Pernyataan Sikap GSBI Dalam Peringatan Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2015
Pernyataan Sikap Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI) Dalam Peringatan Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2015 Naikkan Upah Buruh, T...
https://www.infogsbi.or.id/2015/03/pernyataan-sikap-gsbi-dalam-peringatan.html
Pernyataan Sikap
Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI)
Dalam Peringatan Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2015
Naikkan Upah Buruh, Turunkan Harga Kebutuhan Pokok
Hentikan Penindasan dan KekerasanTerhadap Perempuan
Pemerintahan Jokowi-JK Belum Mampu Berikan Perlindungan Terhadap
Perempuan dan Rakyat Indonesia.
Salam Demokrasi !
Setiap tanggal 8 Maret, jutaan rakyat diseluruh dunia melakukan peringatan Hari Perempuan Internasional termasuk juga di Indonesia. Agenda ini dilakukan sebagai penghargaan atas kebangkitan kaum perempuan dalam memperjuangkan hak ekonomi dan politiknya yang tidak kenal lelah.
Perjuangan kaum perempuan Indonesia secara khusus adalah buruh perempuan memiliki sejarah yang panjang. Cukup banyak catatan perjuangan yang dilakukan oleh kaum perempuan, dan tentunya semua orang masih tetap mengingat bagaimana kegigihan seorang Marsinah dalam memperjuangkan hak-hak demokratis kaum buruh. Keberanian seorang Marsinah dalam melawan ketidakadilan tidak perlu diragukan, bahkan atas perjuangannya, Marsinah harus meregang nyawa, menjadi korban kekejaman rejim fasis orde baru.
Hingga saat ini kaum perempuan Indonesia termasuk buruh perempuan masih mengalami berbagai bentuk penindasan dalam aspek politik, ekonomi maupun budaya. Secara politik, kaum perempuan masih belum secara bebas dapat menyampaikan aspirasi mereka, memiliki hak yang setara untuk menentukan pilihannya. Bahkan didalam lingkungan yang kecil, keluarga misalnya, perempuan belum mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengajukan ide ataupun gagasannya. Dalam aspek ekonomi, kaum perempuan masih terlampau sering mendapatkan diskriminasi atas hak ekonomi mereka. Perbedaan upah (tindakan diskriminasi kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan) bahkan belum terjaminnya hak-hak reproduksi atas perempuan. Dalam hal kebudayaan, sistem feodalisme yang melanggengkan budaya patrialkal telah menempatkan perempuan menjadi “kanca wingking”, menganggap sebagai manusia yang lemah dan tidak akan pernah setara atau lebih tinggi kedudukannya dibandingkan laki-laki. Bahkan didalam sebuah keluarga, masih banyak di temukan apabila seorang perempuan (istri) harus mengikuti apapun ucapan dan perintah laki-laki (suami), meskipun ucapan atau perintahnya tidak benar sekalipun.
Kekerasan terhadap perempuan merupakan kekerasan terhadap hak-hak perempuan, tidak hanya berbasiskan gender namun juga memiliki keterkaitan dengan situasi objektif yang ada. Kekerasan terhadap perempuan Indonesia memiliki sejarah yang panjang, sejak masa penjajahan Belanda, Jepang hingga penjajahan Imperialis AS saat ini yang terus menempatkan perempuan di kelas yang lebih rendah dan menjadikan perempuan sebagai komoditas dan sekaligus pasar untuk produk-produk mereka. Sangat nyata sekali pada saat sekarang ini di masa feodalisme dan imperialisme saling mendukung dalam melakukan penindasan dan penghisapan terhadap rakyat Indonesia, perempuan merupakan unsur yang paling rentan atas segala tindakan kekerasan.
Dalam periode 2003-2013 saja data umum kekerasan terhadap perempuan Indonesia menunjukan kenaikan yang signifikan. Tahun 2003 tercatat jumlah perempuan yang mengalami kekerasan sebanyak 7787, sementara 10 tahun kemudian pada tahun 2013 angka kekerasan meningkat menjadi 279.688 kasus. Ini hanya menjadi gambaran kasar dari seluruh tindak kekerasan dan penindasan yang terjadi pada perempuan Indonesia setiap saat. Peningkatan angka kekerasan baik fisik, seksual terhadap perempuan menunjukan bahwa selama ini tidak pernah ada penanganan yang serius terhadap kondisi perempuan Indonesia, khususnya oleh pemerintah yang menjadi pihak yang paling bertangung -jawab. Sementara kasus kekerasan juga dialami oleh Buruh Migran Indonesia (BMI) yang bekerja di luar negeri. Dari jumlah 8 juta BMI, hampir 90% adalah kaum perempuan Indonesia. Berdasarkan data BNP2TKI saja (Versi pemerintah), selama bulan Januari 2015 ini telah terjadi 300 angka kekerasan yang dialami BMI. Tentu sangat ironi di tengah rejim Jokowi-JK di saat kampanye berjanji melindungi BMI yang bekerja di luar negeri.
Dalam kenyataannya, selama hampir lima bulan berkuasa Pemerintahan Jokowi-JK yang katanya rezim pro rakyat ternyata belum mampu memberikan perlindungan terhadap kaum perempuan. Disektor perburuhan, terlihat bagaimana pemerintahan Jokowi masih belum menunjukkan upaya kuat untuk mengakhiri skema politik upah murah sebagai kebijakan yang merampas upah kaum buruh. Sebaliknya, pemerintahan Jokowi sedang merancang sebuah aturan pengupahan dimana kenaikannya hanya akan terjadi dua tahun sekali, atau bahkan lima tahun sekali. Tanpa upah yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, kaum buruh termasuk buruh perempuan akan terus merosot tingkat penghidupannya. Tentang sistem kerja kontrak, tentang sistem outsourcing, diskriminasi terhadap buruh perempuan masih tetap saja menjadi persoalan perburuhan yang mengemuka. Kasus diskriminasi yang terakhir mencuat adalah tiga orang buruh perempuan yang bekerja sebagai pengamanan dalam (Pamdal) DPR dipecat tanpa diberi pesangon hanya karena hamil. Kasus ini jelas menunjukkan betapa dalamnya diskriminasi di Indonesia, terutama terhadap perempuan yang tidak pernah berujung. Masih banyaknya praktek penindasan dan perampasan atas hak-hak buruh terutama hak buruh perempuan dan lemahnya peranan negara dalam melakukan pengawasan dan penegakkan atas aturan perundang-undangan yang berlaku. Terlebih kejadian ini terjadi di lembaga negara (DPR RI) yang seharusnya patuh dan taat terhadap aturan perundang-undangan, karena sebagai lembaga pembuat Undang-undang.
GSBI berpendapat, bahwa Pemerintahan Jokowi-JK, sejauh ini juga belum mampu untuk melakukan kontrol atas harga-harga kebutuhan pokok, memastikan agar ketersediaannya selalu cukup dengan harga yang terjangkau. Lonjakan kenaikan harga, mulai dari harga pangan terutama harga beras mencapai 20-30 persen dari harga biasa, kenaikan harga BBM, LPG hingga transportasi tentu memberikan beban penderitaan ditengah minimnya upah kaum buruh dan rendahnya daya beli kaum tani dipedesaan. Dalam kasus kenaikan harga beras saat ini, tindakan pemerintah Jokowi dengan melakukan operasi pasar semata tentu tidak akan memecahkan persoalan, pemerintah harus berani melakukan kontrol harga dan pengawasan terhadap harga beras dipasaran. Lebih dari itu, pemerintahan Jokowi-JK harus mewujudkan kedaulatan pangan bagi rakyat, dengan jalan menghentikan berbagai bentuk monopoli atas sumber-sumber agraria di Indonesia.
Kemiskinan dan angka pengangguran, juga masih menjadi persoalan besar yang belum sanggup diselesaikan oleh pemerintahan baru Jokowi-JK. Kemiskinan telah kita tahu menjadi akar dari berbagai tindakan kriminalitas yang dalam beberapa pekan terakhir diekspos berlebihan oleh media tanah air. Hal ini juga memberikan sebuah kekhawatiran tersendiri bagi kaum buruh, mengingat banyak kaum buruh di Indonesia yang harus bekerja dalam sistem shift yang kadang mengharuskan mereka pergi atau pulang tengah malam yang mengancam terhadap keselamatan kerja. Hal demikian karena perusahaan-perusahaan juga tidak memberikan fasilitas transportasi yang layak bagi buruhnya, bagi buruh perempuan keadaan yang demikian semakin menambah beban kehidupannya.
Berbagai kebijakan, baik yang baru dicipatkan oleh pemerintahan Jokowi maupun kebijakan lama yang anti rakyat dan tetap dipertahankan oleh pemerintah telah menempatkan perempuan menjadi golongan yang paling menderita. Bagi kaum perempuan, tidak ada pilihan lain selain mengakhiri berbagai bentuk penindasan dan kekerasan yang dihadapinya dengan terlibat aktif dalam perjuangan. Mengorganisasikan diri dalam organisasi-organisasi massa yang aktif dalam perjuangan untuk hak-hak kaum perempuan dan hak rakyat Indonesia.
Maka atas hal tersebut kami Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI) organisasi Pusat Perjuangan Buruh di Indonesia, yang menghimpun kaum buruh dan berbagai bentuk formasi serikat buruh di Indonesia dalam Peringatan Hari Perempuan Internasional 08 Maret 2015 ini menuntut kepada pemerintahan Jokowi-JK untuk :
1. Hentikan Penindasan, kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan Indonesia serta hentikan perdagangan perempuan dan anak.
2. Ciptakan UU PRT dan UU Buruh Migran Indonesia yang memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan oleh Negara.
3. Turunkan Harga Beras, LPG, BBM dan kebutuhan pokok rakyat Indonesia.
4. Hentikan politik upah murah dan perampasan upah serta Naikkan Upah buruh.
5. Hapuskan sistem kerja kontrak jangka pendek dan outsourcing, Hentikan Praktek Union Busting dan Berikan jaminan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi.
6. Hentikan perampasan dan monopoli tanah, Laksanakan Land Reform Sejati dan bangun Industri nasional.
Demikian Pernyataan sikap ini GSBI buat dan sampaikan, Semoga Pemerintahan Jokowi-JK dapat memenuhi tuntutan rakyat Indonesia. Dan terakhir selamat Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2015.
Perempuan Indonesia Bangkit Melawan Penindasan!
Jayalah Perjuangan Kaum Buruh Indonesia !
Jayalah Perjuangan Rakyat !
Jakarta, 8 Maret 2015
Hormat kami
Dewan Pimpinan Pusat
Gabungan Serikat Buruh Independen (DPP.GSBI)
RUDI HB. DAMAN
Ketua Umum
EMELIA YANTI MD SIAHAAN, SH
Sekretaris Jenderal
Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI)
Dalam Peringatan Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2015
Naikkan Upah Buruh, Turunkan Harga Kebutuhan Pokok
Hentikan Penindasan dan KekerasanTerhadap Perempuan
Pemerintahan Jokowi-JK Belum Mampu Berikan Perlindungan Terhadap
Perempuan dan Rakyat Indonesia.
Salam Demokrasi !
Setiap tanggal 8 Maret, jutaan rakyat diseluruh dunia melakukan peringatan Hari Perempuan Internasional termasuk juga di Indonesia. Agenda ini dilakukan sebagai penghargaan atas kebangkitan kaum perempuan dalam memperjuangkan hak ekonomi dan politiknya yang tidak kenal lelah.
Perjuangan kaum perempuan Indonesia secara khusus adalah buruh perempuan memiliki sejarah yang panjang. Cukup banyak catatan perjuangan yang dilakukan oleh kaum perempuan, dan tentunya semua orang masih tetap mengingat bagaimana kegigihan seorang Marsinah dalam memperjuangkan hak-hak demokratis kaum buruh. Keberanian seorang Marsinah dalam melawan ketidakadilan tidak perlu diragukan, bahkan atas perjuangannya, Marsinah harus meregang nyawa, menjadi korban kekejaman rejim fasis orde baru.
Hingga saat ini kaum perempuan Indonesia termasuk buruh perempuan masih mengalami berbagai bentuk penindasan dalam aspek politik, ekonomi maupun budaya. Secara politik, kaum perempuan masih belum secara bebas dapat menyampaikan aspirasi mereka, memiliki hak yang setara untuk menentukan pilihannya. Bahkan didalam lingkungan yang kecil, keluarga misalnya, perempuan belum mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengajukan ide ataupun gagasannya. Dalam aspek ekonomi, kaum perempuan masih terlampau sering mendapatkan diskriminasi atas hak ekonomi mereka. Perbedaan upah (tindakan diskriminasi kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan) bahkan belum terjaminnya hak-hak reproduksi atas perempuan. Dalam hal kebudayaan, sistem feodalisme yang melanggengkan budaya patrialkal telah menempatkan perempuan menjadi “kanca wingking”, menganggap sebagai manusia yang lemah dan tidak akan pernah setara atau lebih tinggi kedudukannya dibandingkan laki-laki. Bahkan didalam sebuah keluarga, masih banyak di temukan apabila seorang perempuan (istri) harus mengikuti apapun ucapan dan perintah laki-laki (suami), meskipun ucapan atau perintahnya tidak benar sekalipun.
Kekerasan terhadap perempuan merupakan kekerasan terhadap hak-hak perempuan, tidak hanya berbasiskan gender namun juga memiliki keterkaitan dengan situasi objektif yang ada. Kekerasan terhadap perempuan Indonesia memiliki sejarah yang panjang, sejak masa penjajahan Belanda, Jepang hingga penjajahan Imperialis AS saat ini yang terus menempatkan perempuan di kelas yang lebih rendah dan menjadikan perempuan sebagai komoditas dan sekaligus pasar untuk produk-produk mereka. Sangat nyata sekali pada saat sekarang ini di masa feodalisme dan imperialisme saling mendukung dalam melakukan penindasan dan penghisapan terhadap rakyat Indonesia, perempuan merupakan unsur yang paling rentan atas segala tindakan kekerasan.
Dalam periode 2003-2013 saja data umum kekerasan terhadap perempuan Indonesia menunjukan kenaikan yang signifikan. Tahun 2003 tercatat jumlah perempuan yang mengalami kekerasan sebanyak 7787, sementara 10 tahun kemudian pada tahun 2013 angka kekerasan meningkat menjadi 279.688 kasus. Ini hanya menjadi gambaran kasar dari seluruh tindak kekerasan dan penindasan yang terjadi pada perempuan Indonesia setiap saat. Peningkatan angka kekerasan baik fisik, seksual terhadap perempuan menunjukan bahwa selama ini tidak pernah ada penanganan yang serius terhadap kondisi perempuan Indonesia, khususnya oleh pemerintah yang menjadi pihak yang paling bertangung -jawab. Sementara kasus kekerasan juga dialami oleh Buruh Migran Indonesia (BMI) yang bekerja di luar negeri. Dari jumlah 8 juta BMI, hampir 90% adalah kaum perempuan Indonesia. Berdasarkan data BNP2TKI saja (Versi pemerintah), selama bulan Januari 2015 ini telah terjadi 300 angka kekerasan yang dialami BMI. Tentu sangat ironi di tengah rejim Jokowi-JK di saat kampanye berjanji melindungi BMI yang bekerja di luar negeri.
Dalam kenyataannya, selama hampir lima bulan berkuasa Pemerintahan Jokowi-JK yang katanya rezim pro rakyat ternyata belum mampu memberikan perlindungan terhadap kaum perempuan. Disektor perburuhan, terlihat bagaimana pemerintahan Jokowi masih belum menunjukkan upaya kuat untuk mengakhiri skema politik upah murah sebagai kebijakan yang merampas upah kaum buruh. Sebaliknya, pemerintahan Jokowi sedang merancang sebuah aturan pengupahan dimana kenaikannya hanya akan terjadi dua tahun sekali, atau bahkan lima tahun sekali. Tanpa upah yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, kaum buruh termasuk buruh perempuan akan terus merosot tingkat penghidupannya. Tentang sistem kerja kontrak, tentang sistem outsourcing, diskriminasi terhadap buruh perempuan masih tetap saja menjadi persoalan perburuhan yang mengemuka. Kasus diskriminasi yang terakhir mencuat adalah tiga orang buruh perempuan yang bekerja sebagai pengamanan dalam (Pamdal) DPR dipecat tanpa diberi pesangon hanya karena hamil. Kasus ini jelas menunjukkan betapa dalamnya diskriminasi di Indonesia, terutama terhadap perempuan yang tidak pernah berujung. Masih banyaknya praktek penindasan dan perampasan atas hak-hak buruh terutama hak buruh perempuan dan lemahnya peranan negara dalam melakukan pengawasan dan penegakkan atas aturan perundang-undangan yang berlaku. Terlebih kejadian ini terjadi di lembaga negara (DPR RI) yang seharusnya patuh dan taat terhadap aturan perundang-undangan, karena sebagai lembaga pembuat Undang-undang.
GSBI berpendapat, bahwa Pemerintahan Jokowi-JK, sejauh ini juga belum mampu untuk melakukan kontrol atas harga-harga kebutuhan pokok, memastikan agar ketersediaannya selalu cukup dengan harga yang terjangkau. Lonjakan kenaikan harga, mulai dari harga pangan terutama harga beras mencapai 20-30 persen dari harga biasa, kenaikan harga BBM, LPG hingga transportasi tentu memberikan beban penderitaan ditengah minimnya upah kaum buruh dan rendahnya daya beli kaum tani dipedesaan. Dalam kasus kenaikan harga beras saat ini, tindakan pemerintah Jokowi dengan melakukan operasi pasar semata tentu tidak akan memecahkan persoalan, pemerintah harus berani melakukan kontrol harga dan pengawasan terhadap harga beras dipasaran. Lebih dari itu, pemerintahan Jokowi-JK harus mewujudkan kedaulatan pangan bagi rakyat, dengan jalan menghentikan berbagai bentuk monopoli atas sumber-sumber agraria di Indonesia.
Kemiskinan dan angka pengangguran, juga masih menjadi persoalan besar yang belum sanggup diselesaikan oleh pemerintahan baru Jokowi-JK. Kemiskinan telah kita tahu menjadi akar dari berbagai tindakan kriminalitas yang dalam beberapa pekan terakhir diekspos berlebihan oleh media tanah air. Hal ini juga memberikan sebuah kekhawatiran tersendiri bagi kaum buruh, mengingat banyak kaum buruh di Indonesia yang harus bekerja dalam sistem shift yang kadang mengharuskan mereka pergi atau pulang tengah malam yang mengancam terhadap keselamatan kerja. Hal demikian karena perusahaan-perusahaan juga tidak memberikan fasilitas transportasi yang layak bagi buruhnya, bagi buruh perempuan keadaan yang demikian semakin menambah beban kehidupannya.
Berbagai kebijakan, baik yang baru dicipatkan oleh pemerintahan Jokowi maupun kebijakan lama yang anti rakyat dan tetap dipertahankan oleh pemerintah telah menempatkan perempuan menjadi golongan yang paling menderita. Bagi kaum perempuan, tidak ada pilihan lain selain mengakhiri berbagai bentuk penindasan dan kekerasan yang dihadapinya dengan terlibat aktif dalam perjuangan. Mengorganisasikan diri dalam organisasi-organisasi massa yang aktif dalam perjuangan untuk hak-hak kaum perempuan dan hak rakyat Indonesia.
Maka atas hal tersebut kami Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI) organisasi Pusat Perjuangan Buruh di Indonesia, yang menghimpun kaum buruh dan berbagai bentuk formasi serikat buruh di Indonesia dalam Peringatan Hari Perempuan Internasional 08 Maret 2015 ini menuntut kepada pemerintahan Jokowi-JK untuk :
1. Hentikan Penindasan, kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan Indonesia serta hentikan perdagangan perempuan dan anak.
2. Ciptakan UU PRT dan UU Buruh Migran Indonesia yang memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan oleh Negara.
3. Turunkan Harga Beras, LPG, BBM dan kebutuhan pokok rakyat Indonesia.
4. Hentikan politik upah murah dan perampasan upah serta Naikkan Upah buruh.
5. Hapuskan sistem kerja kontrak jangka pendek dan outsourcing, Hentikan Praktek Union Busting dan Berikan jaminan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi.
6. Hentikan perampasan dan monopoli tanah, Laksanakan Land Reform Sejati dan bangun Industri nasional.
Demikian Pernyataan sikap ini GSBI buat dan sampaikan, Semoga Pemerintahan Jokowi-JK dapat memenuhi tuntutan rakyat Indonesia. Dan terakhir selamat Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2015.
Perempuan Indonesia Bangkit Melawan Penindasan!
Jayalah Perjuangan Kaum Buruh Indonesia !
Jayalah Perjuangan Rakyat !
Jakarta, 8 Maret 2015
Hormat kami
Dewan Pimpinan Pusat
Gabungan Serikat Buruh Independen (DPP.GSBI)
RUDI HB. DAMAN
Ketua Umum
EMELIA YANTI MD SIAHAAN, SH
Sekretaris Jenderal