Pers Release GSBI dalam Peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga Internasional 2015
PERS RELEASE GABUNGAN SERIKAT BURUH INDONESIA (GSBI) DALAM PERINGATAN HARI PEKERJA RUMAH TANGGA INTERNASIONAL, 16 JUNI 2015 Salam Deokras...
https://www.infogsbi.or.id/2015/06/pers-release-gsbi-dalam-peringatan-hari.html?m=0
PERS RELEASE GABUNGAN SERIKAT BURUH INDONESIA (GSBI)
DALAM PERINGATAN HARI PEKERJA RUMAH TANGGA INTERNASIONAL, 16 JUNI 2015
Salam Deokrasi !!
Peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga Sedunia pada tanggal 16 Juni 2015, ditetapkan paska 100 tahun Perjuangan Buruh Sedunia dan paska disah-kannya konvensi ILO No. 189 Tahun 2011 tentang Pekerja Rumah Tangga (PRT). Konvensi ILO No. 189 Tahun 2011 ini memuat tentang: 1). Hak PRT untuk berserikat/berorganisasi; 2). Penghapusan segala bentuk kerja paksa atau kerja wajib; 3). Penghapusan kerja anak; 4). Penghapusan diskriminasi dalam hal pekerjaan dan jabatan; 5). Perlindungan yang efektif, dari segala bentuk penyalahgunaan, pelecehan dan kekerasan; 6) Ketentuan kerja yang adil dan kondisi hidup yang layak; 7). Pengaturan jam kerja dan pengupahan; 8). Keselamatan dan kesehatan kerja; 9). Jaminan sosial; 10). Standar usia pekerja rumah tangga anak-anak; 11). Standar mengenai pekerja tinggal di dalam rumah; 12). Agen ketenagakerjaan swasta; 13). Penyelesaian perselisihan, pengaduan, penegakan.
Bahwa pada tahun 2011, ketika Bapak Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sebagai Presiden RI yang ke-6 pernah menyatakan komitmennya dihadapan internasional untuk mendukung dan mengadopsi Konvensi ILO tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga. Bapak Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, bahwa konvensi ini dapat menjadi acuan bagi negara pengirim dan negara penerima guna melindungi Pekerja Rumah Tangga migran. Namun hingga saat ini, paska pernyataan yang disampaikan oleh Presiden RI ke-6 tersebut, Konvensi ILO tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga belum juga diratifikasi.
Keadaan Pekerja Rumah Tangga Di Indonesia
Tentunya masih segar dalam ingatan kita peristiwa penyekapan dan penganiayaan terhadap 17 orang Pekerja Rumah Tangga selama 3 bulan di Bogor-Jawa Barat, yang dilakukan oleh Mutiara Situmorang, istri dari Brigadir Jenderal Purnawirawan Polisi bernama Mangisi Situmorang pada bulan Februari 2013 silam. Yang lebih miris lagi, 7 dari 17 PRT yang disekap tersebut masih berusia di bawah umur. Atas tindakan tidak manuasiawi tersebut, Mutiara Situmorang ijerat pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang tindak perdagangan manusia dan pasal 44 UU No 23 Tahun 2004 tentang kekerasan dalam rumah tangga. Namun Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN), kota Bogor hanya menjatuhkan vonis satu tahun penjara bagi terdakwa kasus penyekapan dan pelaku kekerasan terhadap 17 pekerja rumah tangga (PRT) asal Nusa Tenggara Timur.
Belum lagi kasus penganiayaan terhadap 7 orang Pekerja Rumah Tangga yang dilakukan oleh keluarga Syamsul Anwar, pemilik lembaga penyalur tenaga kerja “SITI MAJU JAYA” di kota Medan pada tahun 2012 silam. Dua diantara 7 orang Pekerja Rumah Tangga tersebut, ditemukan tewas terkubur dan sudah tinggal tulang belulang saja. Menurut hasil visum, kedua PRT tersebut tewas karena dianiaya, PRT yang tewas tersebut bernama Yanti dan Hermin Ruswidayati Alias Cici asal Semarang. Atas hal tersebut Keluarga Syamsul Anwar, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan, menjatuhkan vonis hukuman penjara selama 15 tahun.
Keadaan Pekerja Rumah Tangga Migran
Disisi lain keadaan Pekerja Rumah Tangga yang berada di luar negeri pun tidak kalah buruknya dengan Pekerja Rumah Tangga yang berada di dalam negeri. Yang salah satunya kasus penyiksaan terhadap ERWIANA dan hukuman mati yang dihadapi puluhan bahkan ratusan buruh migran Indonesia di luar negeri. Menurut data Kementerian Luar Negeri per-Mei 2015, ada 354 orang PRT Indonesia yang sudah divonis hukuman mati dan tinggal menunggu eksekusi mati, dan Pekerja Rumah Tangga (PRT) asal Indonesia yang sedang menunggu hukuman MATI paling banyak berada di negara penempatan Malaysia dengan jumlah 168 orang.
Bahwa tidak adanya tindakan hukum dan diplomatik yang dilakukan oleh pemerintah untuk para PRT baik yang di dalam maupun di luar negeri, sebagaimana telah diuraikan di atas. Bahwa kasus kekerasan, penganiayaan sampai dengan pembunuhan terhadap PRT di dalam negeri ternyata hanya mendapatkan hukuman maksimal 15 tahun penjara dan minimalnya adalah 1 tahun masa percobaan. Pun demikian halnya dengan Pekerja Rumah Tangga yang bekerja di luar negeri, nyaris tidak ada upaya hukum serta diplomatik yang dilakukan pemerintah, kalaupun ada itu semata-mata bukan karena pemerintah perduli dengan nasib PRT Indonesia yang bekerja di luar negeri. Melainkan karena adanya tekanan publik dan perjuangan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia, atas nasib para PRT atau BMI yang berada di luar negeri.
Bahkan dalam pembukaan Kongres Partai Hanura pada 13 Februari 2015 lalu, di Solo, Jawa Tengah, Presiden Joko Widodo menyatakan akan menghentikan penempatan pekerja rumah tangga (PRT) ke luar negeri. Presiden juga meminta Menteri Ketenagakerjaan membuat road map untuk penghentian pengiriman PRT ke luar negeri, daripada merativikasi konvensi ILO No. 189 Tahun 2011, serta melakukan Memorandum of Agreement dengan negara penempatan agar Pekerja Rumah Tangga Indonesia yang berada di luar negeri dapat terbebas dari Hukuman Mati. Yang lebih ironisnya lagi adalah, pada pembukaan Kongres Partai Hanura tersebut, Presiden Joko Widodo menghina Pekerja Rumah Tangga dengan menyatakan bahwa PRT selama ini menjadi sumber masalah dan merendahkan harga diri serta martabat bangsa.
Bahwa Moratorium bukanlah solusi untuk menyelamatkan Pekerja Rumah Tangga yang berada di luar negeri, adalah Undang-undang Perlindungan khusus bagi Pekerja Rumah Tangga baik yang berada di dalam maupun di luar negeri serta Memorandum Of Agreement dengan negara penempatan yang bisa menyelamatkan Pekerja Rumah Tangga dari hukuman mati, tindakan kekerasan/penganiayaan, jam kerja panjang, tidak adanya hari libur, upah murah maupun menjadi korban pembunuhan.
Bahwa menjadi Pekerja Rumah Tangga yang telah memberikan devisa terbesar bagi negara ini, bukanlah pekerjaan yang hina yang dapat merendahkan derajat dan martabat bangsa. Sebab faktor utama dari meningkatnya jumlah buruh migran Indonesia di luar negeri, tidak dapat dipisahkan dari kebijakan ekonomi-politik Pemerintah yang hanya bergantung pada investasi asing sebagai topangan pembangun ekonomi di dalam negeri. Bukan justru membangun industri dasar nasional yang akan menciptakan lapangan pekerjaan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Maka atas rasa kemanusiaan dan solidaritas sesama kaum buruh dan rakyat tertindas lainnya, dengan ini kami Dewan Pimpinan Pusat Gabungan Serikat Buruh Indonesia (DPP.GSBI) menuntut kepada pemerintah untuk :
Jakarta, 14 Juni 2015
DEWAN PIMPINAN PUSAT
GABUNGAN SERIKAT BURUH INDONESIA (GSBI)
DALAM PERINGATAN HARI PEKERJA RUMAH TANGGA INTERNASIONAL, 16 JUNI 2015
Salam Deokrasi !!
Peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga Sedunia pada tanggal 16 Juni 2015, ditetapkan paska 100 tahun Perjuangan Buruh Sedunia dan paska disah-kannya konvensi ILO No. 189 Tahun 2011 tentang Pekerja Rumah Tangga (PRT). Konvensi ILO No. 189 Tahun 2011 ini memuat tentang: 1). Hak PRT untuk berserikat/berorganisasi; 2). Penghapusan segala bentuk kerja paksa atau kerja wajib; 3). Penghapusan kerja anak; 4). Penghapusan diskriminasi dalam hal pekerjaan dan jabatan; 5). Perlindungan yang efektif, dari segala bentuk penyalahgunaan, pelecehan dan kekerasan; 6) Ketentuan kerja yang adil dan kondisi hidup yang layak; 7). Pengaturan jam kerja dan pengupahan; 8). Keselamatan dan kesehatan kerja; 9). Jaminan sosial; 10). Standar usia pekerja rumah tangga anak-anak; 11). Standar mengenai pekerja tinggal di dalam rumah; 12). Agen ketenagakerjaan swasta; 13). Penyelesaian perselisihan, pengaduan, penegakan.
Bahwa pada tahun 2011, ketika Bapak Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sebagai Presiden RI yang ke-6 pernah menyatakan komitmennya dihadapan internasional untuk mendukung dan mengadopsi Konvensi ILO tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga. Bapak Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, bahwa konvensi ini dapat menjadi acuan bagi negara pengirim dan negara penerima guna melindungi Pekerja Rumah Tangga migran. Namun hingga saat ini, paska pernyataan yang disampaikan oleh Presiden RI ke-6 tersebut, Konvensi ILO tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga belum juga diratifikasi.
Keadaan Pekerja Rumah Tangga Di Indonesia
Tentunya masih segar dalam ingatan kita peristiwa penyekapan dan penganiayaan terhadap 17 orang Pekerja Rumah Tangga selama 3 bulan di Bogor-Jawa Barat, yang dilakukan oleh Mutiara Situmorang, istri dari Brigadir Jenderal Purnawirawan Polisi bernama Mangisi Situmorang pada bulan Februari 2013 silam. Yang lebih miris lagi, 7 dari 17 PRT yang disekap tersebut masih berusia di bawah umur. Atas tindakan tidak manuasiawi tersebut, Mutiara Situmorang ijerat pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang tindak perdagangan manusia dan pasal 44 UU No 23 Tahun 2004 tentang kekerasan dalam rumah tangga. Namun Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN), kota Bogor hanya menjatuhkan vonis satu tahun penjara bagi terdakwa kasus penyekapan dan pelaku kekerasan terhadap 17 pekerja rumah tangga (PRT) asal Nusa Tenggara Timur.
Belum lagi kasus penganiayaan terhadap 7 orang Pekerja Rumah Tangga yang dilakukan oleh keluarga Syamsul Anwar, pemilik lembaga penyalur tenaga kerja “SITI MAJU JAYA” di kota Medan pada tahun 2012 silam. Dua diantara 7 orang Pekerja Rumah Tangga tersebut, ditemukan tewas terkubur dan sudah tinggal tulang belulang saja. Menurut hasil visum, kedua PRT tersebut tewas karena dianiaya, PRT yang tewas tersebut bernama Yanti dan Hermin Ruswidayati Alias Cici asal Semarang. Atas hal tersebut Keluarga Syamsul Anwar, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan, menjatuhkan vonis hukuman penjara selama 15 tahun.
Keadaan Pekerja Rumah Tangga Migran
Disisi lain keadaan Pekerja Rumah Tangga yang berada di luar negeri pun tidak kalah buruknya dengan Pekerja Rumah Tangga yang berada di dalam negeri. Yang salah satunya kasus penyiksaan terhadap ERWIANA dan hukuman mati yang dihadapi puluhan bahkan ratusan buruh migran Indonesia di luar negeri. Menurut data Kementerian Luar Negeri per-Mei 2015, ada 354 orang PRT Indonesia yang sudah divonis hukuman mati dan tinggal menunggu eksekusi mati, dan Pekerja Rumah Tangga (PRT) asal Indonesia yang sedang menunggu hukuman MATI paling banyak berada di negara penempatan Malaysia dengan jumlah 168 orang.
Bahwa tidak adanya tindakan hukum dan diplomatik yang dilakukan oleh pemerintah untuk para PRT baik yang di dalam maupun di luar negeri, sebagaimana telah diuraikan di atas. Bahwa kasus kekerasan, penganiayaan sampai dengan pembunuhan terhadap PRT di dalam negeri ternyata hanya mendapatkan hukuman maksimal 15 tahun penjara dan minimalnya adalah 1 tahun masa percobaan. Pun demikian halnya dengan Pekerja Rumah Tangga yang bekerja di luar negeri, nyaris tidak ada upaya hukum serta diplomatik yang dilakukan pemerintah, kalaupun ada itu semata-mata bukan karena pemerintah perduli dengan nasib PRT Indonesia yang bekerja di luar negeri. Melainkan karena adanya tekanan publik dan perjuangan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia, atas nasib para PRT atau BMI yang berada di luar negeri.
Bahkan dalam pembukaan Kongres Partai Hanura pada 13 Februari 2015 lalu, di Solo, Jawa Tengah, Presiden Joko Widodo menyatakan akan menghentikan penempatan pekerja rumah tangga (PRT) ke luar negeri. Presiden juga meminta Menteri Ketenagakerjaan membuat road map untuk penghentian pengiriman PRT ke luar negeri, daripada merativikasi konvensi ILO No. 189 Tahun 2011, serta melakukan Memorandum of Agreement dengan negara penempatan agar Pekerja Rumah Tangga Indonesia yang berada di luar negeri dapat terbebas dari Hukuman Mati. Yang lebih ironisnya lagi adalah, pada pembukaan Kongres Partai Hanura tersebut, Presiden Joko Widodo menghina Pekerja Rumah Tangga dengan menyatakan bahwa PRT selama ini menjadi sumber masalah dan merendahkan harga diri serta martabat bangsa.
Bahwa Moratorium bukanlah solusi untuk menyelamatkan Pekerja Rumah Tangga yang berada di luar negeri, adalah Undang-undang Perlindungan khusus bagi Pekerja Rumah Tangga baik yang berada di dalam maupun di luar negeri serta Memorandum Of Agreement dengan negara penempatan yang bisa menyelamatkan Pekerja Rumah Tangga dari hukuman mati, tindakan kekerasan/penganiayaan, jam kerja panjang, tidak adanya hari libur, upah murah maupun menjadi korban pembunuhan.
Bahwa menjadi Pekerja Rumah Tangga yang telah memberikan devisa terbesar bagi negara ini, bukanlah pekerjaan yang hina yang dapat merendahkan derajat dan martabat bangsa. Sebab faktor utama dari meningkatnya jumlah buruh migran Indonesia di luar negeri, tidak dapat dipisahkan dari kebijakan ekonomi-politik Pemerintah yang hanya bergantung pada investasi asing sebagai topangan pembangun ekonomi di dalam negeri. Bukan justru membangun industri dasar nasional yang akan menciptakan lapangan pekerjaan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Maka atas rasa kemanusiaan dan solidaritas sesama kaum buruh dan rakyat tertindas lainnya, dengan ini kami Dewan Pimpinan Pusat Gabungan Serikat Buruh Indonesia (DPP.GSBI) menuntut kepada pemerintah untuk :
- Segera meratifikasi Konvensi ILO No. 189 Perlindungan bagi Pekerja Rumah Tangga.
- Memberikan perlindungan sejati bagi Pekerja Rumah Tangga, baik yang di dalam negeri maupun yang berada luar negeri, dengan membuat Undang-undang khusus Pekerja Rumah Tangga.
- Memberikan Upah dan Penghidupan yang layak bagi PRT di dalam negeri.
- Memberikan Sanksi Hukuman yang setimpal kepada pelaku kekerasan/penganiayaan, penyekapan bahkan sampai dengan pembunuhan yang dilakukan terhadap PRT.
- Membuat MoA (Memorandum Of Agreement) dengan pemerintah di negara penempatan, untuk menyelamatkan PRT di luar negeri dari hukuman mati, bukan Moratorium atau penghentian pengiriman PRT ke luar negeri.
Jakarta, 14 Juni 2015
DEWAN PIMPINAN PUSAT
GABUNGAN SERIKAT BURUH INDONESIA (GSBI)