Peringati Hari PRT SeDunia, GSBI bersama JBMI Gelar Aksi di Bundaran HI
Jakarta, 14/6/2015 . Pekerja rumah tangga (PRT) memerlukan perlindungan dalam melakukan kerjanya. Sebabnya, selama ini, PRT kerap menerima...
https://www.infogsbi.or.id/2015/06/peringati-hari-prt-sedunia-gsbi-bersama.html
Jakarta, 14/6/2015. Pekerja rumah tangga (PRT) memerlukan perlindungan dalam melakukan kerjanya. Sebabnya, selama ini, PRT kerap menerima tindak kekerasan; gaji rendah, kekerasan fisik, psikis, dan juga seksual.
Begitu teriakan massa Aksi dari Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) di Bundaran HI pada Minggu, 14 Juni 2015 dalam acara Peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga Internasional.
Dengan membawa Spanduk dan poster massa aksi yang mayoritas perempuan ini berjalan mengelilingi bundaran Hitel Indonesia dengan meneriakan yel-yel dan berorasi penuh semangat.
Aksi JBMI ini di ikuti oleh berbagai organisasi seperti KABAR BUMI, GSBI, SBMI, FMN, BMISA, AGRA dllnya.
Marjenab dari KABAR BUMI dalam Orasinya menjelaskan, Selama ini PRT berada dalam kondisi situasi tidak layak kerja. “Situasi kerja tidak layak untuk PRT merupakan perbudakan modern. Praktek perbudakan PRT terjadi dimanapun, termasuk Indonesia dengan 10,7 juta PRT yang bekerja di dalam negeri dan 6 juta PRT migran yang kini bekerja di luar negeri,” tegasnya.
Jenab menambahkan, situasi itu makin diperumit oleh sikap Menteri Tenaga Kerja yang menolak membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) PRT dan Ratifikasi KILO 189. “Juga sikap pemerintah yang akan menghentikan PRT migran serta sikap DPR yang tidak mau membahas RUU PRT dan mengeluarkan dalam agenda Prolegnas 2015,” untuk itu kami dari JBMI menuntut peran negara untuk memberikan perlindungan sejati bagi PRT termasuk BMI beserta keluarganya.
Hal senada juga di ungkapkan oleh Emelia Yanti MD Siahaan, dari GSBI. Menurutnya, diskriminasi dan kekerasan terhadap buruh perempuan masih terjadi pada pekerja formal maupun informal, termasuk PRT, yaitu tidak adanya pengakuan, perlindungan hukum, jaminan sosial dan ketenagakerjaan bagi mereka. Selain PRT dan buruh migran, buruh perempuan yang bekerja di pabrik juga mengalami nasib yang sama seperti praktek kekerasan dan pelecehan seksual. Dalam tahun 2014 setidaknya ada 204 tindak kekerasan terhadap PRT di Indonesia. Misalnya kasus yang terjadi di Medan, Bogor, dan di Jawa Timur yang bahkan hingga meninggal. “Kekerasan ini nyata. (PRT) patut dilindungi,” ungkapnya.
Peringatan hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) sedunia masih diwarnai maraknya aksi kekerasan yang dilakukan oknum majikan terhadap PRT, untuk itu kami mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak PRT yang dituangkan Undang-Undang.
Untuk itu dalam Peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga kali ini, kami dari GSBI menuntut kepada pemerintah untuk segera pertama, meratifikasi Konvensi ILO No. 189 Perlindungan bagi Pekerja Rumah Tangga; kedua, Memberikan perlindungan sejati bagi Pekerja Rumah Tangga, baik yang di dalam negeri maupun yang berada luar negeri, dengan membuat Undang-undang khusus Pekerja Rumah Tangga; ketiga, Memberikan Upah dan Penghidupan yang layak bagi PRT di dalam negeri; keempat, Memberikan Sanksi Hukuman yang setimpal kepada pelaku kekerasan/penganiayaan, penyekapan bahkan sampai dengan pembunuhan yang dilakukan terhadap PRT. dna kelima, Membuat MoA (Memorandum Of Agreement) dengan pemerintah di negara penempatan, untuk menyelamatkan PRT di luar negeri dari hukuman mati, bukan Moratorium atau penghentian pengiriman PRT ke luar negeri. tegas Kokom. (RD-SI062015)#.
Begitu teriakan massa Aksi dari Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) di Bundaran HI pada Minggu, 14 Juni 2015 dalam acara Peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga Internasional.
Dengan membawa Spanduk dan poster massa aksi yang mayoritas perempuan ini berjalan mengelilingi bundaran Hitel Indonesia dengan meneriakan yel-yel dan berorasi penuh semangat.
Aksi JBMI ini di ikuti oleh berbagai organisasi seperti KABAR BUMI, GSBI, SBMI, FMN, BMISA, AGRA dllnya.
Marjenab dari KABAR BUMI dalam Orasinya menjelaskan, Selama ini PRT berada dalam kondisi situasi tidak layak kerja. “Situasi kerja tidak layak untuk PRT merupakan perbudakan modern. Praktek perbudakan PRT terjadi dimanapun, termasuk Indonesia dengan 10,7 juta PRT yang bekerja di dalam negeri dan 6 juta PRT migran yang kini bekerja di luar negeri,” tegasnya.
Jenab menambahkan, situasi itu makin diperumit oleh sikap Menteri Tenaga Kerja yang menolak membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) PRT dan Ratifikasi KILO 189. “Juga sikap pemerintah yang akan menghentikan PRT migran serta sikap DPR yang tidak mau membahas RUU PRT dan mengeluarkan dalam agenda Prolegnas 2015,” untuk itu kami dari JBMI menuntut peran negara untuk memberikan perlindungan sejati bagi PRT termasuk BMI beserta keluarganya.
Hal senada juga di ungkapkan oleh Emelia Yanti MD Siahaan, dari GSBI. Menurutnya, diskriminasi dan kekerasan terhadap buruh perempuan masih terjadi pada pekerja formal maupun informal, termasuk PRT, yaitu tidak adanya pengakuan, perlindungan hukum, jaminan sosial dan ketenagakerjaan bagi mereka. Selain PRT dan buruh migran, buruh perempuan yang bekerja di pabrik juga mengalami nasib yang sama seperti praktek kekerasan dan pelecehan seksual. Dalam tahun 2014 setidaknya ada 204 tindak kekerasan terhadap PRT di Indonesia. Misalnya kasus yang terjadi di Medan, Bogor, dan di Jawa Timur yang bahkan hingga meninggal. “Kekerasan ini nyata. (PRT) patut dilindungi,” ungkapnya.
Peringatan hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) sedunia masih diwarnai maraknya aksi kekerasan yang dilakukan oknum majikan terhadap PRT, untuk itu kami mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak PRT yang dituangkan Undang-Undang.
Untuk itu dalam Peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga kali ini, kami dari GSBI menuntut kepada pemerintah untuk segera pertama, meratifikasi Konvensi ILO No. 189 Perlindungan bagi Pekerja Rumah Tangga; kedua, Memberikan perlindungan sejati bagi Pekerja Rumah Tangga, baik yang di dalam negeri maupun yang berada luar negeri, dengan membuat Undang-undang khusus Pekerja Rumah Tangga; ketiga, Memberikan Upah dan Penghidupan yang layak bagi PRT di dalam negeri; keempat, Memberikan Sanksi Hukuman yang setimpal kepada pelaku kekerasan/penganiayaan, penyekapan bahkan sampai dengan pembunuhan yang dilakukan terhadap PRT. dna kelima, Membuat MoA (Memorandum Of Agreement) dengan pemerintah di negara penempatan, untuk menyelamatkan PRT di luar negeri dari hukuman mati, bukan Moratorium atau penghentian pengiriman PRT ke luar negeri. tegas Kokom. (RD-SI062015)#.