GSBI: Mengembalikan Semangat Anti-Kolonialisme dan Melawan Kebijakan Pemerintahan yang Anti Rakyat Adalah Salah Satu Tugas Gerakan Buruh
Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia Afrika, 10 Tahun Kemitraan Strategis Baru Asia Afrika (NAASP) dan Arti Penting Bagi Kaum Buruh Terli...
https://www.infogsbi.or.id/2015/04/gsbi-mengembalikan-semangat-anti.html?m=0
Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia Afrika, 10 Tahun Kemitraan
Strategis Baru Asia Afrika (NAASP) dan Arti Penting Bagi Kaum Buruh
Terlibat Dalam Gerakan Anti Imperialisme
di Tulis oleh, Departemen Diklat dan Propaganda DPP GSBI dalam rangka kampanye peringatan 60thn Konferensi Asia Afrika/KAA yang akan di gelar oleh pemerintahan Jokowi-JK pada 19 - 24 April 2015 di Jakarta dan Bandung.
Sekilas tentang Konferensi Asia Afrika (KAA)
Pada 19-24 April 2015, mengambil tempat di Jakarta dan Bandung akan diselenggarakan Peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA). Peringatan 60 tahun KAA kali ini mengambil tema “Penguatan Kerjasama Selatan-Selatan dalam Rangka Meningkatkan Kesejahteraan dan Perdamaian Dunia”. Tidak kurang dari 109 negara Asia dan Afrika, 16 negara pengamat dan 25 organisasi internasional serta 650 CEO Perusahaan Multi Nasional diundang oleh pemerintah Indonesia untuk berpartisipasi dalam peringatan ini.
60 tahun silam, tepatnya pada tahun 1955, Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno bersama India, Pakistan, Srilanka dan Burma menginisiasi sebuah pertemuan multilateral yang melibatkan negara-negara di Asia dan Afrika, yang kemudian dikenal dengan KAA. Semangat anti-kolonialisme menjadi dasar persatuan bagi negara-negara di Asia-Afrika yang terlibat dalam pertemuan tersebut. Semangat anti-kolonialisme mendapatkan tempat karena negara-negara di Asia dan Afrika dalam perkembangannya saat itu baru terbebas dari penjajahan, serta beberapa negara terpecah belah paska terjadinya perang imperialisme (Perang Dunia II).
Paska PD II peta politik dunia terbagi dalam dua poros kekuatan besar imperialisme, Amerika Serikat (AS) yang mewakili blok Barat dan Uni-Soviet (saat ini Rusia) yang mewakili blok Timur. Dua kekuatan inilah yang mencoba untuk terus melakukan hegemoni dan memperluas dominasinya atas berbagai belahan negeri di dunia, Asia-Afrika termasuk didalamnya. Persaingan inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya berbagai konflik diberbagai negeri yang berhubungan dengan perdamaian, keamanan dan ekonomi.
KAA 1955 menghasilkan sebuah dokumen yang dikenal dengan Dasasila Bandung, isinya adalah; (1) Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat dalam Piagam PBB, (2) Menghormati kedaulatan dan integritas territorial semua bangsa, (3) Mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa, besar maupun kecil, (4) Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soalan-soalan dalam negeri negara lain, (5) Menghormati hak-hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri secara sendirian ataupun kolektif yang sesuai dengan Piagam PBB, (6) Tidak menggunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara besar dan tidak melakukannya terhadap negara lain, (7) Tidak melakukan tindakan-tindakan ataupun ancaman agresi maupun penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah maupun kemerdekaan politik suatu negara, (8) Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrasi (penyelesaian masalah hukum), ataupun cara damai lainnya, menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBB, (9) Memajukan kepentingan bersama dan kerjasama, (10) Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.
Peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika dan 10 tahun Kemitraan Strategis Baru Asia-Afrika (NAASP).
Semangat anti-kolonialisme yang menjadi spirit KAA 1955 dalam perkembangannya terus memudar dan perlahan menghilang. Hal ini tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan situasi politik dan ekonomi global yang terjadi, dimana AS terus berkembang menjadi kekuatan imperialis yang sanggup mengukuhkan dominasinya melalui pembentukan rejim atau pemerintahan boneka diberbagai negeri yang siap tunduk dan patuh melayani kepentingan AS. Disisi lain, runtuhnya Uni Soviet membuat dominasi AS sebagai negeri imperialis tak lagi tertandingi, tidak ada lagi negeri yang memiliki kesanggupan untuk berkompetisi secara terbuka dalam aspek politik, ekonomi apalagi dalam aspek militer.
Pada tahun 2005, bertepatan dengan peringatan 50 tahun KAA yang juga diselenggarakan di Indonesia, dihasilkan sebuah dokumen yang diberi nama New Asian-African Strategic Partnership (NAASP) atau Kemitraan Strategis Baru Asia-Afrika. NAASP yang lebih mengedepankan kerjasama ekonomi, nyata telah mengkhianati semangat anti-kolonialisme sebagai dasar persatuan negara-negara Asia dan Afrika dalam KAA 1955. KAA paska 1955 tidak lagi mengakui bahwa didalam perkembangan dunia saat ini kolonialisme sesungguhnya masih berlangsung, dimana manifestasi kongkretnya terletak pada intervensi politik, ekonomi, militer dan kebudayaan oleh imperialisme pimpinan AS terhadap negara-negara di Asia dan Afrika.
Intervensi yang dilakukan oleh imperialisme pimpinan AS terhadap negara-negara lain diseluruh dunia adalah kolonilisme baru dalam perkembangan saat ini. Praktek yang dilakukan oleh negeri-negeri imperialis dengan memaksakan kehendak politik, ekonomi, militer dan kebudayaan adalah kolonialisme baru yang secara nyata membelakangi prinsip dasasila Bandung yaitu penghormatan atas kedaulatan suatu negara dan tidak melakukan intervensi dalam bentuk apapun.
Bagi negeri-negeri imperialis, Asia dan Afrika adalah pasar yang potensial untuk menjajakan seluruh hasil produk dari industry mereka. Populasi Asia-Afrika saat ini adalah dua pertiga lebih dari total penduduk dunia, inilah yang membuat negeri-negeri imperialis begitu bernafsu untuk memastikan berbagai negara di Asia dan Afrika tunduk dalam skema politik mereka. Dan salah satu cara yang paling efektif untuk memastikan ketertundukan politik adalah melalui intervensi militer, inilah strategi yang digunakan oleh AS saat ini. Tidak mengherankan apabila kemudian didalam forum-forum multilateral AS tidak pernah mau absen guna memastikan dominasinya atas seluruh negeri dapat tetap terjaga.
Mengembalikan Semangat Anti-Kolonialisme dan Melawan Kebijakan Pemerintahan yang Anti Rakyat Adalah Salah Satu Tugas Gerakan Buruh.
Pertemuan Tingkat Pejabat Tinggi (Senior Official Meeting), Pertemuan Tingkat Menteri (Asian-African Ministerial’s Meeting) dan Pertemuan Tingkat Kepala Negara (Asian African Summit) akan menjadi rangkaian dari peringatan 60 tahun KAA di Jakarta, dan diakhiri dengan acara kebudayaan di Bandung pada 24 april 2015. Disela rangkaian tersebut, para pengusaha-pengusaha Asia-Afrika juga menggelar sebuah pertemuan bertajuk Asia-Africa Business Summit. Sebagaimana pertemuan peringatan KAA yang diselenggarakan paska 1955, tidak pernah ada rangkaian acara yang melibatkan aspirasi rakyat Asia dan Afrika. Kepentingan rakyat Asia-Afrika sudah dianggap diwakili oleh para pejabat, menteri dan kepala negara bahkan para pengusaha.
Telah dipahami, dominasi imperialisme AS atas negara-negara di Asia-Afrika termanifestasikan dalam pemerintahan atau rejim boneka yang setia menjadi pelayan bagi kepentingan imperialisme, seperti di Indonesia. Pemerintahan baru Jokowi-JK yang belum genap setengah tahun memimpin negeri ini adalah kenyataan kongkret pemerintahan sebuah negara yang tidak memiliki kemandirian politik maupun ekonomi atas negerinya. Apabila pemerintahan yang demikian mengatasnamakan rakyat lalu membangun kesepakatan-kesepakatan dengan negara lain, dapat dipastikan bahwa hasil dari kesepakatan tersebut tidak akan seiring dengan aspirasi rakyat.
Pemerintahan Jokowi, sebagai pemenang dalam pemilu tahun lalu masih saja mempertahankan skema politik upah murah bagi buruh di Indonesia. Penetapan upah minimum masih saja didasarkan pada usaha pencapaian hidup layak (Permenaker 13/2012), bukan berdasarkan biaya hidup riil kaum buruh. Melalui Kepmen 231/2003, upah minimum yang diterima oleh kaum buruh masih diperkenankan untuk ditangguhkan atau tidak dijalankan oleh pengusaha. Bahkan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengupahan yang sedang dibahas oleh pemerintah, kenaikan upah minimum bagi buruh tidak akan dinaikkan setiap tahun, melainkan dua hingga lima tahun sekali. Bahkan saat ini rejim Jokowi sedang melakukan revisi atas UU No 2 tahun 2004 tentang PPHI dalam rangka memenuhi dan mensesuaikan dengan kehendak para modal asing.
Rejim ini juga masih belum sanggup menjamin kepastian kerja bagi seluruh rakyatnya. Kasus PHK terhadap buruh masih terus terjadi dengan menggunakan berbagai alasan, mulai dari efisiensi hingga pabrik yang tak lagi berproduksi dengan alasan merugi dan tidak mendapatkan order. Data yang dihimpun dari berbagai media menunjukkan, 2,600 orang buruh dari lima perusahaan yang ada di kabupaten Bogor terkena PHK, perusahaan beralasan tidak sanggup membayarkan upah akibat kenaikan upah minimum. Hal yang sama juga dialami oleh buruh di PT. Nikomas Serang, tidak kurang dari 400 buruh di PHK secara bertahap, jika dihitung dari tahun 2014, angkanya mencapai 800 orang buruh. Kasus PHK juga dialami 700 orang buruh outsourcing yang bekerja di PT. Krakatau Steel. Ini belum termasuk ancaman PHK yang sedang dihadapi 1,500 buruh PT. Jabagarmindo dan 700 buruh PT. Wirapaper Tangerang, dimana perusahaannya terancam tutup.
Belum genap enam bulan, pemerintahan Jokowi-JK juga telah menghadirkan kenyataan pahit bagi rakyat Indonesia. Jokowi menaikkan harga BBM dan menyerahkan mekanisme soal harga BBM sepenuhnya pada mekanisme pasar. Kebijakan demikian tentunya telah menghilangkan peranan negara dalam memastikan kebutuhan energy bagi warga negaranya. Pemerintahan ini juga tidak sanggup melakukan kontrol atas kenaikan harga bahan pangan yang melonjak tinggi, berencana menaikkan tariff dasar listrik, tariff transportasi dan tidak mendukung penuh upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Momentum peringatan 60 tahun KAA harus menjadi semangat bagi rakyat di Asia dan Afrika untuk menyuarakan aspirasinya yang sejati, melawan dominasi imperialisme pimpinan AS. Keserakahan imperialisme melalui rejim-rejim boneka yang mereka ciptakan diberbagai negeri menghadirkan penderitaan bagi rakyat di Asia, Afrika dan belahan negeri lainnya. Rakyat di Asia dan Afrika harus bersatu dalam semangat anti-imperialisme, tidak boleh lebih rendah seperti ketika menyuarakan perjuangan anti-kolonialisme 60 tahun yang silam pada KAA 1955. Semangat anti-kolonialisme yang menginspirasi harus kembali dibangkitkan agar seluruh rakyat Asia dan Afrika berlawan terhadap seluruh skema imperialisme AS yang mereka paksakan melalui kerjasama-kerjasama multilateral termasuk lewat forum KAA.
Bagi kaum buruh di Indonesia, mengembalikan semangat anti-kolonialisme (anti-imperialisme) memiliki keterkaitan yang erat dengan usaha perjuangan pemenuhan hak-hak demokratisnya. Dominasi imperialisme melalui rejim Jokowi-JK sebagai pemerintahan boneka akan selalu menghambat kemajuan negeri ini untuk membangun industry nasionalnya. Tanpa industry nasional yang kuat, negeri ini akan terus bergantung dengan modal dari imperialisme dan kaum buruh tidak akan pernah dapat mewujudkan kesejahteraannya. Semangat anti-imperialisme didalam gerakan buruh diwujudkan dalam bentuk nyata melawan seluruh kebijakan anti rakyat yang dibuat oleh Jokowi-JK, baik kebijakan-kebijakan disektor perburuhan maupun kebijakan yang menyangkut kepentingan hidup seluruh rakyat Indonesia.
Maka kaum Buruh harus lantang bersuara untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan yakni mengembalikan semangat anti neo-kolonialisme Imperialisme AS dalam KAA, kaum buruh juga harus menolak KAA dijadikan sebagai forum oleh imperialisme AS untuk memasifkan kepentingannya menguasai kekayaan alam dan manusia sepenuhnya di Asia Afrika melalui rejim-rejim kakitangannya. Kaum buruh harus bersuara untuk menyampaikan bahwa kemerdekaan sejati, kedaulatan dan kemandirian adalah hak rakyat Asia Afrika tanpa dominasi dan intervensi neo-kolonialisme imperialisme AS.
Untuk itu secara khususnya GSBI mengajak kepada seluruh kaum buruh Indonesia, untuk terlibat aktif mengkampanyekan penolakan atas seluruh kebijakan rejim Jokowi-JK yang sangat tunduk menjalankan kebijakan Neo-liberalisme imperialisme AS di Indonesia, yang saat ini sangat menyengsarakan rakyat Indonesia. (red) #
di Tulis oleh, Departemen Diklat dan Propaganda DPP GSBI dalam rangka kampanye peringatan 60thn Konferensi Asia Afrika/KAA yang akan di gelar oleh pemerintahan Jokowi-JK pada 19 - 24 April 2015 di Jakarta dan Bandung.
Sekilas tentang Konferensi Asia Afrika (KAA)
Pada 19-24 April 2015, mengambil tempat di Jakarta dan Bandung akan diselenggarakan Peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA). Peringatan 60 tahun KAA kali ini mengambil tema “Penguatan Kerjasama Selatan-Selatan dalam Rangka Meningkatkan Kesejahteraan dan Perdamaian Dunia”. Tidak kurang dari 109 negara Asia dan Afrika, 16 negara pengamat dan 25 organisasi internasional serta 650 CEO Perusahaan Multi Nasional diundang oleh pemerintah Indonesia untuk berpartisipasi dalam peringatan ini.
60 tahun silam, tepatnya pada tahun 1955, Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno bersama India, Pakistan, Srilanka dan Burma menginisiasi sebuah pertemuan multilateral yang melibatkan negara-negara di Asia dan Afrika, yang kemudian dikenal dengan KAA. Semangat anti-kolonialisme menjadi dasar persatuan bagi negara-negara di Asia-Afrika yang terlibat dalam pertemuan tersebut. Semangat anti-kolonialisme mendapatkan tempat karena negara-negara di Asia dan Afrika dalam perkembangannya saat itu baru terbebas dari penjajahan, serta beberapa negara terpecah belah paska terjadinya perang imperialisme (Perang Dunia II).
Paska PD II peta politik dunia terbagi dalam dua poros kekuatan besar imperialisme, Amerika Serikat (AS) yang mewakili blok Barat dan Uni-Soviet (saat ini Rusia) yang mewakili blok Timur. Dua kekuatan inilah yang mencoba untuk terus melakukan hegemoni dan memperluas dominasinya atas berbagai belahan negeri di dunia, Asia-Afrika termasuk didalamnya. Persaingan inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya berbagai konflik diberbagai negeri yang berhubungan dengan perdamaian, keamanan dan ekonomi.
KAA 1955 menghasilkan sebuah dokumen yang dikenal dengan Dasasila Bandung, isinya adalah; (1) Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat dalam Piagam PBB, (2) Menghormati kedaulatan dan integritas territorial semua bangsa, (3) Mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa, besar maupun kecil, (4) Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soalan-soalan dalam negeri negara lain, (5) Menghormati hak-hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri secara sendirian ataupun kolektif yang sesuai dengan Piagam PBB, (6) Tidak menggunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara besar dan tidak melakukannya terhadap negara lain, (7) Tidak melakukan tindakan-tindakan ataupun ancaman agresi maupun penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah maupun kemerdekaan politik suatu negara, (8) Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrasi (penyelesaian masalah hukum), ataupun cara damai lainnya, menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBB, (9) Memajukan kepentingan bersama dan kerjasama, (10) Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.
Peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika dan 10 tahun Kemitraan Strategis Baru Asia-Afrika (NAASP).
Semangat anti-kolonialisme yang menjadi spirit KAA 1955 dalam perkembangannya terus memudar dan perlahan menghilang. Hal ini tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan situasi politik dan ekonomi global yang terjadi, dimana AS terus berkembang menjadi kekuatan imperialis yang sanggup mengukuhkan dominasinya melalui pembentukan rejim atau pemerintahan boneka diberbagai negeri yang siap tunduk dan patuh melayani kepentingan AS. Disisi lain, runtuhnya Uni Soviet membuat dominasi AS sebagai negeri imperialis tak lagi tertandingi, tidak ada lagi negeri yang memiliki kesanggupan untuk berkompetisi secara terbuka dalam aspek politik, ekonomi apalagi dalam aspek militer.
Pada tahun 2005, bertepatan dengan peringatan 50 tahun KAA yang juga diselenggarakan di Indonesia, dihasilkan sebuah dokumen yang diberi nama New Asian-African Strategic Partnership (NAASP) atau Kemitraan Strategis Baru Asia-Afrika. NAASP yang lebih mengedepankan kerjasama ekonomi, nyata telah mengkhianati semangat anti-kolonialisme sebagai dasar persatuan negara-negara Asia dan Afrika dalam KAA 1955. KAA paska 1955 tidak lagi mengakui bahwa didalam perkembangan dunia saat ini kolonialisme sesungguhnya masih berlangsung, dimana manifestasi kongkretnya terletak pada intervensi politik, ekonomi, militer dan kebudayaan oleh imperialisme pimpinan AS terhadap negara-negara di Asia dan Afrika.
Intervensi yang dilakukan oleh imperialisme pimpinan AS terhadap negara-negara lain diseluruh dunia adalah kolonilisme baru dalam perkembangan saat ini. Praktek yang dilakukan oleh negeri-negeri imperialis dengan memaksakan kehendak politik, ekonomi, militer dan kebudayaan adalah kolonialisme baru yang secara nyata membelakangi prinsip dasasila Bandung yaitu penghormatan atas kedaulatan suatu negara dan tidak melakukan intervensi dalam bentuk apapun.
Bagi negeri-negeri imperialis, Asia dan Afrika adalah pasar yang potensial untuk menjajakan seluruh hasil produk dari industry mereka. Populasi Asia-Afrika saat ini adalah dua pertiga lebih dari total penduduk dunia, inilah yang membuat negeri-negeri imperialis begitu bernafsu untuk memastikan berbagai negara di Asia dan Afrika tunduk dalam skema politik mereka. Dan salah satu cara yang paling efektif untuk memastikan ketertundukan politik adalah melalui intervensi militer, inilah strategi yang digunakan oleh AS saat ini. Tidak mengherankan apabila kemudian didalam forum-forum multilateral AS tidak pernah mau absen guna memastikan dominasinya atas seluruh negeri dapat tetap terjaga.
Mengembalikan Semangat Anti-Kolonialisme dan Melawan Kebijakan Pemerintahan yang Anti Rakyat Adalah Salah Satu Tugas Gerakan Buruh.
Pertemuan Tingkat Pejabat Tinggi (Senior Official Meeting), Pertemuan Tingkat Menteri (Asian-African Ministerial’s Meeting) dan Pertemuan Tingkat Kepala Negara (Asian African Summit) akan menjadi rangkaian dari peringatan 60 tahun KAA di Jakarta, dan diakhiri dengan acara kebudayaan di Bandung pada 24 april 2015. Disela rangkaian tersebut, para pengusaha-pengusaha Asia-Afrika juga menggelar sebuah pertemuan bertajuk Asia-Africa Business Summit. Sebagaimana pertemuan peringatan KAA yang diselenggarakan paska 1955, tidak pernah ada rangkaian acara yang melibatkan aspirasi rakyat Asia dan Afrika. Kepentingan rakyat Asia-Afrika sudah dianggap diwakili oleh para pejabat, menteri dan kepala negara bahkan para pengusaha.
Telah dipahami, dominasi imperialisme AS atas negara-negara di Asia-Afrika termanifestasikan dalam pemerintahan atau rejim boneka yang setia menjadi pelayan bagi kepentingan imperialisme, seperti di Indonesia. Pemerintahan baru Jokowi-JK yang belum genap setengah tahun memimpin negeri ini adalah kenyataan kongkret pemerintahan sebuah negara yang tidak memiliki kemandirian politik maupun ekonomi atas negerinya. Apabila pemerintahan yang demikian mengatasnamakan rakyat lalu membangun kesepakatan-kesepakatan dengan negara lain, dapat dipastikan bahwa hasil dari kesepakatan tersebut tidak akan seiring dengan aspirasi rakyat.
Pemerintahan Jokowi, sebagai pemenang dalam pemilu tahun lalu masih saja mempertahankan skema politik upah murah bagi buruh di Indonesia. Penetapan upah minimum masih saja didasarkan pada usaha pencapaian hidup layak (Permenaker 13/2012), bukan berdasarkan biaya hidup riil kaum buruh. Melalui Kepmen 231/2003, upah minimum yang diterima oleh kaum buruh masih diperkenankan untuk ditangguhkan atau tidak dijalankan oleh pengusaha. Bahkan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengupahan yang sedang dibahas oleh pemerintah, kenaikan upah minimum bagi buruh tidak akan dinaikkan setiap tahun, melainkan dua hingga lima tahun sekali. Bahkan saat ini rejim Jokowi sedang melakukan revisi atas UU No 2 tahun 2004 tentang PPHI dalam rangka memenuhi dan mensesuaikan dengan kehendak para modal asing.
Rejim ini juga masih belum sanggup menjamin kepastian kerja bagi seluruh rakyatnya. Kasus PHK terhadap buruh masih terus terjadi dengan menggunakan berbagai alasan, mulai dari efisiensi hingga pabrik yang tak lagi berproduksi dengan alasan merugi dan tidak mendapatkan order. Data yang dihimpun dari berbagai media menunjukkan, 2,600 orang buruh dari lima perusahaan yang ada di kabupaten Bogor terkena PHK, perusahaan beralasan tidak sanggup membayarkan upah akibat kenaikan upah minimum. Hal yang sama juga dialami oleh buruh di PT. Nikomas Serang, tidak kurang dari 400 buruh di PHK secara bertahap, jika dihitung dari tahun 2014, angkanya mencapai 800 orang buruh. Kasus PHK juga dialami 700 orang buruh outsourcing yang bekerja di PT. Krakatau Steel. Ini belum termasuk ancaman PHK yang sedang dihadapi 1,500 buruh PT. Jabagarmindo dan 700 buruh PT. Wirapaper Tangerang, dimana perusahaannya terancam tutup.
Belum genap enam bulan, pemerintahan Jokowi-JK juga telah menghadirkan kenyataan pahit bagi rakyat Indonesia. Jokowi menaikkan harga BBM dan menyerahkan mekanisme soal harga BBM sepenuhnya pada mekanisme pasar. Kebijakan demikian tentunya telah menghilangkan peranan negara dalam memastikan kebutuhan energy bagi warga negaranya. Pemerintahan ini juga tidak sanggup melakukan kontrol atas kenaikan harga bahan pangan yang melonjak tinggi, berencana menaikkan tariff dasar listrik, tariff transportasi dan tidak mendukung penuh upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Momentum peringatan 60 tahun KAA harus menjadi semangat bagi rakyat di Asia dan Afrika untuk menyuarakan aspirasinya yang sejati, melawan dominasi imperialisme pimpinan AS. Keserakahan imperialisme melalui rejim-rejim boneka yang mereka ciptakan diberbagai negeri menghadirkan penderitaan bagi rakyat di Asia, Afrika dan belahan negeri lainnya. Rakyat di Asia dan Afrika harus bersatu dalam semangat anti-imperialisme, tidak boleh lebih rendah seperti ketika menyuarakan perjuangan anti-kolonialisme 60 tahun yang silam pada KAA 1955. Semangat anti-kolonialisme yang menginspirasi harus kembali dibangkitkan agar seluruh rakyat Asia dan Afrika berlawan terhadap seluruh skema imperialisme AS yang mereka paksakan melalui kerjasama-kerjasama multilateral termasuk lewat forum KAA.
Bagi kaum buruh di Indonesia, mengembalikan semangat anti-kolonialisme (anti-imperialisme) memiliki keterkaitan yang erat dengan usaha perjuangan pemenuhan hak-hak demokratisnya. Dominasi imperialisme melalui rejim Jokowi-JK sebagai pemerintahan boneka akan selalu menghambat kemajuan negeri ini untuk membangun industry nasionalnya. Tanpa industry nasional yang kuat, negeri ini akan terus bergantung dengan modal dari imperialisme dan kaum buruh tidak akan pernah dapat mewujudkan kesejahteraannya. Semangat anti-imperialisme didalam gerakan buruh diwujudkan dalam bentuk nyata melawan seluruh kebijakan anti rakyat yang dibuat oleh Jokowi-JK, baik kebijakan-kebijakan disektor perburuhan maupun kebijakan yang menyangkut kepentingan hidup seluruh rakyat Indonesia.
Maka kaum Buruh harus lantang bersuara untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan yakni mengembalikan semangat anti neo-kolonialisme Imperialisme AS dalam KAA, kaum buruh juga harus menolak KAA dijadikan sebagai forum oleh imperialisme AS untuk memasifkan kepentingannya menguasai kekayaan alam dan manusia sepenuhnya di Asia Afrika melalui rejim-rejim kakitangannya. Kaum buruh harus bersuara untuk menyampaikan bahwa kemerdekaan sejati, kedaulatan dan kemandirian adalah hak rakyat Asia Afrika tanpa dominasi dan intervensi neo-kolonialisme imperialisme AS.
Untuk itu secara khususnya GSBI mengajak kepada seluruh kaum buruh Indonesia, untuk terlibat aktif mengkampanyekan penolakan atas seluruh kebijakan rejim Jokowi-JK yang sangat tunduk menjalankan kebijakan Neo-liberalisme imperialisme AS di Indonesia, yang saat ini sangat menyengsarakan rakyat Indonesia. (red) #