebesar 422,008 milyar.
Berbeda sekali jika tanah di tangan kaum tani jauh lebih produktif, satu contoh satu hektar tanah yang dikelola oleh petani Kabupaten Wonosobo dapat menghasilkan 25 juta setiap tahun, dan jika luasan tanah yang dimonopoli oleh perhutani seluas 2.426.206 hektar, maka dalam satu tahun dapat menghasilkan 60.611.050.000.000 (enam puluh triliun enam ratus sebelas milyar lima puluh juta rupiah) atau lebih dari seratus kali lipat penghasilan perhutani. ini Satu bukti dari penelantaran tanah oleh Perhutani.
Selain monopoli tanah, Perhutani juga melakukan monopoli perdagangan kayu, mereka menetapkan harga dasar kayu hasil hutan yang menekan penghasilan kaum tani, seperti Harga kayu jati, sengon, mahoni, jabon dll. System sertifikasi kayu melalui mekanisme Chain Of Custody (CoC) hanyalah selubung bagi perhutani untuk menguatkan control dan monopoli perdagangan kayu, untuk memenuhi kebutuhan pasar Internasional dan merupakan kontrol Imperialis atas ketersediaan bahan baku kayu dan hasil hutan lainnya untuk kebutuhan Industrinya.
PHBM " Instrumen Penghisapan Perhutani Terhadap Kaum Tani".
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHMB) adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi yang bersinergi antara Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau para pihak yang berkepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal dan peningkatan IPM yang bersifat fleksibel, partisipatif dan akomodatif. Begitulah perhutani menjelaskan apa yang dimaksud dengan PHMB.
Kenyatannya PHBM merupakan instrumen yang dibuat oleh perhutani untuk memaksa rakyat mengelola hutan yang sesungguhnya untuk menjawab ketersediaan tenaga kerja yang murah, bahka tanpa harus membayarnya, melalui praktek sewa tanah dengan berbagai bentuknya dan menjalankan praktek peribaan serta perampasan hak demokratis bagi kaum tani.
PHBM digunakan oleh perhutani sebagai kedok membungkus praktek penghisapan dan penindasan, melalui PHBM seolah-olah perhutani memiliki tujuan dan kepentingan untuk meningkatkan ekonomi Rakyat sekitar hutan, tetapi mereka lupa bahwa kemiskinan rakyat yang hidup di sekitar hutan Jawa yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah panjang perampasan tanah sejak Kolonial belanda hingga hari ini menjadi Perhutani, karena telah mengusir kaum tani dari tanahnya.
PHBM merupakan sistem komprehensif untuk mengikat kaum tani dalam sebuah sitem penghisapan semi-feodal melalui sewa tanah yang mencekik, melalui PHBM petani didorong untuk masuk dalam keanggotaan LMDH (lembaga Masyarakat Desa Hutan) yang secara kongkret merampas kemerdekaan kaum tani dalam berorganisasi karena harus masuk dalam LMDH.
PHBM mengatur bagi hasil yang tidak adil, umumnya penerapan bagi hasil adalah 25:75, dalam PHBM juga mengatur dan menentukan jenis tanaman apa yang harus ditanam hingga menetapkan jarak tanam sesuai kehendak Perhutani, dengan demikian kaum tani tidak memiliki kemerdekaan untuk menetukan jenis tanaman sesuai dengan kebutuhannya, penetapan jenis tanaman oleh Perhutani sesungguhnya diorentasikan untuk memenuhi kebutuhan industri milik Imperialis atas bahan baku kayu dan hasil hutan lainnya, seperti karet, getah pinus dll.
Lebih jauh penerapan PHBM memaksa kaum tani harus membayar sewa tanah yang tinggi dengan bentuk-bentuk yang berbeda-beda dalam setiap daerah, sebagian daerah menerapkan pembayaran sewa tanah di muka ketika akan membuka lahan, ada juga yang menerapkan bagi hasil atas tanaman tumpang sari petani, ada pula yang menerpakan kedua-duanya. Pendek kata, kaum tani harus bekerja menanam dan merawat tanaman milik perhutani tanpa dibayar, masih harus membayar sewa tanah untuk tanaman tumpang sari dan hasil panen petani masih dipungut hingga 10% untuk perhutani, inilah derajat penghisapan yang berlipat oleh Perhutani terhadap kaum tani, dan disinilah penyebab kemiskinan rakyat yang hidup di sekitar hutan di Pulau Jawa.
Selain sebagai sekema penghisapan melalui sewa tanah dengan berbagai bentuknya, PHBM juga membuka ruang yang luas untuk praktek peribaan terhadap kaum tani, melalui LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) perhutani mendorong adanya pihak ketiga untuk permodalan dalam pengelolaan kerjasama melalui PHBM, dengan demikian, kaum tani akan diikat dalam hutang dan peribaan, dengan dalih meningkatkan permodalan kaum tani yang tergabung dalam LMDH.
Selain bentuk-bentuk penghisapan semi-feodal sebagaimana diatas, perhutani menerapkan upah buruh yang sangat rendah, buruh tani yang bekerja secara lepas untuk menderes getah karet dan pinus umumnya mendapat bagian 1:5 dari hasil kerjanya, perhutani juga menerapkan harga atas getah yang sangat rendah.
Dari data perhutani selain mempekerjakan buruh tani, mereka mempekerjaan setidaknya 26.437 karyawan Perhutani yang biasa dikenal dengan sebutan brigadir hijau. Setidaknya terdapat 12 ribu diantaranya bekerja dengan sistem kontrak jangka pendek dangan massa kerja lebih diatas lima tahun, yang tentu bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan. Mereka juga menerapkan upah di bawah setandar ketetapan pengupahan (UMR). Sebagaimana penjelasan dari “sekar” serikat karyawan perhutani yang melakukan demontrasi di BUMN pada tahun 2013 yang lalu. Selain itu dana pensiun perhutani juga sangat rendah mulai 50 ribu hingga sembilan ratus lima puliuh ribu perbulan untuk pensiunan dengan jabatan terkahir menejer.
Tindasan Fasisme Perhutani: Teror, Intimidasi, Kriminalisasi dan Pembunuhan Terhadap Kaum Tani.
Perhutani sebagai tuan tanah tidak hanya sekedar menguasai secara ekonomi, tetapi perhutani sebagai tuan tanah juga sangat berkuasa secara politik, berbagai kebijakan sanggup mereka keluarkan dan diterapkan untuk memastikan dominasinya atas monopoli tanah dan melanggengkan sistem penghisapan terhadap kaum tani, mereka juga membangun kekuatan pemaksanya.
LMDH adalah salah satu upaya untuk mengikat kaum tani agar terorganisasi dalam wadah yang dapat dengan mudah untuk dikontrol oleh perhutani, mereka tidak membiarkan kaum tani bebas berorganisasi, sebab perhutani menyadari jika ada keebebasan bagi kaum tani maka akan mengancam kepentingan perhutani, tidak hanya itu perhutani juga membangun kekuatan militer secara mandiri, diluar kepolisian dan TNI. Sampai pertengahan 2009 tercatat polisi kehutanan (polhut) sebanyak 7.519 orang, 3.025 orang diantaranya adalah PNS Pusat sedangkan 4.494 berstatus sebagai PNS (Provinsi/Kabupaten/kota), jumlah ini akan ditingkatkan dengan target 62.000 personil.
Dari personil polhut yang sudah ada 1000 diantaranya telah dilakukan peningkatan kemampuan dan kapasitasnya untuk menjadi personil satuan polisi kehutanan reaksi cepat (SPORC) yang tersebar di 11 provinsi dengan penamaan masing -masing diantaranya Brigade Kanguru di Provinsi Papua, Brigade Kasuari di Provinsi Papua Barat, Brigade Anoa di Provinsi Sulawesi Selatan, Brigade Enggang di Provinsi Kalimantan Timur, Brigade Kalaweit di Provinsi Kalimantan Tengah, Brigade Bekantan di Provinsi Kalimantan Barat, Brigade Siamang di Provinsi Sumatera Selatan, Brigade Harimau di Provinsi Jambi, Brigade Beruang di Provinsi Riau, Brigade Macan Tutul di Provinsi Sumatera Utara dan Brigade Elang di DKI Jakarta.
Meskipun Brigade SPORC tersebut berada pada 11 provinsi, namun fungsional tugasnya dapat dilakukan secara lintas provinsi sesuai dengan eskalasi kebutuhan pengamanan hutan dan hasil hutan. Disamping pembentukan satuan khusus, satuan pengamanan hutan Polhut ”reguler” senantiasa tetap ditingkatkan kemampuannya melalui pembinaan serta pendidikan dan pelatihan (diklat), baik diklat untuk aspek kepolisian maupun diklat teknis dan administrasi kehutanan yang relevan dengan tugas dan fungsinya.
Perhutani juga membangun milisi yang direkrut dari masyarakat sekitar hutan, seperti pembentukan pam swakarsa, LMDH, Jaga Wana dan lain sebagainya, tujuan dari pembentukan milisi ini selain untuk memperkuat keamanan juga ditujukan sebagai alat pemecah belah Rakyat dan bangkitnya perjuangan anti feodal dan reforma Agraria sejati.
Melalui alat kekerasannya, Polhut, Polisi, TNI dan milisi yang dibentuk, mereka melakukan tindasan fasis dengan cara teror, Intimidasi, kriminalisasi hingga pembunuhan terhadap kaum tani, setidaknya dalam kurun 1998-2014 setidaknya 74 ditembak, dan 34 orang meninggal (Sumber data, Arupa). Ini belum termasuk kriminalisasi yang kerap dialami oleh kaum tani, karena tidak mau diusir dari tanah ataupun dengan tuduhan pencurian dan lain sebagainya.
Pengisapan dan Penindasan Kejam Perhutani Tekag Mengobarkan Perlawanan Kaum Tani Sepanjang Masa.
Sepanjang sejarah monopoli tanah di Jawa yang dilakukan oleh Perhutani, sejak penguasaan oleh kolonial Belanda hingga dalam penguasaan pemerintah SBY-BOEDIONO melalui Perhutani, telah mengobarkan perlawanan kaum tani yang tidak pernah padam. Berbagai bentuk perlawanan di lakukan setiap hari oleh kaum tani, mulai dengan perlawanan indifidu dan tertutup hingga perlawanan kolektif yang terbuka, mulai dengan cara-cara lunak hingga perlawanan kaum tani melalui jalan kekerasan untuk tetap mempertahankan tanah.
Sejak penguasaan tanah Jawa oleh Kolonial, perlawanan sudah berkobar setidaknya tercatat dalam sejarah perlawanan orang Samin, orang-orang Kalang dan banyak lagi perlawanan yang tidak tercatat. Perlawanan secara individual juga terus terjadi mulai dari meninggalkan pekerjaan, menanam tanaman perhutani hanya di sepanjang jalan yang dilewati oleh petugas dan lain sebagainya merupakan bentuk perlawanan yang tertutup oleh kaum tani.
Dalam sejarah Pembangunan AGRA sebagai organisasi nasional, pada tahun 2004 telah melakukan perlawanan secara terorganisir, dengan melakukan aksi besar di kota Wonosobo untuk menuntut pembubaran Perhutani pada tahun 2004, hingga saat ini perlawanan di tingkat desa terus saja berkobar.
Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
Pertama; Perhutani sebagai perusahaan milik Negara yang diberikan kewenangan untuk mengelola hutan di Jawa dan Madura telah melakukan monopoli tanah 19% dari luas daratan Pula Jawa, merupakan negara sebagai tuan tanah tipe baru IV.
Kedua; Atas Monopolinya terhadap tanah di Pula Jawa, Perhutani melakukan penghisapan sistem Semi-feodal dengan cara menerapkan sewa tanah yang mencekik dengan berbagai bentuknya, PHBM adalahh instrimen legal didalam melakukan penghisapan, dan telah memperdalam kemiskinan kaum tani di pulau Jawa.
Ketiga; Melalui kekuatan militer yang dimikinya, Polhut, Polisi, TNI dan milisi yang dibangun perhutani melakukan tindasan fasis yang kejam terhadap kaum tani, mulai dengan melakukan pelarangan berorganisasi, melakukan teror, intimidasi, kriminalisasi hingga pembunuhan.
Ke-empat; Atas penghisapan dan penindasan panjang oleh perhutani terhadap kaum tani, telah melahirkan perlawanan yang tidak pernah padam, dengan berbagai bentuk, baik secara sendiri maupun secara kolektif, baik terbuka, maupun tertutup, baik dengan cara yang lunak hingga mengambil cara kekerasan, tetapi hingga saat ini sangat kecil kau tani yang berlawan dengan perhutani telah terorganisir dengan baik dalam kerangka perjuangan anti feodal dan anti Imperialis.
Ke-Lima; Dengan segala prakteknya maka perhutani merupakan tuan tanah yang paling reaksi dan jahat bagi Rakyat terutama yang hidup di Pula Jawa, karenanya AGRA sebagai organisasi tani Nasional yang memiliki watak anti feodal dan anti Imperialis memiliki pandangan untuk terus memperkuat dan memperluas pengorganisasianya terhadap petani yang hidup dan tergantung terhadap hutan, dan melancarkan tuntutan reform mulai dari penurunan sewa tanah, hingga memperjuangkan dikembalikannya tanah kepada kaum tani.(2014)#
(Sekretaris Jenderal Aliansi Gerakan Reforma Agraria /AGRA)
Monopoli Tanah yang luas, praktek penghisapan semi-feodal melalui sewa tanah yang mencekik serta tindasan FASIS adalah praktek Perhutani sebagai Tuan Tanah Besar.
Tulisan ini merupakan uraian tentang Perhutani sebagai Tuan Tanah tipe IV. Basis analisanya adalah praktek dan sejarah lahirnya Perhutani di Indonesia. Untuk menguraikan bahwa perhutani adalah tuan tanah, pertama kali yang terpenting kita pahami adalah apa itu tuan tanah, bagaimana praktek tuan tanah dan bagaimana perkembangan tuan tanah di Indonesia dewasa ini.
Dengan mendasarkan atas pemahaman tersebut diharapkan kita akan dapat menyimpulkan dengan terang siapa Perhutani dan bagaimana sikap kita sebagai kaum tani dan rakyat Indonesia terhadap keberadaan Perhutani.
Tuan tanah adalah satu kelas atau golongan masyarakat di dalam masyarakat Indonesia yang bersama-sama dengan kelas PENGHISAP DAN penindas lainnya, borjuasi besar komperador dan kapitalis birokrat. Ciri khas semi-feodalisme adalah tuan tanah melakukan monopoli tanah DALAM skala besar dan melakukan monopoli alat kerja pertanian, termasuk monopoli input dan output pertanian, serta monopoli perdagangan hasil produksi pertanian. Mereka tidak ambil bagian dalam produksi, mereka hidup dan tergantung atas monopoli tanah dan monopoli alat kerja, mereka merampas hasil produski pertanian yang merupakan hasil kerja kaum tani.
Dalam sejarah perkembangan masyarakat di Indonesia tuan tanah sebagai satu kelas yang berkuasa dalam sistem semi-feodalisme dewasa ini, tidak pernah dihancurkan sampai ke akarnya sehingga masih eksis hingga saat ini. Sistem semi-feodalisme yang memiliki ciri khas corak produksi monopoli tanah secara luas tetap dipertahankan, sebagai basis sosial bagi Imperialisme untuk mendominasi Indonesia. Hanya saja, di zaman Imperialisme saat ini, tuan tanah yang ada, telah berkembang ke dalam bentuknya yang baru, tidak seperti dalam bentuknya yang lama pada masa feodalisme klasik sebelum lahirnya Imperialisme.
Di zaman Imperialisme saat ini, berdasarkan, hubungan produksi (kepemilikan, partisipasi kerja, distribusi hasil maupun tujuan produksinya—feodal atau setengah feodal) dan hubungannya dengan Imperialisme, tuan tanah yang ada di Indonesia dapat dibedakan ke dalam 4 type tuan tanah, yaitu :
Pertama Tuan Tanah Klasik, yaitu tuan tanah yang melakukan monopoli tanah di pedesaan dimana tanahnya tidak terintegrasi, kecil dan terpisah-pisah. Tuan tanah ini menerapkan sistem produksi feodal lama dengan alat kerja yang sangat sederhana, tradisional dan terbelakang, tujuan utama produksinya untuk mencukupi kebutuhan pangan sendiri dan bukan untuk pasar (tanaman komoditi untuk diperdagangkan). Mereka tidak ikut serta dalam kerja, dan sepenuHnya bergantung hidup dari monopoli tanah, dengan cara merampas surplus produksi (produk lebih) yang diperoleh dari praktek sewa tanah, termasuk menekan upah buruh tani hingga ke titik yang paling rendah.
Kedua Tuan Tanah Tipe Baru-2, yaitu tuan tanah tipe baru yang secara umum memiliki ciri-ciri dasar yang sama seperti tuan tanah pada umumnya, akan tetapi ia juga menjalankan berbagai bentuk penghisapan lainnya, termasuk bentuk-bentuk penghisapan yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan produksi, seperti perdagangan. Di samping mempraktekkan berbagai bentuk sewa tanah, dia juga mempraktekkan berbagai macam peribaaan, baik riba uang maupun monopoli perdagangan atas sarana produksi pertanian dan hasil pertanian (input dan output pertanian). Tuan tanah tipe ini sepenuhnya memproduksi tanaman-tanaman komoditi untuk diperdagangkan. Akan tetapi, karena dia tidak berhubungan langsung dengan Imperialis maka ia juga menjadi kaki tangan dari tuan tanah besar komprador.
Ketiga Tuan Tanah Tipe Baru-3, yaitu tuan tanah yang berhubungan langsung dengan Imperialis. Ciri-cirinya adalah menjalankan praktek monopoli tanah yang sangat luas dan alat produksi pertanian lainnya. Dengan membangun perkebunan skala besar dan kehutanan, mereka memproduksi tanaman-tanaman komoditi seperti sawit, karet, kakao, kayu dll, yang sepenuhnya untuk diperdangkan melalui ekspor dan terintegrasi (terhubung langsung) dengan industri Imperialis. khususnya dalam penyediaan bahan mentah maupun bahan setengah jadi pertanian yang murah bagi industri milik Imperialisme.
Contoh-contoh dari tuan tanah tipe baru-3 ini diantaranya adalah Keluarga William Suryawijaya yang memiliki Astra Agro Lestari, PT. Sinar Mas, Riau Andalas Pulp and Papper, Keluarga Salim pemilik Indofood Agri Resources (INDOAGRI), Prayogo Pangestu pemilik Barito Pasific dan beberapa perkebunan skala besar, Keluarga HM Sampoerna pemilik Sampoerna Agro, Hutan Tanaman Industri, Keluarga Gudang Garam pemilik Matahari Kahuripan Indonesia (Perkebunan Kelapa Sawit), Keluarga Djarum dan Hutan Tanaman Industri, Keluarga Bentoel, keluarga DL Sitorus yang memiliki PT. Wilmar Group dengan perkebunan kelapa sawit, Keluarga HM Yusuf Kalla, Hasyim Joyohadikussumo, Arifin Panigoro, dan Keluarga Moerdaya, Keluarga Abu Rizal Bakrie yang memiliki Bakrie Plantation, dll.
Keempat Tuan Tanah Tipe Baru-4, yaitu Negara sebagai tuan tanah besar kaki tangan Imperialis. Negara RI adalah negara milik tuan tanah dan borjuasi komprador. Negara RI secara langsung memperoleh produk lebih (hasil lebih pertanian, perkebunan dan kehutanan) dalam hubungan produksi semi-feodal dengan cara memungut sewa tanah dalam bentuk pajak dan berbagai iuran lainnya, upah buruh murah dalam perkebunan milik pemerintah. Juga memberlakukan riba secara langsung melalui kredit mikro di pedesaan, dan memaksa sewa tanah serta malakukan perampasan tanah dengan kekuatan bersenjata.
Negara RI sebagai tuan tanah besar pada kenyataannya karena mewarisi kekuasaan monopoli tanah oleh Negara kolonialis Belanda sejak perang feodal kolonial, sistem tanam paksa dan secara resmi berlakunya Agrarische Wet 1870. Prinsip monopoli tanah secara fundamental yang dilegalkan oleh kolonial tidak pernah berubah DAN telah melahirkan berbagai bentuk penghisapan dan penindasan feodal di Indonesia hingga saat ini.
Contoh-contoh tuan tanah tipe baru-4 ini diantaranya adalah Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, perhutani, inhutani, Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN I-XIV).
PERHUTANI Adalah Perusahan Negara Penghisap Dan Penindas Warisan Belanda.
Keberadaan Perhutani tidak bisa dilepaskan dari sejarah pengelolaan hutan di Jawa dan Madura. Tanah-tanah yang dikuasai secara monopoli oleh Perhutani seluruhnya berasal dari tanah milik rakyat.
Sejarah penguasaan tanah terjadi sejak masyarakat Indonesia memasuki masyarakat berklas, kepemilikan budak berlanjut di era feodalisme dan semakin menguat pada masa kolonialisme Belanda hingga pemerintahan SBY saat ini.
Pada masa kolonialisme Belanda keluar Staatsblad Domein Agrarische Van 1870, Staatsblad No 118. Kemudian jawatan kehutanan dibentuk pada tahun 1897 melalui “Reglement voor het beheer der bosschen van den Lande op Java en Madoera”, Staatsblad 1897 nomor 61 (disingkat “Bosreglement”) selain itu terbit pula “Reglement voor den dienst van het Boschwezen op Java en Madoera” disingkat “Dienst Reglement” yang menetapkan aturan tentang organisasi Jawatan Kehutanan, dimana pembentukan Jawatan Kehutanan dengan Gouvernement Besluit (Keputusan Pemerintah) tanggal 9 Februari 1897 nomor 21, termuat dalam Bijblad 5164. Dan hingga saat ini dasar penguasaan tanah oleh perhutani menggunakan PP NO 72 Tahun 2010 tentang perusahaan umum (PERUM) kehutanan Negara.
Pulau Jawa memiliki luas 13.404.500 hektar, dari luas tersebut total kawasan hutannya mencapai 3.315.445,914 hektar dan yang masuk dalam penguasaan dan monopoli oleh Perhutani seluas 2.426.206 hektar atau sekitar 19% dari luas daratan di Jawa, yang terdiri dari Hutan Produksi (HP) seluas 1.750.860 Ha dan hutan lindung seluas 691.241. Tidak termasuk hutan suaka dan hutan wisata.
Sepanjang sejarah penguasaan tanah secara monopoli oleh jawatan kehutanan, mulai dari masa kolonialisme Belanda hingga menjadi Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perhutani) saat ini, sepenuhnya terlantar dan terbelakang. Dari data yang dilaporkan oleh direksi perhutani, dalam kurun waktu 2002-2006 perhutani hanya memberikan kontribusi finansial kepada negara sebesar 500,21 milyar pada tahun 2002, sebesar 508,78 milyar di tahun 2003, untuk tahun 2004 312,54 milyar, pada tahun 2005 sebesar 273,08 milyar, dan pada tahun 2006 sebesar 515,43 milyar. Jika diambil rata-rata dalam kurun 5 tahun tersebut, perhutani hanya sanggup memberikan kontribusi sebesar 422,008 milyar.
Berbeda sekali jika tanah di tangan kaum tani jauh lebih produktif, satu contoh satu hektar tanah yang dikelola oleh petani Kabupaten Wonosobo dapat menghasilkan 25 juta setiap tahun, dan jika luasan tanah yang dimonopoli oleh perhutani seluas 2.426.206 hektar, maka dalam satu tahun dapat menghasilkan 60.611.050.000.000 (enam puluh triliun enam ratus sebelas milyar lima puluh juta rupiah) atau lebih dari seratus kali lipat penghasilan perhutani. ini Satu bukti dari penelantaran tanah oleh Perhutani.
Selain monopoli tanah, Perhutani juga melakukan monopoli perdagangan kayu, mereka menetapkan harga dasar kayu hasil hutan yang menekan penghasilan kaum tani, seperti Harga kayu jati, sengon, mahoni, jabon dll. System sertifikasi kayu melalui mekanisme Chain Of Custody (CoC) hanyalah selubung bagi perhutani untuk menguatkan control dan monopoli perdagangan kayu, untuk memenuhi kebutuhan pasar Internasional dan merupakan kontrol Imperialis atas ketersediaan bahan baku kayu dan hasil hutan lainnya untuk kebutuhan Industrinya.
PHBM " Instrumen Penghisapan Perhutani Terhadap Kaum Tani".
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHMB) adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi yang bersinergi antara Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau para pihak yang berkepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal dan peningkatan IPM yang bersifat fleksibel, partisipatif dan akomodatif. Begitulah perhutani menjelaskan apa yang dimaksud dengan PHMB.
Kenyatannya PHBM merupakan instrumen yang dibuat oleh perhutani untuk memaksa rakyat mengelola hutan yang sesungguhnya untuk menjawab ketersediaan tenaga kerja yang murah, bahka tanpa harus membayarnya, melalui praktek sewa tanah dengan berbagai bentuknya dan menjalankan praktek peribaan serta perampasan hak demokratis bagi kaum tani.
PHBM digunakan oleh perhutani sebagai kedok membungkus praktek penghisapan dan penindasan, melalui PHBM seolah-olah perhutani memiliki tujuan dan kepentingan untuk meningkatkan ekonomi Rakyat sekitar hutan, tetapi mereka lupa bahwa kemiskinan rakyat yang hidup di sekitar hutan Jawa yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah panjang perampasan tanah sejak Kolonial belanda hingga hari ini menjadi Perhutani, karena telah mengusir kaum tani dari tanahnya.
PHBM merupakan sistem komprehensif untuk mengikat kaum tani dalam sebuah sitem penghisapan semi-feodal melalui sewa tanah yang mencekik, melalui PHBM petani didorong untuk masuk dalam keanggotaan LMDH (lembaga Masyarakat Desa Hutan) yang secara kongkret merampas kemerdekaan kaum tani dalam berorganisasi karena harus masuk dalam LMDH.
PHBM mengatur bagi hasil yang tidak adil, umumnya penerapan bagi hasil adalah 25:75, dalam PHBM juga mengatur dan menentukan jenis tanaman apa yang harus ditanam hingga menetapkan jarak tanam sesuai kehendak Perhutani, dengan demikian kaum tani tidak memiliki kemerdekaan untuk menetukan jenis tanaman sesuai dengan kebutuhannya, penetapan jenis tanaman oleh Perhutani sesungguhnya diorentasikan untuk memenuhi kebutuhan industri milik Imperialis atas bahan baku kayu dan hasil hutan lainnya, seperti karet, getah pinus dll.
Lebih jauh penerapan PHBM memaksa kaum tani harus membayar sewa tanah yang tinggi dengan bentuk-bentuk yang berbeda-beda dalam setiap daerah, sebagian daerah menerapkan pembayaran sewa tanah di muka ketika akan membuka lahan, ada juga yang menerapkan bagi hasil atas tanaman tumpang sari petani, ada pula yang menerpakan kedua-duanya. Pendek kata, kaum tani harus bekerja menanam dan merawat tanaman milik perhutani tanpa dibayar, masih harus membayar sewa tanah untuk tanaman tumpang sari dan hasil panen petani masih dipungut hingga 10% untuk perhutani, inilah derajat penghisapan yang berlipat oleh Perhutani terhadap kaum tani, dan disinilah penyebab kemiskinan rakyat yang hidup di sekitar hutan di Pulau Jawa.
Selain sebagai sekema penghisapan melalui sewa tanah dengan berbagai bentuknya, PHBM juga membuka ruang yang luas untuk praktek peribaan terhadap kaum tani, melalui LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) perhutani mendorong adanya pihak ketiga untuk permodalan dalam pengelolaan kerjasama melalui PHBM, dengan demikian, kaum tani akan diikat dalam hutang dan peribaan, dengan dalih meningkatkan permodalan kaum tani yang tergabung dalam LMDH.
Selain bentuk-bentuk penghisapan semi-feodal sebagaimana diatas, perhutani menerapkan upah buruh yang sangat rendah, buruh tani yang bekerja secara lepas untuk menderes getah karet dan pinus umumnya mendapat bagian 1:5 dari hasil kerjanya, perhutani juga menerapkan harga atas getah yang sangat rendah.
Dari data perhutani selain mempekerjakan buruh tani, mereka mempekerjaan setidaknya 26.437 karyawan Perhutani yang biasa dikenal dengan sebutan brigadir hijau. Setidaknya terdapat 12 ribu diantaranya bekerja dengan sistem kontrak jangka pendek dangan massa kerja lebih diatas lima tahun, yang tentu bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan. Mereka juga menerapkan upah di bawah setandar ketetapan pengupahan (UMR). Sebagaimana penjelasan dari “sekar” serikat karyawan perhutani yang melakukan demontrasi di BUMN pada tahun 2013 yang lalu. Selain itu dana pensiun perhutani juga sangat rendah mulai 50 ribu hingga sembilan ratus lima puliuh ribu perbulan untuk pensiunan dengan jabatan terkahir menejer.
Tindasan Fasisme Perhutani: Teror, Intimidasi, Kriminalisasi dan Pembunuhan Terhadap Kaum Tani.
Perhutani sebagai tuan tanah tidak hanya sekedar menguasai secara ekonomi, tetapi perhutani sebagai tuan tanah juga sangat berkuasa secara politik, berbagai kebijakan sanggup mereka keluarkan dan diterapkan untuk memastikan dominasinya atas monopoli tanah dan melanggengkan sistem penghisapan terhadap kaum tani, mereka juga membangun kekuatan pemaksanya.
LMDH adalah salah satu upaya untuk mengikat kaum tani agar terorganisasi dalam wadah yang dapat dengan mudah untuk dikontrol oleh perhutani, mereka tidak membiarkan kaum tani bebas berorganisasi, sebab perhutani menyadari jika ada keebebasan bagi kaum tani maka akan mengancam kepentingan perhutani, tidak hanya itu perhutani juga membangun kekuatan militer secara mandiri, diluar kepolisian dan TNI. Sampai pertengahan 2009 tercatat polisi kehutanan (polhut) sebanyak 7.519 orang, 3.025 orang diantaranya adalah PNS Pusat sedangkan 4.494 berstatus sebagai PNS (Provinsi/Kabupaten/kota), jumlah ini akan ditingkatkan dengan target 62.000 personil.
Dari personil polhut yang sudah ada 1000 diantaranya telah dilakukan peningkatan kemampuan dan kapasitasnya untuk menjadi personil satuan polisi kehutanan reaksi cepat (SPORC) yang tersebar di 11 provinsi dengan penamaan masing -masing diantaranya Brigade Kanguru di Provinsi Papua, Brigade Kasuari di Provinsi Papua Barat, Brigade Anoa di Provinsi Sulawesi Selatan, Brigade Enggang di Provinsi Kalimantan Timur, Brigade Kalaweit di Provinsi Kalimantan Tengah, Brigade Bekantan di Provinsi Kalimantan Barat, Brigade Siamang di Provinsi Sumatera Selatan, Brigade Harimau di Provinsi Jambi, Brigade Beruang di Provinsi Riau, Brigade Macan Tutul di Provinsi Sumatera Utara dan Brigade Elang di DKI Jakarta.
Meskipun Brigade SPORC tersebut berada pada 11 provinsi, namun fungsional tugasnya dapat dilakukan secara lintas provinsi sesuai dengan eskalasi kebutuhan pengamanan hutan dan hasil hutan. Disamping pembentukan satuan khusus, satuan pengamanan hutan Polhut ”reguler” senantiasa tetap ditingkatkan kemampuannya melalui pembinaan serta pendidikan dan pelatihan (diklat), baik diklat untuk aspek kepolisian maupun diklat teknis dan administrasi kehutanan yang relevan dengan tugas dan fungsinya.
Perhutani juga membangun milisi yang direkrut dari masyarakat sekitar hutan, seperti pembentukan pam swakarsa, LMDH, Jaga Wana dan lain sebagainya, tujuan dari pembentukan milisi ini selain untuk memperkuat keamanan juga ditujukan sebagai alat pemecah belah Rakyat dan bangkitnya perjuangan anti feodal dan reforma Agraria sejati.
Melalui alat kekerasannya, Polhut, Polisi, TNI dan milisi yang dibentuk, mereka melakukan tindasan fasis dengan cara teror, Intimidasi, kriminalisasi hingga pembunuhan terhadap kaum tani, setidaknya dalam kurun 1998-2014 setidaknya 74 ditembak, dan 34 orang meninggal (Sumber data, Arupa). Ini belum termasuk kriminalisasi yang kerap dialami oleh kaum tani, karena tidak mau diusir dari tanah ataupun dengan tuduhan pencurian dan lain sebagainya.
Pengisapan dan Penindasan Kejam Perhutani Tekag Mengobarkan Perlawanan Kaum Tani Sepanjang Masa.
Sepanjang sejarah monopoli tanah di Jawa yang dilakukan oleh Perhutani, sejak penguasaan oleh kolonial Belanda hingga dalam penguasaan pemerintah SBY-BOEDIONO melalui Perhutani, telah mengobarkan perlawanan kaum tani yang tidak pernah padam. Berbagai bentuk perlawanan di lakukan setiap hari oleh kaum tani, mulai dengan perlawanan indifidu dan tertutup hingga perlawanan kolektif yang terbuka, mulai dengan cara-cara lunak hingga perlawanan kaum tani melalui jalan kekerasan untuk tetap mempertahankan tanah.
Sejak penguasaan tanah Jawa oleh Kolonial, perlawanan sudah berkobar setidaknya tercatat dalam sejarah perlawanan orang Samin, orang-orang Kalang dan banyak lagi perlawanan yang tidak tercatat. Perlawanan secara individual juga terus terjadi mulai dari meninggalkan pekerjaan, menanam tanaman perhutani hanya di sepanjang jalan yang dilewati oleh petugas dan lain sebagainya merupakan bentuk perlawanan yang tertutup oleh kaum tani.
Dalam sejarah Pembangunan AGRA sebagai organisasi nasional, pada tahun 2004 telah melakukan perlawanan secara terorganisir, dengan melakukan aksi besar di kota Wonosobo untuk menuntut pembubaran Perhutani pada tahun 2004, hingga saat ini perlawanan di tingkat desa terus saja berkobar.
Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
Pertama; Perhutani sebagai perusahaan milik Negara yang diberikan kewenangan untuk mengelola hutan di Jawa dan Madura telah melakukan monopoli tanah 19% dari luas daratan Pula Jawa, merupakan negara sebagai tuan tanah tipe baru IV.
Kedua; Atas Monopolinya terhadap tanah di Pula Jawa, Perhutani melakukan penghisapan sistem Semi-feodal dengan cara menerapkan sewa tanah yang mencekik dengan berbagai bentuknya, PHBM adalahh instrimen legal didalam melakukan penghisapan, dan telah memperdalam kemiskinan kaum tani di pulau Jawa.
Ketiga; Melalui kekuatan militer yang dimikinya, Polhut, Polisi, TNI dan milisi yang dibangun perhutani melakukan tindasan fasis yang kejam terhadap kaum tani, mulai dengan melakukan pelarangan berorganisasi, melakukan teror, intimidasi, kriminalisasi hingga pembunuhan.
Ke-empat; Atas penghisapan dan penindasan panjang oleh perhutani terhadap kaum tani, telah melahirkan perlawanan yang tidak pernah padam, dengan berbagai bentuk, baik secara sendiri maupun secara kolektif, baik terbuka, maupun tertutup, baik dengan cara yang lunak hingga mengambil cara kekerasan, tetapi hingga saat ini sangat kecil kau tani yang berlawan dengan perhutani telah terorganisir dengan baik dalam kerangka perjuangan anti feodal dan anti Imperialis.
Ke-Lima; Dengan segala prakteknya maka perhutani merupakan tuan tanah yang paling reaksi dan jahat bagi Rakyat terutama yang hidup di Pula Jawa, karenanya AGRA sebagai organisasi tani Nasional yang memiliki watak anti feodal dan anti Imperialis memiliki pandangan untuk terus memperkuat dan memperluas pengorganisasianya terhadap petani yang hidup dan tergantung terhadap hutan, dan melancarkan tuntutan reform mulai dari penurunan sewa tanah, hingga memperjuangkan dikembalikannya tanah kepada kaum tani.(2014)#
oke sangat baguzzz.....
BalasHapus